Pos

Habis Desakralisasi Gelar, Terus Apa?

Beberapa waktu lalu, linimasa media sosial sempat dihebohkan oleh surat edaran yang dikeluarkan oleh salah satu rektor di Yogyakarta. Media sosial mendadak ramai, dan televisi turut latah memberitakannya. Sebagian sarjana menyebut fenomena ini sebagai “Desakralisasi Gelar.” Artinya, gelar tersebut “dicoba” untuk tidak lagi memiliki nilai prestise seperti sebelumnya.

Denis Lombard pernah mengatakan bahwa gelar akademis telah berubah menjadi gelar kebangsawanan baru. Dunia akademik yang diimpor dari Barat, menurut Lombard, tidak pernah benar-benar “modern” atau rasional berbasis meritokrasi. Bagus Laksana, seorang akademisi, mengutip Lombard bahwa lembaga akademik yang diimpor dari Barat ini dimanfaatkan oleh kaum elit priyayi untuk melestarikan prestise dan pengaruh mereka.

Jika mengacu pada kumpulan surat Kartini yang diterjemahkan dengan judul Habis Gelap, Terbitlah Terang, kita bisa bertanya: “Apakah usaha desakralisasi gelar akademik yang mulai digalakkan (walaupun masih sedikit) dapat menghapuskan kesenjangan yang selama ini terjadi akibat sakralisasi gelar akademik?”


Euforia kita atas desakralisasi gelar seharusnya tidak membuat kita lupa akan konsep “hegemoni” yang diperkenalkan oleh Gramsci. Jika ditelaah lebih dalam, gelar akademik bisa menjadi alat hegemonik kelompok dominan terhadap kelas subordinat.

Pemilik gelar tersebut dapat menggunakan gelar mereka untuk menciptakan konsensus politik atau ideologis yang menyusup ke dalam kelompok dominan maupun yang didominasi. Mereka menggunakan berbagai cara untuk membangun lingkaran-lingkaran semu yang tak kasat mata, yang pada akhirnya mempengaruhi kelompok-kelompok lain.

Pengetahuan sering kali menjadi alat akademisi untuk mengeksklusi atau mengeluarkan orang-orang yang tidak sesuai dengan standar mereka. Persoalan ini sulit dilawan jika kita hanya berhenti pada desakralisasi gelar. Penindasan atau hegemoni terhadap kelompok tertentu sering kali “diresmikan” dengan berbagai ungkapan atau dalil-dalil yang tampak sah.

Desakralisasi gelar bisa menjadi awal yang baik, tetapi jika kita berhenti di sini, penindasan terhadap kelompok lain tetap akan berlangsung. Apalagi, alasan rasionalisasi pengetahuan dan normalisasi ketimpangan pendidikan sangat mudah ditemukan di ruang publik kita saat ini.


Di titik ini, perempuan sering kali menjadi kelompok subordinat. Perempuan yang memiliki gelar serupa dengan laki-laki mungkin saja mendapatkan perlakuan negatif atau disubordinasi, seperti disingkirkan atau diabaikan. Kita sering mendengar ungkapan-ungkapan negatif yang ditujukan kepada perempuan yang berpendidikan tinggi.

Dalam banyak struktur sosial dan imaji masyarakat kita, perempuan masih belum benar-benar bebas dari relasi patriarkal yang menindas. Seorang perempuan bisa mengalami penindasan atau subordinasi sejak bangun tidur hingga tidur kembali.

Seperti dijelaskan sebelumnya, desakralisasi gelar mungkin menjadi langkah awal yang baik. Namun, bagi perempuan, desakralisasi hanya akan berdampak jika diikuti dengan pembongkaran relasi patriarki di lingkungan akademik. Posisi akademisi perempuan sering kali dinomorduakan atau rentan menghadapi subordinasi dari kelompok dominan.

Penyeragaman hingga penerapan standar khusus bagi perempuan sudah biasa kita temui. Ini harus dibongkar dan dilawan, karena nilai-nilai yang selama ini berlaku sering kali tidak ramah terhadap perempuan.

Berkaca pada pengalaman Kartini, perjuangan perempuan untuk mendapatkan relasi yang setara masih menghadapi stigma dan mitos tentang peran, posisi, serta keadaan mereka. Desakralisasi gelar hanya akan menjadi ilusi jika hanya menguntungkan segelintir pihak, misalnya laki-laki. Hegemoni atas perempuan sering kali berlapis-lapis dan berkarat, hingga sulit dikenali apakah itu penindasan. Kita telah menerimanya sebagai nilai yang hidup di masyarakat.

