Pos

Merawat Kebun Sayur, Kembalikan Persaudaraan yang Terpisah

Hidup terpisah-pisah dengan saudara lintas agama dan kepercayaan rasanya tidak nyaman, seperti ada bagian dalam hidup yang berkurang, hilang, dan tidak lengkap. Relasi yang dulu begitu erat, merenggang pascakonflik yang mengatasnamakan agama di Poso, Sulawesi Tengah.

Setelah konflik, orang-orang perumahannya terpisah dari kelompok yang berbeda. Ketika hanya bertemu dengan orang dalam kelompok yang sama saja, maka akan berbahaya karena tidak terbiasa dengan keragaman.

Keresahan-keresahan itu membuat Bu Roswin Wuri mempunyai inisiatif untuk merekatkan warga dengan kebun sayur. Bu Roswin Wuri sendiri adalah pendeta dan penyintas konflik Poso beberapa tahun silam. Ia menebarkan cinta kasih kepada masyarakat melalui menyemai bibit bersama para perempuan di kebun sayur.

Pascakonflik, kebun-kebun ditinggalkan oleh masyarakat. Warga pun membutuhkan nutrisi dari sayur untuk makanan sehari-hari. Orang-orang tinggal di pegunungan, dan jika menunggu penjual sampai di atas, sayuran sudah layu dan tinggal sisa-sisa saja. Kebun sayur ini dibangun dengan penuh pengharapan dan doa agar masyarakat bisa berkumpul kembali, bercerita, menanam, tertawa, dan saling menguatkan.

Bu Wuri peka terhadap kebutuhan masyarakat dan sigap dalam mengambil langkah. Bersama para perempuan, ia menghidupkan lahan yang tidur menjadi kebun sayur organik. Tidak hanya perempuan, laki-laki pun berjasa dalam membantu membuka lahan tidur yang kini akan dihidupkan kembali.

Kerja sama laki-laki dan perempuan merupakan hal yang perlu menjadi kebiasaan, bukan waktunya beradu siapa yang paling kuat, apalagi menyalahkan. Hal yang menjadi musuh bersama yaitu segala kekerasan kepada umat manusia.

Siapa sangka, kebun sayur kini malah menjadi ruang untuk berbagi kisah keseharian perempuan, bertukar pendapat, saling memahami perbedaan antaragama dan kepercayaan, serta mempererat pertemanan. Perempuan bertemu dengan saudara-saudara lintas iman yang bisa kembali saling memeluk dan menularkan semangat dan cahaya. Pertemuan-pertemuan di kebun sayur tersebut selalu dinantikan oleh para perempuan.

“Ketika kita menyemai benih sayuran, kami sadar bahwa kami juga sedang menyemai bibit perdamaian,” ucap Bu Wuri. Bu Wuri pun oleh warga sekitar dipanggil ‘Ibu Sayur’. Sayur juga kerap ditukar dengan ikan yang dibawa oleh penjual ikan yang datang ke tempat mereka di pegunungan.

Dari kebun sayur, perempuan-perempuan menghidupkan pasar organik di Tentena. Luar biasa! Selain memenuhi kebutuhan masyarakat dengan harga terjangkau, sayur pun juga dibagikan kepada masyarakat sekitar. Kegiatan di kebun sayur menjadi berkah dan bukti cinta kasih antarsesama manusia dengan memahami segala perbedaan dan merawat keragaman tersebut.

Sebelum menghidupkan kebun sayur, Bu Wuri dan kawan-kawannya mengikuti Sekolah Perempuan yang diadakan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat. Di situ, mereka diajarkan mengenai perdamaian dan pemberdayaan ekonomi.

Perempuan-perempuan di wilayah pascakonflik yang merupakan korban dan penyintas membutuhkan pendampingan, penguatan, pemulihan, dan pemberdayaan ekonomi agar bisa melanjutkan hidupnya, menguatkan anggota keluarga, dan tetangga.

Perempuan di wilayah pascakonflik menjadi salah satu pihak yang rentan, kurang diperhatikan, dan dianggap tidak berdaya. Padahal, perempuan mempunyai potensi yang besar untuk menciptakan serta merangkul perdamaian dan keadilan di wilayah pascakonflik. Perempuan menggunakan perspektif gender dan perdamaian untuk bisa memulihkan keadaan pascakonflik.

Kebun sayur itu sudah merekatkan apa-apa yang pernah renggang pascakonflik. Bu Wuri bisa mengajak para perempuan menjaga berdaya bagi diri sendiri dan sekitarnya. Bu Wuri merupakan pahlawan toleransi bagi warga Tentena.

Ketika perempuan diberikan kepercayaan, pelatihan, pendampingan, dan apresiasi, ia akan menciptakan inovasi-inovasi yang berguna untuk dirinya dan sekitar. Perempuan bisa menjadi pemimpin yang lebih peka terhadap kebutuhan-kebutuhan kelompoknya yang kadang tidak tersentuh atau terpikirkan oleh pemimpin laki-laki. Perempuan yang mampu berdaya dan berkarya, ia bisa mempunyai lebih banyak pilihan untuk hidupnya di masa mendatang, mempertanggungjawabkan pilihannya, dan mendorong perempuan, anak, dan sekitarnya untuk berdaya.

Laki-laki pun perlu bersinergi, mendukung para perempuan untuk terus belajar dan mengembangkan segala kemampuan yang ada dalam dirinya dengan penuh cinta. Selain itu, perlu dukungan penuh dari pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), komunitas, dan keluarga agar sama-sama berdaya. Semoga kita bisa mengambil pelajaran baik dari sini.

Tau Nina Kanca Anak Berdaya: Perempuan dan Anak Berdaya

Oleh: Erni Agustini

Kegiatan Temu Perempuan Pemimpin di Lombok Utara, yang diselenggarakan pada 9-10 November 2024, dapat terlaksana berkat kerja sama antara Rumah KitaB, JASS, dan Klub Baca Perempuan (KBP). Salah satu tujuan utama kegiatan ini adalah untuk menelaah kehidupan perempuan melalui pengalaman-pengalaman masing-masing peserta. Dari pengalaman tersebut, para peserta merumuskan strategi bersama untuk memperkuat kepemimpinan perempuan di akar rumput.

Salah satu sesi penting dalam kegiatan ini adalah sesi mengenali tubuh sendiri. Dalam sesi ini, peserta diajak untuk memahami bagian tubuh mana yang sering menderita sakit, jenis sakit yang dirasakan, serta bentuk-bentuk kekerasan seksual yang dapat dialami oleh perempuan. Penting bagi setiap perempuan untuk mengenali tubuh mereka sendiri, memahami potensi penyakit yang dapat menyerang, dan mencari solusi penanganan yang tepat. Fasilitator memandu peserta untuk berkelompok dan menggambar tubuh perempuan, yang memungkinkan mereka memberi tanda pada potensi penyakit dan kekerasan seksual yang mungkin dialami. Sesi ini sangat relevan mengingat pada tahun 2024, Lombok Utara mencatatkan 127 kasus kekerasan, dengan kekerasan seksual menjadi kasus tertinggi (SIMFONI-PPA).

