Persaudaraan Iman
Saat berkunjung ke Istana Negara pada Rabu, 4 September, Paus Fransiskus memuji semboyan “Bhineka Tunggal Ika” dan Pembukaan UUD 1945. Menurut pemimpin Gereja Katolik sedunia tersebut, keragaman di Indonesia bukan hanya mencerminkan realitas bangsa, melainkan juga menjadi sumber kekayaan dan keindahan negeri ini. Doktrin sipil yang dirumuskan oleh Mpu Tantular dalam Sutasoma — “Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa,” yang berarti “berbeda-beda tetapi tetap satu, tiada kebenaran yang mendua” — merupakan motto bangsa yang tertulis dalam lambang negara Pancasila.
Paus Fransiskus juga memuji Pembukaan UUD 1945 yang mengakui bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia merupakan berkat dan rahmat Tuhan. Selain itu, UUD 1945 menetapkan keadilan sosial sebagai pondasi bagi tatanan dunia internasional sekaligus menjadi tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia.
Ketuhanan dalam Pancasila
Ketuhanan sebagai sila pertama Pancasila berfungsi sebagai prinsip dan pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Artinya, Indonesia bukanlah negara sekuler, namun juga bukan negara agama. Hubungan antara agama dan negara bersifat mutualis-simbiosis. Sukarno menyebutnya sebagai “Ketuhanan yang berkebudayaan,” yaitu Ketuhanan yang berbudi pekerti luhur, yang menghormati satu sama lain. Prinsip Ketuhanan yang terbuka, inklusif, toleran, saling menghormati dan menghargai ini menjadi ciri utama Pancasila. Dengan kata lain, teologi Pancasila adalah teologi inklusif, yang tercermin dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Kunjungan Apostolik Paus Fransiskus: Mempererat Persaudaraan
Kunjungan apostolik Paus Fransiskus ke Indonesia dapat dimaknai sebagai upaya mempererat persaudaraan keimanan. Moto kunjungan ini adalah “Iman, Persaudaraan, dan Belarasa.” Paus menegaskan bahwa iman seharusnya menjadi perekat persatuan, bukan sumber perpecahan dan permusuhan. Ia mengingatkan bahwa ada orang-orang yang memanipulasi agama untuk menciptakan perpecahan, bukan perdamaian, persekutuan, dialog, rasa hormat, kerja sama, dan persaudaraan. Menurut Paus, itulah hakikat iman sejati.
Pandangan Perennial tentang Agama
Prinsip-prinsip ini juga pernah disampaikan oleh Frithjof Schuon (1907-1998), seorang filsuf perennial dari Austria, dalam memahami fenomena agama-agama. Menurutnya, dalam setiap agama terdapat dimensi batin (esoteris) dan dimensi lahir (eksoteris). Keduanya menyatu seperti kulit dan isi. Dimensi esoterik bagaikan hati, sementara dimensi eksoterik ibarat badan agama.
Schuon menegaskan bahwa dimensi eksoterik keagamaan berada pada dunia bentuk (a world of forms), namun bersumber dari esensi yang Tak Berbentuk (the Formless Essence). Kesatuan agama-agama hanya dapat terjadi pada level yang tak berbentuk, yaitu dimensi batin. Pada tingkat eksoterik, yang diperlukan adalah dialog dan saling menghormati, bukan kesatuan. Hal ini juga dijelaskan oleh Media Zainul Bahri dalam bukunya Satu Tuhan Banyak Agama (2011). Dalam terminologi tasawuf, agama pada level syariat berbeda-beda, tetapi pada level hakikat semuanya berasal dari Yang Maha Esa.
Menemukan Titik Temu dalam Keragaman Agama
Meskipun setiap agama berbeda, hal itu tidak berarti agama-agama tidak dapat diharmoniskan. Perbedaan pada level syariat (eksoteris) merupakan sunatullah dan tidak bisa dihindari. Pada level ini, agama-agama memiliki warna yang berbeda-beda. Oleh karena itu, diperlukan sikap pengertian, toleransi, saling menghargai, dan menghormati, sambil terus mencari titik temu dan nilai-nilai universal di antara agama-agama. Inilah salah satu makna dari kunjungan apostolik Paus Fransiskus di berbagai negara, termasuk Indonesia.