Desakralisasi relasi patriarki di kalangan akademisi harus menjadi agenda kita berikutnya. Kita perlu membongkar penindasan dan subordinasi yang selama ini dilanggengkan di dunia akademik, karena nilai-nilai yang digunakan sering kali memperkuat relasi tersebut.

Jika desakralisasi gelar hanya berhenti pada perayaan sesaat, kita sebenarnya belum benar-benar berubah. Desakralisasi gelar tidak akan benar-benar berhasil menjalankan tugasnya, yaitu menghapuskan penggunaan gelar untuk melestarikan relasi priyayi atau elit di kalangan akademisi.

Cita-cita egalitarianisme dan kesetaraan yang diharapkan dapat mendorong akademisi berkontribusi langsung ke masyarakat bisa saja gagal jika posisi perempuan diabaikan. Oleh karena itu, bagian dari usaha desakralisasi seharusnya menciptakan ruang yang aman, nyaman, dan setara bagi akademisi perempuan.

Fatahallahu alaina futuh al-arifin

Travel vector created by starline - www.freepik.com

Reclaiming the Interpretation: Nani’s Journey

Last week, in a moment where different emotions overlap with one another — between happiness and sorrow; tears and laughters; our crackling voices and sincere prayers; the gloom and the glimmer of light reflected on our eyes — we said goodbye to Nani Zulminarni from PEKKA. We, the foundation board members: Nana Kamala, Mr. Darno, Fauzi Rachman (Oji), Dewi Hutabarat, Lusi, Iyik, and me, decided to accept Nani’s decision to continue with her journey. It wasn’t easy, trust me. Because everyone who knows her will be surprised by her decision. For us, it’s crystal clear: Nani is PEKKA, and PEKKA is the embodiment of Nani.

 

In her farewell speech, Nani highlighted important milestones that happened during her 20 years ‘stay’ with PEKKA. It was Nana Kamala and Scott Guggenhaim – two fatebearers, who asked for the possibility of developing a forum for poor women, who’s also the heads of their respective households. After that, for 20 years Nani embarked on her journey: conceiving, giving birth, nurturing, and raising PEKKA until now. The quantitative results are easily measured by our numbers: right now PEKKA is present in 34 provinces; with more than 69.000 members that are organized; has no less than 60 Savings and Loans Associations (VLAs or Koperasi) with billions of rupiah circulating in the platform; 42 community activity centers; more than 5000 women leaders, cadres, and paralegals; as well as women who were elected into position of power, such as village head or members of local and national parliament. Perhaps the pinnacle of our achievement is the status recognition of ‘Female Family Head’ – not only in statistical terms, but also in political terms.

 

Now after 20 years, Nani has prepared the organization to become an institution that will run well, even without her presence. There were no issues raised in the process of shifting her leadership. She and the core team members of PEKKA had prepared for this change to take place naturally and quietly – as they were all fully prepared for the change. This wasn’t easy, because Nani didn’t prepare her colleagues to become a mere epigone; on the contrary, she pushed her colleagues to develop their own ways. She’s been preparing for this moment in the past few years. She, for example, took on the networking roles in international communities that sometimes required her to leave PEKKA for a moment. The organizational governance was prepared as something that can be run on ‘auto-pilot’ mode. Now the time has come for PEKKA to grow alongside Nani’s three successors: Rom, Vila, and Yanto.

 

Me, in Nani’s eyes, alongside Dina Lumbantobing, Roem Topasimasang, and Jo Hann Tan, are among the few people whom she calls ‘witnesses of her journey’ and ‘those who strengthened her steps’. Nani has a lot of friends all across the globe that she keeps close in her heart, as those are the people that she’ll share her concerns with, and help her to keep standing strong.

 

To me, Nani is an adventure given form; she walked down the path of passion that is full of challenges. She’s like Mark Twain, with glasses that were specifically designed to delve further into the problems faced by women, especially women who are the head of their respective households. Thus, with PEKKA she underlines that the success of women’s leadership should never be measured by how men measure it. For Nani — and for PEKKA, since both refer to the same entity — women’s leadership should be built upon self confidence and courage, that they, their voices, and their interests, ‘matter’. That’s why Nani keeps reminding them that their interest as female family heads is worth fighting for. This might sound like a slogan, and in practice Nani needs to build their confidence by helping those women re-learning the fact that they matter. Nani begins by asking these women to listen to their own voice; thus she taught them what a voice is, how to make noise, how to amplify their voices, how to seize the chance to speak. These are the literal steps, not metaphors. Let’s not talk about how they should be speaking in public, while the truth is they are still startled when listening to their own voices.

