Pos

Perempuan dan Seni: Mencipta dalam Bayang-bayang Kekerasan

Perempuan telah menjadi bagian integral dari dunia seni sejak lama. Peran mereka tidak hanya sebagai objek yang diabadikan dalam karya seni, tetapi juga sebagai subjek yang menciptakan, menginspirasi, dan membentuk ekosistem seni. Kini, keterlibatan perempuan dalam seni semakin terlihat. Banyak organisasi dan komunitas seni yang didirikan untuk mewadahi dan mendukung perempuan, seperti Jaringan Seni Perempuan, Perempuan Lintas Batas, dan Koalisi Seni. Organisasi-organisasi ini menjadi ruang bagi perempuan untuk berkarya dan menyuarakan isu-isu krusial, termasuk kesetaraan gender, yang selama ini kerap diabaikan dalam percakapan seni arus utama.

Namun, di balik peran yang kian masif ini, perempuan dalam seni masih menghadapi ancaman serius: pelecehan seksual dan objektifikasi. Seni, yang seharusnya menjadi medium untuk kebebasan berekspresi dan pemberdayaan, sering kali menjadi ranah yang tidak aman bagi perempuan. Fenomena ini menunjukkan bahwa meskipun langkah-langkah penting telah diambil, masih ada kesenjangan besar dalam menciptakan ruang aman yang inklusif.

Seni Pertunjukan dan Kerentanan Perempuan

Dalam seni pertunjukan, perempuan sering kali menjadi sasaran pelecehan seksual. Salah satu contohnya adalah dalam seni tari tradisional yang melibatkan praktik “saweran.” Di beberapa daerah, kegiatan ini telah menjadi bagian dari tradisi, tetapi tradisi tersebut kerap dimanfaatkan oleh penonton laki-laki untuk melecehkan penari perempuan. Memberikan uang saweran sering kali dijadikan pembenaran untuk menyentuh tubuh penari, mereduksi martabat mereka sebagai seniman menjadi sekadar objek hiburan.

Saweran, yang pada awalnya bertujuan sebagai bentuk apresiasi, kini sering kali menyimpang menjadi ajang eksploitasi. Penari perempuan tidak hanya harus berjuang untuk mempertahankan profesionalisme di atas panggung, tetapi juga menghadapi ancaman pelecehan yang nyata. Beberapa studi menunjukkan bahwa pelecehan ini tidak hanya terjadi dalam lingkungan pertunjukan tradisional, tetapi juga di ruang-ruang seni kontemporer, meskipun bentuknya mungkin berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa masalah ini bukan sekadar masalah budaya lokal, tetapi bagian dari masalah global yang lebih besar: yaitu bagaimana perempuan sering kali diposisikan sebagai objek dalam berbagai sektor kehidupan, termasuk seni.

Selain tari, seni teater juga tidak lepas dari isu serupa. Peristiwa yang terjadi pada Festival Teater Jakarta 2024 menjadi bukti nyata. Dalam forum diskusi teknis, seorang perempuan pelaku seni teater dilecehkan secara verbal oleh rekan laki-lakinya, yang mengucapkan kata-kata tak senonoh dengan nada merendahkan. Kejadian ini menunjukkan bahwa bahkan di ruang-ruang yang seharusnya menjadi wadah profesional, perempuan tetap menghadapi ancaman terhadap keamanan dan martabat mereka. Lebih menyakitkan lagi, banyak korban pelecehan yang tidak melaporkan kasusnya karena takut akan stigma sosial atau kehilangan kesempatan di dunia seni.

Struktur Patriarki dalam Dunia Seni

Pelecehan seksual yang dialami perempuan dalam seni tidak dapat dilepaskan dari dominasi patriarki yang masih kuat. Dalam ekosistem seni, perempuan sering kali ditempatkan sebagai pelengkap, bukan aktor utama. Objektifikasi perempuan, baik dalam karya seni maupun dalam proses penciptaannya, menciptakan ketimpangan yang terus-menerus memperlemah posisi perempuan. Perspektif dan suara perempuan sering kali diabaikan, sehingga mereka kehilangan ruang untuk benar-benar mengekspresikan diri.

Sebagai contoh, dalam seni rupa, perempuan masih sering digambarkan sebagai sosok pasif, seperti “muse” yang hanya menjadi inspirasi bagi seniman laki-laki. Representasi semacam ini tidak hanya memperkuat stereotip gender, tetapi juga membatasi potensi perempuan sebagai kreator yang aktif. Lebih jauh lagi, patriarki juga memengaruhi distribusi kesempatan di dunia seni. Banyak perempuan pelaku seni yang melaporkan bahwa mereka harus bekerja lebih keras daripada rekan laki-laki mereka untuk mendapatkan pengakuan yang sama.

Langkah Menuju Ruang Aman

Isu pelecehan seksual dalam dunia seni tidak dapat diselesaikan dengan pendekatan sporadis. Diperlukan panduan yang jelas untuk melindungi perempuan pelaku seni. Pada 2023, Asosiasi Produser Film Indonesia (Aprofi) meluncurkan Panduan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual dalam Produksi Film. Langkah ini menjadi terobosan penting dalam memastikan bahwa pekerja seni, terutama perempuan, memiliki perlindungan yang memadai. Sayangnya, kebijakan serupa belum diterapkan secara luas di semua cabang seni.

Panduan seperti ini sangat penting untuk memastikan adanya sistem pelaporan yang jelas dan dukungan yang memadai bagi korban. Lebih dari itu, komunitas seni juga perlu menyelenggarakan pendidikan tentang kesetaraan gender, melibatkan laki-laki sebagai bagian dari solusi, dan mempromosikan perubahan budaya. Penerapan langkah-langkah ini harus didukung oleh semua pihak, mulai dari institusi pendidikan seni, komunitas lokal, hingga pemerintah.

Menciptakan Seni yang Berkeadilan

Dunia seni adalah ruang untuk menciptakan keindahan, menyuarakan kebenaran, dan melawan ketidakadilan. Namun, keindahan seni tidak akan bermakna jika di dalamnya terdapat ketimpangan dan kekerasan. Keterlibatan perempuan dalam seni harus dilihat sebagai kekuatan yang memajukan, bukan ancaman bagi struktur yang ada.

Membangun ruang aman bagi perempuan bukanlah tugas satu pihak saja, tetapi tanggung jawab bersama. Dunia seni hanya akan mencapai potensinya yang sejati jika setiap individu, terlepas dari gendernya, dapat berkarya dengan bebas dan tanpa rasa takut. Karena seni, pada akhirnya, adalah milik semua orang—tanpa diskriminasi.

Merawat Kebun Sayur, Kembalikan Persaudaraan yang Terpisah

Hidup terpisah-pisah dengan saudara lintas agama dan kepercayaan rasanya tidak nyaman, seperti ada bagian dalam hidup yang berkurang, hilang, dan tidak lengkap. Relasi yang dulu begitu erat, merenggang pascakonflik yang mengatasnamakan agama di Poso, Sulawesi Tengah.

Setelah konflik, orang-orang perumahannya terpisah dari kelompok yang berbeda. Ketika hanya bertemu dengan orang dalam kelompok yang sama saja, maka akan berbahaya karena tidak terbiasa dengan keragaman.

Keresahan-keresahan itu membuat Bu Roswin Wuri mempunyai inisiatif untuk merekatkan warga dengan kebun sayur. Bu Roswin Wuri sendiri adalah pendeta dan penyintas konflik Poso beberapa tahun silam. Ia menebarkan cinta kasih kepada masyarakat melalui menyemai bibit bersama para perempuan di kebun sayur.

Pascakonflik, kebun-kebun ditinggalkan oleh masyarakat. Warga pun membutuhkan nutrisi dari sayur untuk makanan sehari-hari. Orang-orang tinggal di pegunungan, dan jika menunggu penjual sampai di atas, sayuran sudah layu dan tinggal sisa-sisa saja. Kebun sayur ini dibangun dengan penuh pengharapan dan doa agar masyarakat bisa berkumpul kembali, bercerita, menanam, tertawa, dan saling menguatkan.

Bu Wuri peka terhadap kebutuhan masyarakat dan sigap dalam mengambil langkah. Bersama para perempuan, ia menghidupkan lahan yang tidur menjadi kebun sayur organik. Tidak hanya perempuan, laki-laki pun berjasa dalam membantu membuka lahan tidur yang kini akan dihidupkan kembali.

