Pos

Konsep Ijbar di Masa Modern, Masih Relevankah?

Oleh: Nurhayati Aida

 

Konsep Ijbar di Masa Modern, Masih Relevankah?

 

Pertanyaan itu kembali mencuat setelah event organizer Aisya Wedding dalam iklannya mengkampanyekan perkawinan anak, poligami, dan nikah siri. Dalam sehari semalam, perbincangan mengenai iklan Aisha Wedding menjadi ramai di media sosial.

Meskipun dalam analisis Ismail Fajri pemilik Drone Emprit bahwa akun Aisha Wedding hanya dibuat untuk menghentakkan masyarakat saja, tetapi bagi penggiat isu perempuan, kampanye atau iklan perkawinan anak tidak bisa dianggap main-main. Sebab, Indonesia pada tahun 2020 masih tercatat sebagai negara dengan angka kasus tertinggi kesepuluh di dunia terkait dengan perkawinan anak.

Isu perkawinan anak memang tak bisa dilepaskan dari pandangan-pandangan agama, khususnya dalam Islam. Selain tersebar hadis yang menyebut Nabi Muhammad menikah Aisyah r.a. dalam usia anak, tetapi di dalam Islam juga mengenal konsep ijbar—yang sering diartikan otoritas orangtua memaksa anak untuk menikah.  Untuk melihat posisi Islam tentang perkawinan Anak, Rumah KitaB mengadakan diskusi dengan tajuk Bolehkah Orangtua Memaksa Anaknya Menikah Muda? yang  dilakukan secara daring pada tanggal 11 Februari 2021. Acara ini menghadirkan Lies Marcoes (Direktur Eksekutif Rumah KitaB), Ulil Abshar Abdalla (Intelektual Muda Nahdlatul Ulama), Mukti Ali Qusyairi (Ketua LBM PWNU DKI).

Perkawinan anak, menurut Ulil Abshar Abdalla, adalah praktik dalam Islam yang mulai ditinggalkan oleh masyarakat di Indonesia, sebagaimana poligami.  Sebab, menurut Ulil, Muslim Indonesia saat ini adalah masyarakat yang rasional-kontekstual. Meski Islam mengenal konsep Ijbar—otoritas yang dimiliki oleh wali untuk memaksa anak  untuk menikah—, tetapi masyarakat modern mulai meninggalkan praktik-praktik tersebut. Lebih lanjut ulil mengatakan bahwa masyarakat Muslim memiliki cara sendiri untuk menafsirkan agama berdasarkan common sense (akal sehat) dan  berdasarkan ilmu pengetahuan yang canggih. Praktik kehidupan sehari-hari masyarakat Islam menandakan bahwa ada perubahan cara pandang

Ulil mengakui bahwa ada  satu kelompok atau gerakan yang menerapkan secara konsisten apa yang ada dalam Al-Qur’an dan hadis, seperti mengenalkan kembali  poligami sebagai praktik dan pernikahan anak. Menurut Ulil, gerakan ini merupakan bagian dari gerakan politik identitas yang biasanya berkembang di kalangan Muslim perkotaan. Mereka mengembangkan pola pemahaman keagamaan yang dianggap lebih otentik dan sesuai Al-Qur’an-Sunnah karena mereka menganggap Islam sedang terancam. 

Mukti Ali Qusyairi dengan murujuk kitab Hasyiyah Syaikh Ibrahim al-Bajuri karya menjelaskan bahwa ijbar dibolehkan dengan syarat yang sangat ketat. Setidaknya ada sembilan syarat yang ditetapkan bagi orangtua atau wali yang ingin menggunakan hak ijbar, yaitu: Pertama, tidak boleh ada permusuhan antara mempelai perempuan (putri) dan bapak/kakeknya. Yang dimaksud permusuhan di sini adalah, mempelai perempuannya tidak bersedia dinikahkan. Kedua, mempelai laki-laki yang ditawarkan wali mujbir harus selevel (kufu) dengan putri mereka. Ukuran kufu adalah perempuannya. Ketiga, mempelai laki-laki bisa dan mampu membayar mas kawin. Keempat, tidak adanya permusuhan—baik zahir maupun batin—antara mempelai perempuan dan mempelai laki-laki. Sebab, mempelai perempuan akan meninggalkan bapak/kakeknya dan memulai hidup bersama dengan suaminya. Kelima, membayar mas kawin pada umumnya (mahar mitsil)—biasanya berkaitan dengan keluarga. Keenam, mas kawin harus kontan dan tidak boleh utang. Ketujuh, mas kawin harus dari mata uang yang berlaku atau mata uang di negara mempelai perempuan. Kedelapan, perempuan tidak boleh dinikahkan dengan seseorang yang membahayakan dirinya.  Kesembilan, tidak boleh menikahkan perempuan yang sedang wajib haji. 