 

Due to poverty and unequal structure of gender relation, a lot of women are illiterate. They might be familiar with letters and numbers, but they know nothing about the meaning behind those symbols. So we invited them to connect the words with their meanings, to write down the letters, numbers, to speak the language of the numbers so that they would understand how to write them down on receipts, and teach them how to make their own signature. It’s hard to imagine, but these are the things that we did before preparing them to become part of the community, to become a force to be reckoned with in dialogues and deliberations – from their own villages to the district level, and of course, in their own household.

 

PEKKA is aware that the strength of women lies in their ability to associate with one another. Women are encouraged to understand the importance of gathering and building a network among themselves – that gathering doesn’t always take shape in form of religious or cultural ceremonies, in which their presence are often considered as a mere adornment. To hack into things that often make women feel reluctant in attending gatherings, new rules were created; a meeting or gathering doesn’t have to be held in formal spaces, doesn’t require them to wear fancy clothes, and doesn’t restrict them into submitting to men. These women, like in East Nusa Tenggara, were encouraged to wear their own woven clothes when attending meetings organized by PEKKA. This ‘rule’ was also followed by Nani and other PEKKA staff – that they will be wearing the woven clothes just like what the other participants are wearing. During the meeting, the women might bring their children or grandchildren while eating betel, and speak in their mother tongue. Step-by-step, they were asked to think about the working procedures of an organization: the rules and regulations. By doing this, we managed to build their confidence as they started to voice their own opinion — and think of their voices as something important, something that matters. They were also encouraged to start saving, and create a Savings and Loans Association, or a Koperasi.

 

But Nani’s approach doesn’t only resemble Mark Twain’s – exploring possibilities, opening up a path and finding new routes. She was akin to Musashi, the one who follows the ‘way of the sword,’ a path of resistance against those who are silencing women. She fought back against the culture that has deliberately put women aside. Hence the first thing to do is to emphasize the importance of equality before the law. By involving village officials, the civil registration department, and the religious court, PEKKA initiated the implementation of  the ‘mobile court’. Together with Pekka, she advocates for women’s right to obtain legal identity, which is the basis for equal rights in the eyes of the state: national ID card (KTP), family certificate (KK), marriage certificate, divorce certificate, as well as other documents that can signify women’s legal standing in front of the law. When educational institutions, combined with economic, social, and cultural burdens prevent girls from going to school, PEKKA opened schools for women by creating relevant curricula and an educational institution for women in villages under the name Akademi Paradigta.

 

And in the end, the path that Nani took was the path of a Sufi. She is a seeker of wisdom. Accompanying PEKKA’s women is part of her spiritual journey. Born to a Muslim family in Pontianak, she remembers how she walked through the shrubs for four kilometers with her brother and friends when she was a child. Each night they went to the house of a woman who taught children of her age to read the Koran, with a payment of one bottle of kerosene to light up the lamps. After graduating from elementary school, with the intelligence she possessed, she chose and enrolled herself into a Catholic school — a special Junior High School for nuns candidate, in which most of the students were ethnic Chinese and Catholic. It was under the care of the sisters that she learned discipline and set her ideals as high as possible. She channeled his joy in singing by joining a keroncong music group that performs routinely at RRI (Indonesian Republic Radio) Pontianak. Her fee, that wasn’t really much, was saved and used to buy books and other items, so that she doesn’t need to ask for money from her parents.

 

In Senior High School, she kept moving forward by participating in the selection of exemplary students at the provincial level, and she was selected to represent West Kalimantan in the national stage. This was Nani’s first time parting with her family and seeing the splendor of the Capital City. She and other nominees from various provinces met with the President, ministers, and state officials at that time. Her status as an exemplary student paved the way for Nani to be scouted by IPB (Bogor Institute of Agriculture), and she was admitted there without having to take a test. This achievement became the pride of her parents and sparked Nani’s enthusiasm for learning.

 

Nani’s journey began here. During her stay at IPB, Indonesia was entering an era of political discord, as the movement against the new order regime began to surface. Nani joined the Islamic student movement in protesting the policy of expelling a female student who wore headscarves (hijab) at a Senior High School in Jakarta. She also started to wear hijab to make her look like a senior that she admired: a gentle, smart and pious young woman. Nani was also involved in campus study groups that believe the hijab as the most important religious identity. But later on she realized that it wasn’t something that she was looking for; that faith should be accompanied by critical thinking. She also did not choose to walk down the path of religious politics as her way of fighting.