Kerja sama laki-laki dan perempuan merupakan hal yang perlu menjadi kebiasaan, bukan waktunya beradu siapa yang paling kuat, apalagi menyalahkan. Hal yang menjadi musuh bersama yaitu segala kekerasan kepada umat manusia.

Siapa sangka, kebun sayur kini malah menjadi ruang untuk berbagi kisah keseharian perempuan, bertukar pendapat, saling memahami perbedaan antaragama dan kepercayaan, serta mempererat pertemanan. Perempuan bertemu dengan saudara-saudara lintas iman yang bisa kembali saling memeluk dan menularkan semangat dan cahaya. Pertemuan-pertemuan di kebun sayur tersebut selalu dinantikan oleh para perempuan.

“Ketika kita menyemai benih sayuran, kami sadar bahwa kami juga sedang menyemai bibit perdamaian,” ucap Bu Wuri. Bu Wuri pun oleh warga sekitar dipanggil ‘Ibu Sayur’. Sayur juga kerap ditukar dengan ikan yang dibawa oleh penjual ikan yang datang ke tempat mereka di pegunungan.

Dari kebun sayur, perempuan-perempuan menghidupkan pasar organik di Tentena. Luar biasa! Selain memenuhi kebutuhan masyarakat dengan harga terjangkau, sayur pun juga dibagikan kepada masyarakat sekitar. Kegiatan di kebun sayur menjadi berkah dan bukti cinta kasih antarsesama manusia dengan memahami segala perbedaan dan merawat keragaman tersebut.

Sebelum menghidupkan kebun sayur, Bu Wuri dan kawan-kawannya mengikuti Sekolah Perempuan yang diadakan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat. Di situ, mereka diajarkan mengenai perdamaian dan pemberdayaan ekonomi.

Perempuan-perempuan di wilayah pascakonflik yang merupakan korban dan penyintas membutuhkan pendampingan, penguatan, pemulihan, dan pemberdayaan ekonomi agar bisa melanjutkan hidupnya, menguatkan anggota keluarga, dan tetangga.

Perempuan di wilayah pascakonflik menjadi salah satu pihak yang rentan, kurang diperhatikan, dan dianggap tidak berdaya. Padahal, perempuan mempunyai potensi yang besar untuk menciptakan serta merangkul perdamaian dan keadilan di wilayah pascakonflik. Perempuan menggunakan perspektif gender dan perdamaian untuk bisa memulihkan keadaan pascakonflik.

Kebun sayur itu sudah merekatkan apa-apa yang pernah renggang pascakonflik. Bu Wuri bisa mengajak para perempuan menjaga berdaya bagi diri sendiri dan sekitarnya. Bu Wuri merupakan pahlawan toleransi bagi warga Tentena.

Ketika perempuan diberikan kepercayaan, pelatihan, pendampingan, dan apresiasi, ia akan menciptakan inovasi-inovasi yang berguna untuk dirinya dan sekitar. Perempuan bisa menjadi pemimpin yang lebih peka terhadap kebutuhan-kebutuhan kelompoknya yang kadang tidak tersentuh atau terpikirkan oleh pemimpin laki-laki. Perempuan yang mampu berdaya dan berkarya, ia bisa mempunyai lebih banyak pilihan untuk hidupnya di masa mendatang, mempertanggungjawabkan pilihannya, dan mendorong perempuan, anak, dan sekitarnya untuk berdaya.

Laki-laki pun perlu bersinergi, mendukung para perempuan untuk terus belajar dan mengembangkan segala kemampuan yang ada dalam dirinya dengan penuh cinta. Selain itu, perlu dukungan penuh dari pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), komunitas, dan keluarga agar sama-sama berdaya. Semoga kita bisa mengambil pelajaran baik dari sini.

Pemberdayaan Perempuan Desa untuk Atasi Ketimpangan Ekonomi Desa dengan Kota

Musim akhir tahun seperti ini terdapat fenomena rutin yang sering saya lihat di Jakarta. Salah satu maskapai penerbangan nasional menggelar bazar dengan banjir diskon. Billboard di beberapa jalan mulai ramai dipasang oleh pelaku industri pariwisata. Intinya, promo jalan-jalan akhir tahun sudah gencar dilakukan.

Akhir tahun, tahun baru, dan Idul Fitri menyaksikan pergerakan ekonomi yang luar biasa dari kota ke desa. Geliat perdagangan begitu hidup di desa, mulai dari daerah objek wisata hingga yang bukan. Setelah dua musim tersebut berakhir, aliran uang yang begitu deras pun berhenti. Pekerja dan perantau kembali ke kota besar, lalu penduduk desa umumnya menikmati pendapatan yang standar.

Gerakan urbanisasi sudah berlangsung lama hingga mengakar di benak banyak orang pedesaan untuk ke kota usai selesai bersekolah. Tren ini diperkirakan akan terus berlanjut. Badan Pusat Statistik (BPS) memprediksi 66,6% penduduk Indonesia akan tinggal di kota pada 2025. Bank Dunia senada dengan perkiraan tersebut, dimana menurut badan ini, sekitar 220 juta penduduk Indonesia akan tinggal di kota pada 2045.

Mengapa Fenomena Berbondong-Bondong ke Kota Harus Dihentikan?

Dari segi populasi, ketimpangan jumlah penduduk desa dan kota menimbulkan masalah lingkungan yang serius. Data dari BPS yang diperbaharui pada 24 Februari 2024 menyebutkan bahwa kepadatan penduduk mencapai 16.146 jiwa per kilometer persegi. Membludaknya jumlah tersebut menimbulkan macet yang tiada berujung, ancaman tenggelamnya Jakarta, hingga banjir.

Kota yang terlalu padat menyebabkan polusi tinggi sebagai imbas kegiatan ekonomi setiap harinya. Iming-iming penghidupan yang lebih layak memunculkan efek negatif ke kesehatan yang cukup serius jika tidak ditangani sejak dini oleh setiap warganya.

Akibat kedua yang lebih mencemaskan adalah aspek ekonomi. Meski kecanggihan teknologi menawarkan peluang ekonomi inklusif, masih banyak yang tetap ke kota besar untuk mengadu peruntungan. Hal ini menimbulkan tanda tanya mengenai seberapa signifikan kecanggihan teknologi, khususnya internet, dalam mendongkrak jiwa kewirausahaan. Apabila masih kecil, maka ini menjadi alarm nyaring bagi seluruh pihak untuk bekerja keras menggalakkan semangat kewirausahaan, khususnya bagi generasi muda. Segala kemudahan yang ditawarkan teknologi seharusnya berhasil mengurangi angka orang pergi ke kota.

Perempuan Desa sebagai Akar Solusinya

Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) telah mengumpulkan data lapangan “Studi Penguatan Pemberdayaan Perempuan dan Pembangunan Desa” antara 17 dan 24 November 2024. Tim dari Kemenko PMK memilih metode pendekatan kualitatif untuk menelaah 11 desa di delapan kabupaten. Ke-8 kabupaten tersebut adalah Bangka Tengah, Tanggamus, Indramayu, Bantul, Banyuwangi, Banjar, Maros, dan Minahasa Utara.

Inisiatif dari Kemenko PMK bertujuan untuk mendapatkan data awal guna membangun kemandirian bangsa melalui pemberdayaan perempuan. Nantinya, penerima bantuan pemerintah adalah perempuan kepala keluarga, perempuan pelaku UMKM, perempuan penyintas kekerasan, perempuan purna migran, serta keluarga atau individu selain perempuan.

Hasil temuan awal dari studi tersebut menunjukkan bahwa program pemberdayaan perempuan sejauh ini lebih berfokus pada sektor ekonomi, pelatihan keterampilan, atau cara mendirikan dan mengelola usaha. Pemberdayaan perempuan di pedesaan kini semakin penting dalam kaitannya mencegah penambahan orang yang pergi ke kota. Karena itu, metode pemberdayaannya haruslah lebih komprehensif dan mutakhir demi terciptanya gagasan ekonomi kreatif.

Sebagai contoh, perempuan di desa saya, di Kabupaten Karanganyar, banyak yang bekerja membantu suami dengan berdagang makanan dan minuman. Pemerintah setempat dapat membantu dalam hal inovasi seperti branding, pengemasan yang menarik, dan tentunya distribusi penjualannya. Pengenalan digital marketing juga harus digalakkan hingga ke desa. Penyediaan internet gratis serta pelatihan digital marketing sebaiknya dilakukan secara berkala agar ekonomi inklusif benar-benar menyentuh hingga ke pedesaan.

