Pos

Maulid Nabi sebagai Jalan Menemukan Kesetaraan Gender yang Sejati

Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW selalu menjadi momen penuh makna, bukan hanya sebagai ritual keagamaan semata, namun juga sebagai refleksi mendalam atas nilai-nilai universal yang diwariskan Rasulullah.

Di tengah hiruk-pikuk perdebatan kontemporer mengenai isu gender, maulid bisa menjadi titik tolak untuk menemukan kembali hakikat kesetaraan gender dalam Islam. Isu ini sering disalahpahami, sehingga ada yang menolaknya dengan alasan bertentangan dengan tradisi, dan ada pula yang memaksakannya dengan pendekatan yang seragam tanpa melihat konteks nilai Islam.

Padahal, jika kita merujuk pada jejak Nabi, kesetaraan gender bukan gagasan baru, melainkan ruh dari risalah yang dibawanya.

Al-Qur’an secara eksplisit menegaskan kesetaraan eksistensial antara laki-laki dan perempuan. Allah berfirman:

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُۥ حَيَوٰةً طَيِّبَةً

yang artinya: “Barang siapa yang beramal saleh, baik laki-laki maupun perempuan, sedang ia beriman, maka Kami pasti akan memberikan kepadanya kehidupan yang baik.” (QS. An-Nahl: 97).

Ayat ini menekankan bahwa ukuran utama di sisi Allah adalah amal saleh dan keimanan, bukan jenis kelamin. Rasulullah SAW juga menegaskan hal ini dalam hadits “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya.” Hadis ini memperlihatkan bahwa kualitas seorang Muslim diukur dari bagaimana ia memperlakukan perempuan, bukan dari jabatan, harta, atau status sosial.

Ulama klasik seperti Imam al-Ghazali dalam Iyā’ ‘Ulūm al-Dīn menegaskan bahwa relasi antara laki-laki dan perempuan harus dilandasi mu‘āsyarah bi al-ma‘rūf (pergaulan yang baik) sebagaimana diperintahkan dalam Al-Qur’an (QS. An-Nisa: 19).

Al-Ghazali menekankan bahwa keharmonisan rumah tangga dan masyarakat lahir dari sikap adil, penuh kasih sayang, dan penghormatan terhadap martabat perempuan. Sementara itu, Ibn ‘Asyur, ulama besar Tunisia yang dikenal dengan pendekatan maqāid al-sharī‘ah, menambahkan bahwa tujuan utama syariat adalah menjaga martabat manusia tanpa membedakan gender. Dari sini, kita melihat bahwa tradisi ulama klasik sudah memberi ruang luas bagi pemahaman kesetaraan, meskipun istilah “gender” belum digunakan.

Dalam kajian kontemporer, banyak penelitian internasional menggarisbawahi bahwa Islam sebenarnya memiliki landasan kuat bagi kesetaraan gender. Studi dalam Indonesian Journal of Islamic Literature and Muslim Society menunjukkan bahwa pendekatan maqāidī exegesis atau tafsir berbasis tujuan syariat mampu mengoreksi bias patriarkal dalam penafsiran klasik dan menekankan keadilan serta kesetaraan substantif antara laki-laki dan perempuan.

Artikel lain dalam Jurnal Common (2022) mencatat bahwa identitas Muslim sering dijadikan alasan untuk mempertahankan patriarki, padahal teks-teks normatif Islam mendukung peran aktif perempuan dalam ruang publik. Temuan ini mengingatkan kita bahwa problem sesungguhnya bukan pada teks, melainkan pada penafsiran dan praktik sosial yang membelenggunya.

Jika kita menengok ke Indonesia, realitas sosial memberi gambaran yang kompleks. Di satu sisi, banyak perempuan Indonesia telah mencapai posisi penting—anggota DPR, rektor, bahkan menteri. Namun di sisi lain, masih banyak kasus diskriminasi dan kekerasan berbasis gender yang memprihatinkan. Data Komnas Perempuan (2023) mencatat peningkatan kasus kekerasan berbasis gender di ranah domestik.

Perdebatan mengenai RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual pun menunjukkan masih kuatnya resistensi patriarki. Hal ini menunjukkan bahwa kesetaraan gender belum sepenuhnya dipahami sebagai bagian dari ajaran Islam, melainkan masih dipandang sebagai agenda luar yang perlu dicurigai.

Menariknya, pesantren sebagai salah satu institusi pendidikan Islam tradisional di Indonesia memberikan kontribusi penting dalam merumuskan paradigma kesetaraan yang khas. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sejumlah pesantren, khususnya yang dipimpin oleh nyai dan berorientasi pada pemberdayaan perempuan, berhasil mengembangkan kurikulum yang lebih ramah gender.

Di beberapa pesantren Jawa Tengah dan Jawa Timur, misalnya, para santri perempuan didorong untuk terlibat dalam diskusi tafsir Al-Qur’an yang menekankan aspek keadilan gender, bahkan dilibatkan dalam program pemberdayaan ekonomi masyarakat. Model ini membuktikan bahwa pesantren tidak hanya mereproduksi budaya patriarkal, tetapi juga dapat menjadi lokomotif perubahan menuju pemahaman kesetaraan gender yang lebih Islami dan kontekstual.

Spirit Maulid Nabi dalam hal ini sejalan dengan praktik pesantren yaitu melahirkan generasi yang mampu meneladani Nabi dalam memperlakukan perempuan dengan adil, penuh kasih, dan bermartabat. Nabi membangun masyarakat Madinah dengan partisipasi perempuan secara aktif. Di antaranya adalah keterlibatan Khadijah sebagai partner bisnis, Aisyah sebagai guru besar hadis dan tafsir, Ummu Salamah berperan dalam politik, dan banyak sahabiyah lain yang menjadi inspirasi. Semua itu menunjukkan bahwa Maulid tidak sekadar perayaan simbolis, melainkan momentum untuk meneguhkan kembali teladan hidup yang inklusif.

Refleksi dari Maulid Nabi harus diarahkan pada pencarian kesetaraan gender yang sejati, yaitu kesetaraan yang berangkat dari nilai keimanan, keadilan, dan kemaslahatan, bukan dari ideologi sekuler yang menafikan agama, atau dari tradisi patriarkal yang mengkerangkeng perempuan. Kesetaraan gender sejati adalah kesetaraan yang membebaskan. Artinya membebaskan perempuan dari diskriminasi, membebaskan laki-laki dari tekanan maskulinitas semu, dan membebaskan masyarakat dari struktur sosial yang timpang.

