Pos

Persetubuhan Pra Nikah, Pelecehan atau Kesalahan?

Sekarang ini, banyak ditemui kasus depresi pada remaja perempuan. Beberapa sudah ditangani oleh profesional seperti psikolog dan lembaga sosial, sebagian lagi memilih memendam perasaannya. Artikel ini saya tulis berdasarkan pengamatan pribadi, dari pengalaman bergabung dengan komunitas support kesehatan mental. Beberapa lagi dialami oleh teman sendiri.

Maka penulis tertarik menulis ini: Hubungan Badan Pra Pernikahan, apakah sepenuhnya kesalahan perempuan atau sudah masuk ke dalam sebuah pelecehan? Mengingat aktivitas ini biasanya selalu dianggap dilakukan atas dasar suka sama suka, pandangan tersebut justru menjadi penghambat penyelesaian kasus-kasus kekerasan seksual.

Hubungan pacaran antara laki-laki dan perempuan pada usia remaja memang terbilang sangat indah. Rasanya dipenuhi kebahagiaan, apa pun bisa dilakukan berdua, ditemani ke mana-mana, didukung oleh pasangan.

Pacaran sendiri mampu membawa efek positif dalam kehidupan, seperti meningkatnya rasa semangat. Namun, juga membawa dampak negatif. Salah satunya adalah persetubuhan pra nikah. Tentu ini salah. Selain risiko kehamilan di luar pernikahan, ada pula yang perlu ditakuti, yaitu risiko penyakit menular seksual, seperti HIV.

Sebelum itu, saya ingin mendalami mengenai siklus dari seks pranikah. Dari pengamatan saya pribadi, aktivitas persetubuhan dalam pacaran sering sekali dialami perempuan yang memiliki jarak sangat renggang dengan ayahnya, tidak ada pendampingan dari ayahnya.

Saya amati, mereka yang melakukan persetubuhan dengan pacarnya adalah mereka yang memiliki hubungan keluarga yang tidak harmonis. Mereka tidak memiliki pengalaman pengasuhan yang cukup dengan ayahnya. Mereka kemudian mencari sosok laki-laki pengganti ayah dengan harapan ada yang memberi perhatian dan bimbingan kepada mereka.

Namun, harapan indah itu hanya mimpi. Mereka justru jatuh ke dalam pelukan laki-laki yang memperdaya mereka. Beberapa laki-laki itu malah berupaya merayu perempuan agar mau berhubungan intim. Perempuan-perempuan itu dijanjikan akan selalu disayangi, dijanjikan dinikahi, dan sederet janji manis lainnya untuk memperdaya dengan tipu muslihat.

Dari sini saya berpendapat bahwa perempuan kadang memiliki pemikiran yang sedikit lemah atau karena faktor tidak begitu mendapat pendidikan seks dan kespro yang benar hingga tidak tahu risiko yang diambil. Ada beberapa yang mengaku takut ditinggalkan, dengan alasan masih cinta dan sayang, akhirnya memberikan mahkotanya pada laki-laki.

Namun, dari siklus ini terlihat masuk akal. Perempuan yang tidak memiliki kehadiran figur ayah sebagai pengasuh, pengayom, dan pemberi arahan justru terjatuh kepada laki-laki yang memanfaatkan mereka saja untuk kepentingan seksual. Dari sini saya berpikir, apakah tindakan semacam ini dapat masuk ke dalam kasus kekerasan seksual?

Karena pada dasarnya perempuan memang melakukannya demi cinta. Tapi ada peran kecil laki-laki berupa manipulasi, tipu muslihat, dan upaya memperdaya. Apalagi, kebanyakan kasus seperti ini sang lelaki pergi meninggalkan perempuan dengan kondisi yang menyedihkan.

Beberapa orang yang bahkan sampai hamil, sebagian dipaksa aborsi. Kalau ini jelas sudah masuk ke dalam kasus kekerasan.

Lantas, kenapa pada setiap kasus seperti ini perempuan selalu menjadi pihak yang disalahkan? Perempuan dipandang tidak bisa menjaga diri, bodoh, bahkan murahan. Kenapa tidak melihat latar belakang dari pihak perempuan dulu? Hal seperti ini membuat perempuan sangat dirugikan.

Ini adalah mindset aneh warga negara Indonesia.