Saran tersebut seharusnya bisa disesuaikan dengan potensi setiap daerah. Perempuan desa yang umumnya bekerja sebagai buruh tani tentunya memerlukan akses ke alat pertanian untuk meringankan tugas berat di sawah atau ladang. Bila diperlukan, perempuan desa yang masih muda dapat mentransfer pengetahuan teknologi ke tetangga atau rekan yang belum terlalu melek teknologi.

Pada awalnya, dampak positif akan berupa pemenuhan ekonomi keluarga. Perempuan desa akan sangat membantu peran suami sebagai pencari nafkah utama. Efek dominonya akan mengalir jauh. Perempuan tidak bisa dipungkiri menurunkan gen kecerdasan besar ke anak-anak mereka. Anak yang setiap hari menyaksikan sang ibu kreatif bekerja membantu keluarga akan terlatih karakternya. Ia akan tumbuh menjadi generasi mandiri, bukan hanya agar bisa memenuhi kebutuhannya sendiri kelak, melainkan juga berpikir agar lingkungan sekitarnya di desa makmur.

Peran Kepemimpinan Perempuan dalam Pemulihan di Wilayah Pascakonflik

Meski kejadiannya terkadang tidak begitu lama, konflik meninggalkan beban, bekas, dan luka yang perlu dipulihkan. Korban-korban konflik bukan hanya korban langsung, melainkan juga termasuk anak dan keluarga korban, anak dan keluarga pelaku, masyarakat sekitar, maupun masyarakat yang letaknya jauh.

Saya tertarik membahas tentang kepemimpinan perempuan ini setelah mengunjungi Pameran Biennale Jogja 2023. Lian Gogali dan Institut Mosintuwu di Poso menjadi salah satu yang karya-karyanya dipajang. Mengangkat topik pemulihan dan penguatan pascakonflik dalam ruang seni sangat penting agar masyarakat lebih bisa belajar, supaya konflik serupa tidak terjadi kembali. Pameran tersebut berisi arsip-arsip Institut Mosintuwu berupa cerita perempuan yang berdaya, advokasi korban kekerasan dan tantangannya, puisi, koleksi foto, hingga arsip-arsip berupa catatan pelatihan kepenulisan, gender, agama, potensi budaya, dan kemanusiaan.

Berawal dari rasa keprihatinan atas tragedi yang mengatasnamakan agama, yang sejatinya adalah konflik kepentingan, Lian Gogali mendirikan Institut Mosintuwu pada tahun 2009 di Poso, Sulawesi Tengah. Lian Gogali memiliki cita-cita untuk membuat perempuan-perempuan akar rumput di sekitar Poso bisa berdaya untuk dirinya sendiri dan orang lain.

Institut Mosintuwu merupakan organisasi masyarakat akar rumput yang anggotanya terdiri dari para penyintas konflik Poso beberapa tahun silam yang berasal dari beragam latar belakang suku dan agama di Poso dan sekitarnya. ‘Mosintuwu’ diambil dari bahasa Pamona yang berarti ‘Bekerja bersama-sama’. Kemudian ditambah dengan kata ‘Institut’ yang menggambarkan semangat Mosintuwu sebagai ruang kritis dalam menanggapi berbagai fenomena sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan di Poso.

Perempuan lintas agama dan kepercayaan diajarkan mengenai toleransi, menulis, membaca, berbicara di depan umum, membuat kerajinan, berorganisasi, dan menjadi pemimpin. Institut Mosintuwu memiliki website (mosintuwu.com), radio, dan podcast (siniar). Metode pembelajarannya yaitu dengan diskusi kelompok, ceramah, membuat atau diskusi mengenai film, menyanyi, menari, bahkan debat.

Hal-hal yang dipelajari oleh perempuan-perempuan tersebut meliputi agama, toleransi, perdamaian, gender, perempuan dan budaya Poso, kesehatan dan hak reproduksi, keterampilan berbicara dan bernalar, hak layanan masyarakat, hak ekonomi, sosial, budaya, dan sipil, politik, ekonomi, dan komunitas.

Para perempuan yang belajar di Institut Mosintuwu menjadi lebih berdaya, bisa menjadi pemimpin, memiliki toleransi yang tinggi, serta dapat menyuarakan apa yang dirasakan. Kearifan lokal, perspektif gender, dan agama adalah kunci pengajaran toleransi di Institut Mosintuwu.

Lian Gogali percaya bahwa penguatan kualitas diri bagi perempuan akar rumput merupakan hal yang mendesak. Para perempuan dari Institut Mosintuwu menjadi berdaya, berani, dan terlibat aktif dalam mengelola desa. Perempuan menjadi lebih peka terhadap sekitar dan membuat kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan perempuan. Inisiatif Konferensi Perempuan Poso dan Sekolah Pembaharu Desa yang berangkat dari realitas di sekitar ini mampu berperan mengadvokasi masalah-masalah kekerasan, diskriminasi gender, dan lingkungan. Gerakan Institut Mosintuwu tumbuh secara organik berkat dorongan semangat dan antusiasme masyarakat sekitar.

Kepemimpinan perempuan dan regenerasinya merupakan hal yang sangat penting. Kebutuhan perempuan harus bisa disuarakan, didengar, dan dicukupi, misalnya tentang fasilitas kesehatan reproduksi, konseling, dan pemulihan. Suara perempuan yang berpihak kepada kelompok rentan dan berisi kejujuran merupakan hal yang perlu terus direproduksi dan dikuatkan. Perempuan pun perlu mencengkeram dan terlibat politik di tingkat desa agar kebijakan yang dikeluarkan bisa sesuai dengan kebutuhan perempuan dan anak. Suara perempuan jangan sampai malah berpihak kepada pemilik kapital, dan hanya dijadikan simbol, tidak mewakili kelompok rentan (tokenisme).

Sekarang, kita mengerti bahwa peran kepemimpinan perempuan dalam pemulihan di wilayah pascakonflik adalah memberikan rasa aman, percaya, kasih sayang, dan pendidikan supaya masyarakat bisa berdaya bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain, bisa melanjutkan kehidupan, dan menginspirasi masyarakat sekitar maupun masyarakat di luar.

Saya dan kawan-kawan mahasiswa berkesempatan untuk mengunjungi Dodoha Mosintuwu di Tentena, Poso pada penghujung September 2019. Malam itu, kala hujan lebat mengguyur, kami bertemu dengan Lian Gogali. Kami disuguhi beragam makanan, seperti ikan dan sambal dabu-dabu, menonton video dokumenter, dan berbincang-bincang. Ada pula peneliti dari luar negeri yang sedang melakukan penelitian di Poso.

Pertemuan secara langsung dengan pemimpin perempuan yang berperspektif feminis merupakan hal yang sangat saya syukuri dan sampai sekarang menginspirasi saya untuk memaksimalkan potensi dalam bidang perdamaian.

Krisis Lingkungan Butuh Sentuhan Perempuan

Bila kita berbicara soal perubahan iklim dan lingkungan, pasti kita langsung terbayang tentang musim kemarau yang berkepanjangan, bencana banjir, atau bahkan polusi udara yang makin parah. Namun, pernahkah kita berpikir siapa saja yang membuat kebijakan untuk menyelamatkan bumi ini? Ternyata, perempuan sering sekali terpinggirkan dari ruang pengambilan keputusan lingkungan.

Dengan tantangan perubahan iklim yang semakin mendesak, dunia tidak bisa lagi mengabaikan potensi perempuan. Sudah saatnya kita menggeser paradigma dan memastikan bahwa perempuan mendapatkan tempat di meja pengambilan keputusan, bukan hanya demi kesetaraan, tetapi demi menyelamatkan bumi yang kita tinggali bersama.

Kenapa Perempuan Penting untuk Memutuskan Kebijakan?

Perempuan biasanya lebih dekat dengan alam. Jika kita lihat di desa-desa, perempuan sering kali yang paling tahu soal cara mengatur air, menghemat energi, atau bahkan mengelola lahan kecil untuk bercocok tanam. Mereka memiliki pengalaman langsung. Jadi, logis kalau suara mereka sangat diperlukan dalam diskusi besar soal kebijakan lingkungan. Tapi kenyataannya, hanya sedikit perempuan yang memiliki posisi untuk benar-benar memengaruhi kebijakan ini.

