Pos

Meninjau Ulang Konsep Kepemimpinan Perempuan dalam Perspektif Al-Qur’an

Terdapat sebagian dari kalangan Muslim yang menganggap kepemimpinan perempuan bertentangan dengan apa yang diajarkan dalam Al-Qur’an. Bagi mereka, arrijalu qawwamuna ‘ala an-nisa—salah satu penggalan dari ayat ke-34 dalam surah an-Nisa—adalah sebuah dogma ajaran Islam tentang konsep kepemimpinan yang harus dipatuhi. Tetapi apakah benar demikian?

Penafsiran bahwa kepemimpinan hanya ada di tangan laki-laki memang dapat ditemukan dalam banyak kitab tafsir klasik. Ayat tersebut sebenarnya berbicara tentang kepemimpinan dalam lingkup kecil, yaitu kehidupan rumah tangga. Namun, ayat ini sering kali dibawa ke ruang lingkup yang lebih luas, seperti dalam kepentingan politik.

Perlu diingat bahwa penafsiran adalah upaya manusia untuk memahami maksud dari sebuah ayat. Sebagai hasil dari dialektika antara teks, konteks, pemikiran, serta pengaruh latar sosio-historis, geopolitik, dan kepentingan tertentu, penafsiran bukanlah sesuatu yang mutlak. Oleh karena itu, proses penafsiran harus terus dilakukan agar Al-Qur’an dapat selalu dibaca secara produktif. Sebuah penafsiran harus selalu direkonstruksi dan tidak boleh antikritik, agar tetap relevan dengan perkembangan zaman. Dengan demikian, Al-Qur’an dapat benar-benar menjadi kitab yang shalihun li kulli zaman wa makan (relevan untuk setiap zaman dan wilayah).

Penafsiran yang menyatakan bahwa hanya laki-laki yang layak menjadi pemimpin perlu digugat. Hal ini sudah tidak relevan dengan realitas kehidupan saat ini, di mana kelayakan seorang pemimpin tidak lagi didasarkan pada dikotomi biologis antara laki-laki dan perempuan, melainkan pada pengetahuan, kompetensi, pengalaman, dan kecakapan seseorang. Dengan demikian, siapa pun yang memiliki keunggulan tersebut, baik laki-laki maupun perempuan, berhak menjadi pemimpin.

Alternatif Penafsiran

Terdapat setidaknya dua model pendekatan alternatif dalam menafsirkan konsep kepemimpinan pada surah an-Nisa ayat 34, yang lebih peka terhadap wacana kesetaraan gender.

1. Pendekatan Sosio-Historis

Model penafsiran ini menekankan pada aspek latar sosio-historis turunnya ayat. Secara redaksional, ayat tersebut memang berbicara soal kepemimpinan laki-laki atas perempuan. Namun, ayat tidak boleh hanya dipahami secara tekstual; aspek kontekstualnya juga harus dipahami.

Realitas budaya saat turunnya Al-Qur’an belum mengenal konsep kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Pada masa itu, budaya patriarki sangat mengakar kuat, menempatkan laki-laki jauh di atas perempuan. Al-Qur’an, yang turun di tengah-tengah realitas tersebut, tidak mungkin mengubah budaya secara drastis dalam waktu singkat. Sebagai strategi dakwah, Islam memperbaiki kehidupan masyarakat secara perlahan agar ajarannya dapat diterima.

Meskipun an-Nisa ayat 34 mengandung nada diskriminatif terhadap konsep kepemimpinan, hal ini bersifat transisional dan kontekstual, bukan dogmatis. Oleh karena itu, ayat tersebut dalam konteks saat ini harus dipahami sebagai refleksi realitas sosio-historis pada masa itu, bukan sebagai dogma Islam yang harus diikuti secara literal.

2. Pendekatan Revolusioner

Pendekatan ini menekankan pada pembaruan makna dengan cara memandang Al-Qur’an seolah-olah baru saja turun di era sekarang. Dengan demikian, penafsiran dapat secara langsung mencari makna baru yang relevan di era modern.

Kondisi masyarakat pada masa turunnya an-Nisa ayat 34 berpijak pada perbedaan biologis, di mana laki-laki memiliki akses dan peran lebih luas dibandingkan perempuan. Namun, realitas masyarakat saat ini telah berubah. Baik laki-laki maupun perempuan kini memiliki akses dan peran yang setara dalam berbagai aspek kehidupan.

