Pos

Perempuan sebagai Agen Perubahan untuk Bumi yang Mendidih

Akhir-akhir ini, suhu udara sudah di luar nalar. Bagi yang tinggal di kota besar seperti Jakarta, suhu sehari-hari, bahkan saat malam, terasa menyiksa. Selain panas, minimnya hembusan angin dan polusi yang tinggi dapat memicu gejala ketidaknyamanan pada tubuh.

Batuk yang tak kunjung reda, gatal di malam hari, hingga rasa lelah yang cepat menjadi contoh dampak dari cuaca ekstrem seperti sekarang. Suhu yang meningkat merupakan salah satu akibat dari krisis lingkungan. Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati, pada 8 September 2024 membagikan hasil studi mengenai suhu global di seluruh dunia.

Ia menyampaikan bahwa suhu global sudah mencapai 1,45 derajat Celsius di atas rata-rata periode pra-industri (antara 1850 dan 1900). Fakta ini berdampak pada percepatan kenaikan muka air laut dari dekade ke dekade. Antara 1993 dan 2002, muka air laut global naik rata-rata 2,1 mm per tahun, dan angka tersebut bertambah menjadi 4,4 mm per tahun antara 2013 dan 2021.

Penyebab utamanya adalah mencairnya es kutub akibat gletser yang meleleh serta lapisan es yang dipicu oleh pemanasan global. Aktivitas industri, transportasi, dan ekonomi turut memperparah kondisi ini.

Tinggal di kota besar menjadi salah satu kelompok yang paling terdampak pemanasan global. Ini semakin diperburuk oleh pandangan umum warga kota yang menempatkan ekonomi di atas segalanya. Lahan kosong dianggap terlalu berharga untuk tidak diubah menjadi ladang bisnis. Maka, buldoser datang mengubah lahan kosong menjadi pusat perbelanjaan, apartemen, atau gedung perkantoran.

Kegagalan Kita dalam Mempelajari Al-Qur’an Sebagai Panduan Hidup

Selama ini, kita terlalu fokus mempelajari Al-Qur’an dari sisi tajwid, hafalan, hingga tafsir, dengan penekanan memperbaiki hubungan dengan Allah SWT dan sesama manusia. Sayangnya, memperbaiki hubungan dengan alam atau lingkungan masih mendapat perhatian yang jauh dari layak. Buktinya, ceramah dan kajian yang menyentuh isu kerusakan alam masih minim.

Di media sosial, diskusi tentang perilaku kita yang tanpa sadar memperburuk lingkungan juga jarang terjadi. Padahal, alam memberikan kita akses terhadap listrik, udara bersih, dan sinar matahari yang melimpah—semua ini adalah titipan Allah SWT yang sewaktu-waktu bisa diambil jika kita lalai.

Mengatasi dampak bumi yang semakin panas harus dimulai dari merenungi dan merefleksikan ayat-ayat Al-Qur’an. Dengan hati yang bersih, kita akan menyadari darurat perubahan iklim yang sedang kita hadapi. Sebelum kita bangun dari “tidur panjang” dan sadar bahwa Bumi sedang dalam kondisi kritis, kita belum sepenuhnya siap berbuat.

Perempuan sebagai Agen Perubahan

Perempuan, dengan kepekaan dan sensitivitas yang sering kali lebih tinggi dibanding laki-laki, dapat menjadi agen perubahan utama. Dalam isu krisis lingkungan yang sering terabaikan oleh fokus ekonomi, perempuan bisa menjadi penggerak utama. Rasa resah yang mereka rasakan cenderung lebih cepat dan mudah dibagikan, membuat masalah terasa lebih ringan dan lebih cepat ditangani.

Perempuan secara alami senang berbicara, sehingga menyadarkan orang lain, terutama keluarga, akan krisis lingkungan bisa dimulai dari percakapan sehari-hari. Obrolan mengenai suhu yang semakin panas dapat terjadi secara alami. Mereka tidak akan mengabaikan isu ini karena suhu yang panas turut mempengaruhi kesehatan kulit dan kecantikan.

Kepekaan perempuan dapat menjadi alarm bersama, terutama jika ini disuarakan di media sosial hingga viral. Meski aksi nyata perempuan masa kini sering terlihat melalui media sosial, sejatinya, sejak dulu perempuan sudah membuktikan peran aktifnya dalam melindungi keluarga dari dampak lingkungan.

Contoh nyata adalah ibu saya sendiri. Tanpa ia sadari, ia telah menerapkan salah satu hadist Rasulullah SAW yang berbunyi:
“Tidaklah seorang muslim menanam tanaman, lalu dimakan oleh manusia, hewan, atau burung, kecuali itu akan menjadi sedekah baginya hingga hari kiamat.” (HR. Muslim).

Dari tanaman cabai hingga lidah mertua, ibu saya selalu memastikan tanaman di depan rumah mendapatkan air dan nutrisi yang cukup, bahkan rela menyiraminya meski hari sudah malam.

Peran perempuan sebagai agen perubahan akan terus hidup selamanya. Baik melalui menanam pohon atau bersuara di media sosial, kita bisa bersama-sama menghadapi panasnya Bumi dengan mulai peduli dan bertindak.