Data baru dari Women’s Environment & Development Organization (WEDO) menunjukkan 34% partisipasi perempuan dalam delegasi partai di CoP28, persentase yang sama dengan 10 tahun lalu. Bahkan organisasi lingkungan berbasis Islam, yaitu Green Islamic yang dipimpin perempuan, hanya mencatat sekitar 24%.

Padahal, dalam hal membangun ketahanan iklim di masyarakat, melibatkan perempuan sangat penting. Faktanya, PBB melaporkan bahwa masyarakat lebih berhasil dalam strategi ketahanan dan pengembangan kapasitas ketika perempuan menjadi bagian dari proses perencanaan. Berbagai penelitian juga menunjukkan bahwa ketika perempuan terlibat, kebijakan yang dihasilkan lebih inklusif dan ramah lingkungan.

Hal ini dibuktikan secara global. Perempuan telah menunjukkan potensi mereka dalam memimpin perubahan. Contohnya, Greta Thunberg dan Christiana Figueres adalah dua tokoh yang menjadi simbol perjuangan lingkungan dunia. Greta memimpin gerakan “Fridays for Future,” sementara Christiana Figueres memainkan peran penting dalam “Perjanjian Paris 2015.” Kepemimpinan mereka membuktikan bahwa perempuan memiliki kemampuan untuk memobilisasi massa dan menciptakan perubahan sistemik.

Hambatan yang Terus-Menerus Menghadang

Ada banyak hambatan yang membuat perempuan sulit berkontribusi secara penuh dalam isu-isu lingkungan. Hambatan ini bukan hanya persoalan struktural dan sosial, tetapi juga kultural.

Beberapa alasan mengapa perempuan susah masuk ke ranah kebijakan adalah partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan tentang lingkungan yang sangat minim. Islam mendorong perempuan untuk berkontribusi dalam kebaikan dan amar ma’ruf nahi munkar, termasuk di ranah publik. Namun, hambatan sosial, seperti stereotip gender dan kurangnya dukungan keluarga, sering menjadi penghalang. Misalnya, perempuan yang ingin terlibat dalam program lingkungan sering kali dihadapkan pada tuntutan domestik yang lebih besar dibandingkan laki-laki.

Di banyak tempat, perempuan memiliki akses terbatas terhadap pendidikan formal, apalagi yang berkaitan dengan isu lingkungan. Padahal, pendidikan adalah kunci untuk memahami dan mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan. Perspektif Islam sangat jelas menekankan pentingnya pendidikan bagi laki-laki dan perempuan. Sebagaimana hadis Nabi Muhammad SAW:
“Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim, baik laki-laki maupun perempuan.” (HR. Ibnu Majah)

Budaya patriarki juga sering kali membuat peran perempuan hanya menjadi pelaksana kebijakan, bukan pembuat atau bahkan penentu kebijakan. Ini mempersempit ruang mereka untuk memberikan solusi yang inklusif dan inovatif dalam isu lingkungan.

Bagaimana Solusinya?

Aksi nyata peduli lingkungan, seperti menanam pohon demi masa depan yang lebih baik, perlu didorong lebih lanjut. Yang jelas, kita butuh perubahan cara pandang. Program-program seperti yang dilakukan oleh LLHPB Aisyiyah, dengan menggandeng perempuan sebagai aktor utama dan memasyarakatkan “Fikih Lingkungan,” bisa menjadi contoh yang baik. Mereka mencoba membawa perspektif Islam dalam upaya lingkungan, sekaligus mendorong perempuan untuk lebih aktif. Dengan begitu, agama bisa menjadi dasar untuk memperjuangkan isu lingkungan sekaligus memberdayakan perempuan.

Pesantren-pesantren juga bisa menjadi tempat yang strategis untuk edukasi lingkungan, misalnya dengan mengajarkan santri perempuan soal pengelolaan sampah secara 3R atau pengelolaan sumber energi dengan bijak.

Contoh lainnya di dunia internasional adalah Women and Environment Development Organization (WEDO). Organisasi ini memimpin kampanye global untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya partisipasi perempuan dalam isu perubahan iklim, seperti di UN Climate Summits. WEDO juga memfasilitasi perempuan untuk terlibat dalam pengambilan keputusan lingkungan. Hal ini bisa diimplementasikan di Indonesia dengan menyelenggarakan forum diskusi dan lokakarya yang melibatkan perempuan di kawasan rawan bencana untuk berbagi pengalaman dan solusi berbasis komunitas.

Atau bahkan dapat mengikuti langkah dari Gender and Climate Change Action Plan (GCCAP), yang memberikan panduan kepada negara-negara untuk mengintegrasikan gender ke dalam kebijakan iklim nasional. Perempuan dilatih untuk berpartisipasi dalam negosiasi kebijakan lingkungan. Apabila ini diimplementasikan di Indonesia, hal tersebut dapat membentuk kelompok advokasi khusus perempuan untuk isu-isu lokal seperti deforestasi, pencemaran air, atau pertambangan, dengan memberikan pelatihan hukum dan negosiasi kebijakan.

Pendekatan seperti ini menunjukkan bahwa dengan fokus pada perempuan, kita tidak hanya mendukung kesetaraan gender, tetapi juga menciptakan solusi lingkungan yang lebih efektif dan berkelanjutan. Dengan mengatasi beberapa hambatan dengan solusi di atas, perempuan dapat menjadi penggerak utama dalam menjaga kelestarian lingkungan.

Perspektif Islam yang mendukung keadilan gender dan keberlanjutan harus dijadikan pedoman untuk memberdayakan perempuan di segala aspek, termasuk dalam pelestarian lingkungan lewat kebijakan-kebijakan strategis yang diambil. Perempuan tidak hanya terus-terusan menjadi korban perubahan iklim, tetapi juga pemimpin perubahan lewat penentu kebijakan.

Perempuan, Islam, dan Lingkungan: Kisah Astri Saraswati dalam Membangun Kesadaran Ekologis di Perbukitan Menoreh

Di tengah isu pembangunan berkelanjutan, peran perempuan yang mampu menginisiasi pertanian berbasis organik menjadi sangat menarik. Salah satu sosok inspiratif adalah Astri Saraswati. Astri, seorang alumnus Indonesia Mengajar, kini aktif mengajak ibu rumah tangga di Lereng Perbukitan Menoreh, Kulon Progo, untuk membudidayakan tanaman empon-empon secara organik. Kisah perjuangannya mengajarkan bahwa nilai-nilai Islam dan ekologi yang diterapkan oleh perempuan mampu memberikan dampak positif bagi masyarakat pedesaan.

Sebelum terjun ke pengembangan budidaya empon-empon secara organik bersama ibu-ibu di Dusun Pringtali, Astri adalah relawan Indonesia Mengajar. Tertarik dengan ide yang digagas oleh Anies Baswedan, Astri, lulusan Universitas Teknologi Malaysia, ditempatkan di wilayah terpencil di Jambi. Selama bertugas, ia menyadari potensi sumber daya alam Indonesia untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pedesaan.

Setelah purna tugas, Astri bersama suaminya, Andika Mahardika, menetap di Dusun Kedung Perahu, Sleman, pada 2013. Mereka mendirikan CV. Agradaya, yang memproduksi empon-empon kualitas premium untuk pasar Eropa. CV. Agradaya bertujuan memberdayakan ibu rumah tangga guna meningkatkan pendapatan dengan memanfaatkan lahan sekitar rumah untuk budidaya empon-empon secara organik. Tanaman yang dibudidayakan meliputi jahe, kunyit, dan temulawak. Pada 2016, hanya 150 orang dengan lahan 1500 m² yang terlibat. Kini, anggota mencapai 1500 orang dengan lahan lebih dari 1 hektar.

Perjalanan mengajak masyarakat tidak mudah. Berulang kali uji coba produksi jamu internasional menghadapi tantangan besar. Namun, Astri tetap sabar membina ibu-ibu yang mayoritas berusia di atas 50 tahun dan terbiasa menggunakan pupuk kimia. Untuk memotivasi mereka, Astri menawarkan harga panen lebih tinggi, yaitu Rp 25.000 – Rp 40.000/kg, dibanding harga pasar Rp 5.000 – Rp 20.000/kg. Syaratnya, proses budidaya hingga pasca panen harus memenuhi standar organik. Astri juga mengajak LSM membangun rumah pengeringan empon-empon untuk mendukung pengolahan.