Dalam bahasa Ibn Qayyim al-Jauziyyah dikatakan “Al-Syarī‘ah kulluhā ‘adl, wa ramah, wa malaah, wa ikmah” (Syariat seluruhnya adalah keadilan, rahmat, kemaslahatan, dan kebijaksanaan.) Dengan kerangka inilah kita perlu membaca ulang isu gender dalam Islam.

Akhirnya, Maulid Nabi seharusnya menjadi pintu masuk untuk memperkuat kesadaran bahwa Islam adalah agama yang menempatkan manusia dalam kesetaraan derajat. Dari keluarga, pesantren, hingga negara, semua lini bisa menjadikan momen ini sebagai titik tolak untuk membangun peradaban yang lebih adil dan bermartabat.

Kesetaraan gender bukanlah agenda asing, melainkan bagian dari warisan Nabi yang perlu terus dirawat. Dalam cahaya Maulid, kita menemukan jalan untuk meneguhkan makna kesetaraan yang sejati: kesetaraan yang berakar pada iman, dijalankan dengan kasih sayang, dan ditujukan untuk kemaslahatan seluruh umat manusia.

Menggugat Hirarki Maqasid Syariah

Setelah memberikan pengantar mengapa perlu membaca Al-Quran dari perspektif maqasid (lihat di sini), Hannan al-Lahham mengawali bukunya dengan mengutip beberapa pandangan pendahulu terkait maqasid syariah. Pertama dan utama ialah pandangan Imam al-Syathibi dalam kitab al-Muwafaqat. Beliau disebut sebagai peletak dasar kajian ini.

Menurut Imam al-Syatibi, maqasid terbagi menjadi tiga kategori: (1) esensial (dharuriyah), yang tanpanya kehidupan tidak dapat berlangsung, seperti kebutuhan makan dan minum; (2) niscaya (hajiyah), seperti membolehkan berdagang selama berhaji, “Tidak ada dosa bagimu mencari karunia dari Tuhanmu” (Al-Baqarah: 198); dan (3) pelengkap (tahsiniyah), sepert menggunakan pakaian bagus dan aksesoris, firman Allah: “Hai anak Adam, pakailah perhiasanmu di setiap masjid, dan makan dan minumlah, tetapi janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” (Al-A’raf: 31).

Dari sini tampak jelas bahwa yang dharuriyah perlu diutamakan dari kepentingan tahsiniyah. Buat apa menggunakan pakaian bagus kalau tidak dapat menyambung hidup. Fenomena ini juga yang sering terjadi, gaya hidup elit, ekonomi sulit, begitu kata orang. Ketika ponsel pintarnya berkelas, tetapi untuk makan saja harus memelas. Maka pemetaan skala prioritas ketiga hal tersebut penting.

Kemudian dalam pembahasan kepentingan yang dharuriyah itu, Imam al-Syatibi membaginya ke dalam lima kategori, yaitu: menjaga agama (hifz al-din), menjaga nyawa (hifz al-nafs), menjaga akal (hifz al-‘aql), menjaga keturunan (hifz al-nasl), dan menjaga harta (hifz al-mal). Kelima poin ini kemudian dikenal dengan maqasid syariah. Artinya ajaran Islam tidak akan keluar dari lima hal tersebut. Menjadi pertanyaan, apakah poin tersebut bersifat hirarkis-struktural ataukah substantif-fungsional?

Bagi sebagian ulama, termasuk Imam al-Syatibi yang mencetuskannya, pembagian tersebut bersifat hirarkis. Artinya kepentingan utama yang perlu ditekankan adalah kepentingan agama, kemudian nyawa, akal, keturunan dan terakhir harta.

Sebagian ulama lain mengatakan justru bersifat substantif-fungsional. Ini banyak dikemukakan oleh ulama modern, termasuk yang didukung oleh al-Lahham. Menurutnya, lebih utama kepentingan nyawa di atas agama, karena pembahasan tentang kepentingan individu dan bangsa diulang lima kali lebih banyak daripada pembahasan tentang menjaga agama. Bahkan Allah Swt telah mengizinkan orang beriman untuk mengucapkan kalimat kekufuran demi menyelamatkan nyawanya: “Kecuali orang yang terpaksa, padahal hatinya tenang dalam keimanan” (An-Nahl: 106).

Lebih progresif lagi, pandangan Jasser Auda seputar maqasid syariah. Menurutnya, poin lima yang dicetuskan oleh Imam al-Syatibi perlu dikembangkan dengan dua aspek. Pertama, bahwa kelima poin itu tidak dapat berdiri sendiri.

Ia harus diintegrasi dan diinterkoneksikan sehingga menghasilkan pemahaman syariat yang komprehensif dan menyeluruh.

Problem pembacaan maqasid klasik, ketika membahas hifz al-din adalah hukuman mati bagi orang murtad berdasarkan hadis Nabi yang kualitasnya ahad. Jasser Auda mengkritik persoalan ini. Bukan saja karena hadis ahad tidak mempunyai kekuatan formal yang solid, tetapi juga ada problem hak kemanusiaan yang tercoreng. Ini juga bertentangan dengan spirit hifz al-nafs dan al-nasl.

Contoh lain, untuk menjaga harta manusia, maka diberlakukan potong tangan bagi para pencuri. Alih-alih menyelesaikan masalah, pandangan semacam ini justru menghasilkan masalah baru. Maka yang perlu diperhatikan lebih jauh, maqasid itu bukan hanya soal penjagaan tetapi juga pemberdayaan. Cara pandang inilah yang digagas oleh Jasser Auda dan menjadi poin kedua yang penting untuk dibahas. Jasser Auda mengubah cara pandang hifz, from protection to empowerment.

Kita ambil contoh di awal seputar hukum mati. Fikih klasik hanya berkutat pada upaya menjaga agama dengan cara pandang protection. Bagi mereka yang melanggar akan dikenakan sanksi berat. Tetapi, pola pikir ini justru membuat orang ‘tidak nyaman’ dengan ajaran agama itu sendiri. Keimanan itu lahir dari ketulusan, bukan paksaan. Jelas ditegaskan dalam surah al-Baqarah ayat 256.