Sembilan syarat tersebut harus dipenuhi, jika tidak, menurut Mukti Ali Qusyairi dengan merujuk pendapat Syekh Wahbah Zuhaili dalam kitabnya Fiqhul Islam wa Adillatuhu, dianggap tidak sah.

Mukti Ali Qusyairi menegaskan bahwa konsep  ijbar dalam Islam itu berbeda dengan ikrah (pemaksaan).  Sebab, ijbar dilandasi dengan kasih sayang dan perwujudan kasing sayang  orangtua kepada anak.

Menanggapi polemik mengenai Aisha Wedding yang menggunakan justifikasi agama dalam iklan perkawinan anak, Lies Marcoes mengajak untuk melihatnya dengan dua pendekatan: Pertama, dengan pendekatan resepsi yang digagas oleh Cornelis van Vollenhoven. Dalam bacaan Lies Marcoes, hukum keluarga dan hukum perkawinan yang ada di Indonesia saat ini mengadaptasi dan menyerap tradisi Islam. Menurut Lies Marcoes, dalam tradisi masyarakat yang berbasis klan atau komunal pada masa hukum Islam dibentuk, ijbar masih relevan dan masuk akal. Namun, seiring dengan berkembangnya zaman, fikih mulai ada dialog dengan hukum-hukum internasional, seperti  human right dan konvensi-konvensi internasional, terkait dengan perkawinan anak. Sebab, jika tidak ada dialog di antaranya kedua, menurut Lies Marcoes, berpotensi untuk membahayakan diri anak. Konvensi CEDAW misalnya, bisa diadopsi  untuk melarang praktik pemaksaan perkawinan dan diskriminasi kepada anak perempuan.  Kedua,  menggunakan prinsip-prinsip hukum Islam, seperti maqashid syariah yang dibaca dengan perspektif gender. 

Dengan dua pendekatan itu, menurut Lies Marcoes, akan mengantarkan kita pada pemahaman bahwa yang disampaikan oleh Syaikh Ibrahim Al-Bajuri harus dibaca dalam relasi yang sudah berubah–relasi yang ada di masyarakat tidak lagi menggunakan sistem kabilah, tetapi struktural. Sehingga pemaksaan pernikahan itu bukan hanya datang dari orang tua atau kakek saja, tetapi hadir karena pemaksaan struktural—karena kemiskinan, terbatasnya akses pendidikan dan sumber daya.  

WALI NIKAH

Oleh: Dr. (HC). Husein Muhammad

Secara umum kata “wali” dalam bahasa Arab mengandung sejumlah makna. Antara lain : orang yang menyayangi, orang yang melindungi, orang yang mengurusi urusan orang lain, orang yang bertanggungjawab atasnya, orang yang mempunyai kekuasaan, dan sejenisnya.

 

Dalam konteks Nikah, Wali menurut pandangan para ahli Islam adalah orang yang bertindak melaksanakan secara langsung akad nikah bagi orang lain. Lalu siapakah dia?. Sepanjang sejarah di negeri ini bahkan di banyak negara Islam, wali adalah harus seorang laki-laki. Perempuan tidak bisa/boleh menjadi wali atas dirinya sendiri atau atas orang lain. Pikiran dasar pandangan ini adalah bahwa laki-laki itu “Ahliyah al-Tasharruf” sementara perempuan itu “Naqish al-Ahliyyah” atau “al-Qashir”. Manusia yang kurang cakap bertindak hukum dan dibawah tanggungan orang lain.

 

Wali adalah ayah, kakek atau kerabat dekat (nasab) dari perempuan itu. Bila mereka tidak ada atau tidak bisa karena alasan tertentu, maka fungsi wali dialihkan kepada pemerintah (naib KUA). Ini yang disebut wali hakim.

