Pos

Haji Karim, Orang Kampung Bangun Kota Perlindungan Anak

HAJI Karim, lahir di Indramayu, 7 Februari 1970. Tepat di bulan kelahirannya ini, PO Berdaya II mewawancarainya di tengah keramaian di Kantor RW. 006 Kelurahan Kalibaru.

Haji Karim merupakan Ketua PATBM (Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat) Kelurahan Kalibaru, Kecamatan Cilincing, Kota Adm. Jakarta Utara.

Di usia yang terbilang masih muda, 42 tahun, pengalaman pengabdian di masyarakat sudah banyak. Ia mengabdi dari level paling bawah, sebagai hansip setelah dirinya diajak berpetualang oleh kakaknya dari Indramayu ke Kalibaru Jakarta Utara tahun 1989.

Pengalamannya sebagai tokoh masyarakat pun berlanjut. Pekerjaannya sebagai hansip ditekuni dengan semangat dan keikhlasan. Luasnya jejaring komunikasi yang ia bangun membuatnya didapuk sebagai Wakil Ketua RW tahun 2003 – 2009. Kemudian, ia menjadi salah seorang anggota Dewan Kelurahan Kalibaru hingga tahun 2016, dan menjabat Ketua RW. 006 Kelurahan Kalibaru selama dua periode, 2018 – 2021 dan 2022 – 2025.

Pengalamannya dalam kegiatan ekonomi juga bermula dari bawah, sebagai nelayan dengan perahu milik kakaknya. Ia kemudian berjualan kayu dan membuka lapak besarnya di Kalibaru dengan keuntungan milyaran pertahun.

Jasanya dalam pembangun infrastruktur sosial seperti masjid dan kantor RW. 006 juga besar. Ia memimpin pembangunan masjid Baitul Mukminin RW. 006 dengan menghabiskan biaya 4,7 Milyar dalam jangka waktu 4 tahun dari 2016 dan selesai tahun 2021. Tahun ini, 2022, ia berencana merenovasi kantor RW. 006 Kelurahan Kalibaru sampai selesai tiga tahun mendatang.

 

Perjuangan dalam Perlindungan Anak

Setelah 30 tahun lebih berjuang dan mengabdi dalam organisasi kemasyarakatan, tahun 2018 ia ia berkenalan dengan program perlindungan anak, yaitu sejak Rumah KitaB memulai program Pencegahan Perkawinan Anak dan Perlindungan Anak melalui Program Berdaya I yang didukung oleh AIPJ (Australia Indonesia Partnership for Justice) 2.

Menurut Haji Karim pendekatan Rumah KitaB perlu diapresiasi, karena program pencegahan perkawinan anak dan program perlindungan anak disertai dengan pendampingan masyarakat yang intensif. Berbeda dari program perlindungan anak yang dilakukan oleh LSM lain di Kelurahan Kalibaru hanya berakhir di tingkat Kasi Kesejahteraan Rakyat Kelurahan Kalibaru, pendekatan Rumah KitaB melibatkan banyak komunitas di Kelurahan Kalibaru, sehingga banyak tokoh lintas komunitas terlibat dan dilibatkan dalam program Rumah KitaB.

Haji Karim mengatakan bahwa keunggulan program perlindungan anak Rumah KitaB berhasil memperluas titik temu berbagai komunitas di masyarakat, bahkan melibatkan peran langsung lintas tokoh dan lintas komunitas di masyarakat. Tidak hanya dalam pelatihan perlindungan anak dan pencegahan perkawinan anak, pendampingan RTL (rencana tindak lanjut) paska pelatihan juga dilakukan secara serius, di mana komunitas didampingi dengan sangat efektif.

Bahkan pendampingan RTL Rumah KitaB memberikan dampak pengaruh yang jauh lebih besar dibanding pelatihannya.