Kata Auda, cara pandangnya diperluas, tidak sebatas menghukum, tetapi mencoba menggali lebih dalam, “mengapa orang mau keluar dari Islam”, bisa jadi karena pengalaman traumatik seputar ajaran Islam, atau mendapatkan bantuan dari umat agama lain. Di sini, yang diperlukan adalah kritik ke dalam. Ternyata banyak umat Islam yang mau keluar dari agama, justru karena kelakuan pemeluknya yang jauh dari nilai-nilai agama. Termasuk menelantarkan mereka yang miskin dan papa.

Karenanya yang perlu dibahas adalah “bagaimana memberdayakan ajaran agama sehingga orang tetap setia dalam Islam?” Pertanyaan ini yang perlu dibahas dalam lembaga-lembaga kajian keagamaan. Dan untuk menjawab pertanyaan itu, tidak bisa hanya membahas dari perspektif hifz al-din saja. Sebab sebagaimana yang diuraikan tadi, persoalan murtad juga berhubungan dengan ekonomi, keluarga, keturunan, dan akal pikiran. Maka pendekatan multidimensional dalam memahami maqasid merupakan terobosan untuk menjawab kebuntuan pemahaman.

Dengan demikian, sebagaimana yang juga disetujui oleh Lahham, memahami maqasid syariah itu harus substantif, fungsional integral dan multidimensional. Hanya dengan cara itu, maka agama benar-benar memberikan pencerahan bagi umatnya.

Kiai Feminis (Bagian 2)

Landasan utama pemikiran KH. Husein Muhammad tentang keadilan gender berakar pada konsep Tauhid. Beliau menempatkan Tauhid (La Ilaha Illa Allah) sebagai prinsip fundamental dan inti Islam yang menegaskan bahwa tidak ada otoritas absolut di jagat raya ini selain Allah. Buya Husein menginterpretasikan Tauhid tidak hanya dalam kerangka teosentris, melainkan lebih pada kerangka manusia dan kemanusiaan. Dalam pandangannya, Keesaan Tuhan harus menjadi landasan utama bagi tata kelola manusia dalam siklus kehidupan mereka di muka bumi ini.

Penafsiran Tauhid yang demikian mendalam ini memiliki implikasi etis dan sosial yang signifikan. Jika Tuhan adalah Esa dan Maha Absolut, maka tidak ada satu pun manusia yang dapat mengklaim otoritas atau superioritas absolut atas manusia lainnya. Ini secara langsung membongkar struktur hierarkis, khususnya yang patriarkal, dengan menghilangkan legitimasi ilahiahnya.

Ketaatan sejati kepada Tuhan berarti pembebasan dari segala bentuk perbudakan lainnya, termasuk penindasan antarmanusia. Pemahaman teologis yang mendalam ini memberikan justifikasi internal berbasis keimanan bagi keadilan gender dan hak asasi manusia, menjadikannya lebih dapat diterima dan berdampak bagi audiens Muslim dibandingkan argumen-argumen sekuler. Ini mengubah pertanyaan dari “mengapa Islam harus feminis?” menjadi “bagaimana seseorang dapat menjadi seorang monoteis sejati tanpa memperjuangkan keadilan gender?”

Buya Husein secara konsisten menegaskan bahwa Islam adalah agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kesetaraan gender. Beliau berpendapat bahwa diskriminasi terhadap perempuan bukanlah ajaran Islam, melainkan hasil interpretasi agama yang dipengaruhi oleh budaya patriarki. Keadilan yang dimaksud mencakup nilai, substansi, dan kualitas, bukan hanya aspek fisik semata. Beliau secara konsisten menganjurkan prinsip-prinsip Islam fundamental seperti keadilan (‘adalah), musyawarah (syûrâ), kesetaraan (musâwah), penghargaan terhadap kemajemukan (ta’addudiyah), toleransi terhadap perbedaan (tasâmuh), dan perdamaian (ishlâh).

Metodologi penafsiran KH. Husein Muhammad sangat khas dan progresif. Beliau secara tegas mengkritik sistem patriarki yang mendominasi banyak tafsir agama. Beliau berpendapat bahwa banyak penafsiran yang merugikan perempuan justru dipengaruhi oleh pandangan budaya patriarki, bukan ajaran Islam yang sebenarnya. Oleh karena itu, beliau menolak penafsiran yang hanya berfokus pada makna literal tanpa mempertimbangkan perubahan sosial dan budaya yang terjadi seiring waktu.

Salah satu prinsip utama yang digunakan Buya Husein adalah pembedaan antara ayat-ayat universal (al-Kulliyyat atau muhkam) dan ayat-ayat partikular (al-Juz’iyyat atau mutasyabih). Ayat universal mengandung pesan kemanusiaan universal yang berlaku untuk semua waktu dan tempat, sementara ayat partikular terkait dengan kasus atau peristiwa spesifik dan terikat pada konteksnya. Beliau berpendapat bahwa jika terjadi konflik antara teks universal dan partikular, teks universal harus diprioritaskan, mengikuti pandangan Al-Shatibi. Sebagai contoh, ayat tentang kesetaraan manusia adalah universal dan konstan, sedangkan ayat tentang kepemimpinan laki-laki bersifat partikular dan sosiologis, sehingga harus dipahami secara kontekstual.

Pendekatan ini secara fundamental menantang gagasan hukum Islam yang monolitik dan statis. Dengan mengkategorikan teks ke dalam universal dan partikular, serta memprioritaskan yang pertama, beliau menciptakan kerangka kerja yang fleksibel untuk ijtihad (penalaran independen). Ini secara langsung melawan interpretasi konservatif yang bersikeras pada kepatuhan literal terhadap putusan fikih historis, bahkan ketika hal itu mengarah pada ketidakadilan dalam konteks kontemporer.

Pendekatan ini mengubah fikih dari dogma yang kaku menjadi kerangka etika yang hidup dan adaptif, membuka pintu bagi reformasi dan adaptasi berkelanjutan dari kerangka hukum Islam untuk mengatasi tantangan modern, seperti ketidaksetaraan gender, kekerasan dalam rumah tangga, dan peran perempuan dalam kehidupan publik, tanpa mengabaikan prinsip-prinsip inti Islam.

Buya Husein juga secara ekstensif menggunakan maqasid al-syari’ah (tujuan syariat) sebagai dasar utama penafsiran, memastikan bahwa pemahaman Al-Qur’an selaras dengan prinsip rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam). Ini mencakup menjaga lima pilar syariah (al-kulliyyah al-khamsah) seperti menjaga jiwa (hifzh an-nafs) dan keturunan (hifzh an-nasl). Selain itu, beliau menganalisis aspek sosio-historis (al-siyaq al-tarikhi al-ijtima’iy) dari kasus-kasus tekstual, serta melakukan analisis linguistik dan kontekstual (al-siyaq al-lisani). Pemahaman mengenai asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya ayat) sangat penting untuk memahami mengapa suatu ayat diturunkan dan bagaimana ia berdialog dengan masyarakat pada saat itu.

