Pos

Perlunya Revisi UU Perkawinan Tentang Wali Nikah

Oleh: Dr. K.H. Imam Nakha’i, M.A., Komisioner Komnas Perempuan

 

HARI ini saya mendapat barokah kedatangan tamu seorang perempuan yang akan memondokkan putrinya ke Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Sukorejo, Situbondo, yang kini diasuh oleh Romo Kiyai Ahmad Aza’im Ibrahimy, salah satu cucu K.H.R. As’ad Syamsul Arifin sekaligus menantu ponakan K.H.R. Fawa’id As’ad Syamsul Arifin.

Menggunakan tranportasi bus umum dari Kediri, ia tiba di rumah saya sekitar pukul 7 malam. Ia datang bersama putrinya dan kawan perempuannya yang merupakan alumni Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah. Setelah istirahat sejenak, di tengah obrolan bersama istri saya, saya bertanya: “Berdua saja? Mana ayahnya?” Sang ibu agak tertunduk dan istri saya yang menjawab. Ia sudah bercerai sekitar 8 tahun yang lalu, dengan 3 orang anak, anak pertama (putra) dan kedua (putri) ikut ibu, dan yang ketiga ikut ayah.

Sejak anak-anaknya masih kecil, ia sendiri yang bekerja banting tulang membiayai putra pertamanya yang mondok di Gontor dan kini ia telah menjadi guru. Sementara putrinya baru tamat SMP dan akan disekolahkan di pesantren. “Agar saya lebih tenang bekerja, bukan pekerjaan yang elit sih, dan dengan gaji yang pas-pasan,” katanya.

Sebelumnya, saya juga teringat, di Blang Pidi Aceh sana, seorang ibu yang juga mengasuh empat anaknya yang kecil kecil, setelah diceraikan suaminya. Ia menyekolahkan putra-putrinya sampai sarjana, tanpa bantuan sedikitpun dari mantan suaminya.

Setahun yang lalu, kami juga mendapat keluhan dari seorang ibu di Bali, yang baru melepaskan diri bersama anak-anaknya dari suaminya yang kejam. Selama berbulan-bulan ia berusaha mencarikan sekolah untuk anak-anaknya yang sempat ditolak di beberapa sekolah karena tidak punya uang.

Belakangan, saya dapat informasi, ternyata banyak perempuan yang menjadi “tulang punggung” bukan “tulang rusuk” keluarga. Baik karena kematian suaminya, diceraikan, ditelantarkan, ataupun suaminya tidak mampu lagi menghidupi keluarga karena beberapa hal.

Ada kisah menarik, salah seorang anak perempuan yang dibesarkan sendiri oleh ibunya akan menikah. Penghulu bertanya: “Mana walinya?” Sambil meneteskan air mata, sang ibu menjawab, “Ada, tetapi sejak anak-anak masih kecil sampai dewasa ia tidak terlibat apapun. Saya tidak rela jika ia tiba-tiba menjadi wali dari anak-anak yang saya besarkan sendiri. Bagaimana bisa ia yang jadi wali, sementara sejak awal ia tidak bertanggungjawab,” tegasnya.

Dari beberapa kisah itu, saya berpikir, andaikata Indonesia mengikuti Imam Hanafi, di mana seorang ibu boleh menjadi wali nikah bagi putri-putrinya, maka selesai. Namun UU Perkawinan dan KHI Indonesia masih sangat lekat dengan mazhab Syafi’i yang hanya membolehkan ayah menjadi wali nikah, tidak ada pengecualian, sekalipun ia tidak bertanggungjawab.

Mungkin sudah tiba waktunya memikirkan revisi UU Perkawinan. Seharusnya UU Perkawinan memberikan pengecualian, seperti dalam tradisi fikih yang kaya dengan aqwâl (pendapat), tidak terpaku hanya pada satu pendapat. Jika UU hanya menyajikan satu pendapat, itu artinya UU membunuh nalar kritis (ijtihad) para penghulu dan harus mengikuti satu pendapat itu. UU kadang lebih “kejam’ dari fikih; fikih memberikan ruang yang lain, sementara UU tidak.[]

Wallahu A’lam

Situbondo
Minggu, 02 Juli 2023