Pos

Lima Ancaman Omnibus Law Terhadap Perempuan Versi Solidaritas Perempuan

Ada 5 ancaman Omnibus Law terhadap perempuan. Lima ancaman Omnibus Law terhadap perempuan ini akan membuat posisi perempuan semakin rentan.

JEDA.ID-Ada lima ancaman Omnibus Law terhadap perempuan. Sebanyak lima ancaman Omnibus Law terhadap perempuan ini akan memperlebar dan memperdalam ketimpangan yang sudah dialami oleh perempuan.

Solidaritas Perempuan (SP) menyebut RUU Omnibus Law Cipta Kerja dapat mengancam keselamatan perempuan. Setidaknya ada 5 ancaman ketika RUU itu disahkan bagi perempuan menurut SP.

Koordinator Program Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan Arieska Kurniawaty menyoroti pembahasan Omnibus Law yang terus berlanjut di tengah pandemi Corona. Arieska menilai ada agenda yang lebih penting untuk dilakukan seperti pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).

“Setidaknya kita punya 140 juta perempuan di Indonesia yang saat ini menanti kesungguhan pemerintah dan parlemen untuk menjalankan mandatnya dalam melindungi warganya khusunya perempuan dari kejahatan seksual melalui RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Seperti juga halnya perempuan di wilayah pedesaan dan perkotaan yang menunggu bagaimana tindakan negara untuk mengatasi krisis Covid-19 yang berlarut-larut tidak membaik,” kata Arieska melalui siaran YouTube Rakyat Indonesia ID, seperti dikutip dari detikcom, Senin (5/10/2020).

“Penghasilan yang menurun, beban yang berlapis karena kerja di rumah sekaligus pembelajaran jarak jauh, peran perawatan keluarga dan lainnya atau seperti ada agenda regulasi penting yang nyata dibutuhkan masyarakat seperti RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, RUU Masyarakat Adat tapi negara tidak hadir. Negara justru hadir bukan menjalankan agenda itu tapi bersikeras menghasilkan regulasi yang ugal-ugalan, merampas kedaulatan rakyat, kedaulatan perempuan,” sambungnya.

Menghilangkan Analisis Gender dalam Amdal dan KLHS

Arieska kemudian mengungkap ada 5 ancaman Omnibus Law terhadap perempuan. Dia menyebut pada RUU ini akan menghilangkan analisis gender dalam pengurusan Analis Dampak Lingkungan (Amdal) dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).

“Bagi SP setidaknya kami mencatat ada 5 ancaman Omnibus Law terhadap perempuan. Pertama jelas Omnibus Law ini langkah mundur dari komitmen pemerintah untuk memastikan analisis gender dalam perlindungan lingkungan melalui Amdal dan KLHS. Jadi menteri Lingkungan Hidup pernah membuat komitmen yang dituangkan dalam peraturan menteri dan secara jelas menyebut perempuan sebagai salah satu kelompok kepentingan yang harus dilibatkan dalam konsultasi Amdal dan KLHS. Itu dianulir sendiri oleh pemerintah melalui regulasi ini,” tutur dia.

Selain itu, menurut Arieska aturan ini juga akan mengancam kepemilikan tanah terhadap perempuan. Dia menyebut Omnibus Law menjamin kemudahan investasi termasuk dalam kepemilikan tanah yang akan menggusur rakyat.

“Kita juga tahu bagaimana Omnibus Law ini menjamin kemudahan investasi termasuk dalam kepemilikan dan penguasaan tanah dan hal ini akan jelas-jelas akan menggusur rakyat. Buat perempuan pasti situasinya lebih sulit, karena ini akan memperlebar dan memperdalam ketimpangan yang sudah dialami oleh perempuan. Kami mencatat di tahun 2019 cuma sebanyak 24,2% bukti kepemilikan tanah atas nama perempuan. Budaya patriarki menjadi hambatan paling signifikan bagi perempuan untuk punya aksen dan kontrol atas tanah,” tutur dia.

Memperluas Konflik Agraria

Omnibus Law ini menurut Arieska juga akan memperluas konflik agraria. Dia menegaskan perempuan sering kali menjadi korban dalam konflik ini.