Oleh karena itu, penafsiran dapat dilakukan dengan memaknai lafaz ar-rijal sebagai pihak maskulin dan an-nisa sebagai pihak feminin. Kepemimpinan tidak lagi didasarkan pada jenis kelamin, tetapi pada potensi seseorang. Siapa pun yang memiliki potensi tinggi (maskulin), baik laki-laki maupun perempuan, berhak menjadi pemimpin, sedangkan yang memiliki potensi lebih rendah (feminin) menjadi pihak yang dipimpin.

Dengan dua model pendekatan ini, konsep ar-rijalu qawwamuna ‘ala an-nisa dapat membuka jalan bagi siapa saja yang layak dan cakap, baik laki-laki maupun perempuan, untuk menjadi pemimpin. Pendekatan ini juga dapat menutup jalan diskriminasi terhadap perempuan dalam persoalan kepemimpinan atas nama Al-Qur’an.

Sumber:

  • Aksin Wijaya, Menalar Autentisitas Wahyu Tuhan: Kritik atas Nalar Tafsir Gender. Yogyakarta: IRCiSod, 2020.
  • Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: LKiS Group, 2012.

Mendobrak Patriarki: Perspektif Fikih tentang Kepemimpinan Perempuan di Ranah Politik

  • Judul Buku: Fikih Kepemimpinan Politik Perempuan: Sejarah, Hukum, dan Tantangan Masa Depan Partisipasi
  • Penulis: Tim Kajian Rumah KitaB (Jamaluddin Mohammad, Roland Gunawan, Achmat Hilmi, dan Nur Hayati Aida)
  • Penerbit: Yayasan Rumah Kita Bersama Indonesia
  • Tahun Terbit: Cetakan Pertama, Februari 2024
  • Jumlah Halaman: 140 + xxix
  • ISBN: 978-602-17557-8-5

Isu Kepemimpinan Perempuan dalam Islam

Apa yang terbayang di benak kebanyakan umat Muslim saat mendengar kalimat “perempuan menjadi pemimpin”? Sampai hari ini, meski telah banyak contoh perempuan memimpin dengan sangat baik, persoalan boleh tidaknya perempuan menjadi pemimpin masih sering menjadi isu kontroversial. Dalam pandangan masyarakat patriarki, perempuan sering dianggap lebih tepat sebagai pengikut atau makmum, sementara laki-laki diposisikan sebagai imam atau pemimpin.

Buku Fikih Kepemimpinan Politik Perempuan Sebagai Jawaban atas Perdebatan

Buku Fikih Kepemimpinan Politik Perempuan hadir sebagai jawaban atas banyak perdebatan mengenai peran perempuan dalam politik. Tim Kajian Rumah KitaB mencoba menyajikan eksplorasi komprehensif mengenai perjalanan panjang perempuan dalam ranah politik, baik dari sudut pandang Islam maupun sejarahnya.

Selain mengajak pembaca tenggelam dalam sejarah politik Islam dan peran perempuan di dalamnya, buku ini juga membahas tantangan kontemporer, khususnya di Indonesia, terkait keterwakilan perempuan dalam politik modern.

Pembagian Bab dalam Buku

Buku ini dibagi menjadi empat bab utama, yang masing-masing membahas aspek sejarah, teologi, hingga politik kontemporer. Buku ini dapat menjadi sumber penting untuk memahami bagaimana fikih memandang kepemimpinan perempuan, serta bagaimana perspektif mengenai kepemimpinan perempuan berubah seiring berjalannya waktu.

Bab 1: Sejarah Kepemimpinan Politik dalam Islam

Pada bab pertama, Tim Kajian Rumah KitaB mengajak pembaca untuk meninjau ulang sejarah kepemimpinan politik dalam Islam. Bab ini dimulai dengan mengulas masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin, pemerintahan Abbasiyah, hingga Kerajaan Bhopal, sebuah wilayah kecil di anak benua India.

Meskipun kerap terabaikan dalam catatan sejarah populer, buku ini berhasil membuka wawasan baru tentang bagaimana perempuan memiliki peran signifikan dalam sejarah politik Islam.

