Pos

Kemandirian Perempuan: Akar Pernikahan yang Sehat


Tren Pernikahan dan Perceraian di Indonesia

Bulan ini ramai di media sosial data pernikahan 2024 yang sebenarnya pernah dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Maret tahun ini. Statistik tersebut mengungkap tren pernikahan yang turun 28,63% dalam 10 tahun terakhir. Ambil contoh pada 2024, angka pernikahan di Jakarta berkurang empat ribu, sedangkan Jawa Barat turun 29 ribu.

Berkurangnya angka pernikahan sejalan dengan bertambahnya angka perceraian. Meski baru hingga tahun lalu, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) membeberkan tren tersebut pada Juli 2024.

Angka perceraian 2023 tercatat 463.654, sedikit turun dari 516.334 kasus selama 2022. Data perceraian 2021 menyentuh 447.743, lebih tinggi dari 291.667 kasus pada 2020. Terhambatnya pelayanan publik turut mempengaruhi pencatatan data perceraian pada 2020.

Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda Kemenko PMK, Woro Srihastuti, mengatakan pertengkaran dan ekonomi menjadi dua penyebab utama perceraian pada 2023. Kasus terkait perselisihan dan pertengkaran yang dilaporkan mencapai 251.828, sementara terkait ekonomi 104.488 kasus selama tahun lalu.

Kompleksitas di Balik Motivasi Menikah di Indonesia

Mengapa menikah? Ditinjau dari kacamata Islam, menikah merupakan sunnah yang mendatangkan banyak manfaat. Setiap kali menerima undangan pernikahan, doa yang acapkali disampaikan kepada setiap mempelai yang tengah berbahagia adalah semoga mencapai sakinah, mawadah, warahmah (SAMAWA).

Secara konsep, pernikahan adalah sarana mulia untuk mencapai ketenangan dan kebahagiaan. Tujuan lainnya memenuhi fitrah diri yang ingin berpasangan, memperoleh keturunan, hingga menjalankan sunnah Rasulullah SAW.

Melihat dua data di atas, motivasi pernikahan di Indonesia ternyata tidak sesederhana anjuran dari agama. Aspek budaya, sosial, dan ekonomi ternyata turut mempengaruhi seseorang berumah tangga. Sebagai negara dengan budaya Timur yang kental, pernikahan masih menjadi suatu kewajiban bagi seseorang jika usia menginjak angka tertentu. Jika, katakanlah, seorang pria atau wanita telah berumur 30 tahun namun belum menikah, ia harus siap memperoleh cap aneh atau negatif.

Di lain pihak, menikah lebih karena ekonomi masih jamak terjadi. Masih ada anggapan anak perempuan sebagai beban ekonomi sehingga menikahkannya menjadi jalan keluar instan. Pernikahan seperti ini tetap dilakukan meski sang anak masih belum siap secara mental atau kesehatan.

Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, angka pernikahan anak masih mencapai 6,92 persen selama 2023. Walau turun dari 8,08 pada 2022, statistik tersebut menunjukkan masih banyak yang belum sadar bahaya pernikahan anak di bawah umur. Salah satu dampak buruknya adalah risiko melahirkan bayi stunting.

Undang-Undang untuk Mendukung Kesetaraan

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah menaikkan ambang batas usia menikah. Baik calon pengantin pria dan wanita harus sama-sama berusia minimal 19 tahun menurut aturan baru tersebut. Sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, batas umur minimal pria untuk menikah adalah 19 tahun, sedangkan perempuan minimal 16 tahun.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XV/2017 mempertimbangkan perbedaan batas usia minimal menikah sebelumnya telah menimbulkan diskriminasi dalam hal pelaksanaan hak membentuk keluarga dan perlindungan serta pemenuhan hak anak sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Karenanya, penyamarataan umur minimal menikah yang sama tanpa mengenal perbedaan jenis kelamin akan membuat kesejajaran persepsi mengenai hak dan kewajiban dalam berumah tangga baik pria dan wanita.

Kesetaraan Pemenuhan Ekonomi: Gerbang Terciptanya Pernikahan Ideal

Revisi umur minimal di atas bukan sekadar angka. Pemerintah sejak keluarnya UU tersebut menegaskan masyarakat harus mulai menyadari pentingnya melihat pria dan wanita setara dalam hal hak dan kewajiban berumah tangga.