“Kita juga lihat ini berpotensi memperdalam dan memperluas konflik agraria, dan pada saat konflik agraria terjadi, perempuan biasanya mengalami intimidasi dan kekerasan yang berlapis. Beberapa bulan yang lalu perempuan Adat Pubabu diancam, dikriminalisasi karena melakukan aksi buka baju saat berhadapan dengan aparat keamanan,” sebut Arieska.

Mengancam Kedaulatan Pangan

Arieska mengatakan RUU ini juga akan mengancam kedaulatan pangan. Hal ini akan berdampak kepada perempuan yang banyak menjadi produsen pangan.

“Kita lihat bahwa Omnibus ini juga mengancam kedaulatan pangan salah satunya karena adanya ketentuan yang menyamakan antara kedudukan produksi pangan dalam negeri dan cadangan pangan nasional dengan impor pangan sebagai sumber penyediaan pangan. Pasar domestik kita itu bisa dibanjiri oleh pangan impor. Sementara di sisi lain subsidi untuk petani, subsidi untuk nelayan itu terus dicabut karena pemerintah kita rajin sekali menandatangani perjanjian internasional. Terlebih kita tahu sebagian besar perempuan produsen pangan itu adalah produsen yang subsisten,” jelasnya.

Memperburuk Perlindungan terhadap Perempuan Pekerja

Perlindungan terhadap buruh perempuan juga disoroti oleh Arieska. Dia menyebut aturan cuti pada Omnibus Law Cipta Kerja merugikan perempuan.

“Keempat kita melihat bahwa Omnibus Law ini memperburuk perlindungan perempuan buruh. Tidak dikenal cuti karena haid atau karena keguguran karena hanya menyebutkan cuti tahunan dan cuti panjang lainnya yang diatur dalam perjanjian kerja,” tuturnya.

Perempuan Pekerja akan Bermigrasi Jadi Buruh Rumah Tangga

Adanya Omnibus Law ini, Arieska menyebut banyak tenaga kerja perempuan yang akan bermigrasi menjadi buruh rumah tangga. Menurutnya saat ini masih minim jaminan terhadap buruh rumah tangga. Sehingga Solidaritas Perempuan menolak disahkannya RUU Omnibus Law Cipta Kerja.

“Dan poin kelima, bagi kami masifnya perampasan lahan, sulitnya lapangan pekerjaan, hak-hak buruh yang semakin dipangkas itu mendorong migrasi tenaga kerja. Di mana perempuan banyak menjadi buruh migran, bermigrasi sebagai pekerja rumah tangga. Berdasarkan pengalaman penanganan kasus SP, perempuan buruh migran terus mengalami kekerasan dan pelanggaran hak yang berlapis, karena tidak adanya atau minimnya perlindungan negara. Sehingga penting bagi kita semua untuk terus berkonsolidasi, untuk menyuarakan penolakan,” katanya.

Ditulis oleh : Astrid Prihatini WD

Sumber: https://jeda.id/real/lima-ancaman-omnibus-law-terhadap-perempuan-versi-solidaritas-perempuan-7519

Amati dan Teliti: Dampak Omnibus Law UU Cipta Kerja Bagi Pekerja dan Perempuan

Amati dan teliti dampak Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja bagi buruh dan perempuan, karena jika tidak, kita bisa terkecoh. Sekilas seperti tidak ada perubahan berarti dari UU Ketenagakerjaan 13/2003, padahal jika kita lihat, ada penggantian dan penghilangan substansi hingga timpang tindih antara pasal satu dengan pasal lainnya yang merugikan pekerja dan perempuan. Yuk, kita lihat.

Luviana dan Nur Aini- Konde.co

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bergerak sangat cepat, secara sembunyi-sembunyi ketika membuat hingga menetapkan UU Omnibus Law Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020.

Semua merasa terhenyak karena penetapan ini memang tidak sesuai jadwal sidang pada 8-9 Oktober 2020. Sejumlah aktivis mengatakan DPR menerobos ketentuan dalam UU MD3 karena bisa begitu saja mengganti jadwal sidang.