 

Dalam mazhab fiqh ada istilah “wali mujbir”. Ia adalah ayah atau kakek seorang perempuan. Dalam banyak pandangan, wali mujbir berhak menikahkan anak perempuannya meski tanpa persetujuan eksplisit dari anaknya. Ini membawa persepsi public  bahwa ayah/kakek berhak memaksa anak perempuanya untuk menikah dengan laki-laki pilihannya, bukan pilihan putrinya itu. Bahkan kadang terjadi ayah telah menikahkan putrinya, tanpa sepengetahuan si anak. Anak perempuan itu baru diberitahu atas pernikahan itu sesudahnya. Tindakan ini berbeda dengan pernyataan Nabi saw : “untuk gadis hendaklah diminta izinnya, dan untuk janda diminta perintahnya. Izin si gadis (paling tidak) adalah sikap pasifnya”.

 

Seperti ditulis dalam buku-buku fiqh Syafi’i, wali mujbir bisa menikahkan anak perempuannya, meskipun tanpa persetujuan eksplisit sang anak, hanya jika terpenuhi empat  syarat : si anak tidak memperlihatkan penolakan verbal maupun ekspresif, terhadap ayahnya, tidak ada penolakan tegas dan ekspresif terhadap calon suaminya, calon suami sepadan (kufu) dan mas kawinnya (mahar) layak untuk status social dirinya.

 

Jika demikian, maka “Ijbar” bukanlah “Ikrah”. Dua kata ini sering diterjemahkan sama : memaksa. Tetapi konotasinya sesungguhnya berbeda. Ikrah merupakan pemaksaan tanpa kerelaan yang perempuan. Sedang “Ijbar” melakukan suatu tindakan atas nama orang lain (perempuan) tanpa penolakan. Ijbar dilakukan atas dasar tanggungjawab.

 

Pandangan Lain 

Jika kita menelusuri khazanah hukum dalam masyarakat Islam, perempuan tidak boleh melakukan sendiri akad nikahnya sesungguhnya bukanlah pandangan satu-satunya. Secara singkat berikut ini adalah beragam pandangan ulama ahli fiqh tentang isu ini :

1. Nikah yang Ijabnya dilakukan oleh perempuan, adalah sah jika dia telah “dewasa”, (al-Rasyidah). Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Abu Yusuf, Zufar, Auza’i, Muhamnad bin Hasan dan Imam Malik dlm riwayat Ibn Qasim.

2. Ia sah jika ada izin/restu Wali: Ibnu Sirin, Qasim bin Muhammad, dan Ahmad bin Hambal menurut qaul mukharraj.

3. Sama dengan no. 2 dengan catatan (syarat) izin wali diperoleh sebelum akad

4. Nikah tanpa wali adalah sah, jika sekufu. Ini pendapat Al-Sya’bi dan al-Zuhri

5. Sah bagi janda. Tidak bagi gadis. Ini pendapat Daud Zhahiri

6. Tidak sah baik gadis maupun janda, kufu maupun tidak. Ini adalah pandangan Imam Al-Syafi’i, Imam Malik riwayat Asyhab, ibn Syubrumah, Ibn Abi Laila, Sufyan Tsauri, Ishak bin Rahawaih, dan Ibn Hazm. Inilah pandangan mayoritas. (Baca: “Nikah, Rujuk, Talak”, karya Prof. K.H. Ibrahim Hosen).

Seluruh pandangan ini mengambil dasar legitimasinya dari Al-Qur’an dan Hadits, tetapi dengan cara analisis yang berbeda-beda.

 

Memilih adalah hak kolektif, Menentukan adalah hak personal

Pandangan fiqh mayoritas di atas boleh jadi tidak menyimpan problem dalam system social masa lalu. Yakni zaman ketika suara dan ekspresi perempuan dibatasi oleh struktur social, budaya dan politik yang disebut patriarkhisme. Perempuan dalam system ini sulit atau tabu mengemukakan kehendak atau tidak berkehendaknya secara verbal dan ekspresif. Jika pun dia ditawari menikah dengan pilihan ayanya, dia hanya diam jika tidak merasa keberatan. Diam adalah ekspresi minimal persetujuan perempuan. Tetapi kebudayaan manusia senantiasa berkembang dan berubah. Hari ini akses pendidikan dan aktualisasi diri perempuan semakin terbuka. Maka kita melihat tidak sedikit perempuan yang cerdas dan berani mengungkapkan kehendaknya, baik dalam mengapresiasi maupun menolak suatu pandangan dan kehendak orang lain, termasuk orang tuanya. Pikiran perempuan tidak selalu lebih bodoh daripada pikiran laki-laki, bahkan kadang lebih cerdas dan jitu.