Di budaya yang kental patriarki seperti di Indonesia, aturan tersebut begitu penting. Hingga sekarang masih dijumpai anggapan dalam rumah tangga pria lah yang lebih berkuasa sebab ia menafkahi keluarga. Perempuan masih diposisikan sekadar pendamping, bahkan kurang berdaya, sebab “hanya” mengerjakan tugas rumah tangga. Tidak mengherankan, ketergantungan yang terlampau besar pada suami membuat istri rentan menjadi korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

Hadirnya gerakan feminisme mengikis salah kaprah yang telah mendarah daging tersebut. Semakin gencar narasi kesetaraan gender membuat publik makin melek bahwa pendidikan tinggi penting bagi laki-laki dan perempuan. Bertambah banyaknya tokoh perempuan di posisi vital menandakan perempuan bisa secerdas dan sekuat kontribusinya dengan laki-laki di masyarakat.

Perempuan yang pintar dan mandiri akan melahirkan akar pernikahan yang sehat. Tidak hanya sehat secara ekonomi, melainkan juga dari segi mental. Perempuan yang mandiri akan lebih baik dalam memberdayakan logika dan emosi dalam mengarungi bahtera rumah tangganya.

Untuk menciptakan perempuan mandiri, seluruh pihak harus terlebih dahulu membuang jauh pemikiran “untuk apa perempuan bersekolah tinggi jika ujungnya harus di rumah.” Entah memilih berkarier atau menjadi ibu rumah tangga, peran perempuan cerdas sangatlah krusial sebagai madrasah pertama anak. Sebab dari sini akan terlahir anak-anak yang sehat dan setara memandang lawan jenisnya sebagai kunci berkesinambungan untuk keluarga Indonesia matang dari segala aspek.

Benarkah Perempuan Pesantren adalah Perempuan yang Mandiri?

Oleh Dr. (HC) Sinta Nuriyah Wahid

K.H. Abdurrahman Wahid memperkenalkan istilah “Islam Pribumi”. Saya melihat gagasan itu semakin relevan bagi Indonesia saat ini. Terdapat banyak kearifan dari Islam pribumi  yang lahir dari kehidupan Umat Islam di masa lampau yang sejalan dan relevan dengan ajaran Islam saat ini.  Gagasan Pribumisasi Islam  tidak lain dari  “Islam Wasathiyah”, atau Islam yang moderat, Islam yang mengakar pada tradisi pendudukan Nusantara yang majemuk, terbuka, saling berinteraksi membangun konfigurasi bangsa Indonesia.

Di antara ciri dari konsep pribumisasi Islam dan menjadi gagasan yang dikembangkan dalam Islam Wasathiyah adalah pengakuan atas peran perempuan di ruang publik. Para ulama telah menimbang sumbangan perempuan yang mereka lihat dalam kehidupan sehari-hari. Mereka menyaksikan bagaimana suami-istri dalam keluaga-keluarga Muslim bergotong royong membangun keluarga.  Para Kiai dan Ulama juga melihat bagaimana keluarga muslim di Nusantara bekerja di ruang dimestik dan di ruang publik secara timbal balik hampir tanpa sekat pemisah.

Dalam amatan saya, ini jelas berbeda dengan tradisi  di tempat-tempat lain. Kalau menyaksikan aktivitas pasar-pasar di Timur Tengah, kita akan melihat   pasar-pasar itu dianggap sebagai ruangnya kaum lelaki.  Sementara di Indonesia kehidupan di pasar, di dunia perdagangan diisi oleh perempuan baik penjual atau pembeli. Di masa lalu, hal yang di negara mayoritas Islam  lain masih dilarang seperti  perempuan sebagai hakim agama,  di Indonesia sudah ada hakim perempuan berkat kebijakan Mentri Agama K. H. Wahid Hasyim sejak tahun 50-an. (Meuleman, 1992). Atas dasar itulah saya dulu memilih kuliah di Fakultas Syariah IAIN Yogyakarta. Saya ingin bekerja sebagai Hakim Agama.

Berkat pemikiran para ulama lokal,  lahir  fiqh khas Indonesia yang menempatkan konsep  suami-istri secara setara, sederajat dan seimbang. Memang upaya itu belum optimal tapi rintisannya telah dilakukan oleh para Ulama Nusantara sejak masa lampau. Hal itu tidak hanya berhenti sebagai wacana tetapi diturunkan ke dalam konsep “Hukum Keluarga Islam” Indonesia.  Misalnya dalam mengatur pembagian harta gono gini, nafkah istri, hak istri untuk bekerja, bahkan hak gugat cerai dari istri, dan seterusnya. Itu semua pada dasarnya berangkat dari konsep yang mengakui peran dan sumbangan perempuan di dalam keluarga -keluarga Islam di Nusantara.

