Pos

Hijrah

Oleh Jamaluddin Mohammad

 

“setiap benih yang kau tanam di Indonesia pastilah tumbuh”

 Jejak Khilafah —Greg Fealy dan Anthony Bubalo

 

 

Indonesia adalah lahan subur bagi tumbuh dan berkembangnya pelbagai macam aliran, ideologi, ajaran, maupun gerakan keagamaan. Dalam dua dasawarsa terakhir banyak bermunculan aliran dan gerakan keagamaan trans nasional yang model dan coraknya berbeda dengan aliran keagamaan mainstream seperti NU dan Muhamadiyyah. Sebut saja seperti Salafi, Jamaah Tabligh, HTI, ataupun Ikhwanul Muslimin.

 

Mereka gencar melakukan “islamisasi” di segala bidang dan terutama menyasar masyarakat kelas menengah perkotaan. Mereka menganut gaya hidup baru yang mereka sebut dan tandai dengan istilah “hijrah”. Secara bahasa hijrah artinya berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Namun, yang dimaksud di sini adalah perpindahan dari kehidupan “belum islami” menuju kehidupan yang islami. Hijrah menjadi trend dan gaya hidup baru dalam beragama.

 

Seorang artis dan model dari komunitas hijrah, Oki Setiana Dewi, baru-baru ini menulis disertasi menyoroti maraknya fenomena hijrah di kalangan artis atau selebriti, terutama aliran atau ajaran keagamaan yang dibawa oleh Salafi dan Jamaah Tabligh. Kedua aliran keagamaan ini berhasil memikat hati kalangan selebriti.

 

Dalam disertasi doktoralnya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Oki ingin menjawab beberapa pertanyaan: bagaimana respon selebriti hijrah terhadap model dakwah Salafi dan Jamaah Tabligh, seperti apa model dakwahnya, penerimaannya, dan bagaimana ekspresi keagamaan yang dihasilkan oleh Salafi dan Jamaah Tabligh.

 

Pendakwa Salafi membuka pengajian-pengajian kelompok di pelbagai tempat dan komunitas. Materi yang disampaikan meliputi tauhid, adab, fikih, dan sejarah. Metode penyampaiannya melalui ceramah dan diskusi.

 

Sejumlah artis ternama, seperti Mediana Hutomo, Primus Yustisio, Teuku Wisnu, membuka pengajian di rumah masing-masing dengan mengundang ustadz-ustadz Salafi. Atau membuka komunitas pengajian seperti yang dilakukan Derry Sulaiman dan Sakti.

 

Berbeda dengan Salafi, Jamaah tabligh lebih menekankan pada metode khuruj. Yaitu berdakwa dengan mengajak orang pergi ke masjid. Khuruj minimal dilakukan tiga hari dalam seminggu, empat puluh hari dalam setahun, empat bulan sekali seumur hidup.

 

Tak semua artis yang mengikuti pengajian menerima sepenuhnya nilai-nilai maupun ajaran yang diberikan ustadz-ustadz Salafi. Mereka adalah penerima aktif (active receiver): bisa menerima, menegosiasikannya, atau bahkan menolaknya. Yang paling kentara dan kasat mata bentuk penerimaan mereka adalah pada perubahan perilaku dan gaya hidup.

 

Namun, mungkin karena dibatasi cakupan dan ruang lingkup penelitian, disertasi ini tak menjawab apa dampak ajaran ini bagi individu maupun komunitas? Karena itu, guna melengkapi disertasi ini maka perlu membaca penelitian Rumah KitaB tentang ancaman fundamentalisme terhadap perempuan.

 

Berdasarkan penelitian di lima kota (Jakarta, Bekasi, Depok, Bandung, Solo), setidaknya ada tiga temuan Rumah KitaB terkait ajaran keislaman fundamentalis. Pertama, mereka menganggap perempuan sebagai sumber fitnah. Perempuan adalah sumber kekacauan sosial. Karena itu, tubuhnya harus ditutup rapat, tidak boleh keluar rumah, harus mendapat kontrol dan pengawasan suami/orang tua.

 

Kedua, karena ia dianggap sebagai sumber fitnah, maka fitrah perempuan adalah di dalam rumah (domestikasi perempuan), ia tak boleh bekerja atau melakukan aktivitas di luar rumah. Dan ketiga, akibat kedua ajaran tersebut, perempuan kehilangan otoritas tubuhnya: harus cepat menikah, poligami, sunat perempuan, dll.