Inisiatif pemerintah untuk menerbitkan UU Cipta Kerja di akhir tahun 2019 langsung mendapatkan dukungan secara cepat dari DPR. Kali pertama inisiatif pemerintah tentang Omnibus Law secara resmi disampaikan Presiden Joko Widodo dalam pidato pelantikan periode kedua pada 20 Oktober 2019. Saat itu, Jokowi memperkenalkan RUU Cipta Lapangan Kerja yang sebagian publik mengkritiknya menjadi RUU Cilaka dan berbuah penggantian nama undang-undang menjadi UU Cipta Kerja.

Dalam penyusunannya, tidak seperti di banyak Omnibus Law di negara lain, Omnibus Law biasanya disusun selama bertahun-tahun karena harus menggabungkan banyak UU menjadi satu UU, tetapi di Indonesia, menggabungkan banyak UU ini hanya butuh waktu dalam hitungan bulan.

Kondisi itu berbalik saat DPR didesak untuk membahas undang-undang lain yang sangat penting bagi perlindungan warga negara. Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) membutuhkan waktu 6 tahun dan belum juga diundangkan. Sedangkan, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT) lebih lama lagi, sudah 16 tahun diperjuangkan dan belum terwujud hingga sekarang.

Selain penyusunannya yang kilat dan menabrak aturan, substansi UU Cipta Kerja juga bermasalah dan membawa potensi buruk khususnya bagi pekerja/buruh dan perempuan. Perspektif dalam substansi UU Cipta Kerja condong pada kepentingan pengusaha, bukan lagi dilandasi semangat untuk melindungi pekerja/buruh yang relasi kuasanya lebih lemah.

Apa saja kerugian yang dapat dialami buruh dan perempuan dalam UU Cipta Kerja ini? Yuk kita lihat, intinya kamu jangan terkecoh dengan UU Cipta Kerja karena ada banyak pasal yang saling menghilangkan pasal yang lain.

1. Waktu kerja dan lembur lebih panjang

Substansi UU Cipta Kerja mengubah waktu kerja yaitu dihilangkannya ketentuan lima hari kerja dan dua hari istirahat mingguan. Dalam ketentuan Pasal 79 UU Ciptaker ayat 1b disebutkan bahwa istirahat mingguan 1 hari untuk 6 hari kerja.

Selain bekerja selama 6 hari, pekerja juga dipaksa memperpanjang waktu lembur. Dalam UU Cipta Kerja disebutkan lembur dilakukan 4 jam dalam 1 hari dan 18 jam dalam seminggu. Waktu lembur diperpanjang dari ketentuan UU Ketenagakerjaan 32/2003 pasal 78 disebutkan bahwa  waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.

2.  Waktu libur dikurangi

Perubahan waktu kerja, juga berdampak pada waktu libur yaitu hanya satu hari dalam seminggu untuk 6 hari kerja. Di dalam UU Ciptaker pasal 79 ayat 1 b disebutkan bahwa waktu istirahat mingguan hanya 1 hari untuk 6 hari dalam seminggu. Sementara, libur dalam UU Tenaga kerja disebutkan istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.

3.  Upah minimum hilang

Pada pasal 88 UU Ciptaker menghapus ketentuan rinci mengenai perhitungan upah yaitu tidak ada lagi ketentuan upah minimum. Perhitungan upah akan berdasarkan kebijakan pengupahan nasional yang diatur dalam peraturan pemerintah. Dengan ketentuan itu, maka upah berpotensi jauh dari layak. Ketentuan mengenai upah minimum pada pasal 89 UU Ketenagakerjaan pun dihapus oleh UU Ciptaker.

Selain itu, perubahan mendasar dalam pengupahan di UU Ciptaker adalah perhitungan berdasarkan satuan waktu. Meski satuan waktu tidak dirinci, tetapi ketentuan itu akan berdampak pada upah dihitung per jam. Dengan perhitungan itu, otomatis upah minimum tidak relevan lagi digunakan untuk pemberian upah. Selain itu, perhitungan upah per jam akan menghilangkan upah yang biasanya diterima secara tetap perbulannya.

4.  Perhitungan upah berubah

Dalam UU Cipta Kerja, upah dihitung berdasarkan satuan waktu dan satuan hasil (produktivitas) yang terdapat dalam pasal 88B.  Selain itu, upah dibayarkan sesuai dengan kemampuan perusahaan dan produktivitas, serta tidak ada pengawasan soal ini. Jika ada pelanggaran, apa yang bisa pekerja lakukan?