Secara umum, para peserta berhasil mengenali tubuh dan alat reproduksi perempuan, serta mengidentifikasi potensi penyakit dan kekerasan seksual yang mungkin terjadi. Selain itu, peserta diajak untuk lebih memahami kesehatan reproduksi perempuan, bentuk-bentuk kekerasan seksual, dampaknya, serta sistem dukungan yang dibutuhkan perempuan dan anak. Dengan demikian, peserta memperoleh pemahaman lebih dalam tentang tubuh mereka, ruang aman bagi perempuan, dan pentingnya pemberdayaan perempuan.

Perempuan Berdaya, Bersatu, dan Bergerak Bersama

Klub Baca Perempuan (KBP) berperan sebagai wadah potensial bagi pemimpin perempuan komunitas di Lombok Utara untuk berkontribusi dalam menyelesaikan masalah perempuan dan anak. Sebanyak 11 lembaga yang bergerak dalam isu perlindungan perempuan dan anak turut mendampingi masyarakat di Lombok Utara. Keterlibatan KBP dalam perlindungan perempuan dan anak meliputi partisipasi dalam penyusunan naskah akademik Peraturan Daerah (Perda) Perlindungan Anak. Melalui keterlibatan ini, perempuan di akar rumput dapat mengawal proses pembuatan regulasi hingga implementasinya, agar perempuan dan anak di Lombok Utara memperoleh perhatian khusus.

KBP juga turut mendorong predikat Kabupaten Layak Anak yang berhasil diraih oleh Lombok Utara. Pada tahun 2017, 10 orang remaja yang tergabung dalam Kanca/KBP dilibatkan dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang), di mana mereka menyampaikan aspirasi untuk prioritas pembangunan youth center sebagai rumah bersama para pemuda. Proyek ini diharapkan dapat direplikasi di berbagai tempat di Lombok Utara.

Keterlibatan pemimpin muda komunitas dalam berbagai momentum pengambilan kebijakan di Lombok Utara merupakan upaya penting untuk mempertegas hak warga negara dalam mengawal kebijakan, sekaligus menjadi wujud perempuan yang berdaya di Lombok Utara. Gerakan bersama yang melibatkan pemimpin perempuan di akar rumput diperlukan untuk terus mendorong disahkannya regulasi yang berpihak pada perempuan dan anak. Bahkan setelah disahkan, regulasi tersebut harus terus diawasi dan disuarakan pelaksanaannya.

Salah satu langkah yang dapat dilakukan oleh pemimpin perempuan komunitas, melalui Kanca/KBP, adalah terus melakukan kampanye menggunakan seni dan budaya—seperti tari, musik, dan kampanye di media sosial. Anggota muda yang tergabung dalam Kanca dan KBP telah melakukan hal luar biasa untuk merespons budaya patriarki dan kemiskinan. Langkah selanjutnya adalah terus memperkuat kerjasama dan persaudaraan agar perempuan dan anak di Lombok Utara dapat terus berdaya.

Menyemai Asa di Kaki Rinjani

Oleh: Nurhayati Aida

“Kebudayaan yang benar dilahirkan di alam, sederhana, rendah hati, dan murni”
― Masanobu Fukuoka dalam Revolusi Sebatang Jerami

Di penghujung Juli 2018, Lombok diguncang gempa. Gempa ini membuat sebagian Lombok lumpuh, terutama Lombok Timur yang berbatasan dengan Lombok Utara. Rumah-rumah, fasilitas umum seperti rumah sakit, sekolah, dan tempat ibadah banyak yang runtuh. Setelah gempa pertama, setidaknya ada lima kali gempa susulan. Namun begitu, pada gempa pertama itu Lombok Utara belum terlalu terdampak. Karenanya Nursyida dan suaminya, Mik Badrul, dari Klub Baca Perempuan (KBP) yang tinggal di Tanjung, Lombok Utara, mereka bisa segera bergerak memberi bantuan semampunya. Mereka telah lama membangun komunitas literasi yang beranggotakan perempuan-perempuan yang ingin bersama-sama mendampingi anak-anak mereka untuk tumbuh kembang melalui bacaan dan pengetahuan sebagai jendela dunia.

Gempa juga menyebabkan fasilitas suplai air hancur, pun karena Lombok telah masuk ke musim kemarau.  Maka, KBP pun bolak balik mengangkut bantuan ke beberapa daerah Lombok Utara dan Sembalun di Lombok Timur, termasuk suplai air bersih. Sejumlah mitra KBP di luar Lombok Utara bahkan dari Luar Negeri mengirimkan bantuan melalui KBP untuk memenuhi kebutuhan pangan, selimut, dan bantuan air bersih. Tak dinyana awal Agustus 2018, giliran Lombok Utara yang kembali terguncang dahsyat. Saat itulah Nursyida dan anggota  KBP harus berjuang karena kini menjadi pengungsi meninggalkan rumah yang runtuh.

Dalam kesengsaraan, Nursyida dan Mik Badrul melihat orang bisa kehilangan rasa solidaritasnya  karena dihantam kekhawatiran. Nursyida dan Mik Badrul menceritakan itu dengan permakluman yang penuh. Bagaimana perilaku orang dalam situasi yang sulit bisa berubah dan serakah. Mereka berdua belajar bahwa hanya dengan rasa kasih sayang  kehidupan dapat berlanjut dan layak untuk diperjuangkan.

Seiring berjalannya waktu, perlahan masyarakat Lombok Timur dan Lombok Utara mulai bangkit menata hidup selepas gempa. KBP kembali membangun perpustakaan sebagai pusat kegiatan literasi mereka. Aktvitas pariwisata mulai bergeliat, pasar, dan hotel mulai ramai lagi. Namun, selang dua tahun setelah itu, gelombang Covid menerjang batas-batas negara dan mulai masuk ke seluruh penjuru Indonesia, termasuk Lombok Utara. Setelah berhasil bangkit dari terpaan gempa, kini masyarakat harus bertahan dari sapuan virus, yang tak hanya menelan korban jiwa, tetapi juga mata pencaharian mereka.

Banyak rumah tangga yang tak lagi memiliki penghasilan tetap untuk menghidupi keluarga, termasuk anggota KBP. Gelisah dengan keadaan itu, KBP yang dikomandoi oleh Nursyida dan Mik Badrul mulai menginisiasi pengelolaan tanah kosong yang tak terpakai di sekitar sekretariat KBP dengan bertanam sayur-mayur untuk memenuhi kebutuhan pangan para anggotanya. Inisiatif ini bersambut baik dengan program We Lead—satu konsorsium yang konsen dalam pengembangan kapasitas lembaga yang dipimpin oleh perempuan—dalam program rapid response Covid.  Mereka pun mulai menyemai bibit sayur mayur, mulai dari cabe, tomat, sawi, terung; dan perangkat media tanam seperti polybag dan tempat pembibitan.