Bab 2: Fikih dan Kepemimpinan Perempuan

Bab kedua membahas secara mendalam konsep kepemimpinan perempuan dalam ruang keagamaan. Perempuan sering kali dianggap sebagai makmum, sementara laki-laki diposisikan sebagai imam. Konsep ini telah berlaku selama berabad-abad dan dianggap sakral, karena diyakini bersumber dari ajaran agama. Sebagai contoh, ayat yang mengandung makna qawwam serta hadis yang menyebutkan bahwa kepemimpinan akan hancur jika dipegang oleh perempuan dalam konteks Kerajaan Kisra.

Bab kedua ini juga menyajikan berbagai pandangan ulama mengenai peran perempuan di ruang publik, khususnya di ranah politik. Salah satu poin penting dalam bab ini adalah perlunya pembaruan pandangan dalam hukum fikih kontemporer terkait kepemimpinan perempuan. Pembaruan ini memerlukan integrasi antara dalil sejarah, dalil naqli (Al-Qur’an dan hadis), dalil aqli (rasional), serta dalil waqi’iy (realitas), yang dapat difasilitasi oleh maqashid syariah lin nisa. Tujuannya agar produk pemikiran yang dihasilkan relevan dengan kebutuhan zaman, tanpa merevisi hukum klasik yang bertentangan dengan realitas kontemporer.

Bab 3: Keterwakilan Perempuan dalam Politik Indonesia

Setelah membahas konsep kepemimpinan dalam ruang keagamaan, bab ketiga membahas keterwakilan perempuan dalam politik Indonesia. Bab ini mengulas sejarah gerakan politik perempuan di Indonesia, mulai dari perjuangan melawan ketertinggalan pendidikan, penghapusan poligami, kawin paksa, hingga perjuangan untuk mencapai keterwakilan perempuan sebesar 30% di lembaga-lembaga pemerintah.

Organisasi-organisasi perempuan mulai bermunculan membawa agenda emansipasi, di antaranya pembebasan nasional, kesetaraan, hingga perbaikan nasib perempuan melalui pendidikan. Organisasi seperti Putri Mardika, yang berdiri pada tahun 1921 sebagai bagian dari gerakan Budi Utomo, adalah salah satu contohnya. Organisasi lain seperti Jong Java, Aisyiyah, dan Jong Islamieten Bond juga ikut berperan. Pada era 90-an, gerakan feminisme Muslim diperkenalkan oleh tokoh seperti Afsaneh Najmabadi dan Ziba Mir-Hosseini.

Bab ini juga membahas partisipasi dan representasi perempuan dalam politik Indonesia, termasuk regulasi afirmatif. Salah satu penekanan dalam bab ini adalah pentingnya menciptakan atmosfer politik yang memberikan perlindungan bagi perempuan. KPU, Bawaslu, partai politik, pemerintah, DKPP, Komnas Perempuan, dan masyarakat sipil memiliki peran masing-masing. KPU, misalnya, perlu meningkatkan pendidikan politik bagi pemilih dan menyadarkan masyarakat akan pentingnya kepemimpinan perempuan, sehingga Pemilu 2024 dapat menghasilkan keterwakilan perempuan yang lebih baik.

Bab 4: Tantangan Keterwakilan Perempuan di Politik Indonesia

Bab keempat membahas tantangan yang dihadapi perempuan dalam partisipasi politik di Indonesia. Meskipun kuota 30% telah diterapkan selama lebih dari 20 tahun, target ini belum pernah terpenuhi. Keterwakilan perempuan di parlemen perlu mencapai angka “critical mass,” yaitu 30-40%, agar dapat meloloskan kebijakan dan membawa perubahan positif.

Meskipun ada peningkatan keterwakilan dalam legislatif dan jabatan politik, perempuan masih menghadapi tantangan besar. Ruang publik sebagai arena politik masih kerap bersikap sinis terhadap perempuan. Perempuan yang terjun ke dunia politik, baik sebagai legislator, eksekutif, maupun aktivis, sering kali dihadapkan pada tantangan berat, terutama terkait identitas gender mereka yang terus dipertanyakan.

Hal-hal pribadi seperti status perkawinan, agama, dan penampilan sering kali mendapatkan lebih banyak perhatian daripada gagasan atau pekerjaan yang telah mereka lakukan. Tantangan lain muncul dari budaya yang kerap kali berkelindan dengan tafsir agama. Di Indonesia, yang mayoritas penduduknya Muslim, tafsir agama masih memengaruhi pandangan mengenai perempuan sebagai pemimpin. Salah satu hadis yang sering dikutip berbicara mengenai larangan menyerahkan urusan kepada perempuan, dengan konteks yang merujuk pada Ratu Kisra yang memimpin pada usia muda. Bab ini juga menawarkan strategi untuk memenuhi kuota 30% keterwakilan perempuan dalam politik.