 

Realitas sosial seperti ini seharusnya membuka mata hati dan pikiran orang tua untuk mengambil sikap yang lebih relevan dan kontekstual.  Sebagai seorang wali, orang tua, tentu berhak untuk mencarikan atau menawarkan pasangan hidup yang menurut dirinya bisa membahagiakan anaknya. Ini sebagai bentuk tanggungjawab atas masa depan anaknya.  Dalam waktu yang sama anak juga mempunyai hak yang sama untuk hal itu. Ketika pilihan keduanya berseberangan, maka sepatutnya kehendak anak lebih dipertimbangkan.

 

Menikah adalah hak setiap orang, laki-laki maupun perempuan. Dalam Islam, menikah menjadi “sunnah”, dianjurkan, manakala dia sudah berhasrat dan siap. Ia adalah fase krusial bagi perjalanan hidupnya di masa depan. Karena itu dia tentu akan berfikir keras dalam memilih pasangan hidupnya yang akan membahagiakannya. Perempuan dewasa, apalagi terpelajar, tentu dapat atau bisa memilih apa yang baik dan apa yang buruk. Maka memilih pasangan hidup seyogyanya lebih banyak diberikan sekaligus ditentukan oleh dirinya sendiri, bukan oleh orang lain.

 

Tanggungjawab itu sendirian 

Pengalaman hidup kita menunjukkan dengan pasti bahwa manakala seseorang telah membentuk rumah tangga, dia akan menjalani hidup bersama pasangannya, dan dia akan bertanggungjawab atas hidup bersama pilihannya itu dalam suka maupun duka. Sebagai seorang wali, orang tua, memang punya tanggungjawab moral; memberikan nasehat, pertolongan manakala diperlukan dan mendo’akan bagi kebahagiaan anaknya selamanya. Dalam waktu yang sama, secara moral pula, anak dituntut mempertimbangkan apa yang baik dan patut dari pandangan orang tuanya. Kesalingan saling mengapresiasi pikiran, rasa dan kehendak adalah penting. Tetapi menentukan nasib hidup atas diri adalah sendiri-sendiri. Dengan kata lain : memilih adalah hak kolektif, tetapi menentukan adalah hak personal. Ada semboyan : “The Personal is Political”. Islam, juga menyebutkan tanggungjawab individual ini.

 

وَكُلُّهُمْ آتِيهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَرْدًا“

Dan setiap orang akan datang kepada-Nya pada hari Qiyamat, sendiri-sendiri” (Q.S. [19]: 95).  Para ahli tafsir menjelaskan bahwa setiap manusia akan menghadap Tuhan sendirian saja, tanpa penolong siapapun dan apapun.

Lihat pula Q.S.  [39]:7:

وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ ۗ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّكُمْ مَرْجِعُكُمْ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ ۚ إِنَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ

“dan seorang tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kembalimu lalu Dia memberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui apa yang tersimpan dalam (dada)mu”.

 

Khalil Gibran menulis puisi cerdas dan indah  :

Anakmu bukanlah anakmu

dia anak kehidupan yang merindui dirinya sendiri

Dia terlahir melaluimu tapi bukan darimu

Meski dia bersamamu tapi dia bukan milikmu

Kau bisa bikinkan rumah untuk tubuhnya tapi bukan jiwanya

Jiwa adalah penghuni rumah masa depannya

yang tak bisa kau kunjungi, meski dalam mimpi.

 

Puisi itu mengingatkan kita pada kata bijak Socrates :

لا تكرهوا اولادكم بعاداتكم فانهم خلقوا لزمان غير زمانكم.

“Jangan kau paksa anak-anakmu ikut tradisimu. Mereka diciptakan Tuhan untuk suatu zaman, bukan zamanmu”.

Redaksi lain menyebut : لا تكرهوا اولادكم على اثاركم فانهم مخلوقون فى زمان غير زمانكم

 

Demikian.  Cirebon, 24.06.19Husein Muhammad

 

Tulisan ini dipresentasikan dalam acara launching buku “Fikih Perwalian” di Wahid Institute, Jakarta, 25 Juni 2019.