With the opportunity provided by Ms. Chamsiah Djamal and Mr. Dawam Raharjo, Nani was introduced to the NGO world. By Mr. Dawam, she was given a book that opened her horizon to gender issues: Arief Budiman’s “Sexual Division of Labor”. That book, according to Nani, managed to open her eyes and fuel her curiosity regarding gender issues. Together with Mrs. Cham, she learned about women’s empowerment and organization. Nani’s journey went further, she received a government scholarship and flew to America to take her Master’s degree with her husband and two children.

Nani’s spiritual journey is akin to the dance of Rumi. She suffered when his spouse took his own path and betrayed his marriage promise. Not submitting to the text that justifies polygamy, she took the legal route and claimed custody of her children. There, in her appreciation as a female head of family, Nani looked for meaning in her daily work to lead thousands of women as female heads of families.

Nani’s journey and the three paths that she took wasn’t perfect. She faces the world that continually rejects the presence of women and considers women’s leadership as a threat. She must follow the samurai path: to know when to strategically strike and retreat when battling patriarchy. She taught women how to speak up, to argue, and showed that women deserve to be heard. Not only they are equal to men, but they can also be superior when it comes to providing leadership, since women are able to learn from their lived experiences in caring for their families and communities.

After 20 years of building PEKKA, she has made her decision to take another path. Going beyond the three paths that she had taken, she is now trying to open up a new path, to take different steps towards her devotion to life. In this new path, she sees children and girls calling for her.

At the end of the day, we are left with no option other than seeing her off to another journey. Meanwhile for those who are left behind, she will treasure you in her heart. Nani’s journey is far from completion, yet she left a clear trail, just like what Mark Twain said, “Kindness is the language which the deaf can hear and the blind can see“. Nani’s kindness is the light which guides those who seek meaning in life from women’s experiences. See you, Nani!

 

Artikel asli: https://rumahkitab.com/merebut-tafsir-perjalanan-nani/

rumah kitab

Merebut Tafsir: Perjalanan Nani

Minggu lalu, dalam suasana gembira campur haru, mata basah dan tawa pasrah, suara getar dan tegar,  sedih dan syukur, murung dan pijar, kami melepas Nani Zulminarni dari PEKKA. Kami, para pengurus Yayasan: Nana Kamala, Mas Darno, Fauzi Rachman (Oji), Dewi Hutabarat, Lusi, Iyik, dan saya secara bergantian menerima pilihan Nani untuk melanjutkan perjalanannya. Tak mudah, sungguh.  Sebab siapapun yang kenal Nani dan PEKKA niscaya terkejut dengan keputusan itu. Rumusnya terlalu jelas: Nani adalah PEKKA, PEKKA adalah Nani. 

Dalam pidato pamitannya, Nani memutar ulang tonggak-tonggak penting sepanjang dua puluh tahun bersama PEKKA. Adalah Nana Kamala dan Scott Guggenhaim – dua penguak takdir, yang bertanya kemungkinannya mengembangkan sebuah wadah bagi para perempuan miskin kepala keluarga. Sejak itu selama 20 tahun, Nani memulai perjalanannya: mengandung, melahirkan, mengasuh dan membesarkan PEKKA hingga saat ini. Capaian kuantitatifnya yang gampang diukur dengan ukuran-ukuran standar berbilang sangat banyak. Saat ini PEKKA telah berada di 34 provinsi, dengan lebih dari 69,000 anggota yang terorganisasikan, memiliki tidak kurang dari 60 koperasi dengan perputaran uang milyaran rupiah, 42 pusat kegiatan komunitas, lebih dari 5,000 pemimpin perempuan, kader dan paralegal, beberapa perempuan terpilih secara demokratis menjadi Kepala Desa, anggota parlemen dari tingkat desa sampai pusat. Puncaknya adalah pengakuan negara atas status “Perempuan Kepala Keluarga”. Tak hanya ada dalam definisi statistik, tetapi juga definisi politik.      