 

Akibatnya, perempuan mengalami kekerasan ekstrem yang berakibat pada kematian, baik fisik maupun non fisik (jiwa, pikiran, kebebasan, kemandirian). Kekerasan itu terus menerus dilakuakn (everyday oppression) melalui indoktrinasi fitnah dan fitrah perempuan itu. Sehingga pada akhirnya menimbulkan rasa takut, rasa bersalah, rasa tak berdaya, dan ketergantungan terhadap laki-laki.

 

Awalnya, fenomena model keberagamaan yang dibawa aliran salafi ini hanya menyasar pada kelompok elit dan masyarakat kota (urban). Tapi, karena didukung kekuatan media dan banyak diikuti publik figur seperti artis, ia mulai merambah pedesaan.

 

Satu lagi, mengapa ajaran salafi mudah diterima dan diminati kelompok menengah dan kalangan artis? Karena ajaran Salafi berkawan dan berkawin dengan kapitalisme. Gerakan Hijrah Fest hanyalah salah satu contohnya. Wallahu a’lam bi sawab

Menelusuri Peta Aktor dan Jaringan Ustadz-Artis Hijrah (Bag-1)

Riset ini berisi peta aktor, jaringan ustadz yang mempengaruhi keIslaman belakangan ini

Hijra, berasal dari istilah Arab yang secara harfiah berarti “meninggalkan”, “memutuskan hubungan dengan seseorang” (seperti ikatan kekerabatan atau hubungan pribadi lainnya), atau “bermigrasi”. Pengertian ini merujuk pada Migrasi Nabi Muhammad dari Mekah ke Madinah pada 622 Masehi (Mas’ud, 1990:30). Kalender Islam dinamai ‘Hijriyah’ karena titik nol kalender tersebut dimulai pada peristiwa Hijrah Nabi. Dalam catatan Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy, secara historis, hijrah pertama dalam sejarah Islam adalah perpindahan kaum muslimin dari Makkah ke negeri Habasyah. Disana kaum musliminin mendapatkan perlindungan dari raja Najasyi yang beragama Kristen. Tujuannya untuk membebaskan diri dari penyiksaan dan diskriminasi di Makkah oleh penduduk mayoritas Makkah (suku Quraish).

Hijrah kedua yaitu perginya kelompok Muslim awal ke Thaif, pada fase ini Hijrah dianggap gagal karena mendapatkan penolakan dari penduduk Thaif. Hijrah ketiga ke Yatsrib (Madinah), Hijrah keempat yakni ketika Nabi Muhammad menyusul ke Madinah dalam rangka Hijrah ketiga tersebut (Al-Buthy, 1999:108-169). Jika Hijrah difahami sebagai perpindahan lokasi geografis, maka hanya tiga kali terjadi Hijrah pada masa hidup Rasulullah. Dalam pengertian ini Hijrah hanyalah perpindahan individu atau sekelompok orang dari kota Makkah ke Habasyah, Thaif, dan Madinah.

Muhammad Khalid Masud, membagi Hijrah menjadi empat fase perkembangan. Pertama, Hijrah adalah peristiwa sejarah yang dibahas dalam hadits, tafsir, fiqih, fatwa dan karya Sufi. Kedua, Hijrah adalah perdebatan dikalangan ulama seperti Safi’i, Maliki dan Hanafi mengenai kedudukan seorang Muslim ketika berada di sebuah wilayah tertentu. Perdebatan ini terkait kedudukan seorang Muslim di wilayah kekuasaan muslim (‘dar al-Islam), dan ketika di wilayah kekuasaan non-muslim (‘dar al-harb’). Muncul juga pemahaman alternatif seperti tanah kedamaian (Dar al-hudna), artinya seorang Muslim tetap sah secara agama untuk tinggal di wilayah non-muslim selama wilayah tersebut adalah tanah kedamaian.

Ketiga, hijrah diartikan sebagai pandangan ahli hukum Islam untuk kembali ke teks utama Al-Qur’an—yang sebenarnya problematik karena dipengaruhi kondisi sosial-ekonomi–terutama untuk menafsirkan kehendak politik saat itu. Pada titik ekstrim, pandangan ini diambil alih dan–tercatat dalam sejarah—dimulai oleh kaum Khawarij yang sebetulnya adalah bentuk pembangkangan politik. Keempat, Hijrah merupakan interpretasi doktrin hijrah yang mengacu pada Istilah yang disebut Mas’ud ‘semantik harapan’. Bentuknya adalah seruan pendirian Dar Al-Islam (darul Islam atau Negara Islam), yang uniknya, justru tidak diserukan oleh Ulama tradisional. Seruan ini justru dibuat oleh tipe baru Intelektual Muslim yang terdidik dengan pendidikan formal, lulusan sekolah dan universitas gaya Barat dan terpelihara secara intelektual dalam literatur Barat.