Meski hidup bersama alam, umumnya anggota KBP tak memiliki keahlian dalam bercocok tanam.  Oleh karenanya, musim tanam pertama tak berjalan mulus. Berkali-kali bibit yang ditanam gagal tumbuh, dan berkali-kali juga mereka mencoba. Belum lagi persoalan pengairan yang tak gampang. Secara otodidak mereka mengelola tanah, tapi tetap saja menemui kendala. Akhirnya, Nursyida bersama suaminya, meminta bantuan seorang kerabat yang pernah menjadi penyuluh pertanian untuk mengajari mengelola Kebun Pangan. Perlahan mereka mampu mengatasi kendala-kendala dalam pengelolaan Kebun Pangan.

Melihat Kebun Pangan yang terus berkembang, anggota KBP mulai mendiskusikan pengelolaannya bersama Kanca—Kanak Pencinta Baca, satu sayap aktivitas KBP yang beranggotakan anak-anak dan remaja. Mereka kemudian menyusun jadwal piket pengelolaan Kebun, mulai dari menyiram dan menyiangi lahan. Aktivitas ini bagi anggota Kanca merupakan kegembiraan karena berbulan-bulan lamanya sekolah menerapkan sistem daring.

Kendala hama dan pengairan perlahan mulai bisa ditangani pada musim kedua. Kebun Pangan telah menampakkan hasilnya. Saat rimbun sayuran memenuhi lahan, tetangga di sekitar KBP mulai tergerak untuk mengolah tanah mereka. Satu dua dari mereka datang ke KBP untuk bertanya cara mengelola kebun. Pasalnya, tanah di wilayah mereka bercampur dengan pasir yang tak gampang  diolah sebagai lahan pertanian. Tetapi dengan berbagai cara, KBP berhasil menanam sayuran. “Orang jadi tahu ternyata tanah berpasir di wilayah kami bisa ditanami sayur-mayur untuk kebutuhan pangan” tutur Nursyida.

Melalui media sosial terutama Facebook dan Instagram, secara berkala Nursyida mengabarkan perkembangan Kebun Pangan. Ini juga merupakan bentuk kreatif pelaporan secara publik lalu lintas keuangan mereka. Mitra mereka, sepasang suami istri dari Singapura, Mohamad Tahar Bin Jumaat dan Rosmawati Munir— yang sejak gempa pertama membantu dalam pengadaan air dan dilanjutkan dengan program sedekah “Jumat Berkah”, tertarik membeli hasil panen Kebun Pangan dan mendonasikan sayur-sayur itu untuk masyarakat Lombok Utara. Menjelang kemarau Juli sampai Desember 2020 hasil panen melimpah. Sambil mengantar bantuan air ke wilayah kering seperti Kampung Adat Dasan Gelumpang, hasil Kebun Pangan itu kemudian berpindah ke dapur- dapur rumah  warga menjadi olahan makanan yang sehat dan murah yang lahir dari alam mereka sendiri.

Sepetak tanah berpasir warisan dari orang tua Nursyida itu menumbuhkan asa bagi anak-anak yang bersekolah di PAUD Alam Anak Negeri. Gagasan mendirikan PAUD muncul setelah KBP mendirikan perpustakaan. Sekolah ini didesain tak hanya untuk menyiapkan anak-anak menguasai Calistung (baca, tulis, hitung) agar diterima di SD, melainkan sebuah taman bermain yang benar-benar menjadi arena bermain dan berinteraksi.  Sekolah yang dikelola KBP ini tak mematok biaya. Orang tua murid yang umumnya bekerja sebagai TKW, pelayan di hotel, dan nelayan ini boleh membayar semampunya dengan apa saja yang dipunya. Pun kalau tak memiliki apa-apa, anak-anak masih bisa tetap bersekolah. Berkat penjualan hasil tanam musim kedua, senyum 40 anak terkembang karena mendapatkan seragam dan loker baru. Sesuatu yang sebelumnya tidak mereka miliki.

Lokasi Kebun Pangan itu kini telah semakin tertata. Kebun Pangan terletak di tengah-tengah perkebunan kosong. Ia telah tumbuh menjadi bagian dari komunitas Klub Baca Perempuan dan Kanca yang menyatu dalam bendera Rumah Indonesia. Di sana pula Nursyida dan Mik Badrul membangun rumah yang lebih permanen tempat anak-anak remaja belajar, berkreasi, dan bertumbuh, mulai dari menekuni komputer, fotografi, membaca puisi, menari, dan atau sekedar tetirah ketika mereka ngambek kepada orang tuanya.  Area KBP itu berpagar bambu dengan lilitan bunga telang biru yang bermekaran. Pekarangan tampak tenang dan teduh karena rumbai daun oyong dan markisa membentang dari pagar depan sampai atap rumah. Hampir tak ada tempat kosong di halaman atau pekarangan rumah.

Dari arah timur bangunan utama, berdiri bangunan semi terbuka dari bambu yang difungsikan sebagai sekolah PAUD Alam Anak Negeri. Sedangkan di sisi barat, terletak sepetak tanah yang difungsikan sebagai kebun sayur dan pembibitan. Nyaris lahan di KBP dan PAUD penuh dengan sayuran dan pembibitan untuk disebar di musim tanam setelah hujan kembali turun di awal November 2021  ini.

Di saat semua pekerjaan terhenti karena pandemi, alam memberikan pangan yang dibutuhkan. Belajar dari Kebun Pangan yang dikelola selama pandemi, PAUD Alam Anak Negeri mulai memasukkan kurikulum pengelolaan tanah kepada anak didik dan wali muridnya. Setiap anak di PAUD memiliki tanaman yang harus mereka rawat, dan dari sana mereka bisa belajar memelihara hasil yang dipetik dari kebun sendiri.

Di sekolah ini, selain belajar dengan metode montessori, secara langsung mereka belajar tentang keragaman. Toleransi tak mereka ajarkan lewat diktat tebal dan jargon, tetapi mereka praktikkan dalam perilaku. PAUD Alam Anak Negeri atau Kanca tak hanya berisi satu agama atau suku saja. Mereka berbaur, saling belajar, mengasihi, dan bekerja sama. Pun, KBP menanam bunga yang biasa dipakai oleh umat Hindu sebagai sesajen. Mereka dengan penuh suka cita menawarkan bunga dan memberikan bung aitu kepada mereka yang membutuhkan tanpa perlu membayar.  Kini dari tanah sepetak di KBP itu telah tumbuh asa bagi ratusan warga dan anak-anak di kaki Gunung Rinjani. (NA)[]

Reportase Hari-2 Workshop Membangun Narasi Hak Perempuan Bekerja dengan Tema “Pentingnya Peran Milenial dalam Mendukung Hak Perempuan Bekerja”

Yayasan Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB) telah melaksanakan Workshop kolaborasi membangun narasi hak perempuan bekerja “Pentingnya Peran Milenial dalam Mendukung Hak Perempuan Bekerja,” pada hari Rabu dan Kamis, 6-7 Oktober 2021, pukul 09.00-12.30 WIB.