Perempuan tidak perawan dianggap perempuan bodoh yang tidak bisa menjaga diri. Lantas bagaimana bagi mereka korban pelecehan? Apalagi, keperawanan tidak selalu ditandai dengan selaput dara. Ada juga yang kehilangan selaput dara karena kecelakaan seperti berkuda, jatuh dari sepeda. Ada pula yang memang terlahir tidak punya selaput dara.

Berbeda dengan laki-laki, apabila memiliki riwayat seksual akan dinormalkan. Sangat tidak adil.

Berpakaian seksi menarik pikiran kotor laki-laki, ditambah cara pandang yang merendahkan perempuan yang berpakaian seperti itu. Problemnya, apakah dengan memakai pakaian tertutup menjadi jaminan akan selamat dari fantasi liar laki-laki? Tidak. Terdapat beberapa kasus santriwati yang dilecehkan oleh gurunya sendiri. Mereka berpakaian tertutup, berkerudung panjang, dan menutup aurat.

Santriwati yang berpakaian lengkap menutup aurat sesuai ajaran Islam juga menjadi korban laki-laki pelaku kekerasan seksual. Pandangan diskriminatif terhadap perempuan tersebut harus diakhiri di antaranya dengan cara meningkatkan pengetahuan kelompok laki-laki dan perempuan.

Penguatan kapasitas terhadap laki-laki untuk menguatkan kapasitas keadilan gender, dan penguatan kapasitas ke kelompok perempuan untuk menguatkan pengetahuan terkait kesehatan reproduksi, sehingga mereka dapat mengenali berbagai potensi bahaya kekerasan seksual yang dapat mengancam mereka. Dengan begitu, perempuan tidak mudah terperdaya untuk melakukan hubungan seksual pra nikah yang termasuk persetubuhan berbahaya dan berisiko tinggi tertular HIV, yang hanya dimanfaatkan oleh pelaku kekerasan seksual.

Penguatan kapasitas juga harus dilakukan kepada para orang tua agar mereka dapat memastikan untuk menempatkan anak-anak mereka dalam pengasuhan yang semestinya, penuh cinta dan kasih sayang, sehingga anak-anak mereka terlindungi dari para predator dan pelaku kekerasan seksual.

Peran Kekhalifahan Keluarga dalam Krisis Iklim


Manusia sebagai Khalifah di Bumi: Tanggung Jawab Menjaga Lingkungan dalam Islam

Dalam ajaran Islam, manusia diberi amanah oleh Allah SWT sebagai khalifah di bumi. Ini berarti manusia bertugas memelihara dan menjaga kelestarian bumi beserta isinya. Dalam menghadapi ancaman krisis iklim yang semakin parah, keluarga menjadi tempat pertama dan utama untuk menanamkan tanggung jawab menjaga lingkungan. Tindakan ini harus selaras dengan nilai-nilai Islam yang merupakan fitrah manusia. Literasi iklim yang berlandaskan nilai-nilai Islam dapat melahirkan generasi yang tidak hanya peduli terhadap lingkungan, tetapi juga meyakini bahwa menjaga alam adalah bentuk syukur kepada Allah SWT yang bernilai ibadah—hablum minal alam.

Literasi Iklim: Upaya Menjalankan Amanah dari Allah SWT

Berbagai ayat dalam Al-Qur’an menekankan pentingnya menjaga kelestarian bumi. Salah satu ayat yang relevan adalah Surah Al-Baqarah ayat 30, yang menjelaskan peran manusia sebagai khalifah di bumi. Allah SWT menjadikan manusia sebagai representasi-Nya di bumi, bertugas untuk menjaga alam dan memastikan kelestariannya. Menanamkan literasi iklim di rumah adalah salah satu cara untuk menjalankan amanah besar ini.

Langkah awal untuk melahirkan generasi masa depan yang tangguh dalam menghadapi krisis iklim adalah melalui literasi iklim di rumah. Dengan memperkenalkan nilai-nilai keberlanjutan dan tanggung jawab terhadap lingkungan, keluarga dapat menjadi agen perubahan dalam mengupayakan adaptasi dan mitigasi terhadap krisis iklim. Anak-anak yang tumbuh dengan pemahaman tentang isu ini diharapkan lebih siap berkontribusi dalam menjaga kelestarian bumi.