Kemudian ciri lain dari komponen keempat ini yaitu menyampingkan kompleksitas tradisi keilmuan yang masih dijalankan para ulama tradisional—demi melepaskan diri dari kerumitan tersebut—mereka segera mengambil pandangan langsung dari Al-Qur’an dan Hadits. Mas’ud disini menunjukan bahwa interpretasi mereka tersebut ‘seringkali parsial dan sementara.’ Sehingga para intelektual Muslim baru tersebut selalu mencari solusi dramatis dan seringkali ekstrim (mas’ud, 1990:29-46). Semantik harapan ini berkaitan erat dengan berkembangnya politik Utopia dikalangan ‘hijrah’. Hal ini dapat menunjukan mengapa gerakan hijrah justru tumbuh subur di tengah-tengah kelas menengah kosmopolitan.

Hijrah di Indonesia

Pada tahun 1948 Kata hijrah dalam sejarah perpolitikan di Indonesia pernah diserukan oleh Jendral Sudirman ketika memobilisasi 30.000 orang (Tim, 2019:17) yang terdiri dari rakyat dan tentara Indonesia untuk ‘berpindah lokasi’ dari Jawa Barat ke Yogyakarta yang saat itu wilayah RI (A.M, 2008:159-60; Prihantoro, 1982:2; Djamaludin, 1998:25). Istilah ini dikenal juga sebagai Long March Siliwangi (Anwar, 2009: 57). Secara khusus, perintah Hijrah ini merupakan akibat dari hasil perjanjian Renville (Indonesia-Belanda) selama masa mempertahankan kemerdekaan Indonesia (1945-1949). Namun Hijrah tersebut masih dalam pengertian awal sebagai ‘migrasi individu atau sekelompok orang untuk berpindah lokasi’.

Pada tahun 1960an kata hijrah dipakai oleh Jamaah Takfiri wal Hijrah (JTH) yang didirikan oleh Shukri Mustafa seorang sarjana Ilmu Pertanian. Menurut John L Esposito, penyebab munculnya JTH merupakan kondisi setelah Perang Arab-Israel 1967. Pada bulan Juli 1977 Kelompok ini menculik dan membunuh ulama Universitas Al-Azhar sekaligus Menteri agama Mesir, Husayn Al-Dhahabi karena mengkritik JTH (Esposito, 1999:142-5). Ketua PBNU Said Aqil Siroj mengkonfirmasi peristiwa tersebut dalam Simposium Islam Nusantara bulan februari 2020 dan menyatakan bahwa JTH adalah organisasi yang mengkafirkan umat Islam selain kelompoknya. Kedudukan JTH pada awalnya tidak mendapatkan perhatian Muslim Indonesia. Martin van Bruinessen dan Azyumardi Azra hanya menganggap JTH sebagai kelompok sempalan (Splinter Group) di Indonesia. Yon Machmudi  mengkritik hal tersebut, dengan menyatakan bahwa JTH bersama Jemaah Tarbiyah dan Hizbut Tahrir sesungguhnya adalah gerakan baru dengan ciri-ciri:

“The member of the Group behave in ways (such as in their mode of dress and their restriced socialising) which set the apart from many other observant Indonesian muslim group. They display their spiritual symbol by self-consciously following The Prophet’s example’s, such as keeping beards, wearing arabs style clothing and the like (Machmudi, 2008:6).”

Ciri-ciri yang disampaikan tersebut sangat mirip dan identik dengan apa yang menjadi simbol para artis hijrah. Meskipun tidak disebut ‘Hijrah’, Haidar Bagir dalam sebuah wawancara menganggap bahwa fenomena Hijrah–yang menurut Google trends berpuncak pada tahun 2019–adalah sebuah kelahiran kembali (reborn) gerakan yang pernah muncul pada era 1980an. Ia bersaksi perkembangan ini sudah dimulai sejak gerakan perempuan muslim yang mulai berjilbab di Mesjid Salman kampus Institute Teknik Bandung (ITB) selama ia berkuliah disana sejak pertengahan 1970an. Haidar Bagir menambahkan, gerakan ini mulai menembus kalangan selebritas pada era 1980an (Mizan.com, 29/1/2019). Terbukti majalah Panji Masyarakat (20/1/1989) pernah melakukan wawancara terhadap artis senior Neno Warisman yang memilih berhijab (baca: Hijrah) pada tahun 1989 (Tirto.id, 2018).