Dalam umumnya kajian tentang keluarga Jawa oleh para peneliti Barat, sering digambarkan istri sebagai konco wingking, teman suami di bagian belakang. Tapi di pengalaman saya, gambaran itu tidak sepenuhnya tepat. Ibu saya, adalah ibu yang bekerja. Mertua saya, Nyai Solehah Wahid adalah aktivis  partai yang sangat disegani. Dalam kata lain, kajian itu bias struktur keluarga priyayi Jawa Abangan.  Analisis semacam itu  harus dikoreksi sebab secara de facto  tak semua perempuan Jawa atau perempuan di lingkungan  Islam tradisional diperlakukan sebagai konco wingking. Meskipun tidak banyak, saat ini ada ibu Nyai  yang berperan sebagai “ kepala Keluarga” pencari nafkah, berjualan batik atau mengelola warung-warung untuk santrinya.

Ketika di Jombang saya aktif mengajar, menjadi dosen  sambil mengurus keluarga. Setelah pindah ke Jakarta, saya  tidak berpangku tangan bahkan ketika Gus Dur menjadi ketua PBNU. Saya bekerja  menjadi wartawan,   bahkan saya tetap  melanjutkan kuliah di Pusat Kajian Wanita dan Gender di UI setelah mengalami musibah.

Saya kemudian mendirikan LSM Puan Amal Hayati yang memberi perhatian kepada isu kekerasan terhadap perempuan. Saya pimpin sendiri kajian kitab kuning karena saya merasa perlu untuk membaca ulang  khazanah intelektual yang ada dalam tradisi pesantren dengan referensi yang diperoleh dari  bangku kuliah dan bacaan-bacaan saya. Kegiatan itu bahkan tidak  berhenti  ketika saya mendapingi Bapak sebagai Kepala  Negara. Saya tetap bekerja menyelesaikan naskah kajian kitab kuning menjadi buku “Kembang Setaman Perkawinan, analisis kritis atas Kitab Uqudul al- Lujain” (Penerbit Kompas, 2005).

Setelah kerusuhan Mei 98,  dan Komnas Perempuan berdiri, saya juga aktif di dalamnya terutama untuk memberi perhatian pada kekerasan terhadap perempuan dengan basis prasangka gender yang dikontruksikan oleh pandangan keagamaan yang sempit.   Tahun 2019  saya menerima gelar doktor  kehormatan dari UIN Yogyakarta atas perhatian yang saya curahkan kepada isu pluralisme, sesuatu yang saya dalami terutama yang terkait dengan peran dan posisi perempuan yang saya wujudkan dalam berbagai kegiatan, antara lain Saur Keliling sebagai praktik kerukunan antar umat beragama.

“Change to Challange” sebagai tema perayaan Hari Perempuan Internasional 8 Maret tahun ini, dalam pengalaman saya adalah sebuah tema penting. Perempuan harus “berani menerima tantangan” dua arah; melawan keterbatasan-keterbatasan dirinya sendiri  dengan terus belajar, membaca, bergaul secara luas,  juga melawan berbagai hambatan dari luar seperti  praktik diskriminasi yang menghalangi hak-hak perempuan, termasuk hak untuk bekerja.

Tantangan itu juga berlaku untuk para ibu Nyai di pesantren. Mereka harus mandiri. Sebab tak sedikit ibu Nyai yang semasa gadisnya menempuh pendidikan tinggi bahkan sampai ke luar negeri, sangat mandiri, namun begitu menikah dengan seorang kyai, mereka menempatkan diri di belakang kyai dan menyerahkan otoritasnya kepada suaminya. Mereka menjadi tergantung kepada suami dan lingkungan yang memanjakannya sehingga tak lagi ada kemauan untuk belajar.

Mereka menikmati peran “konco wingkingnya” meskipun telah kehilangan kesempatannya sebagai seorang perempuan yang telah mendapatkan peluang besar untuk menjadi pemimpin yang punya otoritas keilmuan, bukan hanya sekedar pendamping atau konco wingking kiai. Karenanya Change to Chalenge juga harus terjadi bagi ibu-ibu nyai di lingkungan pesantren.

Kita harus berani melawan tradisi yang tidak ramah kepada perempuan agar  terus maju sebab Islam Nusantara adalah Islam yang sejatinya menerima keragaman aktivitas perempuan di dalam dan di luar rumah di luar dan di dalam pesantren.[]

Seri 5 IWD 2021: PEREMPUAN SANTRI ADALAH PEREMPUAN YANG BEKERJA

Seri 5 IWD 2021 / Rumah KitaB / Muslimah Bekerja

PEREMPUAN SANTRI ADALAH PEREMPUAN YANG BEKERJA

(Ibuku Perempuan Kepala Keluarga)

 

Oleh Jamaluddin Mohammad

 

Saya hidup dan besar di lingkungan pondok pesantren. Ayah saya seorang guru ngaji sekaligus pimpinan pesantren. Sebelum menjadi PNS, ayah saya sepenuhnya menjadi pengasuh para santri. Sebagai guru ngaji yang tak berpenghasilan tetap, ayah saya pernah nyambi mencari nafkah macam-macam usaha; berjualan bakso keliling, berkebun, hingga berternak ayam.