Hari kedua, 7 Oktober 2021. Fadilla membuka dengan review untuk mengajak peserta mengingat kembali materi di hari pertama dan menjembatani ke materi di hari kedua.

Achmat Hilmi, mengawali materi dengan menyampaikan Maqashid Syariah. Hilmi menjelaskan mengenai dharuriyat al khams, yaitu  lima prinsip dasar/hak yang dimiliki oleh manusia dalam Islam. Di antaranya : hak kebebasan beragama, hak berpikir atau memelihara akal, hak hidup, hak memelihara keturunan, dan ha katas harta. Pada sesi ini Hilmi menguatkan pandangan bahwa Islam tidak membedakan hak antara laki-laki dan perempuan dengan landasar lima prinsip dasar tersebut. Ia menyambungkan dengan kisah Siti Khadijah dan Rasulullah sebagai contoh konkrit.

Senni Tamara dari Mamika.id melanjutkan kegiatan dengan berbagi pengalaman bagaimana membangun bisnis dari nol dan praktik baik yang mendorong kesetaraan gender di tempat kerja. Senni membuka sesi ini dengan membagi kisahnya memulai bisnis online untuk mendorong perekonomian keluarga dengan berjualan sepatu dan skincare. Setelah bisnisnya berjalan ia berkeinginan memiliki produk sendiri, lahirlah brand tas lokal bernama Mamika. Senni memiliki 17 pegawai dengan 80% perempuan, ia pun menerapkan sistem dan kebijakan yang berpihak pada perempuan. Saat sesi diskusi dengan peserta, pertanyaan yang muncul terkait seperti apa Senni mengelola atau manajemen dari usaha miliknya.

Pandu Padmanegara dari Commcap, melanjutkan sekaligus menjadi pembicara terakhir pada workshop hari kedua menceritakan kebijakan yang diterapkan di Commcap, 50% pegawai Commcap adalah perempuan dan mereka berkomitmen penuh dalam mendukung kesetaraan gender di tempat kerja. Lalu, Pandu menyampaikan materi mengenai pentingnya media dalam mendukung gerakan perempuan bekerja. Ia menunjukan bagaimana Muslimah Bekerja menyuarakan hak perempuan bekerja melalui platform Instagram dengan memberi ruang bagi perempuan membagi pengalamannya. Selain itu, peserta juga diajak untuk dapat memaksimalkan dan memanfaatkan media dalam mendorong usaha mereka. Di akhir sesi, peserta membagi pengalaman dan cerita mereka bagaimana menjalani dan melalui tantangan yang dihadapi usaha/bisnis mereka. Juga mengulik bersama terkait seberapa efektif melakukan kampanye untuk mendukung perempuan bekerja.

rumah kitab

Merebut Tafsir: Berdamai dengan Hadis

Rabu malam, 1 September 2021, saya hadir dan menjadi salah satu dari  yang pengayu bagya atas terbitnya buku Dr. Faqih Abdul Kodir “Perempuan (bukan) Sumber Fitnah” (Afkaruna.id-2021).

Acara ini luar biasa meriah.  Jumlah peserta  yang “ngezoom” mendekati 1000 orang.  Para pembicaranya tak kalah seru. Ada pengasuh ngaji KGI Dr. Nur Rofiah, pengasuh ngaji Ihya – kyai Ulil Abshar Abdalla, ada anggota DPR- Dr. Nihayatul Wafiroh, dosen UIN Jogja Dr. Inayah Rohmaniyah, ahli pendidikan Evy Ghazali MA, pelaku seni stand up comedy yang membuat peserta ger-geran, Sakdiyah Makruf, dan tentu saja kyai Husein dengan kesaksiannya sejak Faqih baca Juz-Amma hingga saat ini, serta penulisnya sendiri, Faqih.

Buku ini berisi sejumlah kajian hadis untuk-tema-tema yang subyeknya perempuan. Ini merupakan upaya Faqih untuk men“dekonstruksi” cara pandang pembaca hadis dengan sebuah tawaran metodologis yang dinamai “Qira’ah Mubadalah”.  Sederhananya ini adalah sebuah konsep yang menawarkan cara baca kritis dengan menggunakan konsep kesalingan atau hubungan timbal balik. Intinya, memastikan bahwa setiap subyek hadis yang merujuk kepada manusia maka itu berarti berlaku bagi lelaki dan perempuan meskipun secara literal obyeknya perempuan saja atau lelaki saja. Kira-kira, jika perempuan dianggap fitnah, lelaki pun sama saja, sumber fitnah!

Sebagaimana sering dikeluhkan Faqih, dalam amatannya, banyak aktivis feminis muslimah yang “menghindar” atau bahkan “menolak” menggunakan hadis sebagai rujukan dalam melakukan upaya pemberdayaan perempuan meskipun menggunakan argumentasi keagamaan. Umumnya kami langsung merujuk Al Qur’an atau turun ke tataran lebih praktis ke metodologi penafsirannya yang diterapkan dalam sistem hukum seperti dalam hukum keluarga Islam.

Amatan itu ada benarnya. Namun bisakah dibayangkan betapa terbelahnya jiwa kaum perempuan Muslim tatkala berhadapan dengan kontradiksi-kontradiksi terkait hadis-hadis tentang mereka.

Sebagai Muslimah, dan melalui pengalaman tumbuh kembang dalam tradisi yang sebegitu rupa memulikan Nabi, hati siapa yang tak tergetar setiap saat melantunkan kidung shalawat tentang betapa tingginya ahlak Nabi kepada perempuan.  Dalam serpihan-serpihan kisah yang kerap ada di garis tepi (tidak mainstream meskipun kualitas hadisnya bisa sahih), kita membaca bagaimana Sang Cahaya Rembulan itu menimang dan mengasihi anak-anak perempuan, mengiyakan, menunjukkan jalan, memuji di hadapan sahabat yang lelaki, atau menguatkan untuk setiap keputusan kaum perempuan yang bertanya soal hidup dan penghidupan mereka; mencari ilmu, mencari nafkah, berhaji, menerima dan menolak pinangan, berkeluarga dan merawatnya, menolak pemukulan dan pemaksaan kawin. Oooo betapa rindunya  kami padamu ya Rasul…

Namun mayoritas hadis-hadis tentang perempuan yang kami baca seakan Nabi tak menyayangi kami. Sudah patuh pun  masih tetap dihukum kurang iman, kami dianggap penyebab fitnah (kekacauan), tubuh perempuan sepenuhnya aurat (seolah tubuhnya merebarkan bau busuk hingga harus ditutup rapat), kerja kerasnya akan sia-sia jika tak seizin dan atas ridha suami, harus selalu sedia bersetubuh kapanpun dan dimanapun suami mau, menyediakan pecut untuk suami dan berhak untuk memukulnya jika suami merasa tak berkenan, ridha suami adalah ridha Allah. Bahkan telah menjilati nanah suami pun belum tentu diterima amal ibadahnya tanpa ada keridhaan suami. Semua itu dinisbatkan kepada  ujaran atau ajaran dari Nabi.  Wahai Nabi kami… begitukah?