Kekuatan dan Kekurangan Buku

Secara keseluruhan, buku ini berhasil menyatukan kajian sejarah, hukum, dan politik dalam satu narasi yang utuh. Salah satu kekuatan utamanya adalah penyajian fakta-fakta sejarah yang jarang diungkap, seperti peran besar perempuan dalam pemerintahan pada masa Islam klasik.

Meski demikian, ada beberapa bagian dalam buku ini yang perlu diperhatikan lebih lanjut. Salah satu bagian yang kurang tepat adalah narasi pada halaman xiii, yang menyebutkan bahwa salah satu hambatan besar bagi perempuan dalam politik adalah suasana pemilu yang sering diwarnai kekerasan. Paragraf ini seolah menggambarkan perempuan sebagai makhluk yang lebih emosional dan sensitif dibandingkan laki-laki, yang justru bisa melemahkan argumen keseluruhan buku dalam memperkuat posisi perempuan sebagai pemimpin yang tangguh.

Selain itu, ada pengulangan mengenai tokoh Ummu Salamah pada halaman 70 yang seharusnya disajikan lebih koheren jika merujuk pada tokoh yang sama.

Terlepas dari beberapa kekurangan tersebut, buku ini sangat direkomendasikan bagi siapa pun yang tertarik dengan isu-isu agama, politik, maupun gender. Buku ini memberikan wawasan mendalam tentang bagaimana perempuan telah, sedang, dan akan terus berperan dalam dunia politik, baik dalam konteks dunia Islam maupun politik Indonesia modern.

Peran Politik Perempuan untuk Merawat Demokrasi


Perempuan sebagai pilar demokrasi memegang tanggung jawab dan peran fundamental dalam mewujudkan Indonesia sebagai bangsa yang kuat dan inklusif. Dalam negara demokrasi, perempuan adalah kompas keadilan dan kesetaraan dalam masyarakat. Dengan terlibat aktif dalam tugas sebagai warga negara untuk merawat demokrasi, perempuan berkontribusi pada penciptaan negara yang sejahtera dan berkeadilan sosial.

Sebagai warga negara, perempuan memiliki hak dan kewajiban untuk terlibat dalam proses politik, termasuk memberikan suara dalam pemilihan umum. Keterlibatan ini bukan hanya soal memilih, tetapi juga mencerminkan tanggung jawab untuk memastikan bahwa suara mereka diwakili dalam pembuatan kebijakan. Dengan berpartisipasi, perempuan membantu menciptakan pemerintahan yang lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat.

Dalam sejarah Islam, “Bai’at an-Nisa” merupakan peristiwa besar yang menunjukkan keberanian dan pengaruh keterlibatan perempuan dalam rumusan ajaran-ajaran formal keagamaan. Dalam “Bai’at an-Nisa,” Allah memerintahkan Nabi untuk membaiat dan memintakan ampunan bagi perempuan yang secara sadar datang untuk berbaiat.

Selayaknya kaum laki-laki, baiat menunjukkan bahwa kaum perempuan berjanji setia kepada Islam dan taat kepada Rasulullah saw. Kewajiban baiat atas kaum perempuan ini menunjukkan bukti kebebasan bagi perempuan untuk menentukan keputusan hidupnya serta hak untuk memiliki pilihan yang berbeda dari pandangan lainnya. Peristiwa ini mencerminkan bahwa Islam memberikan hak perundang-undangan kepada perempuan sebagaimana laki-laki memilikinya.

Hal yang sama ditetapkan dalam UUD 1945. Setiap warga negara memiliki hak konstitusional, salah satunya adalah hak politik. Hak ini meliputi, di antaranya, hak untuk memilih pemimpin dan orang-orang yang dianggap dapat mewakili aspirasi serta kepentingan mereka. Pentingnya hak politik ini tidak hanya terletak pada proses pemilihan, tetapi juga pada dampaknya terhadap legitimasi dan akuntabilitas pemerintahan. Ketika setiap individu, termasuk perempuan, terlibat dalam proses memilih pemimpin, maka mereka berkontribusi pada penciptaan pemerintah yang transparan.

