Pos

Kekerasan Seksual terhadap Perempuan dengan Disabilitas


Kekerasan terhadap perempuan penyandang disabilitas terus meningkat setiap tahunnya. Data Komnas Perempuan tahun 2023 mencatat ada 105 kasus kekerasan terhadap perempuan penyandang disabilitas, lebih tinggi dibandingkan kasus tahun 2022 yang berada di angka 72 kasus.

Kasus kekerasan seksual yang terjadi, sebanyak 40 kasus terhadap perempuan disabilitas mental, 33 kasus perempuan disabilitas sensorik (penglihatan, pendengaran, dan bicara), 20 kasus perempuan disabilitas intelektual, 12 kasus perempuan disabilitas fisik.

Data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) pada sepanjang tahun 2021 terjadi 987 kasus kekerasan terhadap anak penyandang disabilitas. Dari data itu kekerasan seksual menempati urutan tertinggi yang mencapai sebanyak 591 kasus.

Meski begitu, kasus kekerasan diperkirakan sebagai fenomena gunung es. Artinya, kasus yang terlaporkan tetap masih lebih kecil ketimbang kasus yang tidak terlaporkan. Sebab, bukan perkara yang mudah bagi perempuan dan anak perempuan untuk melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialaminya.

Budaya dan sistem hukum seringkali masih sulit memberikan rasa keadilan kepada penyandang disabilitas sebagai penyintas kekerasan seksual. Selain pelayanan hukum belum secara keseluruhan memiliki aksesibilitas yang tinggi.

Perempuan penyandang disabilitas sebagai korban kekerasan seksual memang sering mengalami diskriminasi dalam proses penyidikan dan peradilan. Selain itu, proses penyelidikan juga cenderung menemui jalan buntu (Alhamudin Maju Hamongan Sitorus: 2022).

Pada saat sama, masih banyak keluarga yang cenderung abai terhadap perempuan penyandang disabilitas sebagai penyintas kekerasan seksual. Bahkan solusi yang diambil keluarga justru memasang alat kontrasepsi, sehingga yang menjadi urusan bukan tindakan kekerasan seksualnya, melainkan agar perempuan penyandang disabilitas tidak mengalami kehamilan. Belum lagi, manakala pelaku merupakan orang terdekat yang selama ini menjadi pelindung dalam kehidupan keseharian.

Akar Kekerasan
Kekerasan seksual adalah tindakan pemaksaan atau memanipulasi untuk melakukan tindakan seksual yang tidak diinginkan tanpa izin. Penyintas kekerasan bisa siapa saja, anak-anak, remaja, dewasa, dan orang tua, termasuk penyandang disabilitas. Sementara pelakunya bisa orang asing, tetapi sebagian besar anggota keluarga, orang yang dipercaya, dan teman (NSVRC: 2010).

Tindakan kekerasan seksual mengakibatkan trauma jangka panjang, bahkan bisa terjadi sepanjang sisa hidup penyintas kekerasan seksual, sakit, hilangnya rasa percaya diri, ketakutan, dan juga pengucilan sosial.

Kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak penyandang disabilitas berakar pada berbagai diskriminasi dan stigma yang kuat dalam budaya patriarki dengan terjadinya diskriminasi ganda berdasarkan status gender dan disabilitasnya.

Status gender menempatkan perempuan penyandang disabilitas seperti juga perempuan tanpa disabilitas yang harus patuh terhadap nilai dan norma gender tradisional. Ideologi patriarki juga menempatkan perempuan sebagai manusia kelas dua, dan menjadikannya sebagai objek seksual.

Dalam konteks disabilitasnya, perempuan dan anak perempuan penyandang disabilitas mengalami kekerasan seksual karena lemahnya dukungan sosial dan hukum, eksklusi sosial, keterbatasan gerak, persoalan komunikasi, dan stereotip terhadap penyandang disabilitas.

Konstruksi mengenai gender dan disabilitas menunjukkan adanya relasi kuasa yang timpang antara penyintas dan pelaku kekerasan seksual. Relasi yang secara terus menerus diproduksi melalui berbagai pranata sosial, termasuk pendidikan dan tradisi budaya yang bias gender.

Strategi Pencegahan
Problem kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan dengan penyandang disabilitas merupakan problem struktural, sistemik, dan masif. Pencegahan terjadinya kasus, dengan begitu tak lagi memadai manakala hanya mengandalkan pendekatan persuasif dan pendekatan prosedur formal.

Persoalan struktural menunjukkan terjadinya berbagai tindakan kekerasan seksual berada pada ranah ideologis dan sistem, sehingga membutuhkan respons yang menyeluruh dan secara bersamaan. Ada tiga lokus dalam pencegahan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan penyandang disabilitas.