Dalam perumpamaan yang tak sebanding, tapi sekedar untuk imajinasi, ini seperti zaman DOM di Aceh, mereka diminta cinta mati NKRI namun perlakuan tentara dan “Jakarta”  kepada orang Aceh sedemikian buruknya hingga mati pun tanpa arti. Tak beda dengan tuntutan kepada orang Papua untuk setia tanpa syarat kepada NKRI tapi perlakuan kepada mereka tak menunjukkan kecintaan yang sebaliknya  kepada Papua. Betapa terbelahnya jiwa mereka. Hanya ingatan kepada cita-cita luhur negeri ini yang terus menguatkan cinta mereka kepada Indonesia.

Faqih menawarkan sebuah jalan yaitu Mubadalah-relasi timbal balik. Jelas ini sebuah terobosan baru dan penting meskipun tentu tidak gampang. Ini karena  dalam stuktur- struktur relasi gender yang timpang, posisi salah satu pihak sedemikian tak seimbang dan tak sebandingnya. Salah satu pihak dianggap punya kendali atas yang lain, mendapatkan posisi yang diuntung oleh struktur dan kultur. Sementara pihak yang lain memiliki beban permanen yang lebih berat  dan khusus (reproduksi biologis) dan beban kultral (peran gender) yang seolah permanen.  Tanpa ada upaya untuk mengakui peran dan beban itu dan menaikannya agar seimbang  dan setara maka syarat untuk terjadinya relasi yang mubadalah akan tetap sulit.

Namun seperti yang disampaikan Faqih, bukan menjadi kewajiban konsep mubadalah untuk mengatasinya. Ini harus menjadi upaya kolektif agar  terjadi  kesederajat  equality dan equity  sehingga  hak-hak perempuan setara  agar terjadi keadilan yang penuh (istilah Nur Rofiah- hakiki). Mereka   sama-sama  berhak menerima maslahah dari kehadiran agama dan derivasinya dalam bentuk peradaban, kebudayaan, aturan hukum dan seterusnya.  Selamat ya Faqih # Lies Marcoes 3 September 2021.

Seri 9 IWD 2021: Ketika Bekerja Bukan Sekadar Pilihan

Seri 9 IWD 2021 / Rumah KitaB / Muslimah Bekerja

Oleh: Dinda Shabrina

Narasi keagamaan yang mendorong perempuan untuk tinggal di rumah  sebagai  “kodrat”nya sepertinya tak memahami realitas perempuan dengan status yang ragam. Sebagai anak, sebagai istri dengan suami menganggur atau sebagai ibu tunggal akibat perceraian atau bahkan sebagai lajang. Narasi-narasi yang menyatakan surga perempuan adalah rumah dan bidadari rumah adalah perempuan jelas tak bisa berlaku bagi semua perempuan. Itu hanyalah sebuah mimpi bagi sebagian perempuan meskipun mereka meyakini  dan bahkan menginginkannya.

Sebab  bagi sebagian perempuan, hal itu seperti sebuah kemewahan. Tidak semua perempuan memiliki situasi kehidupan yang bisa menggantungkan hidupnya pada orang lain entah itu ayahnya atau suaminya. Tidak semua perempuan bisa dengan hanya melakukan pekerjaan domestik, lalu kebutuhan perutnya terpenuhi.

Narasi-narasi agama yang mendorong perempuan kembali ke rumah luput membaca kenyataan hidup perempuan-perempuan yang kurang beruntung dan terpaksa bekerja di luar rumah demi memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan anak-anaknya. Belum lagi jika perempuan sendiri menghendaki bekerja di luar rumah sebagai aktualisasi diri dan atau menghendaki sebagai ibadah amaliyahnya.

Seorang perempuan remaja yang saya temui di depan Mall Bekasi yang jualan kopi pakai sepeda keliling ketika penelitian kualitatif untuk mengonfirmasi tentang indeks penerimaan perempuan bekerja (Rumah Kitab 2021) menyadarkan saya soal ini. Ikhiari, sebut saja namanya begitu. Ia bercerita apa artinya bekerja bagi dirinya juga orang tuanya.

“Kita terlahir dari keluarga dengan kondisi ekonomi berbeda-beda. Apakah seorang perempuan, anak pedagang kaki lima seperti saya bisa seterusnya menadahkan tangan untuk menerima uang dari orangtua? Apakah ayah saya akan selamanya hidup dan mampu membiayai kebutuhan saya dan Ibu?

Sebagai pencari nafkah ayah saya tak selamanya sehat dan hidup di dunia. Ia masih punya tanggungan Ibu, saya dan adik. Orang yang berdagang seperti ayah saya di halaman Mall ini juga banyak. Kami sama-sama mengadu nasib. Dagangan ayah kadang juga tidak laku. Ibu saya yang dulu membantu ayah mencari tambahan dengan menjadi tukang cuci untuk kakak-kakak yang kerja di pabrik.  Sekarang tidak bisa lagi. Selain pada punya mesin cuci atau nyuci kiloan, kondisi fisiknya juga lemah. Saya, sebagai anak pertama yang mampu secara fisik tentu tidak bisa tinggal diam. Saya tidak mungkin membiarkan ayah saya mencari sendiri untuk menutupi kebutuhan keluarga. Sementara kebutuhan hidup harus terus dipenuhi, bayar token listrik, biaya sekolah adik, biaya pengobatan ibu, dan lainnya. Kalau ngikutin ceramah-ceramah yang bilang surga istri itu di rumah ya siapa juga yang nggak mau? Tapi Ibu saya bagaimana?

Bagaimana dengan  nasib perempuan janda, baik ditinggal mati suaminya atau cerai hidup, apakah mungkin bisa terus bergantung pada harta kekayaan suaminya? Itu pun kalau suaminya meninggalkan harta warisan. Kalau tidak?