Sanitasi Pondok Pesantren Selalu Problematik

Ada guyonan yang terkenal di kalangan para alumni pesantren: mereka yang lulus dari pesantren dengan bekas scabies (gudik) dianggap sudah sah menjadi santri. Bekas luka scabies ini seakan menjadi hal yang lumrah bagi para santri yang tinggal di pesantren. Menghabiskan enam tahun di pondok pesantren membuat saya cukup akrab dengan suka-duka kehidupan di dalamnya.

Guyonan di atas sebenarnya menyiratkan kritik terhadap kondisi sanitasi di pesantren. Kita semua tahu, hingga saat ini masih banyak pesantren yang kondisi sanitasinya jauh dari kata ideal. Sanitasi di sini mengacu pada segala upaya yang dilakukan untuk mewujudkan kondisi yang memenuhi persyaratan kesehatan. Tujuannya adalah menciptakan lingkungan yang bersih dan sehat guna meningkatkan kesejahteraan.

Isu sanitasi di pesantren adalah masalah yang sangat krusial, mengingat jumlah pesantren di Indonesia sangat besar. Direktur Jenderal IKMA Kemenperin menyebutkan bahwa ada sekitar 39.167 pesantren yang terdata di Kementerian Agama, dengan jumlah santri mencapai 4,85 juta orang. Jumlah ini tentu tidak sedikit jika dibandingkan dengan lembaga-lembaga pendidikan lainnya, menjadikan pesantren sebagai lembaga pendidikan yang mendominasi.

Oleh karena itu, penting bagi pesantren untuk mendapatkan pengawasan ketat, termasuk dalam hal sanitasi. Berdasarkan pengalaman pribadi saya, seringkali ditemukan berbagai masalah, seperti kekurangan air bersih, keterbatasan kamar mandi, kebersihan alat makan yang kurang terjaga, air minum yang terbatas, hingga tempat tidur yang tidak memadai. Masalah-masalah ini hampir selalu ditemukan di banyak pesantren, terutama yang masih tradisional. Meski demikian, beberapa pesantren modern sudah mulai memperhatikan aspek sanitasi, meskipun jumlahnya masih terbatas.

Menurut beberapa penelitian, setidaknya ada lima aspek yang harus diperhatikan dalam sanitasi ideal bagi pesantren, yaitu:

  1. Manajemen pengelolaan sampah
  2. Ketersediaan dan kualitas air bersih
  3. Kualitas udara
  4. Penyelenggaraan makanan
  5. Pengendalian vektor

Kelima aspek ini bertujuan untuk mencegah penyakit berbasis lingkungan, seperti scabies dan diare, yang sering terjadi pada santri.

Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa lima indikator ini belum sepenuhnya terpenuhi oleh pesantren-pesantren di Indonesia. Misalnya, dalam hal manajemen pengelolaan sampah, masih banyak pesantren yang belum memiliki tempat sampah yang memadai, apalagi budaya pemilahan sampah. Padahal, pemilahan sampah adalah kunci dari pengelolaan sampah yang baik.

Selain itu, ketersediaan dan kualitas air bersih di pesantren masih menjadi masalah besar. Banyak pesantren yang menggantungkan airnya pada air sungai atau sumur yang kualitasnya belum terjamin. Pada musim-musim tertentu, air menjadi sangat langka, sehingga santri kesulitan untuk beraktivitas. Ketidakseimbangan antara jumlah santri dan jumlah fasilitas toilet juga menjadi masalah serius. Menurut Pedoman Penentuan Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang tercantum dalam Kepmen Kimpraswil No. 534/KPTS/M/2001, idealnya perbandingan fasilitas toilet dengan jumlah santri adalah 1:9, namun banyak pesantren yang jauh dari standar ini. Selain itu, banyak toilet di pesantren yang kondisinya kurang terawat.

Aspek penyelenggaraan makanan dan pengendalian vektor juga tak kalah penting. Banyak pesantren yang belum memperhatikan kandungan nutrisi dalam makanan yang disajikan kepada santri. Selain itu, kebiasaan santri yang sering berbagi pakaian, alas kaki, handuk, alat makan, hingga alat mandi, membuat mereka rentan tertular penyakit.

Persoalan sanitasi di pesantren memang sangat kompleks dan tidak bisa diselesaikan oleh satu pihak saja. Menurut saya, masalah ini perlu diatasi melalui pendekatan top-down dan bottom-up secara bersamaan.
Pendekatan top-down dapat meliputi:

  1. Standarisasi fasilitas sanitasi
  2. Pengawasan ketat terhadap pemeliharaan fasilitas
  3. Pemberian bantuan (subsidi) untuk memenuhi standar sanitasi
  4. Pelatihan dan sosialisasi bagi pengelola pesantren

Sementara pendekatan bottom-up bisa dilakukan melalui:

  1. Pembiasaan perilaku hidup bersih dan sehat bagi santri
  2. Internalisasi nilai-nilai Islam tentang pentingnya kebersihan dan kesehatan
  3. Teladan dari para guru di pesantren
  4. Penerapan aturan sanitasi yang ketat
  5. Kolaborasi antara pihak-pihak terkait (pengajar, santri, walisantri, kyai, dan pengurus)

Membenahi sanitasi di pesantren membutuhkan konsistensi, tekad, dan kerja sama dari semua pihak. Namun, saya yakin, jika semua elemen bersatu, pesantren dapat menjadi lembaga pendidikan yang tidak hanya unggul secara spiritual, tetapi juga bersih dan sehat. Bukankah Rasulullah SAW sebagai panutan kita mencintai kebersihan dan kesehatan? Mari kita wujudkan pesantren yang sehat dan bersih!