 

Untuk mencukupi perekonomian keluarga, ibu saya membuka warung nasi untuk para santri. Ibu pernah bercerita, setiap jam dua malam ia pergi ke pasar belanja keperluan warung sekaligus dilanjutkan untu memasak, menyiapkan sarapan untuk para santri. Setelah beranjak tua dan memiliki enam orang anak, segala urusan warung diserahkan kepada para santri putri senior yang berhidmat kepada pesantren ayah saya. Mereklah yang kemudian mengelolanya.

 

Ibu saya tipikal perempuan tangguh yang tak mau bergentung pada suami. Untuk menutupi kebutuhan keluarga, ibu saya berdagang, berkebun juga bertani. Seingat saya, selama saya sekolah dan mesantren, saya selalu meminta uang kepada ibu. Jarang sekali meminta kepada ayah. Menurut pengakuan ibu, ia jarang diberi uang oleh ayah. Tapi ibu memaklumi. Hari-hari ayahku  dihabiskan seluruhnya untuk mengajar — dari pagi hingga larut malam nyaris tanpa libur. Ia hanya mengandalkan gaji bulanan PNS guru madrasah yang tak seberapa. Ayah saya dimasukkan PNS oleh paman saya yang ketika itu —- sekitar tahun 70an — pemerintah sedang membutuhkan guru agama.

 

Dalam kehidupan keluarga, ibu saya praktis berperan sebagai kelapa keluarga.  Hampir seluruh tanggung jawab dan kebutuhan keluarga ditangani oleh ibu dan cara ibu. Secara de facto ibulah kepala keluarga di rumah tangga orang tua saya. Semua persoalan keluarga dipikirkan dan kemudian diputuskan oleh ibu setelah dibicarakan dengan ayah. Ayah biasanya hanya mengamini dan menyetujui. Meskipun demikian, ayah saya tak pernah menunjukkan bahwa beliau merasa dilangkahi atau diambil alih wewenangnya sebagai “kepala keluarga”. Mungkin, secara normatif, ayah saya adalah kepala keluarga. Namun, seluruh tugas dan fungsi kepala keluarga, wewenangnya ada pada ibu saya.

 

Mungkin, bagi sebagian orang yang cara pandang keagamaannya masih sederhana, perempuan sebagai kepala keluarga masih dianggap aneh, di luar mainstream, bahkan bertentangan dengan norma dan ajaran agama. Pandangan dan pemahaman bahwa suami sebagai kepala keluarga memang sudah melembaga baik dalam Undang Undang Negara maupun agama. Undang Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan Pasal 31 Ayat 3 menyebut bahwa “Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga”. Begitu pun dalam agama, mayoritas ulama menafsiri QS An-Nisa:34 dengan laki-laki sebagai kepala keluarga.

 

Sebagai kepala keluarga, suami memiliki otoritas dan tanggung jawab penuh terhadap keluarga, termasuk di dalamnya tanggung jawab terhadap kehidupan ekonomi keluarga. Dari sini kemudian lahir pembagian peran dan tugas berdasarkan jender. Suami bekerja di luar (ruang publik) sedangkan istri mengurus rumah tangga (ruang domestik). Pembagian peran dan tugas ini seolah-olah sesuatu yang given alias sudah paten dan tak bisa diganggu gugat. Bahkan ia disebut sebagai prototype keluarga ideal dan idaman.

 

Padahal, realitasnya tak sesederhana itu. Dalam struktur masyarakat yang masih bersahaja, boleh jadi pembagian kerja yang biner tersebut tak bermasalah. Beban dan tugas keluarga masih bisa ditanggung dan dipikul semuanya oleh seorang suami. Namun, dalam struktur masyarakat dan susunan pembagian kerja yang kompleks, membangun keluarga tak cukup hanya mengandalkan suami. Sebuah keluarga butuh kerjasama suami-istri secara timbal balik, saling mengisi dan memenuhi fungsi dan tugas masing-masing yang kadang-kadang harus bersilangan untuk membangun kesalingan. Karena itu, pembagian kerja berdasarkan jender antara domestik dan publik sulit menemukan relevansinya  lagi. Mengingat kedua ruang tersebut saat ini siapapun bisa saling mengisi dan bertukar tempat.