Sejak ibu rumah tangga memanfaatkan pekarangan secara optimal melalui sistem tumpang sari, pendapatan meningkat. Jika sebelumnya hanya mengandalkan pisang, kelapa, dan kayu, kini hasil panen lebih cepat dan menguntungkan. Kesejahteraan Desa Pringtali pun membaik, terlihat dari perbaikan rumah, pembelian kendaraan, pelunasan hutang, dan biaya pendidikan anak hingga perguruan tinggi.

Dalam ajaran Islam, mencari rezeki sambil menjaga lingkungan adalah bagian dari ibadah. Al-Quran dan Hadis menekankan pentingnya menjaga kelestarian alam. Kisah Astri membuktikan bahwa membumikan ajaran Islam untuk membangun kesadaran ekologis di kalangan ibu rumah tangga mampu menciptakan dampak positif. Dengan memahami bahwa melestarikan alam adalah tanggung jawab bersama, upaya ini menjadi virus kebaikan yang menyebar luas.

Kesuksesan Astri memberdayakan ibu rumah tangga di pedesaan terpencil menunjukkan bahwa setiap usaha menghadapi ujian. Hanya mereka yang pantang menyerah yang meraih kesuksesan. Islam mengajarkan bahwa orang sukses bukan yang tidak diuji, melainkan yang sabar dalam menghadapi tantangan.

Kisah Astri juga mengajarkan bahwa membantu orang lain akan mendatangkan balasan baik dari Allah. CV. Agradaya berhasil membangun citra sebagai unit usaha yang peduli pada pemberdayaan perempuan marginal dan mendukung kelestarian lingkungan hidup.

Terobosan Astri adalah ide brilian. Ibu rumah tangga yang sebelumnya tidak produktif kini mampu meningkatkan pendapatan tanpa meninggalkan tugas utama sebagai madrasah pertama bagi anak-anak. Hal ini sejalan dengan syariat Islam yang menempatkan perempuan sebagai penjaga rumah dan lingkungan.

Pemilihan budidaya bahan baku jamu juga melestarikan warisan luhur bangsa Indonesia. Jamu telah diakui dunia sebagai kekayaan budaya dengan nilai filosofis tinggi. Mengembangkan jamu di pasar internasional adalah bagian dari menjaga sejarah bangsa.

Dengan demikian, kisah Astri dan komunitas pembudidaya empon-empon membuktikan peran perempuan dalam mengimplementasikan ajaran Islam terkait kelestarian lingkungan untuk pembangunan berkelanjutan.

Tantangan Perempuan Disabilitas Berhadapan dengan Hukum dalam Kasus Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual terhadap perempuan merupakan masalah yang amat kompleks di seluruh dunia. Namun, perempuan disabilitas sering kali menghadapi tantangan yang lebih besar, terutama saat ingin melaporkan dan mencari keadilan.
Keheningan mereka, yang sering kali diartikan sebagai ketidakmampuan untuk berbicara atau melaporkan kekerasan yang dialami, justru menjadi pemicu penderitaan yang lebih mendalam.
Dalam banyak kasus, perempuan disabilitas yang mengalami kekerasan seksual, terutama ketika berada di sebuah institusi seperti panti sosial, sering terabaikan dan tidak mendapatkan perlindungan yang seharusnya.

Rentannya Perempuan Disabilitas terhadap Kekerasan Seksual

Perempuan dengan disabilitas memiliki risiko yang lebih tinggi untuk menjadi korban kekerasan seksual dibandingkan dengan perempuan non-disabilitas. Penelitian dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO, 2017) menunjukkan bahwa perempuan disabilitas dua hingga tiga kali lebih rentan terhadap kekerasan seksual. Salah satu alasan utama adalah karena kesulitan mereka untuk melawan atau melaporkan peristiwa kekerasan yang terjadi, baik karena keterbatasan fisik, kesulitan berkomunikasi, atau ketidakpahaman mereka tentang hak-hak mereka.
Namun, selain faktor tersebut, stigma sosial dan diskriminasi juga menjadi alasan perempuan disabilitas lebih sulit untuk berbicara mengenai pengalaman mereka. Keheningan yang terjadi bukan hanya disebabkan oleh ketidakmampuan mereka untuk mengungkapkan diri, tetapi juga oleh ketakutan akan reaksi negatif dari masyarakat atau ketidakmampuan sistem hukum untuk memberikan perlindungan yang memadai. Hal ini menjadi semakin jelas ketika perempuan disabilitas berada di dalam panti sosial, yang seharusnya menjadi tempat yang aman, tetapi justru sering kali menjadi lokasi di mana kekerasan seksual sangat rentan terjadi.

Dua Kasus Kekerasan Seksual di Panti

Dua insiden kekerasan seksual yang terjadi di panti sosial di Indonesia menggambarkan dengan jelas tantangan yang dihadapi perempuan disabilitas dalam mencari keadilan. Berikut adalah dua contoh nyata yang memperlihatkan betapa seriusnya masalah ini.

Kasus 1: Kekerasan Seksual di Panti Sosial Jakarta (2021)
Pada tahun 2021, sebuah kasus kekerasan seksual melibatkan seorang perempuan dengan disabilitas intelektual di sebuah panti sosial di Jakarta. Perempuan tersebut, yang tidak dapat berbicara dan memiliki keterbatasan kognitif, menjadi korban pelecehan seksual oleh seorang staf panti. Korban tidak mampu mengungkapkan apa yang terjadi, dan keheningannya membuat kasus ini sulit terungkap pada awalnya.
Kasus tersebut baru terbongkar setelah beberapa saksi melaporkan kejadian tersebut. Meskipun pelaku akhirnya ditangkap, korban masih menghadapi berbagai hambatan dalam proses hukum karena keterbatasan komunikasi dan bukti yang tidak cukup.

Kasus 2: Kekerasan Seksual di Panti Sosial Bengkulu (2022)
Pada tahun 2022, seorang perempuan dengan disabilitas pendengaran dan komunikasi menjadi korban kekerasan seksual di salah satu panti sosial di Bengkulu.
Kasus ini cukup menggemparkan karena korban, yang memiliki keterbatasan dalam berkomunikasi secara verbal, sulit untuk mengungkapkan apa yang terjadi padanya. Keheningan dan ketidakmampuannya untuk berkomunikasi dengan lancar membuat kejadian ini baru terungkap ketika seorang petugas panti yang baru mulai bekerja melihat adanya tanda-tanda kekerasan pada korban dan melaporkannya kepada pihak berwenang. Namun, meskipun sudah dilaporkan, proses hukum berjalan lambat karena keterbatasan alat bukti dan hambatan dalam berkomunikasi dengan korban.
Kasus ini menyoroti kurangnya dukungan dan prosedur khusus untuk menangani kasus kekerasan seksual terhadap perempuan disabilitas, serta menunjukkan pentingnya peningkatan kapasitas petugas hukum dalam menangani situasi serupa.

Kesulitan dalam Mendapatkan Keadilan

Salah satu tantangan utama yang dihadapi perempuan disabilitas dalam kasus kekerasan seksual adalah kesulitan mereka dalam mengakses sistem hukum.
Sistem hukum di banyak negara, termasuk Indonesia, sering kali tidak dirancang dengan memperhatikan kebutuhan khusus bagi perempuan disabilitas. Banyak dari mereka yang tidak mengetahui hak-hak mereka atau merasa takut melapor karena khawatir tidak akan dipercayai atau malah disalahkan.
Proses hukum yang panjang dan penuh hambatan ini seringkali tidak memberikan ruang bagi perempuan disabilitas untuk mendapatkan keadilan. Terlebih lagi, banyak kasus yang melibatkan kekerasan seksual pada perempuan disabilitas terhambat oleh ketidakmampuan mereka untuk memberikan kesaksian yang kuat, hambatan fisik dalam mengakses lembaga hukum, serta ketidakpahaman aparat penegak hukum dalam menangani kasus-kasus yang melibatkan mereka.

Upaya Perlindungan Hukum untuk Perempuan Disabilitas

Reformasi sistem hukum dan penguatan lembaga sosial sangat diperlukan untuk memberikan perlindungan yang lebih baik kepada perempuan disabilitas. Penyuluhan tentang hak-hak mereka harus dimulai sejak dini, baik di lingkungan keluarga maupun di institusi pendidikan.
Di sisi lain, petugas hukum dan lembaga panti sosial juga harus diberikan pelatihan khusus untuk dapat menangani kasus-kasus yang melibatkan perempuan disabilitas dengan sensitif.
Selain itu, penting untuk memastikan bahwa sistem pelaporan kekerasan seksual bagi perempuan disabilitas lebih mudah diakses dan inklusif. Dengan adanya layanan hukum yang lebih peka terhadap kebutuhan perempuan disabilitas, mereka dapat lebih mudah melaporkan kekerasan seksual yang mereka alami.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas harus dioptimalkan untuk memberikan perlindungan yang lebih baik, serta memastikan bahwa perempuan disabilitas mendapat keadilan yang mereka butuhkan.

