Pos

Merdeka dalam Bayang-bayang Gentrifikasi

Hingga 29 Juli 2025, sebagian warga Kampung Bayam masih bertahan di rumah-rumah lama mereka, menolak pindah ke Kampung Susun Bayam yang digadang-gadang sebagai hunian baru yang lebih manusiawi. Meski bangunan susun itu sudah berdiri kokoh di bawah bayang-bayang Stadion JIS yang megah, tak semua orang merasa itu rumah.

Kampung Bayam hanyalah satu dari sekian contoh bagaimana kota-kota besar di Indonesia merayakan pembangunan, tetapi melupakan siapa yang seharusnya turut merayakannya. Di tengah jargon kemerdekaan yang tiap tahun dikumandangkan, warga kampung kerap menjadi korban diam-diam dari proyek ambisius pemerintah dan investor. Proses ini punya satu nama: gentrifikasi.

Gentrifikasi adalah proses ketika wilayah-wilayah yang sebelumnya dihuni kelas bawah atau pekerja, tiba-tiba “diangkat” menjadi ruang konsumsi dan investasi bagi kelas menengah ke atas. Rumah-rumah dirapikan, fasilitas dipercantik, dan lahan dimahalkan dengan satu efek tak terhindarkan: warga lama tergusur.

Tak seperti penggusuran paksa yang vulgar, gentrifikasi bekerja lebih halus, lebih sistematis. Ia masuk lewat narasi pembangunan, peremajaan kota, modernisasi, estetika. Warga digoda untuk merasa tinggal di kampung itu sebagai sebuah “aib keterbelakangan”, lalu diajak pindah ke tempat yang katanya lebih layak meski tanpa jaminan hak milik, tanpa kejelasan tarif sewa, dan sering kali tanpa partisipasi nyata dalam perencanaannya.

Riwayat Lama Penyingkiran

Apa yang terjadi di Kampung Bayam bukanlah peristiwa tunggal. Kota-kota besar Indonesia dari Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Palembang, telah lama menjadikan kampung kota sebagai korban utama pembangunan yang tak berpihak.

Jakarta mencatat sejumlah penggusuran paling masif dalam satu dekade terakhir. Tahun 2016 menjadi titik balik. Di Bukit Duri, bantaran Ciliwung, ratusan rumah warga diratakan dengan tanah demi pembangunan jalan inspeksi dan proyek normalisasi sungai. Sembilan RT lenyap. Sebanyak 379 keluarga kehilangan rumah mereka dalam hitungan hari.

Setahun kemudian, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan bahwa penggusuran Bukit Duri melanggar hukum. Namun keputusan itu tak mampu menghentikan gerak pembangunan. Proyek jalan tetap berlanjut. Di tempat lain, Kampung Akuarium di Penjaringan mengalami nasib serupa. Digusur pada 2016, kawasan ini dijadikan bagian dari proyek reklamasi. Sekitar 300 kepala keluarga kehilangan tempat tinggal.

Data dari LBH Jakarta menunjukkan bahwa antara 2015 hingga 2021, terjadi lebih dari 80 titik penggusuran di Jakarta saja. Hampir semuanya dilakukan tanpa musyawarah, ganti rugi layak, atau kepastian relokasi.

Bandung menyusul dengan pola gentrifikasi yang lebih kultural. Tidak ada buldoser, tapi yang hadir adalah taman-taman cantik, proyek rumah deret, dan estetika kota yang memikat. Mulai 2017 hingga 2019, wajah-wajah lama kota mulai menghilang dari kawasan Braga, Tamansari, hingga Cikapundung. Lonjakan harga tanah mendorong warga keluar dari ruang hidupnya.

Tahun 2020 hingga 2023 menjadi era ledakan properti seperti rusun, apartemen, dan skywalk tumbuh seperti jamur. Tapi di balik pertumbuhan vertikal itu, warga miskin kota justru menyusut jumlahnya. Mereka hilang dari peta pembangunan.

Mengapa Gentrifikasi Masif Terjadi?