Dalam penafsiran Al-Qur’an dan Hadis, Buya Husein menerapkan hermeneutika feminis, yang berfokus pada makna substantif (takwil) dan pemahaman yang komprehensif dengan mempertimbangkan konteks sosial, budaya, dan politik. Beliau menggunakan tiga strategi utama: pertama, merujuk kembali ayat Al-Qur’an untuk mengoreksi kesalahan narasi yang bias gender (misalnya cerita Hawa yang sering disalahpahami sebagai penyebab kejatuhan manusia); kedua, menyoroti ayat-ayat yang secara jelas menekankan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan; dan ketiga, membaca ulang ayat-ayat yang selama ini kerap disalahgunakan sebagai justifikasi ketidakadilan gender. Pendekatan ini juga diperluas pada teks-teks sekunder seperti hadis dan kitab fikih, termasuk membongkar kitab ‘Uqud al-Lujjayn yang dianggap mengandung muatan diskriminatif terhadap perempuan.

Menghapus ‘Kebolehan’ Poligami

Hal yang paling sering dikritik oleh Islam terhadap laki-laki adalah hak poligami, karena praktiknya sering kali, atau bahkan selalu, dipenuhi dengan segala bentuk diskriminasi, dan bahkan pelecehan terhadap perempuan. Sangat sulit bagi orang awam untuk menjawab pembenaran dibalik hal ini, karena memerlukan pengetahuan yang mendalam tentang ajaran normatif Islam.

Secara umum, umat Islam meyakini bahwa hak kebolehan poligami tidak diberikan secara mutlak, melainkan hanya dalam keadaan-keadaan yang ‘mungkin’ mengharuskan hal itu terjadi, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an. Jika laki-laki melakukan poligami karena alasan yang tidak beralasan, maka hak tersebut dianggap melecehkan perempuan dan melanggar ketentuan agama.

Dalam diskursus gender, praktik poligami dalam masyarakat Islam adalah salah satu dari sekian topik yang mengundang perdebatan dan konflik. Di satu sisi, Al-Qur’an secara jelas membolehkan poligami, tetapi di sisi lain poligami telah dianggap sebagai salah satu praktik yang masih melanggengkan budaya patriarki pra-Islam seolah Islam masih mendukung praktik diskriminatif terhadap perempuan. Mengenai masalah ini, diperlukan pembacaan yang lebih kontekstual dan egaliter untuk melihat hakikat poligami dan upaya mendorong ajaran Islam agar lebih mengedepankan praktik monogami.

Dalam tradisi hukum Islam, pandangan tentang poligami terpecah menjadi tiga: ada yang menolak secara mutlak, ada yang menerima secara mutlak, ada pula yang menerima dengan syarat-syarat khusus. Bila syarat itu terpenuhi, maka boleh bagi seorang Muslim untuk melakukan poligami.

Terkait pandangan yang pertama, penolakan yang keras terhadap poligami lantaran perilaku itu sudah tidak relevan di zaman sekarang. Poligami lebih mengidentikkan istri-istri sebagai budak dan pelayan bagi suami. Untuk itu, dalam semua bentuknya, poligami menjadi tidak manusiawi dan melanggar prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan.

Pandangan kedua, orang yang menerima poligami secara mutlak beranggapan bahwa kebolehan poligami sudah sangat jelas dalam Alquran (An-Nisaa’ 4: 3). Ayat ini secara terang-terangan menyebut bahwa suami boleh menikahi perempuan antara dua, tiga, sampai empat. Dengan catatan, seorang suami harus bisa adil terhadap istri-istrinya. Jadi, poligami mutlak dibolehkan secara syariat.

Sementara pandangan ketiga, menerima poligami tapi dengan catatan khusus. Selama suami bisa benar-benar berlaku adil, maka boleh baginya berpoligami. Tapi bila tidak, maka tidak ada alasan bagi seseorang untuk melakukan poligami. Tampaknya, pandangan yang ketiga inilah yang paling umum dalam masyarakat Islam. Mereka yang menerima dengan syarat-syarat khusus, lebih bersikap moderat dan mengambil jalan tengah. Karena ayat poligami sudah sangat jelas dalam Al-Qur’an, selama Tuhan membolehkannya, umat tidak boleh melarangnya secara mutlak (Izad, 2019).

Fakta bahwa mayoritas umat Islam meyakini kebolehan poligami tergambar melalui adanya praktik poligami yang masih marak terjadi hingga abad ke-21. Namun, sebagaimana dijelaskan di atas, sebagian umat Islam yang lain mengatakan praktik poligami sudah tidak relevan lagi mengingat kondisi sosiologis masyarakat telah berubah secara drastis. Poligami lebih tampak sebagai upaya melanggengkan tradisi yang menindas perempuan ketimbang ajaran Islam yang hakiki.

Mengenai pembacaan kritis terhadap masalah poligami dan upaya untuk menghapusnya dalam ajaran Islam, bisa dianalogikan dengan kasus perbudakan. Misalnya, Islam tidak sepenuhnya menghapus sistem perbudakan. Al-Qur’an tidak secara tegas mengutuk perbudakan atau berupaya menghapusnya. Al-Qur’an hanya memberi sejumlah peraturan yang dirancang untuk memperbaiki situasi para budak. QS. 2: 177 menganjurkan pembebasan (memerdekakan) para budak, khususnya budak yang beriman.

Islam tidak secara frontal menghapus perbudakan juga bisa dicontohkan bagaimana Islam juga tidak secara frontal menghapus sistem poligami. Kendati demikian, praktik perbudakan secara berangsur-angsur telah dihapus bersamaan dengan kesadaran akan keadilan, kesetaraan, dan hak asasi manusia. Meskipun sebagian besar umat Islam meyakini bahwa Islam sesungguhnya ingin menghapus tradisi perbudakan, tetapi praktiknya dilakukan secara gradual atau evolusioner (Luthfi, 2019).