Tidak hanya selebritas, pemakaian jilbab era 1980an meluas dari mahasiswa ke pelajar sekolah. Demam pelajar menggunakan jilbab sempat ditentang oleh pemerintah Orde Baru (1967-1998). Hal ini ditandai dengan turunnya Surat Keputusan 052/C/Kep/D.82 tentang Seragam Sekolah Nasional yang berujung pada pelarangan Jilbab di sekolah negeri seluruh Indonesia. Ariel Heryanto justru menekankan bahwa praktik pemakaian jilbab tahun 1980an merupakan ungkapan pemberontakan pada puncak pemerintahan Orde Baru (Heryanto, 2016:72).

Sementara itu Haidar Bagir menggaris bawahi perbedaan Antara ‘Hijrah tahun 1980an’ dengan hijrah yang muncul dikalangan artis sejak tahun 2000an. Ia menyebut hijrah yang berpuncak pada tahun 2019 tersebut sebagai ‘tampak mengkristal’. Istilah ini mengacu pada pengentalan identitas yang menjadi fenomena global. Berkaitan dengan pengentalan politik identitas Islam, Vedy Hadiz menyebutnya sebagai ‘Islam Populisme’ Baru (Hadiz, 2016 :3; Hurriyah, 2018: 90).

Berbeda dengan Bagir, Muhamad Ibtissam Han dalam studi Etnografinya menganggap wacana hijrah semakin pesat setelah gerakan Islamis yang ditandai lahirnya Ikatan Cendikiwian Muslim Indonesia (ICMI), bertemu dengan penggiat subkultur (Punk, Geng motor, Underground, Street culture dan budaya Distro) pada tahun 1990an (Han, 2018:115). Penetrasi budaya subkultur sebagai ekspresi kalangan muda bertemu dengan politik identitas Islam di Indonesia yang lebih kental dengan wujud atribut material seperti baju, topi, gambar tempel, poster, bendera dan lainnya. Pengentalan identitas diantara kelas menengah muslim dan upaya para artis hijrah untuk ‘membedakan dirinya’ dengan penganut agama Islam yang tidak hijrah menemukan puncaknya pada fenomena penggunaan kalimat tauhid.

Seperti sudah disinggung oleh Masud, bahwa fase keempat hijrah seringkali ‘mengambil pandangan langsung dari Al-Qur’an.’ Prilaku ini mirip dengan Kesalahan Ust Evi Effendi ketika membahas suatu tema mengenai ajaran Islam namun melakukan kesalahan yang sangat mendasar. Ia membela diri dengan mengatakan bahwa ‘Ia belajar Islam secara Otodidak dan langsung kepada Rasullulah.

‘Pandangan langsung’ ini ditafsirkan juga dalam penggunaan Kalimat Tauhid di segala tempat. Kalimat tauhid La Ilaha Ilalah bermakna tiada tuhan selain Allah dan juga sebagai aqidah dasar muslimin pada umumnya. Kalimat ini dipakai sebagai tanda unjuk kesalehan dalam komunikasi publik seperti trend pemasangan kalimat tauhid di bagian belakang mobil. Kalimat tauhid juga menjadi simbol bendera kelompok Islam tertentu (HTI) yang belum tentu merepresentasikan keseluruhan pandangan kelompok Islam yang sudah sangat majemuk (termasuk di Indonesia).

Persoalan kalimat Tauhid juga sempat menjadi polemik ketika peringatan hari Santri (Minggu, 21/10/2018) Banser (Barisan Serba Guna) organisasi underbouw Nahdlatul Ulama (NU)–organisasi Islam terbesar di dunia–membakar bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Google trend mencatat bahwa pencarian tertinggi kata kunci ‘tauhid’ tertinggi sepanjang 5 tahun terakhir antara rentang tanggal 21 sampai 27 Oktober 2018 persis beberapa jam setelah peristiwa pembakaran bendera tersebut. Universalitas kalimat Tauhid bagi kaum muslimin yang menjadi simbol bendera HTI segera mengasosiasikan tindakan pembakaran bendera tersebut sebagai pembakaran (bendera) kalimat tauhid. Mudah diduga, para artis yang memberikan pernyataan keras pada peristiwa ini adalah para artis hijrah seperti Tengku Wisnu, Arie Untung dan Tommy Kurniawan (Okezone.com, 23/10/2018).