Kini setelah 20 tahun, Nani telah menyiapkan organisasi menjadi sebuah lembaga yang tanpa Nani pun akan baik-baik saja. Tak ada kehebohan dalam alih kepemimpinannya. Ia dan staf inti PEKKA mempersiapkan perubahan ini agar berlangsung dengan wajar, dewasa, tenang dan benar-benar siap. Ini tak mudah. Sebab Nani tak menyiapkan para epigon agar meniru saja langkahnya, melainkan  mengembangkan caranya. Semuanya ia siapkan dalam beberapa tahun belakangan.  Ia, misalnya mengambil peran-peran jaringan di dunia internasional yang sesekali menarik Nani meninggalkan PEKKA. Tata kelola organisasi telah dipersiapkan sebagai sebuah kerja lembaga yang auto pilot. Kini, telah tiba bagi PEKKA untuk tumbuh bersama tiga penerus Nani yaitu Rom, Vila dan Yanto.

Saya, di mata Nani, bersama Dina Lumbantobing, Roem Topasimasang dan Jo Hann Tan, adalah di antara sedikit orang yang disebutnya sebagai saksi perjalanan dan penguat langkahnya. Banyak teman hati Nani di dalam dan di luar negeri tempat ia berbagi rasa dan pikiran dan membuatnya tegar. 

Bagi saya, Nani seperti pelaku jalan petualangan; ia telusuri jalan-jalan yang penuh gairah petualangan, penuh tantangan. Ia seperti Mark Twain dengan kacamata yang secara khusus dipakai untuk membaca perempuan, khususnya perempuan kepala keluarga. Karenanya, dengan PEKKA ia melihat bahwa keberhasilan kepemimpinan perempuan bukan diukur dengan cara lelaki mengukurnya. Bagi Nani, atau tepatnya PEKKA, mereka harus memulainya dengan membangun kepercayaan diri dan membangun keberanian bahwa mereka, suara mereka, kepentingan mereka adalah matters (baca: penting). Karenanya Nani terus menerus mengingatkan bahwa kepentingan mereka sebagai perempuan kepala keluarga berhak untuk diperjuangkan. Ini memang seperti slogan. Dalam prakteknya Nani harus membangun kepercayaan diri perempuan dengan terlebih dahulu si perempuan sendiri mengakui betapa penting mereka. Nani memulainya dengan cara agar perempuan mendengar suaranya sendiri terlebih dahulu. Maka diajarinya apa itu suara, bagaimana bersuara, bagaimana menggunakan pengeras suara dan cara mengangkat tangan agar mendapat giliran bersuara. Ini bukan langkah metafora melainkan sesuatu yang benar-benar harafiah. Janganlah dulu berpikir mereka bicara di depan umum, bahkan untuk bersuara di mana telinga mereka mendengar suaranya sendiri sudah terkaget-kaget. 

Akibat kemiskinan dan struktur relasi gender, banyak perempuan buta huruf. Mungkin mereka tahu aksara dan angka tapi tak mengenal maknanya. Maka yang dilakukan PEKKA adalah mengajak mereka menghubungkan kata dan makna, menulis huruf, angka, membunyikan angka dalam aksara agar mereka mengerti bagaimana menuliskannya dalam kwitansi, sampai mengajari membuat tanda tangan. Tak terbayangkan, tapi itulah yang dilakukan sebelum menyiapkan mereka menjadi bagian dari komunitas desa, menjadi bagian dari kekuatan yang diperhitungkan dalam musyawarah –  musyawarah desa hingga kabupaten, dan di dalam rumahnya sendiri.

PEKKA sangat menyadari kekuatan perempuan ada dalam perkumpulannya. Didorongnya mereka memahami apa itu berkumpul dan berkelompok dalam makna yang subtantif. Mereka berkelompok bukan sekedar hadir seperti dalam pertemuan – pertemuan seremonial keagamaan atau adat dan tradisi di mana kehadirannya kerap dianggap pelengkap acara. Untuk meretas hal-hal yang membuat perempuan enggan atau merasa rendah diri mengikuti pertemuan, aturan-aturan baru diciptakan; pertemuan tak harus di ruangan formal, tak harus pakai baju bagus, tak harus lenggang kangkung.  Para perempuan itu, seperti di NTT, dalam pertemuan-pertemuan PEKKA dianjurkan memakai kain tenun buatan mereka sendiri. Cara ini juga ditunjukkan oleh Nani dan staf PEKKA dalam setiap pertemuan dengan mengenakan kain tenun sebagaimana dikenakan oleh Ibu-ibu anggota PEKKA.  Dalam pertemuan itu, para perempuan itu boleh membawa anak atau cucu sambil memakan sirih, dan berbicara dengan bahasa Ibu mereka. Secara pelahan mereka diajak untuk berpikir tentang tata kerja sebuah organisasi; ada aturan main dan ada disiplin. Dengan cara itulah perempuan dilatih untuk bersuara dan suara mereka benar-benar mereka rasakan penting. Mereka pun didorong menabung membuat kelompok simpan pinjam yang bermuara menjadi koperasi.