Kehadiran perempuan sebagai pemilih juga membuka peluang bagi mereka untuk mengambil peran sebagai pemimpin. Kepemimpinan perempuan dalam politik dapat mendorong pengambilan keputusan yang lebih akomodatif dan substansial, serta memastikan kepentingan khusus perempuan tidak terlewatkan. Hal ini ditunjukkan oleh Ibu Retno Marsudi sebagai Menteri Luar Negeri yang diberi tugas sebagai “kapten diplomasi” Indonesia. Dalam kepemimpinannya, Ibu Retno tidak hanya memastikan kepentingan Indonesia terwakili di arena internasional, tetapi juga mengedepankan isu-isu perempuan dan hak asasi manusia.

Belakangan ini, pidato Ibu Retno yang menitipkan Palestina kepada Komisi 1 DPR menjadi sorotan publik. Dalam pidato perpisahannya setelah menyelesaikan amanat sebagai Menteri Luar Negeri, Ibu Retno menekankan solidaritas dan meminta agar Indonesia tidak membiarkan Palestina berjuang sendiri melawan penjajahan. Permintaan ini mencerminkan kepedulian sosial dan kecerdasan emosional Ibu Retno atas rakyat Palestina.

Ibu Retno Marsudi menjadi figur pemimpin politik perempuan yang melaksanakan tugas merawat demokrasi dan diplomasi internasional. Beliau telah berhasil menjadi teladan bagi perempuan Indonesia untuk berperan aktif dalam politik, serta menunjukkan bahwa perempuan adalah agen penting dalam memperkuat demokrasi.

Seperti yang tercatat dalam sejarah, Islam sejak awal melibatkan perempuan dalam penyelenggaraan negara. Hal ini terlihat dalam kisah Ummu Salamah yang diberikan ruang oleh Nabi saw untuk memberikan saran terkait Perjanjian Hudaibiyah dan Perang Hunain. Secara menyeluruh, Ummahat al-Mu’minin atau istri-istri Nabi berperan penting dalam perumusan kebijakan negara melalui masukan-masukan dan diskusi dengan Nabi saw.

Sejak awal penciptaan manusia, Allah memberikan tugas kepada mereka untuk menjadi khalifah fil ardh, sebagaimana difirmankan dalam QS. Al-Baqarah: 30. Ayat tersebut menunjukkan kewajiban setiap manusia untuk menjadi pemimpin, yang dimulai dengan memimpin dirinya sendiri. Selain itu, manusia juga diharapkan menjadi pemimpin profesional dalam suatu kelompok, serta memimpin bangsa melalui keterlibatan politik. Melalui partisipasi aktif dalam pengambilan keputusan, perempuan dapat berkontribusi dalam menciptakan keadilan, kesejahteraan, dan kedamaian di masyarakat. Hal ini sejalan dengan perintah Allah untuk melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar bagi setiap hamba-Nya. Menegakkan kebenaran dan menjauhi keburukan adalah kewajiban yang dapat dilakukan melalui kepemimpinan politik perempuan.

Partisipasi politik perempuan adalah elemen krusial dalam merawat demokrasi. Keterlibatan perempuan dalam proses politik tidak hanya memperkaya perspektif, tetapi juga memastikan isu-isu terkait gender dan inklusi mendapatkan perhatian yang layak. Dengan peran politik sebagai pemilih maupun pemimpin, perempuan turut membangun negara demokrasi yang lebih kuat dan resilien.

Refleksi Kegiatan Public Discussion on Regional Head Election 2024 and Launching of Book Women’s Political Leadership Jurisprudence (FKPP)

Pada hari Jumat, 13 September 2024, kampus STAI Duta Bangsa Bekasi menjadi tuan rumah acara Public Discussion on Regional Head Election 2024 and Launching of Book Women’s Political Leadership Jurisprudence (FKPP). Acara ini bertujuan menggali peran perempuan dalam politik serta memperkenalkan buku Fiqih Kepemimpinan Politik Perempuan. Peserta yang hadir meliputi mahasiswa, akademisi, dan masyarakat umum yang memiliki ketertarikan pada isu kepemimpinan politik perempuan.