Persoalannya, sebagai sebuah gerakan politik identitas, kalimat tauhid di Indonesia sebagai atribut identitas sebenarnya sudah diakui secara struktural maupun sosial didalam masyarakat. Kalimat tersebut berada di tembok kantor-kantor pemerintahan, stiker kaca belakang mobil, topi, baju, foto profil sosial media, dan semua ruang yang bisa dipakai sebagai tempat ekspresi keimanan dalam kesalehan publik (Public Piety).

Selain itu aspek politik elektoral juga ikut terpengaruh, selama rentang tertinggi google trend (21-27 Oktober 2018) terjadi mobilisasi masa untuk melakukan aksi ‘Bela Tauhid’ diwarnai suara ‘Ganti Presiden’. Bukan kebetulan bahwa Neno Warisman yang menjadi aktor populer aksi Bela Tauhid 211 pada bulan November 2018 termasuk artis Hijrah pada periode 1980an.
Hal ini menunjukan bagaimana ‘artis hijrah’ mengambil peran sebagai aktor garda depan dalam pertarungan politik identitas. Tentu penguatan ini disebabkan karena aktivitas kajian, relasi bisnis dan kepatuhan kepada aktor lain yang dianggap pusat otoritas religius. Mereka ini adalah para Ustadz yang menguasai perbincangan sosial media dan mempengaruhi para artis hijrah yang dapat mengarahkan kelas menengah muslim Indonesia untuk menjadikan politik identitas sebagai varian konsumsi permanen. [bersambung]
Sumber: https://islami.co/menelusuri-peta-aktor-dan-jaringan-ustadz-artis-hijrah-bag-1/

Hijrah dan Jihad Gender Amina Wadud, Perempuan Penafsir Al-Qur’an

Amina Wadud. tirto.id/Quita

Infografik Al Ilmu Nuurun Amina Wadud

Amina Wadud melakukan terobosan penafsiran Al-Qur’an melalui perangkat feminisme. Pernah menjadi imam salat bagi lelaki dan perempuan.

 

Membongkar prasangka itu sulit, terlebih jika sudah terlembaga dan diterima sebagai norma. Untuk mendobraknya, orang membutuhkan keberanian ganda. Misalnya, anggapan klasik yang menuding perempuan tak bisa dipercaya untuk menafsirkan Al-Qur’an karena mereka emosional dan irasional sehingga tak cocok untuk bekerja serius menafsirkan teks. Dalam pandangan, atau tepatnya prasangka, ini perempuan dianggap lemah.

Padahal tak ada larangan tekstual bagi perempuan untuk menafsirkan wahyu. Jika kita merentang sejarah panjang kebudayaan Islam, akan ditemui banyak penafsir dan sosok perempuan yang berkontribusi dalam kehidupan intelektual Islam. Efek kolonialisme dan keterpurukan internal masyarakat muslim ikut berkontribusi dalam hal ini dan mempersulit perempuan mendapatkan legitimasi dan kuasa di tengah masyarakat. Menggugat hubungan gender macam itu tentu tabu di masa tersebut, karena ia masih dianggap isu sensitif.

Tapi mengapa kita tak menoleh kepada teladan dari zaman yang lebih dekat?

Aisha Abd al-Rahman Bint al-Shati di Mesir menjadi contoh paripurna yang berusaha untuk mencari panduan moral dan spiritual kitab suci. Penafsir lain dari Libanon, Nazirah Zayn al-Din (m. 1976), pada umur 20 sudah menulis buku yang mengkritik status inferior perempuan melalui penafsiran teks. Selain Bint al-Shati, di Mesir ada Zainab al-Ghazali (m. 2005) yang menulis komentar Al-Qur’an dari perspektif perempuan. Zainab adalah pendiri Asosiasi Muslimat di Mesir (Jama’at al-Sayyidat al-Muslimat) yang diminta Hassan al-Banna untuk bergabung dengan Ikhwanul Muslimin. Al-Ghazali menolak, tapi ia patuh pada al-Banna.

 

Penafsir feminis yang nisbi baru muncul di akhir abad ke-20 dan masih aktif hingga kini setidaknya ada dua. Dari Mesir, ada nama Heba Raouf Ezzat yang bersemangat dalam menggali penafsiran Al-Qur’an sekaligus menjadi aktivis hak asasi manusia. Dari Amerika, Amina Wadud menjadi banyak sorotan dengan karyanya, Qur’an and Woman (diterbitkan di Malaysia, 1992). Kemunculan tafsir feminis ini, terlebih dipublikasikan dalam bahasa Inggris, bersamaan waktunya dengan karya berpengaruh dari dua feminis lain yakni Leila Ahmed dan Fatema Mernissi.