Tapi langkah Nani tak hanya serupa Mark Twain, mengeksplorasi petualangan, membuka alas dan merambah jalan baru. Ia juga serupa Mushashi, pelaku jalan pedang; jalan perlawanan terhadap hal-hal yang membuat suara dan kehadiran perempuan tak dianggap. Ia melakukan perlawanan terhadap budaya yang membungkam suara perempuan. Karenanya hal pertama yang dilakukan adalah menekankan pentingnya persamaan di depan hukum. Dengan melibatkan perangkat desa, Dukcapil, Peradilan Agama, PEKKA menginisiasi pelaksanaan Sidang Keliling. Bersama PEKKA, ia  mengadvokasikan agar perempuan memiliki identitas hukum yang menjadi dasar persamaan hak di mata negara; KTP, KK, Surat Nikah, Surat Cerai dan identitas-identitas serupa ijasah yang dapat memperkuat identitas perempuan di depan hukum. Ketika lembaga pendidikan dan beban ekonomi, sosial, kultural menghalangi perempuan sekolah, PEKKA membuka sekolah bagi perempuan dengan menciptakan kurikulum-kurikulum yang relevan dan sebuah lembaga pendidikan bagi kaum perempuan di desa-desa dengan nama Akademi Paradigta.

Dan pada akhirnya yang Nani tempuh adalah laksana jalan sufi. Ia sendiri mencari hikmah dalam kehidupannya.  Mendampingi ibu-ibu PEKKA adalah jalan spiritualnya. Lahir dari keluarga Muslim di Pontianak, ia mengenang semasa kecilnya bagaimana ia berjalan kaki melintasi hutan-hutan perdu sejauh empat kilometer bersama kakak dan teman-temannya. Tiap malam mereka pergi ke rumah seorang perempuan yang mengajari anak-anak seusianya untuk mengaji dengan pembayaran sebotol minyak tanah untuk lampu penerang. Setelah lulus SD, dengan kecerdasan yang dia miliki ia memilih dan mendaftar sendiri masuk sekolah Katolik – SMP Suster khusus untuk putri yang sebagian besar muridnya dari etnis Tionghoa dan beragama Katolik. Di bawah asuhan para suster ia belajar disiplin dan menata cita-citanya setinggi mungkin. Kesenangannya dalam menyanyi ia salurkan dengan bergabung dalam kelompok musik keroncong yang mengisi acara rutin di RRI Pontianak. Uang honor menyanyi yang tak seberapa ia kumpulkan untuk membeli buku dan barang yang diinginkan agar tak meminta uang tambahan dari orang tuanya. 

Ketika SMA langkahnya terus melaju dengan mengikuti seleksi siswa teladan tingkat provinsi, dan terpilih mewakili Kalimantan Barat ke tingkat Nasional. Inilah kali pertama bagi Nani berpisah dengan keluarga dan melihat kemegahan Ibu Kota.  Ia bersama para teladan dari berbagai provinsi bertemu dengan Presiden, jajaran menteri dan petinggi negeri saat itu. Statusnya sebagai pelajar teladan membuka jalan bagi Nani terpilih masuk ke IPB sebagai siswa terundang tanpa test. Prestasi ini menjadi kebanggan orang tuanya dan memicu semangat belajar Nani.

Langkah perantauan Nani bermula disini. Masa Nani berkuliah di IPB merupakan masa awal  perubahan politik sebagai embrio perlawanan terhadap rezim Orde Baru. Nani ikut dalam gerakan mahasiswa Islam yang memprotes kebijakan mengeluarkan siswi berjilbab di sebuah SMA di Jakarta. Iapun begitu bangga mulai menggunakan jilbab putih agar tampak seperti perempuan yang dikagumi, seniornya yang begitu lembut, pintar dan salehah. Nani pun terlibat dalam kelompok-kelompok kajian kampus yang meyakini jilbab adalah identitas keagamaan yang paling penting. Namun belakangan ia melihat bukan itu yang ia cari, ia membutuhkan cara beriman yang cerdas, bukan yang melawan akal sehat. Ia pun tak memilih jalan politik agama sebagai jalan juangnya.