Pertama, level paradigmatik. Pada level ini agenda perubahan berada pada upaya mengubah cara pandang terhadap perempuan dan anak perempuan penyandang disabilitas. Misalnya, melakukan pengarusutamaan GEDSI (Gender Equality, Disability, and Inclusion) melalui berbagai kanal literasi publik.

Agenda ini akan menggeser pandangan stereotip terhadap penyandang disabilitas, seperti tak berguna, tak berdaya, menyedihkan, kutukan, dan anggapan negatif lainnya. Lalu menggantinya dengan cara pandang positif, penyandang disabilitas memiliki hak yang sama, penyandang disabilitas tak memiliki perbedaan dengan siapa pun dalam menjalani kehidupan, kecuali mereka hanya membutuhkan alat bantu mobilitas. Dan siapapun memiliki potensi menjadi penyandang disabilitas.

Perubahan cara pandang ini, tidak saja akan mencegah para pelaku tindak kekerasan. Namun, menjadikan para penyedia layanan kekerasan terhadap perempuan dan anak penyandang disabilitas akan menjadi bersikap ramah, dan menghargai para penyintas kekerasan seksual.

Kedua, mengimplementasikan UU Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas sebagai pemenuhan hak-haknya, dan melakukan harmonisasi berbagai kebijakan lain dalam pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas. Misalnya, melakukan harmonisasi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang mengatur pencegahan, penanganan, perlindungan, dan pemulihan pada segala bentuk tindak pidana kekerasan seksual. Harmonisasi ini mendorong seluruh layanan terhadap perempuan dan anak perempuan dengan penyandang disabilitas sebagai penyintas kekerasan seksual mendapatkan menjadi ramah.

Ketiga, mewujudkan aksesibilitas fisik, misalnya ruang mudah dijangkau pengguna kursi roda dan kruk, ada penunjuk arah (guiding block) bagi disabilitas netra. Selain itu, aksesibilitas sosial, misalnya tersedia juru bahasa isyarat, dan para petugas layanan yang ramah dengan memiliki kapasitas berinteraksi dengan penyintas kekerasan seksual.[]

Tantangan Perempuan Disabilitas Berhadapan dengan Hukum dalam Kasus Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual terhadap perempuan merupakan masalah yang amat kompleks di seluruh dunia. Namun, perempuan disabilitas sering kali menghadapi tantangan yang lebih besar, terutama saat ingin melaporkan dan mencari keadilan.
Keheningan mereka, yang sering kali diartikan sebagai ketidakmampuan untuk berbicara atau melaporkan kekerasan yang dialami, justru menjadi pemicu penderitaan yang lebih mendalam.
Dalam banyak kasus, perempuan disabilitas yang mengalami kekerasan seksual, terutama ketika berada di sebuah institusi seperti panti sosial, sering terabaikan dan tidak mendapatkan perlindungan yang seharusnya.

Rentannya Perempuan Disabilitas terhadap Kekerasan Seksual

Perempuan dengan disabilitas memiliki risiko yang lebih tinggi untuk menjadi korban kekerasan seksual dibandingkan dengan perempuan non-disabilitas. Penelitian dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO, 2017) menunjukkan bahwa perempuan disabilitas dua hingga tiga kali lebih rentan terhadap kekerasan seksual. Salah satu alasan utama adalah karena kesulitan mereka untuk melawan atau melaporkan peristiwa kekerasan yang terjadi, baik karena keterbatasan fisik, kesulitan berkomunikasi, atau ketidakpahaman mereka tentang hak-hak mereka.
Namun, selain faktor tersebut, stigma sosial dan diskriminasi juga menjadi alasan perempuan disabilitas lebih sulit untuk berbicara mengenai pengalaman mereka. Keheningan yang terjadi bukan hanya disebabkan oleh ketidakmampuan mereka untuk mengungkapkan diri, tetapi juga oleh ketakutan akan reaksi negatif dari masyarakat atau ketidakmampuan sistem hukum untuk memberikan perlindungan yang memadai. Hal ini menjadi semakin jelas ketika perempuan disabilitas berada di dalam panti sosial, yang seharusnya menjadi tempat yang aman, tetapi justru sering kali menjadi lokasi di mana kekerasan seksual sangat rentan terjadi.

Dua Kasus Kekerasan Seksual di Panti

Dua insiden kekerasan seksual yang terjadi di panti sosial di Indonesia menggambarkan dengan jelas tantangan yang dihadapi perempuan disabilitas dalam mencari keadilan. Berikut adalah dua contoh nyata yang memperlihatkan betapa seriusnya masalah ini.