Qur’an and Woman segera mendapat tanggapan luas. Penerjemahan ke bahasa Indonesia, Turki, dan Arab muncul dalam rentang waktu lima tahun dan bahasa-bahasa lain pada masa berikutnya. Amina Wadud menjadi figur yang suaranya menggema dalam semangat kesetaraan gender masyarakat muslim, terutama di Asia Tenggara.

Bermula dari Rasisme Amerika

Bernama asli Mary Teasley, Wadud lahir dari keluarga campuran Afrika-Amerika. Ayahnya seorang pendeta Metodis, bagian dari denominasi Kristen Protestan di Amerika. Saat Wadud kuliah di Universitas Pennsylvania, ia memeluk Islam. Tak lama setelah konversi ini, ia tinggal di Libia selama dua tahun. Lalu ia melanjutkan jenjang pascasarjana dalam bidang kajian Islam dan Timur Tengah di Universitas Michigan. Selama masa studi doktoral ini ia menyempatkan diri untuk belajar bahasa Arab, tafsir Al-Qur’an, dan filsafat di tiga kampus ternama Mesir: Universitas Amerika di Kairo, Universitas Al-Azhar, dan Universitas Kairo.

Seperti diakui dalam karya semi-autobiografinya, Inside the Gender Jihad (2006), ia hijrah menjadi seorang muslim lantaran fenomena yang mencekam dirinya dalam menghadapi penindasan ganda sebagai seorang perempuan Afrika-Amerika. Ia terjebak dalam sekam diskriminasi ras dan seksual di Amerika dengan kondisi yang miskin dan tanpa hak istimewa. Ditambah lagi dengan masalah sosial yang diliputi logika kapitalis dan lelaki kulit putih, Amina menemukan Islam sebagai sandaran baru yang “menawarkan perhatian, perlindungan, dukungan finansial, dan pemujaan pada perempuan.” Ini menjadikannya keluar dari sangkar penindasan dan memperjuangkan keadilan bagi banyak orang.

Posisi Wadud sebagai perempuan dan orang dengan ras “berbeda” di Amerika itu membuat tampilan Islam yang lain. Ini termasuk juga identitas muslim Afrika-Amerika sejak masa Malcolm X hingga Sherman Jackson, seorang sarjana muslim terpandang. Melalui Islam, Wadud menemukan wahana untuk memperjuangkan apa yang ia tekankan sebagai ‘keadilan gender’ baik di Barat maupun dunia muslim.

 

Ia mengakui proses menegakkan keadilan itu tak mudah dan tidak sederhana. Tak ada satu strategi, metode, dan proses serupa obat generik. Di sini, ia juga mengakui relativitas budaya dan konteks dari masyarakat yang berbeda. Kendati ia menekankan secara umum keadilan gender didasarkan pada teori fundamental bahwa Islam itu adil untuk perempuan dan Allah berkehendak menyematkan perempuan dengan marwah kemanusiaan yang paripurna.

Sebagai bagian dari “jihad gender”-nya, Wadud mencari sesuatu yang ia namakan ‘hermeneutics of care’ untuk memasukkan analisis perempuan dalam menafsirkan ulang ajaran kitab suci. Ia ikut membuka ruang untuk mengawinkan hermeneutika Al-Qur’an dari perspektif gender, yang saat pertama kali dipikirkannya di akhir 1980-an adalah sesuatu yang baru dan segar.

Wadud mengambil metode penafsiran yang diajukan Fazlur Rahman yang berusaha menggali spirit etis dari ajaran Islam. Hermeneutika double movement Rahman—melihat masa kini lalu meneropong ke ruang dan waktu ketika kitab suci diturunkan, kemudian dikembalikan lagi ke masa kini—menjadi model bagi Wadud untuk membangun paradigma hermeneutika feminis-nya. Sebagaimana feminis muslim lain, ia berupaya membongkar wacana fundamental yang menjadi basis paradigmatik pengertian Islam dan muslim. Lalu ia menempatkan perempuan secara sentral dalam politik wacana dan aktivisme sosial-politik.

Metode yang ia bangun dinamakan ‘hermeneutika tauhid’. Metode ini menekankan bagaimana konsep keesaan Allah, yang menjadi basis pewahyuan Al-Qur’an, hadir secara merata. “Kesatuan Al-Qur’an merembes ke berbagai bagian,” tulisnya.