Haji Karim sendiri mengalami proses pendampingan RTL itu, dimulai dari sosialisasi di tingkat RT/RW, tokoh agama dan tokoh masyarakat hingga “Deklarasi RW. 06 Kelurahan Kalibaru Menuju RW Layak Anak” tanggal 4 April 2019 pada akhir periode Program Berdaya I, dan pengesahan lembaga perlindungan anak di level Kelurahan dengan SK Lurah Kelurahan Kalibaru tentang Pengangkatan Pengurus Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat pada 15 Desember 2021. Pengaruh program perlindungan anak dari Rumah KitaB bahkan berhasil mengantarkan Haji Karim memperoleh Piagam Penghargaan dari Gubernur DKI Jakarta sebagai penggerak masyarakat untuk pencegahan kemiskinan melalui program perlindungan anak pada 12 Desember tahun 2019. Dan di saat yang sama bersama Achmat Hilmi dari Rumah KitaB memperoleh Piagam penghargaan dari Gubernur sebagai Tokoh Inspirasi pendampingan komunitas dalam pencegahan kemiskinan di Kalibaru.

Menurut Haji Karim, pengaruh program perlindungan anak juga dirasakan oleh komunitas remaja, misalnya di Program Berdaya I, komunitas ITACI (Insani Teater Anak Cilincing) tumbuh menjadi organisasi mapan yang aktif pada program perlindungan anak dengan “lenong anak”nya, bergerak mengedukasi masyarakat melalui kreativitas lenong anak. Program Berdaya II di Jakarta Utara juga berhasil membangkitkan komunitas perlindungan anak yang terintegrasi dengan Pengurus PATBM (Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat) Kelurahan Kalibaru, sesuatu yang tidak dilakukan oleh PATBM di 7 Kelurahan lain di kota Adm Jakarta Utara. Kemudian keterlibatan remaja menjadi ciri khas dari keberhasilan pendampingan komunitas di kelurahan Kalibaru untuk perlindungan anak.

Manfaat dari program perlindungan anak di level kelurahan pada akhirnya membawa pengaruh di semua lapisan masyarakat. Dulu sebelum pendampingan dari Rumah KitaB, masyarakat masih banyak yang tidak paham apa itu perlindungan anak dan pencegahan kawin anak serta manfaat dari program itu. Namun saat ini paska pendampingan dan pengorganisasian masyarakat yang sangat efektif dilakukan oleh Rumah KitaB, dapat dipastikan semua masyarakat Kalibaru memahami pentingnya perlindungan anak, dan perangkat organisasi perlindungan anak sudah dibentuk dengan melibatkan komunitas.

Haji Karim sangat tertarik dengan pendampingan masyarakat oleh Rumah KitaB yang melibatkan upaya-upaya advokasi ke para tokoh formal di tingkat kota Adm. Jakarta Utara, bahkan di tingkat provinsi DKI Jakarta, hingga berhasil mendorong pemerintah kota Jakarta Utara dalam membantu meyakinkan Kementerian PUPR RI untuk membangun Taman Maju Bersama (TMB) dan Sarana Olahraga. Hal ini sangat penting mengingat ketersediaan suprastruktur perlindungan anak di kelurahan Kalibaru sudah sangat maju sementara belum didukung ketersediaan infrastruktur perlindungan anak seperti TMB atau RPTRA. Sumbangsih Rumah KitaB dengan pelibatan banyak stakeholder dan komunitas ini sangat penting untuk mengisi ketiadaan infrastruktur perlindungan anak di Kelurahan Kalibaru.

Hal yang perlu digaris bawahi menurut Haji Karim, pengaruh program perlindungan anak ini tidak saja di level Kelurahan Kalibaru tetapi juga di tujuh kelurahan di wilayah Kecamatan Cilincing seperti Kelurahan Marunda, Kelurahan Sukapura, Kelurahan Cilincing, Kelurahan Rorotan, Kelurahan Semper Timur, kelurahan Kalibaru, dan Kelurahan Semper Barat. Tugas selanjutnya adalah mendorong pelembagaan PATBM di semua kelurahan di wilayah kecamatan Cilincing. Harapannya semoga hal itu dapat diwujudkan dalam program Rumah KitaB di masa mendatang.[AH]

Lewat Lenong, Remaja Cilincing Stop Kawin Anak

Dulu, remaja Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara menganggap kawin anak adalah hal biasa. Kini, tidak lagi. Mereka bahkan berkampanye mencegah pernikahan anak lewat seni pertunjukan lenong.