Jadi, sesungguhnya bukan budaya Arab-Islam yang menghapus praktik perbudakan, tetapi kondisi perubahan zaman yang mendorong umat manusia untuk menghapus segala praktik penindasan terhadap umat manusia. Dalam kaca mata ini, praktik poligami seharusnya juga harus dihapuskan, sebab kendati Islam membolehkannya (sebagaimana pula perbudakan), tetapi praktik ini secara nyata menggambarkan penindasan terhadap perempuan.

Menurut Nur Rafiah (2021), ayat Al-Qur’an mengenai poligami harus dipahami bukan saja pada aspek kebolehan poligaminya saja, tetapi juga menyangkut aspek lain yang lebih penting, yakni masalah keadilan. Surat An-Nisa ayat 3 menegaskan bahwa ayat ini tidak hanya bicara poligami, tetapi juga bicara tentang monogami. Namun yang lebih prinsipil adalah ayat ini berbicara tentang keadilan dan pentingnya waspada terhadap kemungkinan terjadinya kezaliman atau ketidakadilan. Dan sesungguhnya inilah yang harusnya dipahami dalam perspektif ‘kesalingan’ bahwa baik laki-laki maupun perempuan harus berpikir bagaimana menghindar dari aneka bentuk perkawinan yang berisiko terhadap ketidakadilan dan kezaliman. Dan sebaliknya, bagaimana menjaga perilaku perkawinan yang membawa kepada kemaslahatan dan keadilan.

Pandangan Rafiah di atas sesungguhnya terkait bagaimana Islam mendorong pola perkawinan yang monogami, artinya laki-laki hanya boleh mengawini seorang perempuan saja, ini sesuai dengan prinsip keadilan dalam Islam. Larangan poligami dalam Islam, dengan demikian dilakukan secara gradual dan bertahap sebagaimana dalam praktik perbudakan.

Al-Qur’an ingin umat Islam secara perlahan menyadari bahwa tindakan poligami menciderai nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan karena telah menempatkan perempuan pada posisi yang kurang menguntungkan.

Ada dua strategi yang dilakukan Islam untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan bagi perempuan; yakni target langsung dan target antara. Pertama, strategi target langsung bisa dicontohkan dalam masalah larangan keras penguburan bayi perempuan secara hidup-hidup, menjadikan perempuan sebagai jaminan hutang, hadiah, harta warisan, dan perkawinan sedarah, semua ini langsung ke target final dilarang oleh Islam.

Kedua, target antara, artinya untuk menuju target yang final itu Islam mengenalkan sasaran-sasaran ‘antara’ agar sampai pada sasaran yang ‘final’. Misalnya tentang perkawinan, semula laki-laki bisa mengawini perempuan dalam jumlah yang tidak terbatas dan tanpa syarat, tetapi kemudian Islam mengenalkan untuk membatasi satu laki-laki hanya bisa mengawini perempuan maksimal empat orang, itu pun dengan syarat keadilan sambil mengingatkan bahwa ternyata keadilan itu tidak mudah untuk diwujudkan (Rafiah, 2021).

Ini menunjukkan bahwa Islam sesungguhnya ingin menghapus poligami, tetapi dilakukan secara bertahap agar orang-orang Islam ketika itu tidak menganggap Islam adalah agama yang sewenang-wenang terhadap tradisi, kendati tradisi itu menindas, yakni suatu bentuk penindasan yang lumrah dan tidak disadari sebagai praktik kekejaman oleh masyarakat Arab masa itu.

Perlindungan Anak di Era Disrupsi Informasi Perspektif Maqashid Shariah

Di era digital, anak-anak hidup di dunia yang serba terhubung dan penuh informasi. Mereka mudah mengakses berbagai konten melalui gawai kapan saja dan di mana saja. Kemajuan teknologi ini memang memudahkan proses belajar dan komunikasi, tetapi juga menghadirkan tantangan serius bagi perlindungan anak. Risiko paparan konten negatif seperti kekerasan, pornografi, perundungan daring, hingga kecanduan gadget menjadi ancaman nyata bagi perkembangan fisik, psikologis, dan spiritual mereka.

Data UNICEF Indonesia (2023) menunjukkan bahwa hanya 37,5 persen anak yang memiliki pengetahuan cukup tentang cara menjaga diri di dunia digital. Ironisnya, lebih dari separuh anak pernah terpapar konten yang tidak layak, termasuk gambar atau video seksual. Risiko serupa juga tercatat secara global. Menurut Digital Quotient Institute (2020), 60 persen anak yang aktif di internet menghadapi bahaya seperti cyberbullying, paparan konten dewasa, dan gangguan kesehatan mental akibat kecanduan teknologi.

Di Indonesia, Badan Pusat Statistik bersama NCMEC mencatat bahwa sejak 2019 hingga 2023 ada lebih dari 5,5 juta konten pornografi anak yang tersebar luas. Sekitar 48 persen anak pernah mengalami bullying digital yang berdampak negatif pada kesehatan mental mereka.

Fenomena ini bukan hanya persoalan teknologi dan aturan, melainkan juga persoalan nilai dan tanggung jawab keluarga sebagai lingkungan utama pendidikan dan perlindungan anak. Di sinilah maqashid al-shariah menjadi pijakan penting. Maqashid al-shariah adalah konsep tujuan utama syariat Islam yang bertujuan menjaga lima hal utama dalam kehidupan manusia, yaitu: agama (din), jiwa (nafs), akal (‘aql), keturunan (nasl), dan harta (mal). Dalam konteks perlindungan anak di era digital, kelima aspek ini wajib menjadi panduan holistik bagi keluarga dan masyarakat.

Pertama, hifz al-din atau menjaga agama, menuntut keluarga agar mampu menjaga anak dari pengaruh konten yang dapat merusak keimanan dan nilai-nilai agama mereka. Banyak konten di dunia maya yang bertentangan dengan nilai-nilai moral dan spiritual Islam. Jika anak tidak dibimbing dengan baik, mereka rentan kehilangan pegangan agama sebagai pijakan hidup. Kedua, hifz al-nafs berarti menjaga jiwa dan keselamatan anak, termasuk kesehatan mental dan fisik.

Ketiga, hifz al-‘aql atau menjaga akal adalah aspek yang paling relevan di era informasi. Anak-anak harus dilindungi dari misinformasi, propaganda negatif, serta konten yang mengganggu perkembangan kognitif dan mental mereka. Orang tua perlu menyeleksi dan membimbing anak dalam memilih konten yang bermanfaat, serta mengajarkan literasi digital agar anak mampu berpikir kritis. Keempat, hifz al-nasl menegaskan pentingnya menjaga kelangsungan generasi melalui pendidikan moral dan karakter. Anak harus tumbuh menjadi pribadi yang beradab, bertanggung jawab, dan memiliki integritas.