Seperti kisah hidup Meli, seorang perempuan janda yang saya temui saat melakukan penelitian pertengahan tahun 2020 lalu. Sedari kecil Meli menerima narasi bahwa perempuan “salihah” sebaiknya ada di rumah. Karena memang “kodrat” perempuan yang ia pahami dalam Islam ada di dalam rumah. Mengerjakan pekerjaan domestik, memasak, menyuci, mengurus anak, dll. Ia menerima narasi semacam itu dari lingkungan keluarga, tetangga dan ceramah-ceramah yang pernah ia dengar. Saat remaja pun ia mengimpikan untuk menjadi perempuan sebagaimana yang dinarasikan tadi. Tetapi ternyata beranjak dewasa, kenyataan tak pernah memberinya kesempatan untuk dapat menjadi perempuan “salihah”.

Tamat sekolah, Meli harus menerima kenyataan untuk membantu ayahnya mencari nafkah. Karena adik-adiknya yang harus meneruskan sekolah dan kuliah butuh biaya yang banyak. Ia berpikir mungkin selama menjadi gadis, ia belum bisa menjalani kehidupan sebagai perempuan yang “salihah” dan sesuai “kodrat”nya. Baginya bekerja saat itu semata-mata sebagai bentuk baktinya dengan orangtua. Ia pernah bercerita pada saya bahwa kelak, setelah berumah tangga, ia akan menjadi perempuan salihah yang berdiam di dalam rumah dan mengabdikan diri untuk suaminya.

Namun kenyataan berkehendak lain. Cita-citanya untuk menjadi perempuan salihah setelah menikah pun tidak kesampaian. Ia menikah dengan seorang lelaki bermasalah dan tak setia. Selama menikah yang menjadi pencari nafkah utama adalah Meli. Selama setahun pernikahan, yang Meli tahu, ia dan suaminya hidup berkecukupan. Mereka sama-sama masih bekerja.

Merasa kondisi ekonominya selalu stabil, Meli sempat berencana untuk resigned dari kantornya agar cita-citanya menjadi perempuan salihah itu dapat terwujud. Apalagi saat itu Meli sudah memiliki anak, ia merasa bahwa perannya sebagai seorang ibu, madrasah pertama bagi anak-anaknya dibutuhkan. Tetapi belum sempat Meli mewujudkan niatnya untuk berhenti dari pekerjaan, Meli mengetahui bahwa suaminya berselingkuh dan selama ini tidak memiliki pekerjaan yang jelas. Selama ini justru suaminya malah menimbun hutang dimana-mana demi menutupi kebutuhan hidup agar terlihat memiliki pekerjaan tetap. Kenyataan pahit itu harus diterima dan dijalani Meli.

Sebagai seorang perempuan janda dengan dua orang anak, Meli harus menata kembali hidupnya. Ia harus bisa menyulap dirinya untuk menjalani berbagai peran. Menjadi seorang ibu sekaligus bapak, menjadi pekerja, pengurus rumah tangga. Tentu saja itu semua tidak mudah. Lalu apakah Meli lantas menjadi perempuan yang tidak salihah? Dengan rentetan kenyataan hidup yang harus ia jalani, apakah Meli tak pantas masuk surga hanya karena ia masih bekerja di luar rumah demi menghidupi dirinya dan keluarganya?

Akibat dari narasi keagamaan yang Meli terima bahwa perempuan salihah adalah perempuan yang ada di rumah, Meli menjadi khawatir apakah yang ia jalani saat ini diridhoi oleh Allah? Padahal melihat kondisi di rumah tangganya, suami tidak selalu memberi nafkah, tidak punya pekerjaan yang jelas, dan parahnya malah berselingkuh. Apakah Meli lantas diam saja? Sementara kedua anaknya yang butuh makan dan susu.

Perlahan Meli menerima itu semua dan mengubah pandangannya bahwa apa yang dilakukannya kini, perempuan janda yang bekerja di luar rumah, bukanlah sesuatu yang buruk. Sejak Meli bertekad untuk berdiri kembali setelah bercerai, Meli tak sedikitpun meratapi dirinya sebagai janda. Ia justru selalu mendorong dirinya untuk tidak pernah menyerah berjuang melanjutkan hidup. Ia menganggap apa yang dilakukannya saat ini sebagai ladang pahala. Meli tidak lagi merisaukan apakah ada surga untuk dirinya yang bekerja di luar rumah. Ia fokus menciptakan surga seperti yang ia pahami bersama anak-anaknya dirumahnya [].

Seri 7 IWD 2021: Siapa Bilang Bekerja Bukan Untuk Perempuan, Apalagi Perempuan Menikah

Seri 7 IWD 2021 / Rumah KitaB / Muslimah Bekerja

 “Siapa bilang Bekerja bukan untuk Perempuan, apalagi Perempuan Menikah?”

 Oleh Faurul Fitri

Sebelum pandemi COVID-19 ‘menyapa’ Indonesia, saya beserta dua peneliti Rumah KitaB tinggal dan berbaur dengan masyarakat di Bekasi untuk melakukan penelitian etnografi. Tinggal di wilayah industri ternyata cukup menantang. Macet, panas, lingkungannya padat serta bising. Situasi ini terasa semakin sesak ketika bertemu dengan seorang perempuan pekerja di salah satu pabrik di Kabupaten Bekasi. Seorang perempuan yang telah mengabdikan diri di pabrik makanan instan selama lebih dari 8 tahun. Untuk Penelitian ini saya menyebutnya Ratna. Melalui perbincangan dengan Ratna saya punya catatan yang saya rasa relevan untuk diceritakan dalam kerangka hari Perempuan Internasional tahun ini.

Dahulu, diawal masa kerja, Ratna punya teman yang sangat banyak. Mereka datang dari suku, etnis, bahasa dan latar belakang kebiasaan atau budaya yang bermacam-macam. Banyak hal yang dapat dipelajari dari pertemanan yang banyak itu. Kita jadi mengenal kebiasaan, makanan, ungkapan-ungkapan termasuk adat istiadat. Namun seketika hubungan pertemanan itu menjadi tersekat-sekat ketika muncul pandangan-pandangan yang mengatur banyak hal terkait apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh perempuan berdasarkan agama. Begitu rumitnya, akhirnya Ratna memilih hanya berkawan dengan beberapa teman non-muslim saja.

Sebagaimana banyak pekerja yang datang dari daerah, awalnya, Ratna belum banyak teman. Tapi ia berusaha membaur dan berteman dengan siapapun. Sifatnya sebagai perempuan Jawa membuatnya enggan atau “pekewuh” – nggak enak hati-  untuk menolak berteman dengan siapa saja. Lagi pula ia merasa banyak manfaatnya dengan berteman. Antara lain berteman dengan mereka yang mengajak ikut kegiatan pengajian.

Bersama dengan teman-temannya Ratna mulai mengikuti kajian rutin mingguan yang diselenggarakan oleh pengurus masjid pabrik. Hari Jumat adalah kajian paling ramai karena sering menghadirkan ustad dari luar pabrik dan dari berbagai kalangan. Seiring berjalannya waktu Ratna semakin sering mengikuti kajian, meski sebenarnya banyak hal-hal yang tidak sejalan dengan pemahamannya sebagai seseorang yang tumbuh di lingkungan NU kultural, namun Ia sulit menolak karena ‘pekewuh’.