Aye nggak mau kawin, aye mau sekolah dulu,” tangis seorang remaja yang diperankan oleh Febi (17), anggota Teater Itaci saat melakukan pementasan di acara Hari Perempuan Internasional yang diadakan Komisi Perlindungan Anak, beberapa waktu lalu.

Ia memerankan siswi SMP yang mau dinikahkan orangtuanya. Penonton yang sebagian merupakan aktivis dan para aparatur pemerintahan di bidang HAM dan perlindungan perempuan dan anak-anak itu pun larut dalam guliran cerita. Alkisah, ayah Febi berutang pada seorang juragan di daerahnya dan tak mampu membayar. Febi pun di paksa menikah dengan juragan itu agar utangnya lunas, padahal dia masih duduk di bangku SMP.

Ini bukan kali pertama Teater Itaci tampil di acara bertemakan perempuan dan anak. Sebelumnya, mereka pernah tampil di Festival Lenong pada bulan Juli 2018. Dalam festival itu, para remaja dari Kalibaru, Cilincing, itu juga membawakan tema stop perkawinan anak.

Dalam situasi nyata, tokoh Febi merupakan satu dari sekian anak di Cilincing yang terancam dinikahkan di saat usia mereka masih di bawah umur. Berdasarkan data Susenas 2013 yang diolah Statistik Kesejahteraan Rakyat, anak perempuan di DKI Jakarta yang menikah di bawah usia 15 tahun mencapai 5,6%, sementara usia 16-18 tahun sebanyak 20,13% dan usia 19-24 tahun sebanyak 50,08%[1].  Hasil asesmen Achmat Hilmi, Program Officer Program Berdaya di Yayasan Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB), pada tahun 2017, tercatat ada 20 persen perempuan melahirkan di Puskesmas Kalibaru ketika masih berusia anak-anak (di bawah 18 tahun).

Kumuh Miskin

Kalibaru merupakan salah satu pemukiman padat di Jakarta. Masyarakat sering menyebutnya daerah kumis, kumuh miskin. Rumah-rumah petak di wilayah itu umumnya berukuran 3×5 meter, dan dihuni 5-8 orang. Sejatinya, lokasi itu diperuntukkan untuk lokasi industri, maka tidak heran jika banyak dari rumah-rumah yang dibangun di daerah tersebut tidak memiliki izin alias ilegal. Rumah-rumah yang dibangun semi permanen itu berdempetan dengan batas selokan dan jalan setapak sempit antara bangunan satu dan yang lain.

Masyarakat Kalibaru terdiri dari beragam suku seperti Betawi, Bugis, Banten, Jawa, Sunda dan Madura. Mata pencaharian kaum lelaki umumnya buruh pabrik, kuli bangunan, pedagang keliling/gerobak makanan, supir, kuli kayu, kenek, serta beberapa guru dan PNS. Tak sedikit pula yang bekerja serabutan atau menganggur.

Sementara mata pencaharian perempuan umumnya adalah buruh upahan harian, pekerja lepas untuk pabrik mainan dan makanan jajanan, warungan, buruh jahit konveksi, dan pekerjaan keterampilan seperti salon dan pemulung di wilayah-wilayah bekas gusuran.