Kasus 1: Kekerasan Seksual di Panti Sosial Jakarta (2021)
Pada tahun 2021, sebuah kasus kekerasan seksual melibatkan seorang perempuan dengan disabilitas intelektual di sebuah panti sosial di Jakarta. Perempuan tersebut, yang tidak dapat berbicara dan memiliki keterbatasan kognitif, menjadi korban pelecehan seksual oleh seorang staf panti. Korban tidak mampu mengungkapkan apa yang terjadi, dan keheningannya membuat kasus ini sulit terungkap pada awalnya.
Kasus tersebut baru terbongkar setelah beberapa saksi melaporkan kejadian tersebut. Meskipun pelaku akhirnya ditangkap, korban masih menghadapi berbagai hambatan dalam proses hukum karena keterbatasan komunikasi dan bukti yang tidak cukup.

Kasus 2: Kekerasan Seksual di Panti Sosial Bengkulu (2022)
Pada tahun 2022, seorang perempuan dengan disabilitas pendengaran dan komunikasi menjadi korban kekerasan seksual di salah satu panti sosial di Bengkulu.
Kasus ini cukup menggemparkan karena korban, yang memiliki keterbatasan dalam berkomunikasi secara verbal, sulit untuk mengungkapkan apa yang terjadi padanya. Keheningan dan ketidakmampuannya untuk berkomunikasi dengan lancar membuat kejadian ini baru terungkap ketika seorang petugas panti yang baru mulai bekerja melihat adanya tanda-tanda kekerasan pada korban dan melaporkannya kepada pihak berwenang. Namun, meskipun sudah dilaporkan, proses hukum berjalan lambat karena keterbatasan alat bukti dan hambatan dalam berkomunikasi dengan korban.
Kasus ini menyoroti kurangnya dukungan dan prosedur khusus untuk menangani kasus kekerasan seksual terhadap perempuan disabilitas, serta menunjukkan pentingnya peningkatan kapasitas petugas hukum dalam menangani situasi serupa.

Kesulitan dalam Mendapatkan Keadilan

Salah satu tantangan utama yang dihadapi perempuan disabilitas dalam kasus kekerasan seksual adalah kesulitan mereka dalam mengakses sistem hukum.
Sistem hukum di banyak negara, termasuk Indonesia, sering kali tidak dirancang dengan memperhatikan kebutuhan khusus bagi perempuan disabilitas. Banyak dari mereka yang tidak mengetahui hak-hak mereka atau merasa takut melapor karena khawatir tidak akan dipercayai atau malah disalahkan.
Proses hukum yang panjang dan penuh hambatan ini seringkali tidak memberikan ruang bagi perempuan disabilitas untuk mendapatkan keadilan. Terlebih lagi, banyak kasus yang melibatkan kekerasan seksual pada perempuan disabilitas terhambat oleh ketidakmampuan mereka untuk memberikan kesaksian yang kuat, hambatan fisik dalam mengakses lembaga hukum, serta ketidakpahaman aparat penegak hukum dalam menangani kasus-kasus yang melibatkan mereka.

Upaya Perlindungan Hukum untuk Perempuan Disabilitas

Reformasi sistem hukum dan penguatan lembaga sosial sangat diperlukan untuk memberikan perlindungan yang lebih baik kepada perempuan disabilitas. Penyuluhan tentang hak-hak mereka harus dimulai sejak dini, baik di lingkungan keluarga maupun di institusi pendidikan.
Di sisi lain, petugas hukum dan lembaga panti sosial juga harus diberikan pelatihan khusus untuk dapat menangani kasus-kasus yang melibatkan perempuan disabilitas dengan sensitif.
Selain itu, penting untuk memastikan bahwa sistem pelaporan kekerasan seksual bagi perempuan disabilitas lebih mudah diakses dan inklusif. Dengan adanya layanan hukum yang lebih peka terhadap kebutuhan perempuan disabilitas, mereka dapat lebih mudah melaporkan kekerasan seksual yang mereka alami.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas harus dioptimalkan untuk memberikan perlindungan yang lebih baik, serta memastikan bahwa perempuan disabilitas mendapat keadilan yang mereka butuhkan.

Kesimpulan

Keheningan yang menjadi penderitaan bagi perempuan disabilitas yang mengalami kekerasan seksual adalah bukti nyata bahwa ketidakadilan masih ada dalam masyarakat kita. Kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di panti sosial menggambarkan bagaimana perempuan disabilitas sering terabaikan, baik dalam sistem hukum maupun dalam perlindungan sosial. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengubah sistem yang ada, agar perempuan disabilitas dapat mendapatkan perlindungan yang layak dan memperoleh keadilan tanpa harus menghadapi hambatan yang tidak perlu. Kita harus terus berjuang untuk menciptakan sistem yang lebih inklusif dan adil bagi semua perempuan, termasuk mereka yang disabilitas.

Referensi:
World Health Organization. (2017). “Violence Against Women Prevalence Estimates, 2018.” Geneva: WHO.
Pemerintah Republik Indonesia. (2016). “Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.”
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan. (2020). “Laporan Tahunan: Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia.”