Di saat tertentu setelah mengikuti pengajian Ratna merasa ada hal-hal yang mengganjal pikirannya. Ia sering mendapatkan ‘siraman rohani’ yang menjelaskan kewajiban-kewajiban perempuan. Antara lain kewajiban untuk mengurus rumah tangga dan larangan bagi perempuan bekerja karena akan banyak menimbulkan fitnah. Ajaran ini sering membingungkan Ratna. Ia juga mendengar teman-temannya yang akhirnya memutuskan untuk keluar dari pekerjaan ketika sudah menikah atau akan menikah, mereka hanya ingin taat dan melayani suami di rumah.

Pergolakan pikiran pun terjadi pada Ratna. Ia ingin mengikuti ajaran dengan dalil-dalil yang menjelaskan mengapa perempuan sebaiknya hanya tinggal di rumah. Namun hati nuraninya mengatakan ia tidak ingin berhenti bekerja. Baginya, Ia bekerja atas dasar kemauannya dan hak atas pilihan hidupnya. Suaminya pun tak memaksanya untuk berhenti bekerja dan tak juga memaksanya untuk bekerja. Bekerja atau tidak bekerja adalah hak sang istri. Sebuah keputusan yang menurut saya sangat demokratis dan adil, dan buat saya ini menggembirakan mengingat pasangan itu bukan datang dari kalangan berpendidikan namun mereka mampu menerapkan rumah tangga yang setara.

Tidak hanya berhenti disitu, Ratna kerap diingatkan teman-temannya untuk berpakaian syari, berkerudung lebar dan menutup dada. Maklum, Ia hanya berkerudung sederhana dengan diikat ke belakang. Namun menurutnya untuk bekerja di pabrik yang membutuhkan pakaian yang simple dan aman itu lebih penting daripada pakaian yang memenuhi syar’i tapi membahayakan. Hal yang membuat Ratna kurang senang mereka mengingatkan dengan cara yang cenderung memaksa. Ratna merasa pilihan-pilihannya dalam cara berpenampilan telah dinilai dengan cara yang negatif padahal ia tetap menggunakan jilbab. Cara itu membuatnya seperti terpojok tak diberi hak untuk memilih atas tubuhnya.

Di tahun-tahun awal bekerja Ratna masih menenggang rasa atas ajakan-ajakan teman-temannya. Itu lantaran merekalah orang-orang yang ia kenal saat menjadi pekerja baru. Titik balik yang membuatnya melepaskan diri dari lingkaran tersebut adalah ketika mereka kerap kali mengajaknya untuk “berjihad” saat kasus penistaan agama bergulir dalam konteks Pilkada DKI. Mereka pun berbondong-bondong ikut dan mengajaknya untuk melakukan aksi membela Islam sampai berkali-kali.

Ratna merasa ajakan mereka sudah tidak masuk akal. Bekerja bagi Ratna adalah berjihad juga. Baginya tak perlu turut berdemo untuk berjihad, dengan bekerja pun seorang pekerja telah berjihad. Demikian juga dengan melakukan kebaikan kepada sesama itu juga berjihad. Definisi berjihad baginya tidak sebatas berdemo dan berperang saja, lebih dari itu.

Perlawanannya dengan cara menolak berdemo berkali-kali, menolak paksaan berkerudung besar, serta menolak berhenti bekerja karena telah berkeluarga, membuatnya dijauhi teman-temannya. Bukan bersedih, namun Ia malah senang, Ratna merasa terbebas dari ajakan dan tekanan kelompoknya. Ia merasa hidupnya untuk dirinya sendiri bahkan suaminyapun tak pernah memaksa. Ratna merasa ia berhak secara penuh atas tubuh dan pilihannya.

Pada akhirnya Ratna berani berkata ‘tidak’ kepada elompok-kelompoknya dengan tetap masih bekerja di pabrik yang sama, Ia dapat menyelamatkan diri dari toxic relationship, baik pertemanan maupun hubungan-hubungan lainnya. Bagi ratna, dan saya setuju pada pilihannya, setiap orang berhak atas tubuh dan ketubuhannya, serta berhak memilih atas pilihan-pilihan hidupnya. FF []

Merebut Tafsir: Dua Buku Menjemput Mimpi

Merebut Tafsir: Dua Buku Menjemput Mimpi

Akhir Februari 2021, ada dua buku yang terbit yang ditulis dua perempan berdasarkan pengalamannya menulis catatan perjalanan. Pertama buku Mbak Ienas Tsuroiya atau dalam konteks Ngaji Ihya dikenal sebagai “Mbak Admin”, kedua buku saya “Merebut Tafsir” sebuah catatan terserak di laman Facebook.

Buku Mbak Ienas “ Catatan Mbak Admin: Berkeliling Nusantara Bersama Imam Ghozali” telah diluncurkan dengan seru dan menyenangkan akhir minggu lalu. Sementara buku saya baru diiklankan kemarin petang (1 Mei 2021).

Dalam acara peluncuran buku Mbak Ienas, saya termasuk yang didapuk ikut menyambut kegembiraan ini. Kebetulan saya juga diperkenankan memberi Epiolog sehingga sambutan saya pada dasarnya hanyalah meringkas Epilog itu. Demikinlah semua peserta hadir secara virtual dengan sumringah. Terlebih setelah ada hadiah bagi penanya terpilih dan semua mendapatkan hadiah istimewa berupa ijazah doa sholawat dari Gus Mus. Semua kebagian semua mengaminkan.

Saya tidak ingat apakah sejak awal Mbak Ienas berniat hendak menerbitkan catatan perjalannya keliling Nusantara mendampingi kyai Ulil ini. Tapi bagi kami, saya, Nurul Agustina dan Nur Rofiah yang ikut memberikan testimoni, catatan Mbak Admin ini sungguh penting sebagai catatan lapangan/ catatan etnografi di seputar kegiatan Ngaji Ihya. Tanpa catatan ini orang akan banyak lupa detail kejadian di balik layar dan di depan layar bagaimana Ngaji Ihya ini terselenggara.

Kita sering mendengar kisah orang yang begitu ajaibnya bisa “menjemput mimpi”, sesuatu yang sepertinya mustahil digapai. Siapa nyana, dari obrolan ringan Mas Ulil dengan Mbak Ineas yang menyatakan kangen ngaji model di pondok “ utawi iki iku”, kini bisa menjadi acara Ngaji Ihya yang mendunia. Bukankah itu seperti impian masa kecil yang dijemput kembali di kemudian hari?