Seperti Rahman, ia berargumen bahwa kitab suci ini membangun paradigma kesetaraan untuk semua umat manusia dalam hal gender, kelas, ras, atau lainnya. Paradigma tauhid ini menekankan baik perempuan maupun lelaki akan dimintai pertanggungjawaban hanya berdasarkan perbuatan masing-masing, bukan dilihat dari jenis kelamin. Dalam bahasa Quranik, pembedanya ialah takwa, yakni yang ditulis Wadud sebagai ‘kesadaran Tuhan’.

Tafsir yang Tidak Misoginis

Ketika membaca potongan ayat “wa li-l-rijal `alayhinna darajah” (lelaki memiliki satu derajat di atas perempuan) dalam surah Al-Baqarah ayat 228, ia mengartikan darajah terkait dengan takwa, bukan tingkatan seperti dalam terjemahan Al-Qur’an berbahasa Inggris oleh Abdullah Yusuf Ali. Pada 1990-an terjemahan itu banyak dibaca orang-orang berbahasa Inggris. Lagipula, menurut Wadud, potongan ayat ini bukan prinsip Al-Qur’an secara universal, sehingga ia perlu dibaca sebagai alternatif, bukan diterima secara literal. Hanya dengan menggali ayat-ayat lain secara keseluruhan, prinsip universal bisa ditemukan.

Dalam hal itu, Wadud membaca Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, seperti dalam metode tafsir tradisional, justru untuk menemukan mana yang universal dan mana yang partikular. Memang, ia sejak awal tertarik untuk mendalami semantik kitab suci. “Ketertarikan filologis saya dalam mengetahui kehalusan Al-Qur’an dan kedalaman analisis tafsirnya membuat saya menekankan pembacaan demi konstruksi ambiguitas Quranik,” tulisnya.

Melalui penggalian inilah ia berupaya mendestabilisasi pembacaan atas ayat suci yang berpotensi misoginis. Ia seperti membangun teori abrogasi baru, yakni menegasikan makna ayat yang melecehkan paradigma tauhid dengan prinsip universal Al-Quran: egalitarianisme. Melalui pembacaan ayat-ayat lain, ia memahami bagaimana Al-Qur’an sesungguhnya membangun rujukan yang inklusif-gender. Dengan begitu ia mengesampingkan bahasa yang lebih condong pada pemihakan lelaki—beserta nalar patriarki—dari lingkungan budaya ketika kitab suci ini diturunkan.

Wadud menyumbang pada iklim Islam progresif; bukan hanya pada cara pandang Quranik yang lebih adil dan setara, tetapi juga dalam rangka memperjuangkan keadilan sosial yang ia hadapi di negerinya dan kemudian berjuang membangun jaringan internasional. Di kalangan muslim progresif lain, bukan berarti pendekatannya bebas dari kritik; misalnya datang dari sarjana-pemikir Afrika Selatan Ebrahim Moosa.

Wadud pun mengakui pembacaan perempuan ini tak berarti sempurna dan menyeluruh, kendati ia bersikukuh analisis tekstual ini perlu diupayakan kaum perempuan dan terus disempurnakan, ketimbang menunggu dorongan dari orang lain. Wadud lalu menjadi model sebagai a jihad for justice bagi banyak feminis muslim. Bersama intelektual dan aktivis seperti Asma Barlas, Nimat Hafez Barazangi, dan lainnya, Wadud menjadi teladan bagi generasi feminis muslim selanjutnya.

Peran Wadud semakin mendapat sorotan internasional saat ia memimpin salat bagi jamaah campuran perempuan dan lelaki pada Maret 2005. Meski banyak dikecam, ia lebih memilih diam, kecuali saat diminta stasiun televisi Al Jazeera. Barangkali karena keberanian inilah muncul fenomena imam perempuan dengan berbagai variasinya di Barat. Di Kopenhagen ada Sherin Khankan. Di Berlin ada Seyran Ateş, perempuan keturunan Kurdi-Turki, yang menjadi imam di Masjid Ibn Rushd-Goethe yang lokasinya tak jauh dari Restoran Nusantara.

==========

Redaksi Tirto kembali menampilkan rubrik khusus Ramadan “Al-Ilmu Nuurun”. Tema tahun ini adalah para cendekiawan muslim global abad ke-20 dan ke-21. Kami memilih 33 tokoh untuk diulas pemikiran dan kontribusi mereka terhadap peradaban Islam kontemporer. Rubrik ini diampu kontributor Zacky Khairul Umam selama satu bulan penuh.

Zacky Khairul Umam adalah alumnus Program Studi Arab FIB UI dan kandidat doktor sejarah Islam di Freie Universität Berlin. Saat ini sedang menyelesaikan disertasi tentang pemikiran Islam di Madinah abad ke-17. Ia pernah bekerja sebagai peneliti tamu pada École française d’Extrême-Orient (EFEO) Jakarta 2019-2020.