 

Suasana Pasar Kalibaru

Suasana lingkungan Kalibaru

Suasana lingkungan Kalibaru

Penelitian tersebut juga mencatat faktor penyebab perkawinan anak di sana antara lain karena kehamilan yang tidak dikehendaki. Misalnya saja kasus Wiwin (bukan nama sebenarnya). Dia hamil saat berusia 16 tahun karena pergaulan bebas. Sebenarnya dia tak masalah jika menikah karena umurnya sudah 16 tahun dan itu tak melanggar hukum. Namun, yang menjadi masalah pacarnya juga masih berusia 16 tahun. Upaya menikah di KUA kandas dan pak kyai setempat pun menyarankan agar mereka menikah setelah anaknya lahir karena menurut dia, agama tidak membolehkan menikahkan perempuan yang sedang hamil.

Faktor lainnya adalah maraknya anak-anak putus sekolah yang beralih profesi menjadi buruh kasar, serta banyaknya masyarakat dan para tokoh formal dan non formal yang belum menyadari bahaya perkawinan bagi anak-anak perempuan di bawah umur.

Berdaya

Faktor-faktor itulah yang mendorong Rumah KitaB menetapkan Kalibaru sebagai lokasi program penelitian. Sejak tahun 2017, Rumah KitaB mengembangkan Program Berdaya; pemberdayaan para pihak untuk cegah kawin anak. Kegiatan ini didukung Bappenas yang bekerja sama dengan Department of Foreign Affairs and Trade (DFAT)- Australia Indonesia Partnership For Justice 2 (AIPJ2). Upaya cegah kawin anak ini diselenggarakan di tiga wilayah urban, yaitu Cilincing- Jakarta Utara, Cirebon dan  Makassar.

Pelatihan Berdaya Rumah KitaB untuk penguatan remaja di Kalibaru dilaksanakan selama tiga hari, Jum’at, 29 Juni 2018 sampai Minggu, 1 Juli 2018. Kegiatan berlangsung di Pendopo Gudang Kayu milik H. Abdul Karim, ketua RW 06.

Para peserta merupakan remaja warga Kelurahan Kalibaru, terdiri dari remaja aktif bersekolah dan remaja putus sekolah yang berisiko mengalami perkawinan anak. Jumlah peserta sebanyak 31 orang, 21 perempuan dan 10 laki-laki. Usia mereka berkisar antara 13-18 tahun. Semua peserta merupakan hasil seleksi ketat agar pasca pelatihan para remaja dapat terlibat dalam kampanye pencegahan kawin anak di Kelurahan Kalibaru.

Dengan permainan dan diskusi kelompok, para peserta diajak memahami perkawinan anak, permasalahannya dan bahayanya bagi perkembangan remaja. Mereka juga diminta memetakan para aktor pendorong maraknya perkawinan anak di Kalibaru. Sesi ini juga membantu peserta memahami lingkaran kehidupan dalam ruang sosial, baik interpersonal, komunitas dan hubungan imajinatif terkait struktur atau kebijakan.

Selain itu peserta diajak memahami peran laki-laki dan perempuan dalam sudut pandang biologis dan sosiologis, serta konsep dasar gender dan pengaruhnya dalam perkawinan anak beserta implikasinya yang berbeda di kalangan anak laki-laki dan anak perempuan.

Rupanya, pelatihan yang dilakukan Rumah KitaB tersebut cukup berdampak bagi para remaja. Andre (26), ketua Karang Taruna Kalibaru dan koordinator remaja mengungkapkan, dirinya terinspirasi dari pelatihan yang diadakan Rumah KitaB. Ia mengembangkan poin-poin yang didapat selama pelatihan menjadi sebuah naskah cerita dan kemudian dibuat pertunjukan lenong yang diperankan oleh komunitas Teater Itaci.

“Insya Allah kampanye stop kawin anak akan terus kita sosialisasikan lewat pertunjukan. Lenong kan sifatnya menghibur, jadi pesan pencegahan bisa sampai dengan gaya ringan,” kata Andre, yang juga Ketua Teater Itaci.

