Pos

Antara Memilih dan Dipilih: Inferioritas Perempuan yang Dilanggengkan

Dalam banyak kesempatan, terutama saat perayaan hari-hari besar Islam, sering kali saya mendengar khotbah atau ceramah tentang kriteria memilih perempuan. Khotbah atau ceramah yang disampaikan ini tentu tidak hanya di panggung-panggung keagamaan, melainkan juga di panggung akademik.

Herannya, dalam setiap kesempatan yang saya ikuti, nasihat kriteria “laki-laki” atau “suami” tidak sebanyak kriteria yang dilekatkan kepada perempuan. Durasinya pun sangat singkat, bahkan lebih banyak tidak ada.

Jika ditelaah kembali, umumnya kriteria memilih perempuan yang banyak didengar ini didasarkan dari sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Abu Dawud, an-Nasa’i, dan Ibn Majah yang berbunyi:

تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ

Artinya: perempuan itu dinikahi karena empat hal yaitu (1) karena hartanya, (2) keturunannya, (3) kecantikannya dan (4) agamanya. Maka pilihlah yang baik agamanya, niscaya kamu akan beruntung.

Meskipun pada akhirnya yang ditekankan dalam memilih itu adalah ‘agamanya’, tentu saja tidak dapat menafikan tiga hal sebelumnya yaitu harta, keturunan, dan kecantikan. Hal ini memunculkan pertanyaan tentang eksistensi perempuan apakah memang hanya untuk “dipilih” dan laki-laki yang “memilih”?

Narasi “memilih” yang dilontarkan dengan bangga oleh penceramah ini tentu saja melanggengkan posisi superior yang menempatkan laki-laki pada subjek “memilih”. Sebaliknya, perempuan sebagai objek dengan redaksi “dipilih” semakin menegaskan bahwa posisinya inferior. Di samping itu, realitas ini menjadi gambaran atas pengabaian otoritas perempuan dalam menentukan pasangannya sendiri.

Tentang Memilih dan Dipilih: Bagaimana Masyarakat Patriarkal Membentuk Inferioritas Perempuan

Umumnya, selain dibentuk oleh narasi dan tafsir agama, inferioritas perempuan telah dikonstruksi selama berabad-abad dalam sejarah manusia. Sejak lahir, perempuan telah disiapkan dan didoktrin menjadi calon manusia yang dipimpin oleh laki-laki. Dalam pengasuhannya, perempuan dibentuk dan dilekatkan dengan sifat-sifat feminim seperti penurut, tidak banyak bicara, tidak melawan, anggun, lemah lembut, dan sifat-sifat lainnya yang setara dan sejalan dengan selera masyarakat.

Ester Lianawati mengungkapkan perempuan dididik untuk patuh dan tunduk pada nilai-nilai patriarki. Sebab hanya dengan tunduk pada nilai-nilai itu, perempuan dianggap normal. Sebaliknya, jika hidup perempuan tidak sesuai dengan nilai-nilai patriarki yang telah didoktrin kepadanya sejak lahir, ia akan dianggap tidak normal (Lianawati 2023).

Hingga tanpa sadar, saat perempuan beranjak dewasa dalam alam bawah sadarnya akan terbentuk perangai kompetisi untuk memenangkan laki-laki. Bahkan dewasa ini, kita sangat sering menyaksikan bagaimana perempuan sangat rentan terjebak pada persaingan antar-perempuan.

Wujud persaingan antar perempuan dewasa ini sering kita saksikan pada stigma “pelakor”, bagaimana masyarakat sangat kejam pada perempuan. Namun, tidak melakukan hal yang sama terhadap laki-laki. Konflik antar menantu dan mertua juga memberi kita pemahaman bagaimana perempuan bersaing untuk laki-laki.