Kelima, hifz al-mal, menjaga harta, dalam konteks digital berarti anak harus diajarkan tentang etika penggunaan teknologi, keamanan data pribadi, dan tanggung jawab dalam mengelola aset digital. Penggunaan teknologi yang tidak terkontrol dapat berujung pada penyalahgunaan informasi, pencurian data, dan kerugian finansial. Keluarga harus mendidik anak agar memahami nilai kepemilikan dan perlindungan terhadap harta dalam konteks digital.

Kitab klasik Islam seperti Tuhfatul Maudud karya Ibnul Qayyim memberikan landasan penting bagi orang tua dalam menjalankan tugas mendidik anak secara terpadu berdasarkan kelima maqashid tersebut. Di era digital, tantangan pengasuhan menjadi lebih kompleks karena ancaman tidak hanya datang dari lingkungan fisik, tetapi juga dari dunia maya yang terus mengalir tanpa batas.

Jika orang tua gagal menjaga lima aspek maqashid ini, maka risiko kerusakan jiwa, akal, dan moral anak menjadi sangat besar. Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin juga menegaskan bahwa pendidikan akhlak harus dimulai sejak dini dan dilakukan secara konsisten melalui interaksi penuh kasih dan teladan orang tua.

Menghadapi kondisi ini, konsep “digital parenting” menjadi sangat penting. UNICEF menekankan pentingnya pengawasan, pendampingan, dan komunikasi terbuka antara orang tua dan anak dalam menghadapi dunia digital. Model pengasuhan “asah–asih–asuh” dapat diadaptasi untuk implementasi maqashid al-shariah. “Asah” berarti mengasah akal anak dengan bimbingan dan konten edukatif. “Asih” berarti memberikan rasa aman dan dukungan emosional agar anak berani berbagi pengalaman dan masalah digitalnya. “Asuh” adalah pengaturan penggunaan teknologi dengan aturan jelas, membatasi durasi, dan menentukan zona bebas gadget agar anak tidak kecanduan.

Selain aspek teknis, internalisasi nilai-nilai Islam dalam keluarga harus terus diperkuat. Pendidikan akhlak digital menjadi kunci agar anak tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tapi juga pribadi yang bertanggung jawab dan beretika. Anak perlu dibiasakan membaca doa sebelum menggunakan gadget, berdiskusi tentang konten yang mereka konsumsi, dan diajari nilai-nilai seperti sopan santun, menghormati privasi orang lain, serta menjaga kehormatan diri sendiri dan keluarga.

Pemerintah Indonesia telah berupaya melalui program literasi digital keluarga dan penyusunan regulasi perlindungan anak daring. Namun, tanpa adanya internalisasi nilai yang kuat, kebijakan ini tidak akan berdampak optimal. Oleh karena itu, para ulama, pendidik, dan komunitas Islam harus aktif merumuskan pedoman pengasuhan digital berbasis maqashid shariah agar perlindungan anak dapat berlangsung secara menyeluruh dan berkelanjutan.

Kajian akademik juga mendukung pentingnya maqashid sebagai kerangka perlindungan anak. Studi oleh Disemadi, Al-Fatih, dan Yusro (2020) dalam Brawijaya Law Journal menjelaskan bahwa maqashid al-shariah merupakan landasan normatif kuat dalam melindungi anak dari eksploitasi seksual dan kekerasan, termasuk dalam ruang digital. Perlindungan terhadap akal dan keturunan merupakan hak fundamental yang wajib dipenuhi keluarga dan masyarakat, bukan hanya sebagai tambahan moral atau legal.

Dunia digital adalah pedang bermata dua. Ia bisa menjadi sarana pembelajaran dan pengembangan kreativitas, namun juga dapat merusak jika tidak diawasi dan diimbangi dengan pendidikan nilai. Keluarga yang memahami maqashid al-shariah akan mampu menjaga anak agar tumbuh menjadi manusia seutuhnya yang sehat secara fisik, mental, dan spiritual. Perlindungan anak di era digital bukanlah opsi, melainkan kewajiban moral dan agama yang harus dijalankan bersama. Bila keluarga gagal menjalankan perannya sebagai madrasah pertama, maka pondasi nilai yang menjadi pijakan generasi mendatang akan goyah.

 

Referensi

UNICEF Indonesia. (2023). Pengetahuan dan kebiasaan daring anak di Indonesia: Sebuah kajian dasar. UNICEF.

Digital Quotient Institute. (2020). Digital safety index for children. DQI.

Disemadi, H. S., Al-Fatih, S., & Yusro, M. A. (2020). Indonesian children protection against commercial sexual exploitation through Siri marriage practices in Maqashid Al-Shariah perspective. Brawijaya Law Journal, 7(2), 195–212. https://doi.org/10.21776/ub.blj.2020.007.02.04

Ibn Qayyim al-Jawziyyah. Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud.

Al-Ghazali. Ihya’ Ulumuddin, Kitab Adab al-Walad.

Perkawinan Anak, Agensi Perempuan dan Islam yang Bergerak: Telaah Maqasid Syariah

Di tengah gelombang perubahan sosial yang kian dinamis dan meningkatnya kesadaran akan hak anak, praktik perkawinan anak-khususnya pada anak perempuan-masih saja terus terjadi di berbagai wilayah. Realitas ini bukan sekadar problem hukum, melainkan mencerminkan bagaimana norma sosial, adat, dan tafsir agama berkelindan dalam struktur masyarakat yang patriarchal. Bahkan, dalam beberapa kasus, praktik ini dibenarkan dengan mengutip dalil-dalil agama secara literal, tanpa mempertimbangkan konteks dan prinsip-prinsip moral Islam yang lebih luas.

Maka, pertanyaan mendasarnya adalah: “apakah struktur sosial ini bersifat permanen dan absolut? Ataukah ia dapat-dan seharusnya-direkonstruksi demi keadilan dan kemaslahatan bersama?”

Membaca Ulang Perkawinan Anak dalam Bingkai Maqashid Syariah

Islam sebagai agama rahmat tidak sekadar mengatur aspek ritual belaka, tetapi juga menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sosial. Salah satu kerangka penting dalam hukum Islam adalah: Maqashid Syari’ahtujuan utama syari’at yang berintikan pada lima hal utama: menjaga agama (hifzh al-din), jiwa (hifzh al-Nafs), akal (hifzh al-‘aql), keturunan (hifzh al-nasl), dan harta (hifzh al-mal).