 

Dalam proses kreatifnya, Rumah KitaB berperan dalam mengembangkan komunitas Teater Itaci. Selain materi pelatihan, alat-alat pentas, dan perspektif pengetahuan, mereka juga mendapatkan wadah untuk mengekspresikan diri dengan diundang di acara-acara yang melibatkan Rumah KitaB dan AIPJ2. Bahkan Teater Itaci sekarang sedang mempersiapkan diri mengikuti Festival Teater Jakarta.

Andre (Tengah)

Agen Perubahan

Berubahnya pemahaman masyarakat, khususnya remaja, soal kawin anak terlihat dari hasil survei baseline dan endline, berupa pre test dan post test serta pelaksanaan-pelaksanaan inisiatif di tingkat komunitas.

Menurut hasil baseline,  responden di Kota Jakarta Utara adalah responden yang paling menerima praktik perkawinan anak dibandingkan Cirebon dan Makassar. Jika ditinjau dari status respondennya, di Kabupaten Cirebon dan Jakarta Utara, responden remaja  paling menerima perkawinan anak. Sedangkan di Kota Makassar,  orangtua lah yang paling menerima perkawinan anak.

Untuk tokoh formal dan non formal, sudah ada kesadaran yang cukup baik yang terlihat dari rendahnya skor indeks penerimaan perkawinan anak di ketiga kabupaten. Faktor pendidikan dan pendapatan juga terbukti cukup menentukan tingkat penerimaan responden terhadap perkawinan anak.[2]

Hasil endline belum bisa dimunculkan, karena masih ada kegiatan lanjutan berupa diskusi tentang rencana tindak lanjut kegiatan. Namun, dari situasi di lapangan bisa terlihat bahwa level pengetahuan remaja tentang indeks penerimaan kawin anak sudah berubah.

Jika pada awalnya mereka menerima perkawinan anak, sekarang mereka menolaknya, bahkan ikut mengampanyekan penolakan kawin anak lewat lenong. Para remaja itu kini telah menjadi agen perubahan. Dengan pengetahuan yang dimiliki, mereka berinisiatif menyebarkannya kepada sebayanya yang juga memiliki  kemungkinan terdampak praktik perkawinan anak.

Keberhasilan itu tampak dalam acara puncak Program Berdaya yang dilakukan Rumah KitaB pada tanggal 4 April 2019 yang bertajuk “RW 06 Kalibaru Menuju RW Layak Anak”. Acara yang dihadiri oleh perwakilan dari tingkat RT/RW, Kelurahan, Walikota, Dinas-Dinas, sampai Kementerian itu merupakan wujud kesepakatan warga dan remaja Kalibaru untuk menjadi RW layak anak, dan secara khusus menolak kawin anak.

Acara hari itu di selenggarakan persis di mulut gang yang dulu dikenal dengan nama “gang sempit”. Gang sempit  berada di dekat pelabuhan bongkar muat dan pelelangan ikan dan pernah dikenal sebagai daerah prostitusi kelas teri. Kini, berkat persuasi dari banyak pihak, wilayah itu telah menjadi hunian keluarga dan bukan lagi lokalisasi.

Sejak hari itu, “Gang Sempit” diubah Namanya menjadi “Gang Berkah”. Babak baru dalam kehidupan warga Kalibaru itu dimeriahkan oleh penampilan Teater Itaci yang membawakan tema stop kawin anak. Di bawah tenda merah putih, lebih dari 500 warga tumpah ruah ikut riuh menyaksikan penampilan lenong.

Dengan kemasan yang ringan dan menghibur, lenong berhasil menjembatani problema masyarakat. Memang, perubahan itu baru terjadi di sebuah kelurahan, di pesisir utara kota Jakarta. Namun, bukankah sebuah perubahan besar kerap dimulai dari perubahan kecil? [Seto]

[1] http://kajiangender.pps.ui.ac.id/wp-content/uploads/2016/04/Hari-1-sesi-1-Razali-Ritonga.pdf,

[2] Laporan Baseline AIPJ2 Rumah KitaB kuantitatif

Remaja Kalibaru saat pelatihan

Remaja Kalibaru saat main lenong

Gang Berkah

 

ITACI SATUKAN REMAJA CILINCING CEGAH KAWIN ANAK

Andriantono atau biasa disapa Andre adalah salah satu penerima manfaat dari program BERDAYA untuk remaja di Cilincing yang berhasil mengangkat isu cegah kawin anak ke dalam seni pertunjukan lenong. Meminati lenong sejak muda, Andre melihat materi pelatihan pencegahan kawin anak sebagai materi yang cocok diceritakan kembali dalam bentuk sandiwara khas Betawi itu. 