Ngaji Ihya telah berlangsung selama tiga tahun, dan santrinya bertambah banyak. Padahal banyak kegiatan yang berulang serupa itu biasanya hanya ramai di awal kemudian sepi. Namun tidak demikian dengan Ngaji Ihya. Terlebih acara yang disiarkan melalui medsos dan live streaming ini kemudian diwujudkan menjadi acara temu kangen “Kopdar” jamaah dengan Mas Ulil dan Mbak Ienas. Bahkan untuk jamaah di Korea yang dihadiri ribuan warga NU khususnya Nahdliyin mereka mendapat bonus Ngaji Ihya bersama Gus Mus dan duet Mas Ulil dan Mbak Ienas. Komplit !

Siapa nyana juga “Ngaji Ihya” via sosmed ini laksana kegiatan yang “weruh sadurunge winarah” mengetahui sebelum kejadian. Nyatanya Ngaji Ihya yang semula ditujukan untuk menjangkau jamaah sebanyak mungkin dengan ongkos seirit-iritnya telah menjadi pionir dari beragam pertemuan virtual terutama melalui zoom setelah kita dipaksa berpisah jarak secara sosial gara-gara Covid- 19.

Beriringan dengan terbitnya buku “Catatan Mbak Admin”, buku saya “Merebut Tafsir” juga terbit. Ini adalah buku kumpulan catatan saya di Facebook yang kemudian dikumpulkan seorang aktivis perempuan asal Aceh, seorang sahabat terpaut umur lumayan jauh dengan saya, Mirisa Hafsaria. Mirisa meminta izin untuk menyuntingnya. Dia mengumpulkan dengan sangat teliti dan menggabungkannya dengan beberapa tulisan tersiar lainnya seperti yang dimuat di Kompas atau di publikasi lainnya.

Kalau tak diingatkan buku ini, saya hampir lupa kapan persisnya saya memulai dan bagaimana kolom itu saya beri nama “Merebut Tafsir”. Tapi saya banyak ingat bagaimana tulisan-tulisan itu lahir sebagai sesuatu yang spontan. Dalam bahasa yang mungkin agak jumawa, tulisan-tulisan dalam Merebut Tafsir itu kadang meluncur seperti ilham yang tak dapat dibendung. Tak jarang saya menulisnya sampai terisak-isak. Kadang, saya terbangun tengah malam karena tak dapat menunda bahkan untuk menanti pagi tulisan itu meluncur. Dan saya bisa rasakan tulisan mana yang punya kekentalan rasa batin dan mana yang encer saja.

“Merebut Tafsir” sebetulnya bukan buku pertama saya yang dipublikasikan baik sebagai karya sendiri atau karya bersama dengan penulis lain. Tulisan ilmiah pertama saya malah terbit di Leiden 1992 sebagai salah satu kontributor untuk buku “Women and Medation”. Tulisan saya merupakan hasil penelitian tentang peran muballighat sebagai mediator dalam komunitasnya. Tentu hati saya melonjak girang ketika artikel pajang itu terbit dan menjadi bagian dari buku setelah diedit seorang antropolog Sita van Bemmelen. Terlebih ketika Nelly van Dorn mengatakan bahwa artikel itu semacam referensi dasar pagi mereka yang hendak mengkaji tentang gerakan perempuan Islam di Indonesia. Namun menulis Merebut Tafsir dan menerbitkannya bagi saya seperti menjemput mimpi yang lain.

Waktu SMA saya sering berkhayal membuat novel, minimal cerbung. Kala itu majalah Gadis sedang jaya-jayanya. Tapi saya lebih tertarik menulis realitas kehidupan. Jadi, kalaupun membuat novel saya ingin menulis tentang dinamika kehidupan di era tertentu. Impian itu terbawa terus sampai kuliah. Kala itu ingin sekali menulis tentang perlawanan rakyat kepada rezim Orde Baru. Saya sangat terkesan pada novel Bread and Wine, sebuah cerita perlawanan para santri Romo Benedictus dari sebuah ordo Katolik di Italia pada zaman diktator Mussolini. Karya Ignazio Silone itu saya koleksi dalam bahasa Indonesia Inggris dan Belanda, saking sukanya saya pada novel itu !

Saya adalah peneliti. Saya sangat menikmati perjalanan di lapangan. Hal yang paling menantang namun saya nikmati menjadi kebiasaan sebagai peneliti adalah mencatat hasil penelitian; sebuah disiplin yang ditanamkan guru-guru saya,Martin van Bruinessen dan Mies Grijns. Inilah ritusnya: turun ke lapangan, ngobrol, amati, langsung catat ditempat dan menyalin ulang di komputer. Cerita -cerita dari lapangan sering saya bayangkan bisa menjadi novel. ( Nurhady Sirimorok, dari Makassar telah melakukannya dalam novel “Yang Tersisa dari yang Tersisa”). Tapi saya tak punya keterampilan membuat plot cerita. Seburuk apapun tulisan saya, saya hanyalah pelukis cerita dengan detil realitas yang saya baca melalui udut pandang sebagai feminis. Saya juga selalu punya misi dalam tiap tulisan itu,sebagaimana Ismed, suami saya dalam menafsirkan cerita roman karya Abdoel Moeis ketika menulis “Salah Asuhan”. Menurutnya itu adalah kritik atas feodalisme dan politik rasis pemerintah Kolonial.

Tapi saya tak sanggup mengubah catatan lapangan saya menjadi sebuah novel. Hal yang bisa dilakukan adalah merangkainya menjadi cerita dari lapangan seperti dalam buku “Menolak Tumbang” (INSIST 2014) sebuah narasi panjang dalam siklus hidup perempuan dalam melawan pemiskinan. Jadi, Merebut Tafsir bagi saya adalah cara saya menjemput mimpi atas cita-cita saya menulis novel yang tak kunjung kesampaian.

Saya belum sempat bertanya ke Mbak Ienas apakah “Catatan Ngaji Ihya” juga merupakan semacam cara Mbak Ienas menjemput mimpi. Namun saya benar-benar mengaminkannya ketika Gus Mus mengangkat doa agar ini bukalah karya pertama “Ienas, anak saya ini” (demikian Gus Mus menegaskan dengan sangat bangga) Dan saya percaya, Mbak Ienas juga sedang merangkai mimpinya yang lain; buku ke dua, ketiga, dan seterusnya. “Jadikanlah menulis sebagai maisyah – mata pencaharian-”demikian Gus Mus dengan menukil nasihat Mbah Bisri Mustafa, Ayahanda Gus Mus/ Mbah Kakung Mbak Ienas. Gus Mus kembali menegaskan “Pekerjaan paling mulia adalah menulis”. Saya tertegun, “Apa bukan mimpi mencari makan dari menulis”? pikir saya. Tapi saya jadi ingat ucapan Mas Ismed suatu hari, “ Kamu menulis maka kamu ada”. Jadi pastilah menulis dapat menjadi maisyah juga untuk makanan jiwa agar kita tetap hidup, bahkan di saat kita telah tiada. # Lies Marcoes, 2 Maret 2021.