Kesimpulan

Keheningan yang menjadi penderitaan bagi perempuan disabilitas yang mengalami kekerasan seksual adalah bukti nyata bahwa ketidakadilan masih ada dalam masyarakat kita. Kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di panti sosial menggambarkan bagaimana perempuan disabilitas sering terabaikan, baik dalam sistem hukum maupun dalam perlindungan sosial. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengubah sistem yang ada, agar perempuan disabilitas dapat mendapatkan perlindungan yang layak dan memperoleh keadilan tanpa harus menghadapi hambatan yang tidak perlu. Kita harus terus berjuang untuk menciptakan sistem yang lebih inklusif dan adil bagi semua perempuan, termasuk mereka yang disabilitas.

Referensi:
World Health Organization. (2017). “Violence Against Women Prevalence Estimates, 2018.” Geneva: WHO.
Pemerintah Republik Indonesia. (2016). “Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.”
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan. (2020). “Laporan Tahunan: Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia.”

Tau Nina Kanca Anak Berdaya: Perempuan dan Anak Berdaya

Oleh: Erni Agustini

Kegiatan Temu Perempuan Pemimpin di Lombok Utara, yang diselenggarakan pada 9-10 November 2024, dapat terlaksana berkat kerja sama antara Rumah KitaB, JASS, dan Klub Baca Perempuan (KBP). Salah satu tujuan utama kegiatan ini adalah untuk menelaah kehidupan perempuan melalui pengalaman-pengalaman masing-masing peserta. Dari pengalaman tersebut, para peserta merumuskan strategi bersama untuk memperkuat kepemimpinan perempuan di akar rumput.

Salah satu sesi penting dalam kegiatan ini adalah sesi mengenali tubuh sendiri. Dalam sesi ini, peserta diajak untuk memahami bagian tubuh mana yang sering menderita sakit, jenis sakit yang dirasakan, serta bentuk-bentuk kekerasan seksual yang dapat dialami oleh perempuan. Penting bagi setiap perempuan untuk mengenali tubuh mereka sendiri, memahami potensi penyakit yang dapat menyerang, dan mencari solusi penanganan yang tepat. Fasilitator memandu peserta untuk berkelompok dan menggambar tubuh perempuan, yang memungkinkan mereka memberi tanda pada potensi penyakit dan kekerasan seksual yang mungkin dialami. Sesi ini sangat relevan mengingat pada tahun 2024, Lombok Utara mencatatkan 127 kasus kekerasan, dengan kekerasan seksual menjadi kasus tertinggi (SIMFONI-PPA).

Secara umum, para peserta berhasil mengenali tubuh dan alat reproduksi perempuan, serta mengidentifikasi potensi penyakit dan kekerasan seksual yang mungkin terjadi. Selain itu, peserta diajak untuk lebih memahami kesehatan reproduksi perempuan, bentuk-bentuk kekerasan seksual, dampaknya, serta sistem dukungan yang dibutuhkan perempuan dan anak. Dengan demikian, peserta memperoleh pemahaman lebih dalam tentang tubuh mereka, ruang aman bagi perempuan, dan pentingnya pemberdayaan perempuan.

Perempuan Berdaya, Bersatu, dan Bergerak Bersama

Klub Baca Perempuan (KBP) berperan sebagai wadah potensial bagi pemimpin perempuan komunitas di Lombok Utara untuk berkontribusi dalam menyelesaikan masalah perempuan dan anak. Sebanyak 11 lembaga yang bergerak dalam isu perlindungan perempuan dan anak turut mendampingi masyarakat di Lombok Utara. Keterlibatan KBP dalam perlindungan perempuan dan anak meliputi partisipasi dalam penyusunan naskah akademik Peraturan Daerah (Perda) Perlindungan Anak. Melalui keterlibatan ini, perempuan di akar rumput dapat mengawal proses pembuatan regulasi hingga implementasinya, agar perempuan dan anak di Lombok Utara memperoleh perhatian khusus.

KBP juga turut mendorong predikat Kabupaten Layak Anak yang berhasil diraih oleh Lombok Utara. Pada tahun 2017, 10 orang remaja yang tergabung dalam Kanca/KBP dilibatkan dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang), di mana mereka menyampaikan aspirasi untuk prioritas pembangunan youth center sebagai rumah bersama para pemuda. Proyek ini diharapkan dapat direplikasi di berbagai tempat di Lombok Utara.

Keterlibatan pemimpin muda komunitas dalam berbagai momentum pengambilan kebijakan di Lombok Utara merupakan upaya penting untuk mempertegas hak warga negara dalam mengawal kebijakan, sekaligus menjadi wujud perempuan yang berdaya di Lombok Utara. Gerakan bersama yang melibatkan pemimpin perempuan di akar rumput diperlukan untuk terus mendorong disahkannya regulasi yang berpihak pada perempuan dan anak. Bahkan setelah disahkan, regulasi tersebut harus terus diawasi dan disuarakan pelaksanaannya.

Salah satu langkah yang dapat dilakukan oleh pemimpin perempuan komunitas, melalui Kanca/KBP, adalah terus melakukan kampanye menggunakan seni dan budaya—seperti tari, musik, dan kampanye di media sosial. Anggota muda yang tergabung dalam Kanca dan KBP telah melakukan hal luar biasa untuk merespons budaya patriarki dan kemiskinan. Langkah selanjutnya adalah terus memperkuat kerjasama dan persaudaraan agar perempuan dan anak di Lombok Utara dapat terus berdaya.

Temu Perempuan Pemimpin Komunitas Lombok Utara

Oleh Erni Agustini

Pada 9-10 November 2024, di penghujung momen pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di seluruh Indonesia, Rumah KitaB bekerja sama dengan JASS dan Klub Baca Perempuan (KBP), telah melaksanakan kegiatan Temu Perempuan Pemimpin Komunitas di Kabupaten Lombok Utara. Dalam kegiatan tersebut, yang terlibat adalah 25 orang perempuan dengan beragam latar belakang, pendidikan, dan aktivitas maupun profesi (guru, dosen, relawan KBP, kader pemberdayaan desa, analis kesehatan, fasilitator lapangan, maupun pelajar dan mahasiswa). Bahkan diantara pelajar dan mahasiswa tersebut ada yang aktif sebagai penari dan penyair berprestasi.


Urgensi Kegiatan 
Kegiatan ini menjadi penting, karena momentum Pilkada menjadi tumpuan untuk memilih pemimpin yang sesuai dengan harapan masyarakat. Namun harus diakui harapan tersebut tidak mudah dipenuhi mengingat hingga saat ini masih sangat sedikit Kepala Daerah yang bertanggung jawab atas semua kebijakan yang dibuatnya. Juga belum banyak Kepala Daerah yang melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan, suara masyarakat termasuk suara perempuan masih sering diabaikan dan dianggap tidak penting.

Pada tahun 2023, Rumah KitaB yang tergabung dalam Konsorsium We Lead, bersama dengan 100 perempuan pemimpin dari akar rumput telah berhasil merumuskan 10 Agenda Politik Perempuan untuk dibawa kepada para pengambil kebijakan untuk menjadi perhatian. 10 Agenda Politik Perempuan ini menggambarkan bagaimana masih banyak yang harus diperhatikan pemerintah untuk memperbaiki kehidupan masyarakat, termasuk didalamnya adalah kehidupan perempuan.


Tujuan Kegiatan Temu Perempuan Pemimpin
Tujuan kegiatan temu pemimpin perempuan adalah mengajak para perempuan untuk duduk bersama, membangun ruang aman untuk berbagi pengalaman masing-masing, dan membangun strategi bersama untuk memperkuat kepemimpinan perempuan di akar rumput yang nantinya bisa diteruskan kepada para pengambil kebijakan.