Kali pertama Andre berakting di teater pada 2010. Ia mengenang, ketika itu  teman-temannya  di RW 06, Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara heran atas pilihannya yang dianggap sudah ketinggalan zaman.

Andre, yang saat itu masih duduk di Sekolah Teknik Menengah (STM), memang menggemari seni peran. Di luar sekolah, Andre sering ikut kegiatan yang diselenggarakan beberapa lembaga swadaya masyarakat untuk seni pertunjukkan dan teater, salah satunya dengan World Vision, beberapa tahun silam, dalam rangka Hari Anak dan Kampanye Hak Anak. Rupanya ia begitu terpikat pada dunia seni dan pertunjukkan, termasuk lenong.

Hobi menggeluti dunia seni peran itu tidak terhalang meski kini ia bekerja penuh waktu sebagai petugas keamanan di pelabuhan Tanjung Priok-Cilincing. Ia rutin melatih sepuluh anak muda yang tergabung dalam kelompok kecil yang menjadi bagian dari jaringan ITACI (Ikatan Teater Cilincing).  Ia ditemani Jumadi yang sehari-hari bekerja sebagai petugas bongkar pasang tenda acara. Sebagaimana Andre, Jumadi bergabung dalam seni peran karena kecintaannya pada musik.

Menarik minat anak muda dalam kegiatan seni di RW 06 bukan perkara gampang. “Kebanyakan mereka kehilangan minat pada kegiatan seni karena lebih suka nongkrong, main medsos, atau ikut dalam geng-geng sepakbola,”  demikian Andre menjelaskan betapa sulitnya mengajak remaja aktif dalam dunia seni.

Senada dengan Andre, Jumadi melihat bahwa sebetulnya remaja setempat membutuhkan kegiatan positif. “Waktu bulan puasa kemarin banyak remaja keliling dalam rombongan sahur. Tapi ujung-ujungnya, malah  hampir tawuran,” tambahnya.

Pergaulan remaja yang berujung pada kawin anak juga bukan hal yang asing bagi Andre, Jumadi, dan warga Kalibaru. Himpitan ekonomi dan rasa tidak nyaman berkomunikasi dengan orang tua, mendorong sebagian remaja menghabiskan waktu dengan kawan sebaya namun tanpa bimbingan. Hadirnya medsos juga mempengaruhi interaksi mereka. “Beberapa teman yang nikah muda tidak selalu dengan orang dari kampung sini. Ada juga yang kenalan dengan orang dari luar [Kalibaru] lewat Facebook atau chatting,” ujar Andre.

Berdasarkan data Susenas 2013 yang diolah Statistik Kesejahteraan Rakyat, anak perempuan di DKI Jakarta yang menikah di bawah usia 15 tahun sebanyak 5,6%, usia 16-18 tahun sebanyak 20,13% dan usia 19-24 tahun sebanyak 50,08%.[1]  Dengan jumlah penduduk yang padat jumlah pelaku kawin anak di DKI lumayan banyak.

Hasil asesmen Achmat Hilmi, Program Officer Berdaya Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB) di Kalibaru tercatat, tahun 2017, sebanyak 20 persen perempuan melahirkan di Puskesmas Kalibaru ketika berusia anak-anak (di bawah 18 tahun). Asesmen tersebut, juga mencatat faktor penyebab perkawinan anak di sana antara lain karena kehamilan tidak dikehendaki, orang tua khawatir anaknya hamil duluan, budaya/tradisi sebagian masyarakat dari kampung halamannya seperti Sulawesi Selatan, Riau, dan Jawa Barat, yang menikahkan anak di bawah umur, maraknya anak-anak putus sekolah yang beralih profesi menjadi buruh kasar, serta banyaknya masyarakat dan para tokoh formal dan non formal yang belum menyadari bahaya perkawinan anak terhadap anak-anak perempuan.