Baca juga artikel terkait AL-ILMU NUURUN atau tulisan menarik lainnya Zacky Khairul Umam
(tirto.id – Humaniora)

Penulis: Zacky Khairul Umam
Editor: Ivan Aulia Ahsan

Sumber: https://tirto.id/hijrah-dan-jihad-gender-amina-wadud-perempuan-penafsir-al-quran-fxic?fbclid=IwAR1Eh5EbU_MFYAsUxJKudz28nqjGgBgqBVeGJFlVkHJfsxDjw6JkKaGWt6A

HIJRAH

Oleh Jamaluddin Mohammad

إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُولِهِ فهِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُوْلِهِ ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُها أو امرأةٍ يَنْكِحُهَا فهِجْرَتُهُ إلى ما هَاجَرَ إليهِ

“Sesungguhnya seluruh amal perbuatan (al-a’mal) bergantung pada niat. Seseorang akan mendapat sesuatu sesuai niatnya. Barangsiapa hijrah karena Allah dan RasulNya, maka ia berhijrah kepada Allah dan RasulNya. Dan barangsiapa berhijrah karena dunia atau wanita yang ingin dinikahi, maka hijrahnya sesuai niatnya”.

Hadis Riwayat al-imam al-Sittah (enam imam perawi hadis: Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Turmudzi, Nasai, dan Ibnu Majjah) ini merupakan hadis penting dan pokok agama. “tidak ada hadis Nabi yang lebih penting dari hadis ini,” kata Abu Ubaidah. Al-Syafii, Ahmad bin Hanbal, Ibnu Mahdi, Ibnu al-Madini, Abu Dawud dan Daruqutni semuanya sepakat bahwa hadis ini menempati sepertiga agama. Niat berada di urutan pertama dan paling utama.

Hal senada dikatakan Abu Dawud. Menurutnya, keseluruhan sunnah Nabi tak lepas dari lima hadis: 1) al-a’malu bi niat. 2) al-halalu bayyinun 3) la dharar wa la dhirar 4) ma nahakum anhu fantahu wa ma amartukum bihi fa’tu minhu ma istata’tum.

Jadi, makna penting (maghza) dari hadis di atas adalah “niat” bukan “hijrah”. Hijrah bergantung pada niat. Niat adalah pondasi dasar dari keseluruhan bangunan amal perbuatan manusia. Tanpa disertai dan didasari niat yang tulus, kuat, dan kokoh, amal perbuatan apapun akan rapuh dan mudah hancur.

Akhir-akhir ini hijrah mengalami pergeseran makna. Awalnya, hijrah mengacu pada peristiwa sejarah kepindahan Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah. Sekarang ini hijrah kehilangan makna historisnya melainkan sudah bergeser ke makna “ideologis”. Saat ISIS masih berjaya di Irak dan Suriah, banyak orang indonesia “berhijrah’ ke sana. Alasannya, mereka ingin pindah dari “negara kafir” (toghut) ke “negara islam”. Dalam keyakinan mereka, Indonesia bukanlah “negara Islam” karena tidak menerapkan “syariat Islam” (sengaja saya kasih tanda petik karena mereka memiliki konsep dan makna sendiri tentang “negara islam”, “sayriat Islam” dll). Mereka memiliki doktrin sendiri tentang ini yang dikenal dengan “al-wala wal bara” .

Hijrah juga digunakan oleh kelompok Islam urban untuk menandai proses “migrasi spiritual” dari kondisi sebelum dan sesudah taubat. Semisal, anak band berhijrah menjadi remaja masjid, artis majalah dewasa menjadi ustadzah, atau pemain sinetron beralih profesi menjadi da’i, dll. Hijrah, dalam maknanya yang baru, adalah semacam “lompatan eksistensial” dari “dunia hitam” menuju “dunia putih”.

Sayangnya, gerakan hijrah saat ini tak didasari dan dibarengi “spiritualitas” yang menjadi dasar dan titik tolaknya, yaitu NIAT. Mereka sibuk beramal tapi lupa niat. Padahal, dalam sebuah kaidah fiqh disebut “al-umur bi maqasidiha” (seluruh amal perbuatan tergantung niat dan tujuannya). Sebaik apapun perbuatan seseorang jika niatnya buruk maka perbuatan itu tak ada nilai dan harganya sama sekali, seperti debu-debu yang bertebaran terhempas angin.

salam,
Jamaluddin Mohammad