Atas peluang yang diberikan Mbak Chamsiah Djamal dan Mas Dawam Raharjo, Nani diperkenalkan pada cara kerja dunia LSM. Oleh Mas Dawam, ia diberi bacaan pertama yang mengenalkannya kepada isu gender melalui buku Arief Budiman, “Pembagian Kerja Secara Seks”. Itulah buku, yang dalam pengakuan Nani telah membuka jalan pikirnya untuk memahami isu gender. Bersama Ibu Cham ia mulai mengenal pengorganisasian bagi kaum perempuan dan pemberdayaan. Perjalanan Nani  melangkah lebih jauh lagi, ia mendapatkan beasiswa pemerintah dan terbang ke Amerika untuk mengambil pendidikan Master bersama suami dan dua orang anaknya yang masih kecil.

Langkah spiritual Nani, Ibarat tarian Rumi. Dihayatinya penderitaan duniawi ketika pasangan hidupnya mengambil jalan sendiri mengkhianati janji perkawinannya. Tak tunduk pada teks yang membenarkan poligami ia tempuh jalur hukum dan mengambil hak asuh atas anak-anaknya. Di sanalah, dalam penghayatan sebagai perempuan kepala keluarga Nani mencari makna dalam laku kerja sehari-hari memimpin ribuan perempuan sebagai perempuan kepala keluarga.

Tiga model perjalanan Nani, bukanlah perjalanan yang maha sempurna. Ia berhadapan dengan dunia yang terus menerus menolak kehadiran perempuan dan menganggap kepemimpinan perempuan adalah ancaman. Ia harus melakukan jalan samurai, kapan langkahnya maju dan kapan mundur untuk mengambil jalan strategi membungkam patriarki. Dididiknya perempuan untuk bersuara, berargumen, menunjukan bukti-bukti bahwa perempuan layak diperhitungkan. Mereka bukan hanya sepandan dengan lelaki tetapi bisa lebih unggul dalam menawarkan kepemimpinan yang berangkat dari pengalaman mereka dalam merawat keluarga dan komunitas.  

Setelah 20 tahun membangun organisai PEKKA, ia telah memilih jalan untuk melanjutkan langkahnya yang lain. Melampaui tiga jalan yang telah ditempuhnya ia kini memikirkan ulang langkah lain untuk memperluas pengabdiannya kepada kehidupan. Ia melihat anak-anak, terutama anak perempuan sebagai jalan itu. 

Pada akhirnya kita bersetuju mengantarkan Nani melanjutnya perjalanannya. Sementara untuk yang telah dia tinggalkan, niscaya tak akan pernah ia lupakan.  Perjalanan Nani belum selesai, namun ia telah meninggalkan jejak yang bagai kata Mark Twain, “Kebaikan adalah hal yang bisa didengar oleh orang tuli, yang bisa dibaca oleh orang buta. Kebaikan Nani adalah cahaya bagi mata batin pencari makna kehidupan dari pengalaman perempuan. Sampai Jumpa Nani !

# Lies Marcoes, 17 Januari 2021.  

Merebut Tafsir: Perempuan dan Bulan Maret

Ada peristiwa sangat penting bagi perempuan di bulan Maret. Tahun 1975 PBB menetapkan 8 Maret sebagai Hari Perempuan Internasional (HPI). Dibutuhkan hampir setengah Abad bagi dunia untuk mengakui secara resmi HPI. Bagi Indonesia bahkan harus menanti lebih lama lagi menunggu para rezim yang menolak gerakan kaum buruh sebagai hak asasi untuk berserikat. Padahal perjuangan untuk mencapai pengakuan atas hak-hak perempuan buruh itu telah berlangsung sejak akhir abad 19. Tahun 1857 (!) untuk pertama kali perempuan buruh pabrik tekstil di New York berbaris untuk melakukan protes atas upah yang rendah dan harga pangan yang mahal. Namun industri geming, mereka menutup telinga dan mata. Dengan asumsi yang bias gender mereka mengira, ini perempuan-perempuan hanya mengomel untuk kemudian diam dan kembali bekerja. Penindasan atas perempuan buruh terus berlangsung, upah rendah, tak dibenarkan berorganisasi.