Sambutan dan Pidato Kunci

Dalam sambutannya, Ibu Marisa, perwakilan Pemerintah Daerah Kota Bekasi, menekankan pentingnya mendorong generasi muda, terutama perempuan, untuk terlibat aktif dalam politik. Ia mengingatkan bahwa sejarah Islam mencatat kontribusi perempuan dalam berbagai sektor, seperti Khadijah dan Aisyah yang memiliki peran signifikan dalam kemajuan umat. Pesan Ibu Marisa jelas: perempuan harus lebih berani dan aktif dalam proses politik serta kepemimpinan. Semangat ini diharapkan memotivasi perempuan di Bekasi dan seluruh Indonesia untuk mengambil peran penting dalam berbagai bidang, termasuk politik.

Peluncuran Buku Fiqih Kepemimpinan Politik Perempuan

Ibu Erni Agustini, Direktur Program Rumah KitaB, membuka sesi peluncuran buku. Ia menjelaskan bahwa buku ini memberikan panduan teologis mendalam dan menjadi referensi penting untuk memahami peran politik perempuan dari perspektif Islam. Buku ini tidak hanya menyoroti sejarah peran perempuan dalam politik, tetapi juga menyediakan dasar-dasar teologis untuk mendukung keterlibatan perempuan dalam kepemimpinan politik.

Paparan Isi Buku oleh Achmat Hilmi

Achmat Hilmi, perwakilan penulis buku, memaparkan isi buku Fiqih Kepemimpinan Politik Perempuan. Ia menjelaskan bahwa buku ini mencatat dukungan Islam terhadap kepemimpinan politik perempuan dengan mengacu pada berbagai aspek sejarah. Salah satu tokoh yang dibahas adalah Khadijah binti Khuwailid, seorang pengusaha sukses di tengah masyarakat patriarkal yang mematahkan batasan peran domestik perempuan pada masanya. Keberhasilan Khadijah dalam bisnis merupakan bentuk perlawanan terhadap norma patriarki, menunjukkan bahwa perempuan mampu memberikan kontribusi signifikan dalam kehidupan publik.

Buku ini juga mengeksplorasi sejarah dinasti politik seperti Umayyah, Abbasiyah, Ayubiyyah, dan Turki Usmani, serta kontribusi perempuan dalam politik di Asia Tenggara dan Indonesia. Hilmi menegaskan bahwa buku ini memberikan wawasan tentang bagaimana perempuan mempengaruhi jalannya sejarah politik, lengkap dengan dalil-dalil keagamaan yang mendukung kepemimpinan perempuan.

Sesi Diskusi dan Tanya Jawab

Diskusi dilanjutkan dengan sesi tanya jawab yang dimoderatori oleh Octavia. Vidya, Ketua Bawaslu Kota Bekasi, menjelaskan bahwa keterwakilan perempuan di Bawaslu Kota Bekasi cukup baik, dengan dua perempuan dari lima anggota. Namun, di Jawa Barat yang terdiri dari 27 kabupaten/kota, hanya 20 perempuan yang menjadi penyelenggara di Bawaslu, dan hanya tiga yang menjabat sebagai ketua. Vidya mengingatkan bahwa UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum memberikan kuota 30% keterwakilan perempuan dalam penyelenggaraan pemilu, tetapi peluang ini belum dimanfaatkan sepenuhnya.

Relevansi Buku dengan Pilkada 2024

Diskusi ini relevan dengan Pilkada di Bekasi karena membahas bagaimana perempuan dapat mengambil peran strategis dalam pengambilan keputusan. Buku Fiqih Kepemimpinan Politik Perempuan membahas prinsip-prinsip yang mendasari partisipasi perempuan dalam politik, dan acara ini memberikan ruang diskusi yang lebih luas terkait peluang dan hak perempuan dalam politik.

Penutup

Acara ini memberikan pemahaman yang mendalam tentang peran perempuan dalam politik dan menginspirasi mereka untuk berkontribusi lebih banyak dalam bidang tersebut. Peluncuran buku ini juga menjadi sumber referensi penting bagi kajian lebih lanjut mengenai kepemimpinan politik perempuan dari sudut pandang Islam. Dengan demikian, acara ini tidak hanya menjadi momen refleksi dan pembelajaran, tetapi juga dorongan bagi perempuan untuk lebih aktif dan terlibat dalam proses politik demi kemajuan bangsa dan umat.