Pos

Maraknya Kejahatan Usia Anak, Bukti Yatim Piatu Sosial itu Nyata

Pembunuhan dan pemerkosaan yang terjadi terhadap seorang anak berusia 13 tahun beberapa waktu lalu di Palembang, dengan pelakunya juga masih anak-anak, perlu menjadi perhatian serius. Ini bukan kali pertama kasus kejahatan dengan pelaku anak terjadi.

Data dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Hukum dan HAM mencatat hampir 2.000 kasus anak yang berkonflik dengan hukum dalam kurun waktu 2020-2023. Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia menyebutkan bahwa kekerasan fisik dan seksual merupakan jenis tindak kriminal yang paling dominan dalam kasus kejahatan dengan pelaku usia anak.

Tidak hanya kekerasan fisik, tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak bahkan ada yang sampai menghilangkan nyawa orang lain. Fenomena ini tentunya bukan hal yang biasa. Usia anak seharusnya merupakan masa pertumbuhan, belajar, dan pembentukan karakter. Rasanya tidak mungkin anak-anak terlibat kejahatan, tetapi kenyataannya, kasus anak yang berkonflik dengan hukum seharusnya menjadi evaluasi bagi semua pihak. Mengapa celah kejahatan dengan pelaku anak bisa terjadi?

Secara psikologis, anak merupakan individu yang belum memiliki kematangan emosional, sehingga masih labil dan belum mampu mengendalikan emosi yang berdampak pada tindakan serta perilaku mereka. Inilah alasan mendasar mengapa anak harus mendapatkan perlindungan, baik dari tindakan mereka sendiri yang merugikan maupun dari orang lain.

Bicara tentang anak yang berkonflik dengan hukum atau terlibat tindak pidana, merujuk pada perspektif Undang-Undang Perlindungan Anak, anak tidak dianggap bersalah karena harus dilindungi. Anak di bawah 18 tahun adalah tanggung jawab orang tua. Artinya, jika anak melakukan kesalahan, mereka harus mendapatkan rehabilitasi, dan kesalahan tersebut dianggap sebagai kegagalan orang tua atau wali dalam mencegah kejahatan itu.

Namun, realitanya, paradigma masyarakat yang melekat adalah, “Bagaimana mungkin anak yang telah melakukan kejahatan bahkan pembunuhan hanya mendapatkan rehabilitasi? Bagaimana mungkin akan ada efek jera bagi pelaku usia anak?” Inilah bentuk penghakiman terhadap anak yang melakukan kesalahan. Kehadiran orang tua dan masyarakat seringkali hanya untuk menghakimi anak, tanpa memberi dukungan yang memadai.

Kehadiran penghakiman terhadap anak sering tidak diimbangi dengan peran orang tua yang cukup. Inilah yang disebut sebagai yatim piatu sosial, di mana anak memiliki orang tua, tetapi tidak mendapatkan perhatian yang utuh. Orang tua mungkin merasa telah memberikan fasilitas dan kebutuhan material anak, tetapi itu tidak cukup sebagai bentuk tanggung jawab.

Pandangan semacam ini masih sangat konservatif, seolah kebutuhan anak hanya terbatas pada materi, seperti akses pendidikan formal, makanan yang cukup, dan tempat tinggal yang nyaman. Padahal, ada kebutuhan penting lain, yaitu dukungan psikologis. Rendahnya pemahaman orang tua tentang pentingnya kehadiran mereka secara psikologis menyebabkan anak menjadi yatim piatu sosial. Mereka kehilangan perhatian emosional dari orang tua, meskipun kebutuhan materi terpenuhi.

Ketidakhadiran psikologis orang tua akan menjadi penghalang dalam membangun kedekatan emosional antara anak dan orang tua. Anak mungkin merasa tidak diterima secara utuh dan mencari lingkungan yang bisa memberikan perhatian yang mereka butuhkan.

Penguatan psikologis merupakan hal yang paling mendasar dalam proses pembentukan karakter anak sejak dini. Namun, ketika anak melakukan kesalahan, orang tua cenderung lebih memilih menghakimi anak daripada mengevaluasi pola asuh mereka. Penghakiman seringkali menjadi cara paling mudah untuk memenuhi tanggung jawab sebagai orang tua.

Anak yang mengalami yatim piatu sosial rentan mengalami krisis identitas, yang membuat mereka lebih mudah terpapar hal-hal negatif. Perkembangan teknologi juga mempercepat pertukaran informasi, baik positif maupun negatif, yang dapat mempengaruhi perilaku anak.

Hubungan sosial yang tidak seimbang di masyarakat juga memicu penyimpangan sosial, di mana anak yang melanggar norma sering diberi stigma negatif, seperti “anak nakal.” Stigma ini semakin mengisolasi anak dari masyarakat, membuat mereka sulit mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki diri.

Meskipun kejahatan oleh anak-anak semakin marak, bukan berarti tidak ada jalan untuk mencegahnya. Diperlukan upaya ekstra dan kesadaran moral dari berbagai pihak untuk memperkuat peran keluarga, terutama orang tua, dalam membentuk karakter anak. Penting juga membangun kedekatan emosional dan mendukung anak secara psikologis.

Yang tak kalah penting adalah membangun lingkungan sosial yang sehat melalui pemberdayaan masyarakat serta kebijakan yang mendukung generasi muda. Perjuangan untuk mencegah kejahatan usia anak tidak bisa berdiri sendiri. Harus ada kolaborasi antara keluarga, masyarakat, dan pemerintah.