Transformasi Perempuan; Dari Ketidakberdayaan Menjadi Berdaya dan Berkarya
Kegiatan temu perempuan yang berlangsung selama dua hari ini dikemas dalam sesi-sesi yang menarik, interaktif dan mampu memberi inspirasi dan penguatan kepada para peserta. Dimulai dengan sesi perkenalan, berbagi pengalaman dan perasaan melalui ruang aman. Melalui ruang aman ini, para peserta mendapatkan kesempatan untuk menceritakan pengalaman dan perasaannya kepada fasilitator. Pada sesi ini, seluruh aktivitas tidak direkam dan didokumentasikan (foto dan video) untuk memberikan rasa aman dan nyaman kepada para peserta saat bercerita kondisi paling tidak berdaya dalam kehidupannya.

Dari sesi ini, terungkap betapa pelik situasi yang dialami perempuan dalam siklus kehidupannya. Peserta dari kelompok remaja, pelajar dan mahasiswa rata-rata memiliki kesamaan cerita pahit di masa kecilnya. Mereka kehilangan hak mendapatkan pengasuhan dari orang tua, kehilangan rasa aman saat berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang tua, maupun pengalaman merasakan kekerasan secara verbal, fisik maupun psikologis. Dari cerita para peserta, ada kecenderungan bahwa para orang tua mudah menghukum anaknya secara fisik ketika berinteraksi. Situasi tersebut didorong karena situasi ekonomi yang sulit maupun imbas dari ketidakharmonisan hubungan di antara kedua orangtuanya. Selain kekerasan fisik, kekerasan juga terjadi terhadap ibu dan anak, karena dipicu oleh kehadiran pihak ketiga dan perselingkuhan sang bapak.

Dari berbagai situasi ini memaksa remaja mengambil alih peran dan tanggung jawab orang tua untuk mengasuh adik-adiknya karena orangtuanya harus bekerja ke luar negeri sebagai buruh migran. Adapun peserta yang sejak kecil diasuh oleh nenek atau kerabat, dan baru merasakan pelukan dari sang ibu saat sudah remaja karena sang ibu yang bekerja di luar negeri.

Diantara peserta remaja ada juga yang mengalami pembatasan terhadap akses pendidikan. Orang tua melarang mereka untuk melanjutkan sekolah di luar kota. Hal itu membuat teman-teman merasa cemas dan trauma. Namun demikian, situasi tersebut tidak membuat para remaja terpuruk, mereka mampu bertahan dalam situasi yang sulit, bahkan beberapa dari mereka berhasil mengukir prestasi dengan memenangi lomba, mendapatkan hadiah, dan lainnya.


Keterbatasan Perempuan Dewasa
Sementara itu, situasi ketidakberdayaan yang dialami peserta dewasa; pertama, isu kesehatan dan kehilangan anak. Bagi ibu, anak adalah sumber kehidupan dan pusat dunia. Kedua, masalah ekonomi. Ketiga, keterbatasan waktu untuk anak. Keempat, penilaian masyarakat karena meninggalkan anak.

Faktor yang Membuat Perempuan Dewasa Berdaya
Sementara yang membuat para perempuan dewasa berdaya adalah; adanya support system—dari suami, keluarga, Kanca KBP yang memberi ruang dan kesempatan untuk saling menguatkan, memberi ruang aman untuk berekspresi sehingga bisa menghasilkan karya; punya prestasi; perbaikan ekonomi; tubuh dan jiwa yang sehat; serta mendorong perempuan bersatu; memiliki kebebasan dalam mengambil keputusan.


Menciptakan Ruang Aman Bagi Perempuan dan Anak
Terdapat kearifan lokal budaya Lombok yang perlu ditelisik kembali untuk mengatasi persoalan perempuan dan anak. Nursida Syam (Koordinator KBP) menuturkan bahwa terjadi perubahan dalam memaknai tradisi memulang, memaling, dan merarik (perempuan diculik oleh calon suami untuk dinikahi). Menurutnya, tradisi tesebut merupakan simbol bahwa perempuan mempunyai kuasa sendiri untuk memutuskan menikah atau tidak. Dalam tradisi merarik, ketika perempuan memutuskan dan tidak rela keluar rumah untuk bertemu dengan calon mempelai laki-laki, maka proses pernikahan itu tidak akan terjadi.

Namun praktiknya, dalam tradisi memaling/merarik, perempuan dijebak dan kemudian diculik oleh calon suaminya. Menurut Nursida Syam, menjebak perempuan melalui tradisi itu sesungguhnya telah mencederai adat. Tradisi ini sebetulnya mempunyai keberpihakan besar kepada perempuan, namun banyak tokoh adat memilih untuk tidak mengampanyekan keberpihakan dari tradisi ini.

Tradisi lain yang menunjukkan keberpihakan terhadap perempuan dan anak adalah tradisi menenun. Raden Muhammad Rais (Budayawan Sasak) getol menyuarakan bahwa dulu perempuan boleh menikah ketika mampu membuat 144 helai tenun—dengan beragam warna dan motif. Jika dikonversi usia, maka perempuan baru boleh menikah ketika memasuki usia 22 tahun. Mispersepsi yang terjadi terhadap tradisi ini yang menyebabkan kawin anak.


Masalah Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak
Selain itu, beragam persoalan yang dialami perempuan dan anak adalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), kekerasan seksual, kekerasan terhadap anak, stunting, bullying, perkawinan anak, judi online, yatim piatu sosial, diskriminasi terhadap perempuan, peredaran narkoba, prostitusi online, tingginya angka bunuh diri, serta depresi.

Akar Masalah
Akar masalah dari beragam persoalan di atas adalah;

  1. Kuatnya budaya patriarki:
    Budaya patriarki mendorong perempuan untuk tidak mendukung atau menjatuhkan perempuan lain. Dalam budaya patriarki, posisi laki-laki berada di atas perempuan. Dalam situasi seperti ini, kita jangan menyalahkan perempuan yang tidak mendukung perempuan karena mereka masih terpapar dengan budaya patriarki. Namun para perempuan yang sudah terpapar oleh isu keadilan gender, perempuan akan mendukung perempuan lain.

    Budaya patriarki juga mempertegas perbedaan karakteristik kepemimpinan laki-laki dan kepemimpinan perempuan. Salah satu karakteristik pemimpin laki-laki adalah one man show. Sementara pemimpin perempuan lebih banyak mengajak perempuan lain untuk membangun kekuatan. Namun, masih banyak juga pemimpin perempuan yang patriarki. Karenanya, kita perlu bernegosiasi dan mengajak para pemimpin laki-laki maupun pemimpin perempuan agar mereka mewakili suara perempuan bukan mewakili dinasti politik.

  2. Kebijakan yang tidak berpihak pada perempuan dan anak:
    Kebijakan yang berpihak pada perempuan dan anak masih sangat sedikit sehingga persoalan-persoalan yang ada tidak bisa diatasi.
  3. Kemiskinan:
    Menjadi akar masalah yang tidak terselesaikan hingga hari ini.

Harapan untuk Masa Depan Perempuan dan Anak
Lantas bagaimana seharusnya kondisi perempuan dan anak yang kita harapkan? Beragam respons muncul dari para peserta. Kondisi perempuan dan anak akan baik-baik saja jika;

  • Perempuan ikut mengubah dunia.
  • Perempuan menjadi pemimpin.
  • Tidak ada diskriminasi.
  • Ruang untuk anak muda berkreasi (youth center).
  • Perempuan dan anak bebas dari kekerasan.
  • Anak tumbuh didampingi orang tua.
  • Perempuan berpartisipasi aktif dalam pembangunan.
  • Perempuan menghargai keberagaman.
  • Hak dasar anak dan perempuan terpenuhi.
  • Berdaya dan mandiri.
  • Perempuan dan anak terlindungi.

Untuk melahirkan itu semua, kita semua harus mengakhiri akar persoalan yang ada, terus berstrategi dan bergerak bersama.

Menakar Suara Perempuan Cianjur Pasca Pilkada

Tahun 2024 merupakan pengalaman pertama Indonesia menyelenggarakan Pemilihan Umum secara serentak, mencakup pemilihan presiden, pemilihan legislatif, hingga pemilihan kepala daerah.

Pada 27 November 2024, rangkaian pemilu serentak telah berakhir, dan pada 15 Desember lalu telah diumumkan hasil final perolehan suara. Mulai bermunculan wajah-wajah baru para pemenang pilkada, seperti Pramono Anung dan Rano Karno di Pilgub Jakarta, Dedi Mulyadi dan Erwan di Pilgub Jawa Barat, serta Andra Soni dan Dimyati Natakusumah di Pilgub Banten.