 

Demikian halnya  yang dilakukan ibu saya. Ketika semua waktu suaminya dihabiskan untuk mengajar dan mendidik santri-santrinya, maka ruang kosong lain diisi ibu saya. Ibu berdagang dan bertani untuk menopang kehidupan ekonomi keluarga sekaligus membantu para santri yang bagi ibu saya juga dianggap anak-anaknya. Anehnya, hal ini terjadi di sebuah keluarga santri, keluarga yang sangat ketat menjaga norma-norma dan ajaran agama. Sebuah keluarga kiai yang pasti membaca QS An-Nisa:34 itu. Artinya, dalam kehidupan nyata, tafsir keagamaan begitu lentur dan fleksibel, bisa beradaptasi dengan ruang dan waktu. Hal ini sejalan dengan salah satu kaidah fikih: “al-hukmu yadurru ma’a illatihi wujudan awa adaman” (keberadaan hukum bergantung pada ada/tidaknya illat [alasan yang mendasari hukum]). Jika ilat itu berubah, maka hukum pun ikut berubah dan menyeseuaikan diri.

 

Karena itu, pemahaman dan penafsiran QS An-Nisa: 34 harus dilihat menggunakan kaca mata kesetaraan dan keadilan. Ayat tersebut tidak sedang mensubordinasi perempuan. Jika ayat itu dipahami secara tidak adil dan bias jender, maka akan bertentangan dengan ayat-ayat lain yang mengabarkan dan mengajarkan kesetaraan. Ajaran Tuhan tak mungkin kontradiktif dan saling menegasikan. Sebagaimana disebut dalam QS al-Imran: 195, QS al-Nahl: 97, juga QS An-Nisa 123 yang menyebut bahwa seluruh amal perbuatan manusia, baik laki-laki maupun perempuan, akan mendapat balasan setimpal dari Allah SWT. Ampunan Allah SWT berlaku sama baik untuk laki-laki maupun perempuan (QS Al-Ahzab: 23-24). Allah SWT juga tak membeda-bedakan jenis kelamin kecuali berdasarkan ketakwaan (QS al-Hujurat: 13).

 

 

Stereotype Perempuan

 

Hasil penelitian Rumah KitaB tentang “Perempuan Bekerja di Ruang Publik” menunjukkan ada semacam trend baru di kalangan muslim perkotaan untuk merumahkan perempuan. Mereka ingin menghidupkan lagi nilai-nilai dan ajaran konservatif yang membatasi aktivitas dan pekerjaan perempuan hanya di dalam rumah. Salah satunya berangkat dari pandangan stereotype bahwa perempuan adalah aurat dan sumber fitnah. Karena itu, bukan hanya tubuhnya yang harus ditutup rapat-rapat, ruang hidupnya pun harus dibatasi. Salah satu alasan kenapa perempuan tak dibolehkan keluar atau bekerja di luar rumah adalah karena alasan ini. Hal ini didukung pula oleh penafsiran dari ayat  “Berdiam dirilah di dalam rumah dan jangan menampakkan perhiasan (aurat) di hadapan orang lain (QS al-Ahzab: 33).

 

Jika melihat asbab nuzul (konteks) ayat ini, seseungguhnya bukan perintah untuk mendomestikasi perempuan. Ayat ini menyuruh istri-istri Nabi SAW untuk bersikap dan berprilaku sederhana sekaligus memperbanyak ibadah. Namun, mengapa ayat ini dipukul rata untuk semua perempuan? Hal ini tak lain dan tak bukan karena berangkat dari steretoype bahwa perempuan adalah aurat, sumber fitnah, karena itu fitrahnya di dalam rumah.

 

Jika kita jujur membaca ayat-ayat tentang aurat dan perintah menundukkan pandangan (ghaddul bashar), sesungguhnya tak hanya berlaku bagi perempuan (QS An-Nur: 31), melainkan berlaku juga bagi laki-laki (QS An-Nur: 30). Artinya, kita harus jujur dan proporsional, jika perempuan dianggap sebagai seumber fitnah karena aurat, harusnya laki-laki pun demikian karena sama-sama memiliki aurat. Namun, kenapa hanya perempuan yang disebut suber fitnah? Di sinilah pentingnya bersikap adil sejak dalam pikiran, dengan membaca ayat-ayat Allah dalam kehidupan. Wallahu a’lam bi sawab

 

Sumber foto: https://komunita.id/2016/04/07/pekka-perjuangkan-martabat-perempuan-kepala-keluarga/