5.    Upah Cuti Haid dan Melahirkan akan hilang

Ketentuan UU Cipta Kerja memang tidak menghilangkan pasal dalam UU No 13 tahun 2003 mengenai cuti haid dan cuti melahirkan. Akan tetapi, substansi tentang upah per jam menghilangkan esensi dari cuti haid dan cuti melahirkan karena jika pekerja perempuan menjalani cuti tersebut otomatis tidak dihitung bekerja, sehingga tidak mendapatkan upah cuti.

6.     Cuti panjang hilang

Sejumlah cuti seperti cuti panjang tidak lagi diatur oleh pemerintah, tetapi diatur oleh perusahaan dengan perjanjian kerja, peraturan perusahaan dan dengan Perjanjian Kerja Bersama. Jika kamu tidak hati-hati dan siap untuk bernegosiasi dan meminta perusahaan tempatmu bekerja, maka cutimu akan ditentukan oleh perusahaan secara sepihak.

Di dalam pasal 79 UU Ciptaker ayat 5 juga menghilangkan hak istirahat panjang (cuti panjang) bagi pekerja. Di mana, cuti panjang hanya ditentukan oleh peraturan perusahaan/perjanjian kerja, bukan amanat UU seperti yang tertuang dalam UU No 13 Tahun 2003.

7.   PHK sepihak dipermudah

Perusahaan dapat memutus hubungan kerja (PHK) secara sepihak melalui Pasal 154A UU Ciptaker yaitu PHK dapat dilakukan dengan alasan perusahaan melakukan

penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan; efisiensi; tutup karena rugi, force majeur, menunda utang, dan pailit.

Pemutusan hubungan kerja juga dipermudah lewat pasal 151 UU Ciptaker yang menghapus ketentuan “segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja”. Perusahaan juga dapat melakukan PHK tanpa melalui perundingan dengan serikat pekerja. Selain itu, UU Ciptakerja menghapus ketentuan Pasal 161 UU Ketenagakerjaan yang sebelumnya mengatur surat peringatan sebelum PHK. Oleh karena itu, perusahaan dapat melakukan PHK tanpa melalui mekanisme surat peringatan.

8.     Jumlah pesangon dikurangi

Ketentuan dalam UU Ciptaker pasal 156 mengurangi jumlah pesangon jika pekerja di-PHK karena menghapus uang penggantian hak. Dalam Pasal 156 UU Ketenagakerjan terdapat penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat. Selain itu, UU Ciptaker menghapus pasal 162-166 dalam UU Ketenagakerjaan yang merinci jumlah pesangon dan perhitungan penghargaan masa kerja serta uang pengganti bagi pekerja yang mengundurkan.

Kekecewaan Buruh Perempuan

Dian Septi, Sekjend Federasi Buruh Lintas Pabrik/ FBLP yang dihubungi pada 6 Oktober 2020 menyatakan bahwa ketika rakyat makin dihadapkan pada ancaman pandemi yang tak kunjung menurun, dengan dampak krisis ekonomi yang harus ditanggung mulai dari Pemutusan Hubungan Kerja/ PHK, hilangnya pendapatan, dipotongnya upah , hingga menurunnya daya beli, wakil rakyat di senayan justru memaksakan pengesahan UU Cilaka Omnibus Law.

Undang-undang itu telah memunculkan gelombang protes sejak dimunculkannya karena dianggap mengabaikan aspirasi rakyat. Susunan satgas yang disusun , tak satupun menyertakan elemen buruh, tani, maupun elemen rakyat lainnya. Sebaliknya, ia dipenuhi dengan kelompok pengusaha yang punya kepentingan besar mempreteli hak buruh dan rakus mengeksploitasi alam.

Dalih membuka lapangan pekerjaan adalah omong kosong. BKPM mencatat, pada kurun 2013 – 2018 investasi terus naik, tapi tidak linear dengan penyerapan tenaga kerja. Hal ini terlihat pada data pada  2016, investasi sebesar USD 28,96 miliar hanya menyerap 951.939, dan  pada tri Wulan I 2019 USD 29,31 miliar hanya mampu menyerap 490.368 tenaga kerja.