Para kontestan di Pilpres, Pileg, maupun Pilkada memperebutkan suara yang tersedia di DPT Nasional sejumlah 204,8 juta, di mana setengahnya adalah suara perempuan. Di Jawa Barat, DPT tahun 2024 mencapai 35 juta lebih, sementara DPT Kabupaten Cianjur berjumlah 1,8 juta lebih. Suara perempuan menempati 50 persen dari total DPT Nasional, termasuk di Jawa Barat dan Kabupaten Cianjur.

Selama kepemimpinan Bupati Herman Suherman, Cianjur telah berupaya membangun infrastruktur hukum yang berpihak pada perempuan dan telah berkomitmen mengimplementasikan Revisi UU Perkawinan 16/2019 melalui pengesahan Peraturan Bupati Cianjur Nomor 10 Tahun 2020 tentang Pencegahan Kawin Anak pada 12 Maret 2020. Regulasi tersebut didorong oleh PHC dan Rumah KitaB atas dukungan Program Berdaya 2 Australia-Indonesia Partnership for Justice (AIPJ) 2.

Pemerintah Kabupaten Cianjur juga telah memperluas kehadiran Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM), bahkan hingga ke wilayah pedesaan di Cianjur Selatan. Berbagai pelatihan telah dilakukan sejak 2017 hingga 2023 bersama Rumah KitaB untuk perlindungan anak, pencegahan kawin anak, dan penguatan kelembagaan PATBM di Cianjur. Tidak hanya PATBM, Rumah KitaB juga memfasilitasi diskusi pemberdayaan perempuan dalam wacana keagamaan yang melibatkan para tokoh agama dan pemangku kepentingan pesantren di Cianjur. Selain itu, mereka melatih para santri dalam peningkatan pengetahuan kesehatan reproduksi dengan menghadirkan perwakilan Forum Anak Cianjur.

Selain Rumah KitaB, lembaga lain yang bekerja dalam isu perlindungan perempuan dan anak adalah Jaringan Pekka, yang secara konsisten melakukan pemberdayaan terhadap perempuan kepala keluarga, serta IJRS dan LBH yang memberikan pendampingan hukum terhadap perempuan yang berhadapan dengan hukum, khususnya mereka yang tengah memperjuangkan hak-hak pascacerai (hak asuh, nafkah pengasuhan anak, dan hak pendidikan anak), yang sering diabaikan.

Artinya, program perlindungan anak dilakukan secara paralel dengan program pemberdayaan perempuan dan penguatan pendamping perempuan berhadapan dengan hukum untuk mengoptimalkan perjuangan keadilan gender di Cianjur.

Namun, masih terdapat tantangan dalam implementasi regulasi perlindungan anak di Cianjur. Diskriminasi dan kekerasan yang dialami perempuan dan anak, seperti KDRT, TPPO melalui kawin kontrak, masih sering terjadi. Salah satu kasus pada April 2024 melibatkan pelaku perempuan berinisial RN dan LR, dengan puluhan korban perempuan dan anak serta tarif antara Rp30 juta hingga Rp100 juta, selain perkawinan siri yang melibatkan argumentasi keagamaan.

Menurut data Kemen-PPPA, partisipasi perempuan dalam dunia kerja masih sangat rendah. Namun, partisipasi perempuan dalam pekerjaan nonformal sangat tinggi, sekitar 55–66 persen. Pada saat yang sama, sektor perdagangan nonformal di Cianjur tengah mengalami tekanan serius akibat industri pariwisata yang mengedepankan pemilik modal, menggusur peran para pelaku bisnis nonformal seperti perempuan. Akibatnya, puluhan perempuan yang menggantungkan nasib ekonominya pada sektor nonformal bermigrasi ke sektor yang lebih berbahaya. Ratusan dari mereka menjadi korban TPPO melalui praktik perkawinan kontrak atas nama agama.

Suara Serak Perempuan di Tengah Pilkada Cianjur

Pada Pilkada Cianjur, terdapat tiga pasangan calon (paslon) yang saling berkontestasi. Paslon pertama, Herman Suherman dan Mohammad Solih Ibang, mengusung program unggulan keberlanjutan Cianjur Emas, yang meliputi pembangunan sumber daya, penguatan pelayanan kesehatan, penguatan industri pariwisata dan agribisnis, serta pembangunan infrastruktur. Pasangan ini juga menjanjikan penguatan pesantren untuk pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, terintegrasi dengan program DPPKBP3A Kabupaten Cianjur.

Visi dan misi paslon kedua, Wahyu dan Ramzi, berfokus pada pemberian ekonomi mikro, layanan sekolah gratis, bantuan pesantren, dan penguatan industri pariwisata.

Paslon ketiga, Deden Nasihin dan Neneng Efa Fatimah, memfokuskan programnya pada penguatan pelayanan kesehatan, pendidikan, dan pemberdayaan perempuan, termasuk peningkatan anggaran DPPKBP3A yang selama ini sering kekurangan anggaran untuk mengimplementasikan program-programnya.

Pada 31 Oktober 2024, Perempuan Hebat Cianjur (PHC) bersama Rumah KitaB, atas dukungan JASS, menyelenggarakan dialog perempuan dengan tema “Perempuan Cianjur Bersuara”. Kegiatan ini dihadiri oleh 79 tokoh perempuan Cianjur, termasuk Ketua Umum PPRK MUI Cianjur, Ketua PW Aisyiyah Muhammadiyah, Ketua Muslimat NU, Al-Irsyad, Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia, ketua-ketua majelis taklim, dan organisasi kepemudaan di Cianjur.

Kegiatan ini dimeriahkan oleh kehadiran Paslon ketiga, Neneng Efa Fatimah, dan Ketua Tim Pemenangan Paslon pertama. Keduanya menjawab pertanyaan yang diajukan dan disuarakan oleh perempuan Cianjur yang hadir dalam dialog tersebut.

Terdapat tujuh agenda politik perempuan yang disampaikan dalam kegiatan ini:

  1. Perlindungan perempuan dan anak,
  2. Penyediaan layanan dasar yang mudah dijangkau,
  3. Infrastruktur yang ramah dan aman bagi perempuan,
  4. Hak pekerja yang layak,
  5. Keadilan ekonomi,
  6. Partisipasi politik,
  7. Perlindungan pembela HAM.

Hj. Rina Mardiyah, Ketua Umum PHC, dalam sambutannya menekankan bahwa kegiatan tersebut murni merupakan upaya perempuan Cianjur untuk menyampaikan suaranya, mengingat kelompok perempuan ini menempati 50 persen dari populasi DPT di Cianjur. Berdasarkan nilai strategis suara perempuan, Rina merujuk pada hasil kegiatan Rembuk Perempuan Cianjur 2023. Dari 10 agenda politik perempuan yang dihasilkan, tujuh di antaranya dianggap penting untuk disuarakan kepada para kontestan Pilkada agar dijadikan pertimbangan dalam program unggulan mereka.

Desti Murdijana dari JASS menyampaikan bahwa 100 perempuan dari berbagai latar belakang, seperti aktivis perempuan, komunitas perempuan disabilitas, aktivis buruh perempuan, dan ulama perempuan, ikut serta dalam Rembuk Perempuan yang diselenggarakan pada 12 Mei 2023. Dengan latar belakang peserta yang beragam, mereka berhasil merumuskan agenda perempuan dan menyampaikannya kepada para kontestan Pilkada melalui dialog-dialog yang difasilitasi oleh PHC Cianjur.

Pemenang Pilkada Cianjur dan Masa Depan Suara Perempuan

Dalam perkembangannya, kontestan pemenang Pilkada adalah pasangan Wahyu dan Ramzi yang dikenal dengan program bantuan pesantrennya. Namun, mereka tidak hadir dalam kegiatan “Perempuan Cianjur Bersuara” dan tidak mengirimkan perwakilan.

Apakah suara perempuan akan kembali redup atau kurang menyala?
PHC Cianjur memiliki pekerjaan rumah yang besar, yakni kembali mengetuk pintu birokrasi untuk menguatkan advokasi pentingnya pemenuhan suara perempuan di Cianjur. Selain itu, mereka harus melanjutkan dan memperkuat infrastruktur hukum yang telah dibangun dalam lima tahun terakhir serta meyakinkan bupati dan wakil bupati terpilih untuk memasukkan tujuh agenda politik perempuan ke dalam program kerja mereka.