Sialnya, di zaman globalisasi dengan pesatnya perkembangan teknologi dan informasi, persaingan antar perempuan dilanggengkan melalui media massa dan internet. Tayangan iklan dan film tentang konflik antar perempuan begitu diminati masyarakat. Sebut saja, bagaimana terkenalnya film layar lebar “Ipar Adalah Maut” secara jelas menggambarkan persaingan antar perempuan. Masyarakat secara umum menaruh fokus pada sesama perempuan dibanding laki-laki sebagai sumber konflik.

Tontonan fenomenal “Cinderella” yang menampilkan ketidakberdayaan perempuan sehingga menunggu sang pangeran menyelamatkan dirinya menggambarkan peran perempuan yang inferior. Tayangan iklan yang menampilkan perempuan cantik dipilih oleh laki-laki juga turut membentuk persepsi masyarakat terhadap agency perempuan dengan laki-laki. Bahwa menjadi yang terpilih adalah kebanggaan bagi perempuan.

Akhirnya, inferioritas perempuan pada dasarnya dikonstruksi oleh masyarakat patriarkal sejak perempuan dilahirkan melalui akumulasi beragam perlakuan dan doktrin yang ditanamkan. Ketika perempuan berusaha keluar dan menolak dari beragam norma dan peran yang disesatkan oleh masyarakat patriarkal, ia akan dianggap “tidak normal”. Maka, beragam stigma, pelecehan, hingga kekerasan dianggap wajar dialami oleh perempuan tersebut.

Perempuan Juga Punya Agency Memilih, Apalagi Memilih Pasangan!

Dalam konteks memilih pasangan hidup, pada dasarnya baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak yang sama sebab hal tersebut merupakan bagian dari hak asasi manusia. Meskipun begitu, sebagaimana yang telah disebutkan, masyarakat patriarkal membuat hak “memilih” pasangan ini seakan-akan hanya monopoli laki-laki. Misal oleh bapak, kakek, atau keluarga laki-laki lainnya. Ironisnya, pembatasan hak perempuan dalam memilih pasangan ini sering kali mengatasnamakan ajaran agama.

Ajaran agama yang dijadikan legitimasi pembatasan hak memilih pasangan oleh perempuan tersebut mengadopsi pemikiran keagamaan yang diproduksi berdasarkan realitas masyarakat Arab abad ke-6. Saat itu, perempuan dianggap tidak memiliki dirinya sendiri. Sehingga segala keputusan terkait dirinya, termasuk masalah jodoh atau pasangan hidup, perempuan tidak memiliki otoritas.

Namun, tradisi pengabaian hak perempuan dalam memilih pasangan hidup ini diubah secara drastis oleh Nabi Muhammad. Nabi memiliki kebiasaan bila akan menikahkan putrinya dengan memberitahu terlebih dahulu dan meminta persetujuan mereka sebagaimana yang diriwayatkan dalam Musnad ibn Hanbal (Mulia 2020). Tentu saja kebiasaan Nabi ini adalah hal baru dan karenanya dianggap aneh di kalangan masyarakat Arab saat itu.

Sayangnya, hingga saat ini, tradisi masyarakat Arab abad ke-6 itu masih saja dilanggengkan. Alih-alih mengikuti prinsip tradisi yang diperkenalkan oleh Nabi Muhammad dengan semangat kesetaraan dan pengakuan hak asasi manusia, masyarakat patriarkal masih saja menempatkan laki-laki (ayah) dengan anggapan memiliki hak ijbar terhadap anak-anaknya, termasuk dalam hal memilih pasangan hidup (jodoh).

Akhirnya, dibanding melanggengkan bibit-bibit penindasan, bukankah sudah seyogyanya kita berfokus pada nilai-nilai emansipasi yang ada dalam tradisi Nabi Muhammad? Saat itu Nabi datang dengan semangat pembebasan dan kesetaraan terhadap kemanusiaan di tengah realitas masyarakat Arab yang melanggengkan ketidakadilan dalam beragam wujud seperti perbudakan, penghormatan berlebih pada status sosial, hingga suku.

Mungkin hal inilah yang sering kali luput dari mimbar-mimbar keagamaan kita, bahkan di momen perayaan hari lahir Nabi Muhammad sekali pun.