Kesempatan bagi Andre untuk memahami isu kawin anak berawal ketika Bapak Haji Karim, Ketua RW 06 Kelurahan Kalibaru memintanya untuk mengajak dan mendampingi beberapa remaja mengikuti pelatihan pencegahan kawin anak bagi remaja di Kalibaru yang diselenggarakan oleh Rumah KitaB pada 29 Juni – 1 Juli 2018. Pelatihan ini adalah rangkaian dari pelatihan pencegahan kawin anak di tiga wilayah – Cilincing, Makassar, dan Cirebon bagi remaja, orang tua, serta tokoh formal dan non-formal serta didukung oleh Australia Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2).

Tidak lama usai pelatihan, Komar, pembina Ikatan Teater Cilincing (ITACI), mengajaknya berpartisipasi dalam kompetisi Festival Lenong yang diselenggarakan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta. “Saya usulkan ke teman-teman, kenapa kita tidak coba menampilkan tema kawin anak? Festival ini juga untuk memperingati Hari Jadi Kota Jakarta yang diperingati setiap tahunnya sekaligus menyambut  datangnya hari anak nasional”. Acara  diselenggarakan pada 16-20 Juli 2018 atau tepat dua minggu setelah pelatihan pencegahan perkawinan anak khusus remaja di Kalibaru. Lenong kan sifatnya menghibur, jadi pesan pencegahan bisa sampai dengan gaya ringan”,  ucap Andre mengenai strateginya sosialisasi “Cegah Kawin Anak” melalui lenong.

Andre dan Komar kemudian menulis skenario serta melatih sekitar 10 remaja sebagai pemeran lenong. Mengangkat tema perjodohan seorang anak perempuan di sebuah keluarga di Cilincing, skenario itu banyak menyelipkan fragmen sehari-hari antar kawan, orang tua dan tokoh masyarakat. “Misalnya, ada karakter seorang anak perempuan yang baru lulus SMP dan menyampaikan keinginannya untuk buru-buru nikah. Karena memang seperti itu obrolan anak-anak Kalibaru,” tambahnya.

“Selain resiko kawin anak, kami juga menyampaikan pesan bahwa sebagai anak, kita bisa mengemukakan pandangan yang berbeda dari orang tua tanpa melakukan pemberontakan. Tentu saja alasan kita adalah untuk kebaikan, bukan sekedar tidak mau nurut dengan orang tua,” jelas Andre.  Meskipun tidak menang kompetisi, ITACI dan Festival Lenong telah menyatukan remaja-remaja Cilincing untuk terus berkreasi dan menyebarkan pesan cegah kawin anak.

Bersama Program BERDAYA, Andre dan kawan-kawan yang tergabung dalam teater kecil di RW 06 serta ITACI, akan mengisi berbagai kegiatan advokasi pencegahan kawin anak. Di antaranya melalui kegiatan lenong dan sanggar tari, penyuluhan remaja-remaja Kalibaru tentang pengenalan bahaya dan risiko kawin anak di sekolah-sekolah dan di pos-pos RW untuk remaja putus sekolah. Mereka tengah menggagas kampanye kreatif dengan memasang berbagai gambar kreatif bertema bahaya kawin anak di berbagai pusat kegiatan remaja termasuk di lokasi remaja berkumpul. [Hilmi/Mira]

Andre (tengah) saat acara festival lenong di Jakarta

[1] http://kajiangender.pps.ui.ac.id/wp-content/uploads/2016/04/Hari-1-sesi-1-Razali-Ritonga.pdf, diakses tanggal 27 Agustus 2018