Pos

Keadilan Ekologis: Jalan Manusia dan Alam Menuju Rahmatan Lil ‘Alamin

 

Dalam perspektif Islam, alam semesta diciptakan dengan keteraturan yang pasti. Semua kehidupan di dalamnya berjalan dengan prinsip keharmonisan, keselarasan, dan keberlanjutan. Alam semesta memiliki pengaturan yang serasi serta perhitungan yang tepat, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an Surah Ar-Rahman ayat 5-7:

“Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan. Dan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pepohonan, kedua-duanya tunduk kepadanya. Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan).”

Ayat ini menjelaskan bahwa meskipun terdapat unsur-unsur berbeda seperti pohon, air, matahari, udara, tanaman, hewan, dan manusia, setiap unsur tersebut saling bergantung satu sama lain.

Namun, kondisi saat ini justru menunjukkan kontradiksi. Pemanasan global yang terjadi adalah bukti bahwa keseimbangan alam terganggu akibat ulah manusia.

Keadilan Ekologis

Keseimbangan alam dikenal sebagai keadilan ekologis. Menurut laman jss.org.au (Jesuit Social Service), keadilan ekologis berarti keadilan sosial dan lingkungan. Prinsipnya adalah “semuanya saling terkait,” sehingga tindakan etis terhadap lingkungan merupakan bagian dari keadilan sosial.

Dengan kata lain, keadilan ekologis menggabungkan keadilan sosial dan kesadaran lingkungan. Perlindungan dan pemanfaatan lingkungan harus dilakukan secara adil, menghormati dan melindungi hak-hak semua makhluk hidup, termasuk manusia dan ekosistem lainnya.

Prinsip ini sesuai dengan Surah Al-Ahqaf ayat 3:

“Kami tiada menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan dalam waktu yang ditentukan. Dan orang-orang yang kafir berpaling dari apa yang diperingatkan kepada mereka.”

Ayat ini menegaskan bahwa alam diciptakan dengan tujuan yang jelas, bukan tanpa arti. Sayangnya, perilaku manusia yang tidak bijak menyebabkan ketidakseimbangan dan kerusakan lingkungan.

Ketidakseimbangan Alam dalam Perspektif Imam Safet A. Catovic

Imam Safet A. Catovic, pemuka agama Islam di Universitas Drew dan penasihat Muslim Senior di GreenFaith, menuliskan dalam kata pengantar buku 40 Hadits Lingkungan:

“Krisis iklim global saat ini disebabkan oleh ‘perbuatan tangan manusia’ (Al-Qur’an 30:41): aktivitas yang berpusat pada kepentingan manusia, didorong oleh arogansi konsumsi dan keserakahan korporat. Pembakaran bahan bakar fosil yang hanya menuhankan profit juga berperan besar. Darurat iklim ini mengancam semua kehidupan di planet kita, terutama masyarakat miskin dan paling rentan.”

Krisis iklim berdampak buruk pada mereka yang sebenarnya berkontribusi paling sedikit terhadap pemanasan global, seperti perempuan, anak-anak, dan penyandang disabilitas.

Menciptakan Alam yang Rahmatan Lil ‘Alamin

Merenungkan penciptaan alam sebagai tanda kekuasaan Allah akan membentuk kesucian jiwa sebagai seorang Muslim. Hal ini tertuang dalam Surah Ali-Imran ayat 189-190:

“Dan milik Allahlah kerajaan langit dan bumi; dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal.”

Jika alam rusak, maka kualitas keimanan seorang Muslim belum sempurna. Kerusakan alam tidak hanya membahayakan seluruh isinya, tetapi juga keberlangsungan hidup manusia di masa depan.

Imam Safet A. Catovic juga menuliskan:

“Menyoroti eco-teaching dalam Islam, terutama melalui ajaran dan teladan hidup Nabi Muhammad Saw., sangat bermanfaat bagi umat Muslim dan umat agama lain. Kita harus bekerja sama untuk mengatasi perubahan iklim dan menjaga lingkungan yang adil, layak, dan lestari di masa depan.”

Menjaga Keadilan Ekologis

Dengan menerapkan keadilan ekologis, manusia bisa menciptakan harmoni yang menjaga hubungan antara manusia dan alam, sesuai dengan ajaran Islam. Keadilan ekologis menekankan perlindungan lingkungan secara adil dan seimbang, sejalan dengan Al-Qur’an yang mengajarkan pentingnya keteraturan alam.