Perkawinan anak, khususnya pada usia yang belum matang secara biologis maupun psikologis, secara nyata mengancam setidaknya empat dari lima tujuan tersebut. Anak perempuan yang dinikahkan di usia muda berpotensi besar menghadapi tekanan psikologis, kehilangan akses pendidikan, terbatasnya kemandirian ekonomi yang dapat menyebabkan kemiskinan struktural, mengalami kehamilan yang berisiko tinggi, serta terjebak dalam relasi kuasa yang tidak seimbang.

Dalam banyak kasus, mereka tidak memiliki kapasitas untuk dapat memberikan persetujuan yang utuh terhadap pernikahan tersebut, sehingga bertentangan dengan prinsip keadilan dan kemaslahatan yang menjadi ruh utama dalam syariat Islam.

Sayangnya, justifikasi keagamaan sering digunakan untuk membenarkan praktik ini. Misalnya, yang paling populer adalah penggunaan hadis tentang pernikahan Nabi dengan Sayyidah ‘Aisyah kerap dijadikan dalil untuk membolehkan pernikahan anak. Namun, pendekatan tesktual yang mengabaikan konteks historis serta dinamika sosial tersebut telah mengaburkan substansi ajaran Islam. Dalam konteks ini, kita perlu menegaskan bahwa maqashid dan maslahah harus menjadi landasan dalam memahami dan menerapkan hukum, bukan semata-mata mengikuti literalitas teks yang tidak kontekstual.

Struktur Sosial, Agensi Perempuan, dan Ruang Transformasi

Praktik perkawinan anak tidak dapat dilepaskan dari struktur sosial yang dikonstruksikan lewat budaya patriarki dan tafsir agama yang cenderung konservatif. Tradisi dan norma sosial yang menempatkan perempuan sebagai sebuah simbol kehormatan keluarga sering kali melanggengkan praktik ini. Ketika seorang anak perempuan dinikahkan pada usia dini, keputusan tersebut sering kali bukan hasil dari pilihan sadar sang anak, melainkan produk dari tekanan sosial dan kepentingan keluarga atau komunitas.

Namun demikian, dinamika sosial saat ini menunjukkan adanya potensi transformasi. Perempuan Muslim masa kini semakin memiliki akses terhadap pendidikan, informasi, dan ruang-ruang partisipasi publik. Mereka bukan lagi objek pasif dari struktur sosial, melainkan subjek aktif yang mampu mengambil keputusan dan mengubah arah kehidupan. Di sinilah agensi perempuan menjadi kunci. Mereka dapat menjadi agen perubahan yang menantang narasi konservatif dan membangun paradigma baru mengenai usia ideal pernikahan, nilai kehormatan, dan kesetaraan gender.

Munculnya tokoh-tokoh perempuan Muslim yang kritis dan progresif dalam menafsirkan teks-teks keagamaan merupakan bukti bahwa tafsir bukanlah milik eksklusif kelompok tertentu. Tafsir adalah medan kontestasi yang hidup, dan perempuan memiliki hak yang setara untuk menafsirkannya demi memperjuangkan keadilan.

Islam yang Bergerak: Tafsir, Konteks, dan Tanggung Jawab Sosial

Islam bukanlah agama yang jumud (beku), Islam mengenal akan tradisi ijtihad- upaya intelektual dan spiritual untuk menjawab tantangan zaman. Ketika sebuah teks secara literal tidak lagi cukup memadai untuk menyelesaikan persoalan baru, maka jalan ijtihad terbuka lebar. Dalam konteks perkawinan anak, kita tidak cukup hanya berdebat soal batas usia dalam fikih klasik, tetapi harus bergerak lebih jauh: apakah praktik ini masih membawa kemaslahatan..?, apakah ia menjamin kesejahteraan dan kehormatan perempuan..?

Bila jawabannya tidak, maka saatnya kita bergerak untuk mencegah terjadinya perkawinan anak, salah satunya dengan menggunakan pendekatan sad al-dzariah. Salah satu metode penetapan hukum dalam hukum Islam yang secara sederhana dapat kita artikan “menutup jalan menuju setiap keburukan.” Prinsip ini memberikan ruang legitimasi secara syar’i untuk melarang sesuatu yang pada dasarnya adalah mubah, jika berpotensi besar untuk membawa pada kerusakan. Dalam konteks ini, mencegah perkawinan anak menjadi bagian dari tanggung jawab moral dan keagamaan.

Epilog: Membangun Kesadaran Kolektif untuk Menghentikan Perkawinan Anak

Sebagai penutup, penting untuk disadari bahwa menghentikan praktik perkawinan anak menuntut kerja sama yang menyentuh akar persoalan: mulai dari kesadaran individual, tafsir agama, hingga struktur sosial yang masih melanggengkan ketimpangan. Perubahan tidak akan datang hanya melalui regulasi formal belaka, melainkan melalui sebuah transformasi nilai-yakni cara pandang baru terhadap perempuan, anak, dan makna keadilan dalam Islam.

Sudah saatnya masyarakat, khususnya komunitas Muslim, memaknai ulang teks keagamaan dengan pendekatan yang lebih kontekstual dan humanistik. Ulama, tokoh masyarakat, akademisi, dan orang tua perlu membuka ruang dialog yang sehat, menjadikan prinsip jalbil masalih wa dar’ul mafasid (mendatangkan kebaikan dan mencegah setiap keburukan) serta prinsip kepentingan terbaik bagi anak sebagai poros utama dalam menimbang setiap keputusan yang berdampak pada kehidupan anak. Perlindungan terhadap anak-terutama perempuan-bukan sekadar urusan negara, tetapi merupakan tanggung jawab keagamaan dan moral bersama.

Kita perlu menumbuhkan budaya yang menghargai pilihan anak untuk tumbuh, belajar, dan bermimpi tanpa adanya tekanan struktural.

Agensi perempuan mesti dipupuk sejak dini, bukan dipangkas atas nama kehormatan semu atau stabilitas sosial yang semu. Dalam konteks ini, setiap langkah kecil untuk mendengarkan suara anak, memperluas akses pendidikan, membongkar tafsir yang konservatif, dan membongkar struktur yang melanggengkan ketidakadilan-khususnya bagi perempuan dan anak-adalah bagian dari jihad sosial yang sejati.