Sejatinya, pembukaan lapangan kerja dan pemenuhan kesejahteraan rakyat bukan tanggung jawab investor tapi pemerintah. Kegagalan pemerintah menyejahterakan rakyat hanya menunjukkan kepada siapa pemerintah dan wakil rakyat berpihak.

Dimulai dari pengesahan UUK No. 13/2003 yang mengesahkan kontrak outsourcing (fleksibilitas tenaga kerja), PP 78/2015 yang melegalkan upah murah, hingga RUU Cilaka yang menghapus beragam hak buruh seperti  penghapusan semua hak cuti termasuk cuti hamil melahirkan dan cuti haid, pengesahan upah khusus padat karya, penghapusan UMSK, upah per satuan waktu per satuan jam. Selain itu, dampak bagi perempuan sektor lain akan dirasakan sebagai konsekuensi kemudahan perampasan tanah untuk bisnis tambang, sawit dan perpanjangan HGU selama 90 tahun, pengadaan bank tanah yang semuanya memperparah monopoli tanah pada segelintir korporasi dan kerusakan lingkungan.

“Ibu bumi sedang menangis, buruh menjerit, petani makin tersingkir, rakyat miskin tergerus,” ujarnya.

Kongkalikong pemodal dan penguasa telah kesekian kali mempecundangi rakyat. Di tengah ancaman pandemi yang mengurung kebebasan berekspresi rakyat, pada akhirnya parlemen jalanan adalah pilihan yang harus diambil.

Mari berdansa di jalanan, kita ekspresikan kemarahan!

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Luviana dan Nur Aini, jurnalis dan aktivis perburuhan

Sumber: https://www.konde.co/2020/10/amati-dan-teliti-dampak-omnibus-law-uu.html?fbclid=IwAR3s9uLeazNdnx3scZWcWoR6eSSIaggqIGh_B7_u-SGyYsdRdvE1ZabTzv8

Kejam? RUU Ciptaker Hilangkan Cuti Haid dan Melahirkan Pekerja Perempuan

JAKARTA – Puluhan pimpinan konfederasi dan federasi serikat pekerja menyepakati untuk melakukan mogok nasional sebagai bentuk penolakan terhadap Omnibus Law atau RUU Cipta Kerja. Rencananya aksi itu akan dilaksanakan pada 6 Oktober hingga 8 Oktober 2020.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menjelaskan, alasan buruh menolak RUU Ciptaker karena tercantum beleid bahwa hak cuti haid dan melahirkan bagi pekerja perempuan dihilangkan. Selain itu, cuti besar dan hak cuti panjang juga dilenyapkan sebagai hak karyawan.

“Yang hilang saat cuti haid dan hamil, upah buruhnya tidak dibayar. No work, no pay. Akibatnya buruh perempuan tidak akan mengambil hak cuti haid dan hamilnya karena takut dipotong upahnya pada saat mengambil cuti tersebut. Otomatis peraturan baru di Omnibus Law tersebut tentang cuti haid dan hamil hilang, karena dibuat untuk tidak bisa dilaksanakan. Jelas aturan ini bertentangan dengan konvensi Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) yang mengatur bahwa buruh yang mengambil hak cuti maka harus dibayarkan upahnya,” kata Said dalam keterangan tertulis, Senin (5/10/2020).

Dia menambahkan, dalam RUU Ciptaker juga mengizinkan perusahaan untuk melakukan kontrak karyawan selama seumur hidup. Sehingga, mereka pun tak akan mendapatkan jaminan pensiun serta kesehatan.

“Menjadi karyawan kontrak dan outsourcing seumur hidup, maka jaminan pensiun dan kesehatan bagi mereka hilang,” katanya.

Dia menyebutkan, mogok nasional dilakukan sesuai dengan UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dan UU No 21 Tahun 2000 khususnya Pasal 4 yang menyebutkan, fungsi serikat pekerja salah satunya adalah merencanakan dan melaksanakan pemogokan.

(uka)
Sumber: https://ekbis.sindonews.com/read/185984/33/kejam-ruu-ciptaker-hilangkan-cuti-haid-dan-melahirkan-pekerja-perempuan-1601871048