Ketika keadilan sosial dan lingkungan terjaga, manusia tidak hanya melindungi alam, tetapi juga menjaga masa depan generasi mendatang dan semua makhluk hidup lainnya. Ketidakadilan terhadap alam akan menyebabkan ketidakseimbangan yang merugikan semua pihak, terutama yang paling rentan.

Mengurai Benang Visi Kekhalifahan dan Misi Pelestarian Lingkungan

Indonesia adalah negara dengan populasi umat Muslim terbesar kedua di dunia, setelah Pakistan. Terdapat lebih dari 230 juta penduduk Muslim di Indonesia, yang setara dengan 87,2% dari keseluruhan populasi. Namun, di saat yang sama, Indonesia menempati peringkat kelima sebagai negara penghasil sampah terbesar di dunia, ketiga sebagai penyumbang sampah plastik terbesar di laut, dan kesepuluh sebagai negara paling berpolusi di dunia. Pertanyaannya, mengapa hal ini bisa terjadi?

Islam dikenal sebagai agama yang bersih, yang menekankan nilai-nilai menjaga lingkungan serta menolak segala praktik yang merusak alam. Mengapa permasalahan lingkungan justru muncul dari negara yang hampir 88% populasinya beragama Islam? Ini jelas bertolak belakang dan “tidak masuk akal.” Seharusnya, Indonesia menjadi salah satu negara paling bersih, ramah lingkungan, dan bebas polusi.

Visi Kekhalifahan

Terdapat satu visi utama mengenai tujuan diciptakannya manusia. Hal ini telah disebutkan dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 30 yang berbunyi:

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’ Mereka berkata, ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji-Mu dan mensucikan-Mu?’ Tuhan berfirman, ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.'” (QS. Al-Baqarah: 30)

Ayat ini dengan jelas menyebutkan bahwa manusia diciptakan sebagai khalifah atau pemimpin di muka bumi. “Khalifah fi al-Ardh” merujuk pada makna sebagai wakil Tuhan di bumi. Sebagai wakil Tuhan, manusia diharapkan untuk berperilaku dengan cara yang mencerminkan nilai-nilai kebaikan Tuhan, yang menciptakan, merawat, memelihara, dan melestarikan alam serta segala isinya.

Ayat ini juga mengandung amanat bahwa manusia bertanggung jawab untuk memimpin dan menjaga segala sesuatu yang telah Allah titipkan, termasuk alam. Allah menciptakan alam dan seisinya untuk kemaslahatan manusia. Sebagai manusia, kita memiliki kewajiban untuk menjaga dan merawat apa yang telah Allah berikan demi kelangsungan hidup. Tuntutan menjadi pemimpin yang bijaksana dan memegang amanah harus dipegang teguh, bukan malah menjadi pemimpin yang serakah, rakus, dan sombong.

Pelestarian Lingkungan

Konsep menjaga alam dan lingkungan sejatinya sesuai dengan cara bermuamalah yang diajarkan oleh Rasulullah. Dalam Islam, terdapat tiga ajaran utama dalam bermuamalah, yaitu hablumminallah (hubungan manusia dengan Tuhan), hablumminannaas (hubungan manusia dengan manusia), dan hablumminalalam (hubungan manusia dengan alam). Sayangnya, masyarakat kita cenderung hanya fokus pada poin pertama dan kedua, sementara poin ketiga seringkali terabaikan.

Kesenjangan ini menyebabkan adanya ketidakselarasan antara ajaran agama dan praktik kehidupan sehari-hari. Ketika umat Muslim di Indonesia tidak menjalankan tanggung jawab lingkungan seperti yang diperintahkan dalam Al-Qur’an, maka ajaran mengenai hablumminalalam tidak diterapkan dengan baik. Ini menunjukkan bahwa kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan sebagai bagian dari iman dan ibadah masih kurang.

Dengan pemahaman bahwa menjaga lingkungan adalah bentuk ibadah dan tanggung jawab khalifah, seharusnya Indonesia bisa menjadi contoh dalam pelestarian alam. Tantangan terbesar adalah bagaimana mengintegrasikan ajaran agama yang kaya akan nilai-nilai keberlanjutan lingkungan ke dalam kesadaran dan perilaku sehari-hari masyarakat.

Tanpa kesadaran ini, nilai-nilai lingkungan dalam Islam hanya akan menjadi retorika tanpa aksi nyata. Oleh karena itu, diperlukan upaya yang lebih serius untuk mendidik masyarakat tentang pentingnya menjaga alam, baik melalui pendekatan agama, kebijakan pemerintah, maupun gerakan sosial yang lebih luas.