Pendidikan Seksualitas bagi Penyandang Disabilitas
Rana memiliki tetangga yang merupakan penyandang disabilitas. Ketika hari raya, tak sedikit orang yang kaget dan mengeluhkan karena dia mencoba untuk menarik dan berkomunikasi dengan lawan jenis. Dulu, Rana jadi ikut merasa was-was dan bertanya-tanya. Namun, setelah ia lebih dewasa, ia memilih untuk mengedukasi diri mengenai seksualitas dan disabilitas dengan membaca buku dan artikel.
Beberapa dari kita ada yang menganggap para penyandang disabilitas itu aseksual (tidak ada ketertarikan seksual terhadap orang lain, tidak ada keinginan untuk melakukan hubungan seksual), sifat mirip anak-anak, dan selalu bergantung pada orang lain. Anggapan yang mengkerdilkan kemampuan para penyandang disabilitas tersebut tidak bisa dibenarkan.
Para penyandang disabilitas sama-sama mengalami perubahan biologis dan mental dalam dirinya. Pendidikan seksualitas komprehensif kepada mereka dan para pendampingnya merupakan hal yang mendesak untuk dilakukan. Sama halnya dengan non-penyandang disabilitas, mereka memiliki orientasi seksual tertentu.
Mereka yang berkebutuhan khusus perlu diajarkan dan dibantu untuk dapat mengenali dirinya, paham, mengelola perkembangan biologis pada diri, membantu mereka mengenali perilaku seks berisiko, menghargai orang lain, dan mengajarkan mereka untuk dapat menghindari perilaku kekerasan seksual. Mereka sangat rentan dimanipulasi dan menjadi korban kekerasan seksual, sehingga membutuhkan perhatian khusus dari komunitas dan para pihak.
Melansir dari komnasperempuan.go.id, perempuan berkebutuhan khusus lebih sering mengalami keterbatasan akses informasi tentang upaya mencegah kekerasan serta layanan penanganan kekerasan seksual. Kerentanan yang dialami mereka kondisinya bisa berlapis, khususnya mereka yang perempuan, masih anak-anak, dan lansia.
Mereka harus mampu berkata tidak ketika mendapatkan perlakuan yang tidak aman dan membuat tidak nyaman, seperti ancaman melakukan hubungan seksual berisiko. Pendidikan seksualitas harus mendapatkan perhatian dan kerja sama dari orang tua, pendidik, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan sebagainya.
Pendidikan seksualitas komprehensif ini meliputi gender, kesehatan reproduksi, penyakit menular seksual, dan HAM, kepuasan, keragaman, dan hubungan antarmanusia.
Meskipun masih dianggap tabu, pendidikan seksualitas komprehensif perlu dimulai. Materi pun disesuaikan dengan kondisi fisik, psikologi, dan tingkat usia. Informasi yang komprehensif dan terbuka merupakan hak yang perlu diterima oleh penyandang disabilitas beserta pendampingnya.
Pendidikan seksualitas komprehensif penting bagi penyandang disabilitas agar mereka bisa menjaga organ reproduksi, menetapkan nilai-nilai, batasan, menghindari kekerasan seksual, bisa membuat keputusan secara mandiri.
Perlu media yang tepat sesuai dengan jenis disabilitasnya untuk pendidikan seksualitas. Misalnya, materi dalam bentuk braille, alat pembaca layar, closed caption, dan sebagainya. Selain itu, ada juga anggapan kalau orang disabilitas tidak bisa menyerap pengetahuan yang diberikan. Padahal, mereka bisa memahami dengan baik selama dibantu dengan media yang tepat.
Lingkungan yang menjadi tempat tinggal para penyandang disabilitas pun perlu diajarkan untuk mampu bersikap menghargai terhadap manusia lain, dan sensitif terhadap para penyandang disabilitas. Perundungan terhadap mereka yang dilakukan oleh orang dewasa maupun anak-anak tidak bisa dibenarkan dan tidak seharusnya dinormalisasi.
Korban kekerasan seksual, baik dari kelompok perempuan dan penyandang disabilitas, juga masih diselimuti dilema untuk melapor karena risiko lebih banyak, seperti ancaman penyebaran konten intim, relasi kuasa, ancaman teror secara digital, minim privasi pelapor, ancaman penuntutan balik, aparat penegak hukum (APH) yang tidak berpihak kepada korban, seksisme kepada korban, dan sebagainya. Hal-hal tersebut membuat korban skeptis dan ragu untuk melapor karena ia menganggap akan lebih banyak ruginya daripada mendapatkan keadilan. Maka, korban lebih banyak bungkam. Pelaku pun bebas berkelana dan berpotensi menimbulkan korban lainnya.
Pendidikan seksualitas bagi penyandang disabilitas, kemudahan pelaporan kekerasan seksual yang dialami, pelatihan gender kepada penegak hukum perlu menjadi prioritas dan menjadi perhatian dan kolaboratif dari beragam komunitas, pendidik, orang tua, lembaga swadaya masyarakat, pemerintah, dan sebagainya.
Perlu program yang berkelanjutan dan pendampingan terhadap para penyandang disabilitas terutama mereka yang berada di kelompok perempuan dan anak-anak. Pelibatan kelompok penyandang disabilitas sangat penting untuk membuat rencana program pembelajaran yang tepat sasaran.
Pendidikan dan perlindungan anak dengan disabilitas adalah tanggung jawab bersama para pihak lintas stakeholders. Mereka juga membutuhkan kemudahan dalam mengakses kesehatan mental. Mari, pelan-pelan membuat lingkungan sekitar lebih inklusif.