Fitnah di Balik (Film) Fitna
Artikel lama ini pernah dimuat di Majalah Gatra oleh Ibu Lies Marcoes ketika terjadi kontroversi hebat film Fitna di mana sutradaranya mati ditembak seorang pemuda Muslim di Belanda yang sangat tersinggung oleh film itu. Artikel ini diturunkan ulang untuk renungan atas penembakan di sebuah gay club di Orlando, Amerika Serikat yang menewaskan lebih dari 50 orang pengunjung dan melukai banyak lagi lainnya. Relevansi dari artikel ini pada munculnya Islamaphobia mengingat pelakunya adalah lelaki keturunan Afghanistan, penduduk Amerika, dan kelahiran Amerika.
Saya tinggal di Amsterdan pada 1999-2000 untuk studi. Itu adalah tahun-tahun ketika rasa gerah kepada para imigran mulai muncul ke permukaan. Terutama di kota-kota besar seperti Amsterdam, Rotterdam, dan Utrecht, di mana komposisi penduduk tampak mulai bergeser menuju keseimbangan antara kulit putih dan berwarna. Demikian halnya perubahan yang dilihat dari latar belakang budaya dan agama.
Para imigran datang ke Belanda berabad-abad lalu. Ada yang didatangkan sebagai tenaga kerja untuk pembangunan dam dan kota, seperti dari Maroko dan Turki. Sebagian lainnya datang sukarela untuk hidup. Ada juga karena kebijakan politik pasca-kolonial, seperti orang-orang Jawa Suriname yang ogah balik ke Jawa.
Pada mulanya, Belanda sangat bangga atas fakta ini. Mereka menepuk dada sebagai masyarakat yang plural dan terbuka. Namun, para tamu itu terus bertambah. Sebagian karena beranak-pinak, sebagian lainnya dibawa kerabat atau pelarian dari wilayah konflik di Afrika dan Eropa Timur.
Ketika ekonomi di Eropa sedang tumbuh, para pendatang itu menjadi kayu api bagi mesin-mesin industri yang menjalankan roda ekonomi Belanda. Namun, tatkala terjadi krisis ekonomi global, mereka menjadi sasaran frustrasi, terutama dari warga kulit putih yang merasa punya hak atas tanah airnya. Lambat laun, ini menjadi persoalan yang dirasakan banyak orang. Dan situasi ini menjadi makanan empuk bagi politisi malas sekelas Wilders, sang pembuat film Fitna.
Wilders mewakili mereka yang merasa kehilangan rasa aman akibat buruknya situasi ekonomi di Eropa dan globalisasi. Kehadiran imigran yang kebanyakan wong ndeso dengan budaya yang sangat berbeda menyebabkan situasi di Belanda berubah. Perumahan menjadi kumuh, warga kulit putih yang mampu bisa meninggalkan perumahan yang diisi kaum imigran, dan bekas tempat mereka diambil oleh imigran baru. Orang-orang Belanda miskin yang tak mampu pindah merasa diasingkan di wilayahnya sendiri.
Seperti terjadi di belahan dunia manapun, pengguna jilbab di Belanda makin semarak dalam beberapa tahun belakangan ini. Begitu juga jilbab ala ninja yang tertutup rapat. Pengalaman itu kemudian dikaitkan dengan berita-berita tentang terorisme –ada yang ditangkap karena merencanakan mengebom Schiphol atau merencanakan mengebom stadion bola, atau pembunuhan sutradara film Theo van Gogh, serta bayak yang terang-terangan mengancam akan membunuh Ayaan Hirsi Ali, yang bersama Van Gogh membuat film Submission.
Salah satu aspek yang menyakitkan bagi kaum muslim terkait film Fitna adalah bahwa semua persoalan yang terkait dengan buruknya situasi di dunia atau di Belanda disebabkan Islam membenci Yahudi dan Kristen, dan sumber kebencian itu adalah Al-Quran. Film itu dengan sangat konyol menyimpulkan bahwa para teroris yang menyerang Amerika, Spanyol, dan Inggris mendapat dorongan dari Al-Quran. Karenanya, film itu menyimpulkan bahwa semua orang Islam yang membaca Quran dengan konsisten akan berbuat demikian pula.
Seperti dapat diduga, reaksi keras muncul di mana-mana, tak terkecuali di Belanda. Sebagian besar bereaksi dan mengutuk film itu sebagai propaganda murahan yang tak berdasar. Namun muncul juga situs dari kelompok radikal yang membenarkan film itu dan menyatakan bahwa Muslim sejati memang harus berjihad melawan kaum Yahudi dan Nasrani beserta antek-anteknya. Beberapa pengamat di Belanda menyebutkan, Wilders adalah tipe politisi ekstremis yang bermimpi menutup Belanda dari para pendatang dan utamanya ingin melarang orang Islam berimigrasi ke Belanda.
Wilders mungkin tak menduga, justru akibat film itu, dia kini dikucilkan di parlemen dan dikritik di seluruh pers Belanda. Organisasi-organisasi Islam mengadakan diskusi dengan orang Belanda sekuler. Ini menjadi momentum yang baik bagi umat Islam di Belanda untuk menjelaskan tentang Islam dari orang Islam sendiri. Ini juga menjadi momentum bagi kedua pihak untuk menyatakan apa yang mereka rasakan dan mencari jalan keluar berupa rekomendasi kepada pemerintah untuk membangun saling pengertian secara mendasar.
Aspek positif dari ketegangan itu, banyak orang Islam yang berkesempatan mengambil tempat di ruang publik dan sekarang dunia Barat melihat mereka di media cetak maupun elektronik. Semogalah Belanda juga memetik manfaat serupa dari film Wilders itu: lebih banyak orang Islam menulis di media, dan media lebih terbuka bagi mereka.
Pada saat ini, Belanda punya dua menteri muda dan sejumlah anggota parlemen Muslim. Ahmad Abu Talib, Menteri Muda Urusan Sosial dan Lapangan Kerja, dianggap sebagai salah satu politisi Belanda terbaik. Dalam kontroversi itu, dia menyatakan dengan sangat simpatik dan rendah hati, “Kalau orang Belanda non-Muslim takut kepada Islam, pasti bukan tanpa alasan. (Ini tentu) ada yang tidak beres, bukan saja pada orang Belanda, melainkan juga pada kita yang membiarkan agama kita menjadi hal yang menakutkan.”