Di rumah, literasi iklim dapat ditanamkan melalui kebiasaan sehari-hari, seperti menghemat air, bijak dalam menggunakan listrik, tidak menyia-nyiakan makanan, memilah sampah, dan mengurangi penggunaan barang sekali pakai. Peran orang tua, baik ibu maupun ayah, sama pentingnya dalam mengajarkan kebiasaan ini. Pendidikan perubahan iklim yang dimulai dari keluarga memberikan pemahaman kepada anak-anak bahwa menjaga bumi bukan hanya tugas pemerintah atau organisasi lingkungan, tetapi tanggung jawab setiap individu sebagai wujud syukur kepada Allah SWT atas segala sumber daya yang diberikan.

Kesetaraan Gender dalam Islam: Tanggung Jawab Bersama dalam Literasi Iklim

Islam menekankan kesetaraan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan. Dalam konteks keluarga, baik ibu maupun ayah memiliki kewajiban yang sama dalam mendidik anak. Rasulullah SAW bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Ini berarti tanggung jawab menjaga kelestarian bumi juga merupakan tanggung jawab bersama, antara laki-laki dan perempuan.

Dalam pendidikan literasi iklim, ayah dan ibu dapat berperan aktif dan kolaboratif. Ayah dapat menjadi panutan dalam menjalankan gaya hidup ramah lingkungan, seperti bertanggung jawab dalam pengelolaan sampah rumah tangga. Ibu dapat mengajarkan bahwa menjaga alam adalah implementasi dari hablum minal alam (hubungan dengan alam), yang penting dipahami sejak dini. Dengan demikian, kesetaraan gender tidak hanya berlaku dalam peran domestik, tetapi juga dalam menjalankan amanah kekhalifahan di muka bumi.

Krisis Iklim dan Larangan Berbuat Kerusakan di Bumi

Dalam Al-Qur’an, Allah SWT secara tegas melarang manusia berbuat kerusakan di bumi. Surat Al-A’raf ayat 56 berbunyi, “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah [diciptakan] dengan baik; dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut [tidak akan diterima] dan harapan [akan dikabulkan]. Sesungguhnya rahmat Allah SWT dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” Ayat ini menjadi dalil bagi umat Islam tentang kewajiban menjaga kelestarian alam dan mencegah kerusakan, seperti eksploitasi sumber daya secara berlebihan.

Dalam pendidikan literasi iklim di rumah, ayat ini dapat dijadikan pegangan untuk mendidik anak-anak agar senantiasa menjaga kelestarian alam dan menggunakan nikmat Allah dengan bijaksana. Mengajarkan anak-anak untuk tidak boros dalam mengonsumsi energi, air, dan sumber daya adalah implementasi dari ajaran Al-Qur’an.

Keluarga sebagai Madrasah Pertama dalam Literasi Iklim

Peran ibu dalam mendidik anak-anak sangat penting, seperti yang diungkapkan oleh Hafiz Ibrahim: “Al-umm madrasatul ‘ula, idza adadtaha a’dadta sya’ban thayyibal a’raq,” yang berarti, “Ibu adalah sekolah pertama; jika engkau mempersiapkannya dengan baik, maka engkau akan mempersiapkan generasi yang baik pula.” Ungkapan ini merupakan pengakuan teologis atas peran perempuan, terutama pada masa ketika perempuan sering mengalami diskriminasi.

Islam mengajarkan bahwa tanggung jawab pengasuhan dan pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara ibu dan ayah. Kolaborasi dalam mendidik anak, khususnya dalam literasi iklim, mencerminkan kesetaraan yang diajarkan dalam Islam. Peran ibu dan ayah diakui dan dihormati secara teologis oleh Islam.

Pendidikan di rumah bertujuan untuk mempersiapkan generasi yang tidak hanya paham tentang tanggung jawab terhadap lingkungan, tetapi juga tangguh dalam menghadapi krisis iklim dengan mengamalkan nilai-nilai Islam.

Kesimpulan

Dalam menghadapi krisis iklim, keluarga memiliki peran strategis sebagai tempat pertama dalam menanamkan literasi iklim, yang selaras dengan ajaran Islam. Islam menekankan peran manusia sebagai khalifah di bumi, yang bertugas menjaga kelestarian dan keseimbangan alam.

Dengan menanamkan literasi iklim yang berlandaskan nilai-nilai Islam dan mempraktikkan kesetaraan gender, keluarga dapat melahirkan generasi yang bertanggung jawab dalam menjaga bumi. Generasi ini akan cerdas secara intelektual dan moral, serta memahami bahwa menjaga alam adalah bagian dari fitrah manusia dan ibadah kepada Allah SWT yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab serta prinsip keadilan.