Gentrifikasi tidak hanya soal pembangunan fisik. Ia adalah bentuk dominasi nilai dan kuasa. Kota diimajinasikan sebagai ruang konsumsi dan pertunjukan, bukan lagi sebagai tempat tinggal bersama.

Kampung dianggap jelek, kotor, kumuh. Padahal kampung menyimpan nilai gotong-royong, solidaritas, dan sejarah panjang kota. Pemerintah kota lebih memilih membuat taman dengan lampu warna-warni daripada memperbaiki infrastruktur kampung yang ada. Hasilnya adalah kota yang cantik secara visual tapi dingin secara sosial.

Begitu sebuah kawasan “dibersihkan”, harga tanah melambung. Pengembang masuk. Properti dijual dengan narasi “hunian eksklusif tengah kota”. Sementara warga lama tidak sanggup membayar sewa atau cicilan. Mereka terpinggirkan secara ekonomi dan simbolik.

Sebagian besar warga kampung kota tidak memiliki sertifikat tanah. Meskipun mereka tinggal puluhan tahun, status hukumnya lemah. Ini memudahkan penggusuran atas nama penataan. Proyek-proyek raksasa seperti reklamasi, MRT, tol dalam kota, dan properti mixed-use berdiri di atas tanah yang sebelumnya dihuni komunitas padat.

Meskipun gentrifikasi sering terjadi tanpa perlawanan terbuka, dalam beberapa kasus warga berhasil menolak.

Kampung Akuarium, misalnya, sempat menjadi simbol perlawanan. Setelah penggusuran brutal, warga bersama arsitek, aktivis, dan akademisi merancang ulang kampung mereka dengan pendekatan kampung susun. Pada 2023, sebagian besar warga bisa kembali tinggal di tempat lama, dengan desain baru yang lebih manusiawi.

Pada 2 Juli 2025, sekitar 1.200 warga dari 18 kampung kota dan komunitas PKL melakukan aksi di depan Balai Kota Jakarta. Mereka menuntut hak atas tanah, penghentian gentrifikasi terselubung, serta reformasi agraria perkotaan.

Aksi ini menjadi sinyal bahwa warga kota mulai sadar dan bersuara. Mereka tak hanya menolak digusur, tapi juga menuntut hak atas kota. Kota sebagai milik bersama, bukan hanya milik investor, pengembang, atau pemilik modal.

Apa Arti Merdeka bagi Mereka yang Terusir?

Setiap tahun Indonesia merayakan kemerdekaan dengan parade, karnaval, dan mural warna-warni. Tapi bagi warga yang digusur, kemerdekaan terasa seperti perayaan orang lain. Bagaimana bisa bicara merdeka kalau seseorang tidak tahu akan tinggal di mana minggu depan?

Mereka yang tinggal di kolong jembatan, di bantaran sungai, di pasar semi permanen, adalah bagian dari kota. Mereka bekerja sebagai pemulung, penjaga warung, pengasuh anak, tukang sapu jalan. Tanpa mereka, kota tidak hidup. Namun suara mereka tak pernah masuk rencana tata ruang. Nama kampung mereka tidak tertulis dalam peta pembangunan. Keberadaan mereka dianggap “sementara”, “ilegal”, atau “mengganggu estetika”. Padahal mereka telah berakar.

Kota bukan sekadar beton, taman, dan jalan. Kota adalah tempat manusia hidup, bertumbuh, dan saling berbagi. Menghapus kampung berarti menghapus sejarah, memotong akar, dan menyisakan ruang-ruang sunyi yang hanya berisi gemerlap lampu tanpa cerita.

Merdeka, bagi mereka yang terpinggirkan, adalah hak untuk tinggal tanpa takut digusur. Hak untuk diakui sebagai bagian sah dari kota. Hak untuk ikut menentukan masa depan tempat mereka hidup. Selama itu belum diberikan, maka kemerdekaan masih semu. Hanya untuk mereka yang punya sertifikat dan modal.