Islam yang hidup dan bergerak adalah Islam yang senantiasa berpihak pada keadilan, yang peka terhadap segala penderitaan, dan yang bersedia mengoreksi praktik yang merugikan manusia. Maka, menolak perkawinan anak merupakan wujud keberpihakan terhadap misi luhur Islam: menjaga martabat manusia dan menghadirkan rahmat bagi seluruh alam.

Fikih Lingkungan Berbasis Maqasid Syariah


Indonesia dikenal sebagai negara dengan mayoritas muslim yang menganut mazhab Syafi’iyah, sebuah aliran hukum Islam yang lebih banyak dianut oleh penduduk muslim dunia yang hidup di wilayah agraris, termasuk Indonesia. Dalam tradisi hukum Islam, terdapat empat aliran hukum Islam yang terpopuler dalam 600 tahun terakhir, yaitu Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hambaliyah.

Pendiri aliran Syafi’iyah adalah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, yang lahir di Gaza – Palestina pada tahun 767 Masehi. Beberapa tokoh terkenal mazhab ini adalah Imam Al-Haramain (kelahiran Naisabur – Iran, 1028 Masehi) dan muridnya, Imam Al-Ghazali (kelahiran Tus – Iran, 1057 Masehi). Dalam konteks lingkungan dan relasinya dengan hukum Islam, Imam Ghazali menyukai pemilihan istilah “alam” untuk mengenalkan empat pokok kajian Ushul Fikih.

Salah satu konsep yang terlahir dari mazhab Syafi’iyah yang dikembangkan Imam Ghazali adalah konsep Maqasid Syariah. Imam Al-Ghazali adalah tokoh yang pertama kali mengenalkan konsep ini ke dalam lima pilar utama, yaitu:

  1. Hifdzud-Din (menjaga keyakinan beragama).
  2. Hifdzun-Nafs (menjaga dan melindungi jiwa dan raga).
  3. Hifdzun-Nasl (memelihara keturunan).
  4. Hifdzul-Aql (memelihara akal melalui pendidikan).
  5. Hifdzud-Mal (menjaga harta benda).

Apabila memandang dengan perspektif lingkungan, Maqasid Syariah hadir sebagai nalar fikih atas kepentingan keberlanjutan lingkungan. Syaikh Muhammad Hudhari menjelaskan bahwa tujuan dibuatnya hukum Islam adalah untuk membangun maslahah (kebaikan) bagi manusia. Salah satu prasyarat keberhasilan untuk merealisasikan maslahah bagi manusia adalah pelestarian lingkungan.

Misalnya, ketika manusia hendak mendirikan ibadah (hifdzud-Din), maka manusia akan beriman, bertakwa, dan melakukan kegiatan-kegiatan yang bernilai ibadah. Semua ini dapat terealisasi jika ditunjang dengan terjaminnya hifdzun-Nafs (menjaga dan melindungi jiwa) dan hifdzul-Aql (terjaminnya pendidikan tinggi). Keduanya tidak akan dapat dilakukan jika manusia tidak terpenuhi kebutuhan pokok seperti makan dan minumnya yang seluruhnya dihasilkan oleh alam.

Begitu pula dengan melakukan kegiatan di bidang muamalah, unsur maslahah yang perlu dipenuhi oleh manusia adalah hifdzun-Nasl (terpeliharanya keturunan) dan hifdzul-Mal (terpeliharanya harta benda). Keduanya tidak akan terpenuhi jika kebutuhan pokok manusia tidak terpenuhi, di mana kebutuhan pokok manusia selalu bergantung pada alam.

Konsep Maqasid Syariah sendiri tidak hanya terbatas pada maslahah manusia saja. Karena tujuan syariat Islam berlaku pada masa sekarang dan masa yang akan datang, maka ada pertimbangan bahwa unsur Maqasid Syariah dapat diterapkan pada makhluk selain manusia. Dengan kata lain, konsep Maqasid Syariah memberikan amanat kepada manusia agar dapat menyeimbangkan kehidupan bagi binatang, tumbuhan, dan ekosistem alam yang keseluruhannya saling berkaitan dan saling membutuhkan.

Tiga Bentuk Hubungan dalam Maqasid Syariah

  1. ‘Alaqat Taskhiriyah
    Dalam ajaran Islam, alam dipandang sebagai anugerah yang harus dihormati, bukan sebagai objek yang bisa dirusak atau direndahkan. Perlakuan kasar terhadap alam dianggap menurunkan nilai kemanusiaan itu sendiri. Berbeda dengan pandangan lain yang menganggap alam ternoda karena dosa pertama manusia, Islam menegaskan bahwa alam bukanlah sesuatu yang jahat atau tercemar. Cara pandang ini menghindarkan manusia dari sikap permusuhan terhadap lingkungan. Sebaliknya, Islam menempatkan hubungan manusia dan alam dalam konteks amanah dan tanggung jawab. Allah mempercayakan alam kepada manusia dan memberikan kemampuan akal untuk memahami hukum-hukumnya.
  2. ‘Alaqat Ibtilaiyah
    Anugerah Allah berupa alam semesta tidak hanya dimaksudkan untuk dinikmati manusia semata, melainkan juga menjadi ujian bagi manusia dalam merespons rahmat besar tersebut. Ujian ini terletak pada apakah manusia akan bersyukur atau justru mengingkari nikmat ini. Apakah manusia akan menunjukkan rasa syukur dengan cara yang benar, ataukah hanya bersikap acuh tak acuh. Apakah alam ini akan dijaga dan dimanfaatkan secara bijaksana, atau justru diabaikan dan disia-siakan.
  3. ‘Alaqat Mas’uliyah
    Sebagai bagian dari tujuan penciptaan manusia dan tanggung jawabnya sebagai pemimpin di bumi (khalifah fil ard), diperlukan evaluasi atas tindakan manusia dalam menjalankan perannya. Evaluasi ini akan menunjukkan apakah manusia berhasil atau gagal dalam memenuhi tugas yang telah diamanatkan kepadanya (menjadi khalifah).

Konsep Maqasid Syariah memberikan panduan holistik dalam menjaga hubungan manusia dengan lingkungan. Implementasinya mendorong tanggung jawab kolektif untuk melestarikan alam demi keberlanjutan hidup.

Referensi:
Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (2011). Dakwah Siaga Bencana (Kumpulan Materi Dakwah Pengurangan Risiko Bencana). Second ed. Jakarta Pusat: LPBINU.