Tanggal 8 Maret 1907 , digerakkan oleh Partai Buruh Amerika, ribuan perempuan (konon sampai 15.000 perempuan buruh) kembali berdemonstrasi. Tak hanya soal upah, mereka menuntut hak untuk bersuara dan berpendapat. Kali ini tokoh penggeraknya mulai dikenali. Adalah Theresia Malkiel, keluarga imigran dari Ukraina bersama tiga perempuan lainnya mengambil resiko menjadi penggerak pemogokan dan demosntrasi. Melalui kabar yang bergerak lamban, berita ini menyeberang ke Eropa. Baru tanggal 19 Maret mereka bergerak dan mendeklarasikannya sebagai hari peringatan perjuangan buruh perempuan, sebelum kemudian PBB menetapkannya tanggal 8 Maret. Di Eropa, pergerakan buruh juga digalang oleh kalangan partai sosialis. Dua tahun kemudian secara serempak para perempuan buruh menuntut hak-hak mereka sebagai manusia, menyusul peristiwa kebakaran pabrik yang menewaskan ratusan pekerja. Sejak itu para patriakh tak sanggup lagi membendung gelombang perlawanan buruh yang menuntut kepada para pengusaha untuk memperlakukan mereka sebagai pekerja yang memiliki hak-haknya secara penuh, tak setengah, tak sepatuh.

Namun, jika dibaca dari sini dan kini, perjuangan di Amerka dan Eropa telah menang separuh langkah. Pertama, meskipun terimbas oleh perang dunia mereka tak mengalami masa kolonial yang menyebabkan fokus perjuangan buruh terpecah antara memperjuangkan haknya sebagai buruh dan memperjuangkan tanah airnya untuk merdeka. Di tengah situasi itu perempuan di negara jajahan harus berjuang dengan ragam diskriminasi kelas dan gender yang dimanfaatkan kolonial untuk melanggengkan jajahannya.

Kedua, perjuangan perempuan termasuk kaum buruh di Amerika dan Eropa diuntungkan oleh revolusi yang berhasil meruntuhkan kultus atas keperkasaan para patriakh / ajaran gereja dan penaklukan atas kejantanan monarki. Sekularisasi adalah pijakan kokoh bagi perjuangan perempuan dan buruh untuk meletakan dasar-dasar hak berdasarkan kesetaraan di depan hukum.

Mungkin mereka tak membayangkan situasi perempuan di sini dan kini. Di sini kaum perempuan tak hanya harus berjuang untuk hak-haknya sebagai buruh tetapi juga sebagai perempuan yang secara tradisi tak cukup mudah untuk diakui peran dan posisinya. Itu karena (penafsiran tradisional) agama diletakkan sebagai hukum dalam mengatur keluarga. Apakah lagi, karena ada peristiwa Maret yang lain yang berdampak beda kepada perempuan di negara-negara jajahan mayoritas berpenduduk Islam, dengan perempuan buruh di Barat tempat mereka mengibarkan Hari Perempuan Internasional.

Tiga Maret 1924, Khalifah dinasti Utsmani dipimpin Sultan Abdul Hamid II yang saat itu memegang tampuk kesultanan Turki Ustmani runtuh. Sultan Abdul Hamid II secara paksa turun tahta dan sejak itu Kesultanan Turki berubah menjadi republik.

Agaknya, keruntuhan sebuah dinasti (bukan kekalahan umat Islam) di bulan Maret itu menyakitkan dan terus ditanggung dan memunculkan angan-angan untuk mengembalikan kejayaan Islam di bawah satu kekhalifahan semesta. Visi itu – untuk tidak dikatakan mimpi – sampai saat ini paling banter diwujudkan menjadi partai seperti Hijbuth Tharir atau di Indonesia menjadi ormas Hijbuth Tharir Indonesia (HTI). Namun sebelum itu mewujud, mereka mengangan-angan itu melalui tubuh dan eksistensi perempuan, tak terkecuali perempuan pekerja. Perempuanlah, dan bukan lelaki yang berhadapan dengan impian khalifah semesta yang harus diwujudkan melalui khitbah, perilaku pribadi. Di tubuh perempuan impian-impian tentang sebuah tatanan negeri impian diterapkan melalui aturan moral cara berpakaian, cara berprilaku, cara berpacaran, cara berketuruan cara bekerja dan seterusnya.

Bulan Maret bagi sebagian perempuan menjadi penanda untuk mengingatkan perjuangan panjang kaum perempuan dan para perempuan buruh dan melanjutkannya sampai terbebas dari segala bentuk penindasan berbasis prasangka jenis kelamin (gender) dan kelas. Namun bagi perempuan lain, bulan Maret adalah penanda untuk menyerah dan tunduk pada impian tentang surga di dunia yang harus mereka wujudkan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Selamat Hari Perempuan Internasional!

 

Lies Marcoes, 8 Maret 2020