Pos

Menjadi Manusia Otentik di Hari Raya

Ramadan telah pergi meninggalkan kita. Idulfitri tiba disambut dengan suka cita. Salah satu hikmah dari pendidikan Allah selama bulan puasa kemarin adalah agar melahirkan insan-insan yang kembali pada fitrah. Dalam Al-Quran Surat Ar-Rum ayat 30, Allah Swt menggunakan kata fitrah sebagai berikut:

Maka, hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam sesuai) fitrah (dari) Allah yang telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah (tersebut). Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.

Seorang mufasir modern, Imam Thahir Ibn ‘Asyur dalam kitabnya “At-Tahrir wat Tanwir” memaknai kata fitrah pada ayat tersebut bermakna unsur-unsur dan sistem yang Allah anugerahkan kepada setiap makhluk berupa jasad dan akal. Dengan potensi itu, manusia mampu membedakan ciptaan Allah dan mengenal syariat-Nya.

Berdasarkan uraian tersebut, fitrah dapat dipahami sebagai upaya kembali mengenali jati diri yang otentik. Terlebih di era modern saat ini, sering kali kita menampilkan diri yang palsu, penuh kosmetik. Kita berbohong terhadap diri ini hanya agar dipandang baik oleh orang lain di stori whatsapp, instagram, tiktok, dan sebagainya.

Dengan kembali menyelami fitrah kemanusiaan, kita akan terkoneksi dengan kehidupan Sang Pencipta yang mengatur semesta. Terlebih momentum Idulfitri tahun ini bertepatan dengan hari raya Nyepi bagi umat Hindu dan menyongsong Paskah untuk umat Kristiani. Semua ibadah tersebut mengajak umat beragama untuk mengambil jeda waktu sejenak untuk menghayati fitrah kehidupan ini.

Fitrah itu ibarat jaringan seluler atau wifi dan jasad manusia itu ibarat telepon seluler. Jika telepon seluler terkoneksi dengan jaringan, maka gawai dapat berfungsi dengan baik. Sebaliknya jika tidak terhubung, maka ponsel sebatas fisik yang tak berarti lagi. Begitulah perumpamaan kita sebagai manusia yang menghidupkan fitrah kemanusiaan.

Melalui momentum komunal umat beragama ini, setidaknya ada tiga koneksi jaringan yang perlu kita pulihkan. Pertama, habl min Allah, relasi dengan Sang Pencipta. Selama bulan puasa kemarin, kita dididik oleh Allah untuk memperbaiki hubungan dengan-Nya.

Sayangnya, pasca-Ramadan kita justru menjauh dari Sang Pencipta. Selama bulan puasa kemarin, kita digembleng oleh Allah untuk mendekat kepada-Nya. Dengan senantiasa berupaya mendekatkan diri dan merasa diawasi oleh Allah, akan lahir semangat untuk menjauhi sifat-sifat tercela seperti mencuri, korupsi, mengadu domba, menebar berita hoax, dan sebagainya.

Selain relasi dengan Tuhan yang perlu diperbaiki, relasi kedua adalah hubungan dengan sesama manusia (habl min al-nas). Hal ini juga sama pentingnya dengan membangun hubungan dengan Allah Swt. Sebab mereka yang mendekat dan menjalankan tuntunan Ilahi, akan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan pula.

Karenanya ibadah-ibadah yang dilakukan selama Ramadan kemarin, selain meningkatkan keimanan personal, seharusnya juga mengasah kepekaan sosial. Bukankah dengan beribadah puasa, kita dapat merasakan betapa susahnya orang-orang miskin dan tak berdaya hidup di tengah kelaparan dan ketimpangan ekonomi. Bukankah dengan mengeluarkan zakat, infak dan sedekah, kita dilatih untuk tidak pelit dan sadar bahwa harta yang dimiliki adalah titipan dan harus dikeluarkan sesuai dengan tuntunan agama.

Setelah memperbaiki relasi kita dengan Pencipta dan sesama manusia, maka hubungan yang ketiga adalah konektivitas kita dengan alam raya (habl min al-‘alam). Tanpa kita sadari, sebenarnya sebagai manusia kita punya keterikatan dan keterhubungan dengan alam. Sejarah nenek moyang kita memperlihatkan bagaimana mereka dapat hidup selaras dengan alam sebagai petani, nelayan, dan pemburu. Mereka hidup dari alam karena mereka menjaga alam.

Selain itu, jika kita bedah, tubuh kita juga diciptakan dari unsur yang ada di alam raya, yaitu tanah untuk Nabi Adam a.s. sedangkan anak cucunya diciptakan dari saripati tanah, berupa zat-zat makanan yang kemudian menjadi darah. Maka kehadiran alam raya sangat penting bagi kelangsungan manusia.

Tanah yang selalu diinjak tapi dari tanah pula tumbuh dan lahir kehidupan. Karenanya kembali ke fitrah dapat dimaknai pula dengan memahami falsafah tanah yang menjadi bahan dasar penciptaan manusia. Sebagai manusia tak perlu sombong karena kita berasal dari sesuatu yang rendah bahkan hina. Tetapi yang penting adalah bagaimana manusia yang biasa ini menjadi manusia yang luar biasa, layaknya tanah yang menumbuhkan kehidupan, manusia dapat menebar manfaat dan maslahat sebanyak-banyaknya, khairun naas, anfa’uhum lin naas. Spirit menebar kemanfaatan inilah yang tersirat dari sabda Nabi Saw berikut:

“Jika terjadi hari kiamat sementara di tangan salah seorang dari kalian ada sebuah tunas, maka jika ia mampu sebelum terjadi hari kiamat untuk menanamnya maka tanamlah.” (HR. Bukhari & Ahmad)

Relasi dengan alam ini perlu untuk kita renungkan kembali di momentum Idulfitri ini. Sebab manusia sebagai khalifah fil ardh, ditugaskan untuk mengelola alam raya, bukan justru merusaknya.

Selain menjaga alam raya dari kerusakan, langkah nyata memulihkan hubungan dengan alam yang dapat kita lakukan menyambut Idulfitri ini adalah berhari raya dengan penuh kesederhanaan. Sederhana di sini bukan berarti kita dilarang bersuka cita, bergembira dan menikmati makanan yang lezat. Ajaran agama jelas, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan.

Dengan demikian, pahamlah kita makna sejati ber-idulfitri. Bahwa Idulfitri adalah semangat memulihkan dan merawat fitrah kemanusiaan yang sudah ditempa selama satu bulan, dan diteruskan pada bulan-bulan berikutnya. Fitrah kemanusiaan yang dimaksud adalah dengan merekatkan habl min Allah, habl min al-nas dan habl min al-‘alam. Wallahu a’lam.