Pos

Buku Fikih Kepemimpinan Politik Perempuan


Untuk menyambut Tahun Politik, Rumah KitaB kembali meluncurkan sebuah buku “Fikih Kepemimpinan Politik Perempuan”. Buku setebal 140 halaman ini ditulis oleh peneliti-peneliti Rumah KitaB, yaitu Achmat Hilmi, Roland Gunawan, Nur Hayati Aida, serta Jamaluddin Mohammad.

Pada tanggal 13 Oktober 2024, buku yang dieditori Usman Hamid dan Ken Michi tersebut pertama kali didiskusikan bersama mahasiswa-mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STID) Al-Biruni, Cirebon, dengan menghadirkan perwakilan penulis, Ketua JPPR (Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat) Fathan Mubarak, dan anggota Bawaslu Kabupaten Cirebon Amir Fawaz. Acara berlangsung meriah dan dihadiri oleh 85 mahasiswa/mahasiswi.

Saat flyer acara ini dibagikan di media sosial, seorang aktivis perempuan memprotes dan memberikan komentar: mengapa pembicaranya laki-laki semua? Bukankah tema yang diangkat berkaitan dengan Fikih Politik Perempuan? Bagaimana mungkin diskusi tentang perempuan tanpa melibatkan perempuan? Menjawab pertanyaan ini penting, sama pentingnya dengan menjawab pertanyaan mengapa harus ada afirmasi 30% perempuan dalam politik.

Yang tak dimiliki laki-laki ketika berbicara tentang perempuan adalah pengalamannya. Secara biologis, perempuan berbeda dengan laki-laki. Karena itu, tubuh perempuan mengalami pengalaman biologis seperti menstruasi, mengandung, melahirkan, nifas, dan menyusui. Pengalaman-pengalaman ini tidak bisa diwakili laki-laki.

Di samping itu, dalam kehidupan sosialnya, perempuan kerap kali mengalami ketidakadilan hanya karena berjenis kelamin perempuan, seperti stigmatisasi, marginalisasi, subordinasi, kekerasan, dan beban ganda. Ketidakadilan berbasis gender ini adalah pengalaman sosial perempuan dan hanya perempuan yang mengalaminya.

Dua pengalaman perempuan inilah, pengalaman biologis dan pengalaman sosial, yang merupakan pengetahuan yang bisa dijadikan perspektif dalam melihat dan membaca ketidakadilan gender dalam kehidupan sosial maupun politik. Itulah mengapa partisipasi politik perempuan perlu diafirmasi.

Dalam konteks Cirebon, kehadiran buku Fikih Kepemimpinan Politik Perempuan ini merupakan gagasan baru yang menarik untuk didiskusikan di masyarakat pesantren di Kabupaten Cirebon, khususnya terkait hak politik dan hak kepemimpinan politik perempuan dalam perspektif agama. Selama ini pembicaraan keadilan gender telah menjadi wacana yang diterima masyarakat pesantren, namun dalam konteks politik, ini merupakan wacana baru. Dunia politik di Cirebon masih didominasi wajah maskulinitas yang sangat kuat. Silih bergantinya pemimpin politik jarang diiringi pembicaraan terkait hak-hak pemilih perempuan.

Buku ini berupaya mengurai problem keagamaan yang biasanya menjadi tembok besar bagi partisipasi perempuan dalam kepemimpinan politik, dan membantu masyarakat pemilih perempuan dalam memperjuangkan hak-haknya yang tersandera oleh budaya patriarki yang berkawin dengan pandangan agama.

Dalam kehidupan politik yang patriarkis, nasib dan peran perempuan termarginalkan. Karena itulah politik afirmasi diperlukan untuk menjaring sebanyak-banyaknya partisipasi politik perempuan sekaligus diharapkan dapat mewarnai dunia dan kebijakan politik. Inilah salah satu pesan yang ingin disampaikan buku ini. Buku ini memberikan dasar dan legitimasi historis maupun teologis keterlibatan politik perempuan.

Mendobrak Patriarki: Perspektif Fikih tentang Kepemimpinan Perempuan di Ranah Politik

  • Judul Buku: Fikih Kepemimpinan Politik Perempuan: Sejarah, Hukum, dan Tantangan Masa Depan Partisipasi
  • Penulis: Tim Kajian Rumah KitaB (Jamaluddin Mohammad, Roland Gunawan, Achmat Hilmi, dan Nur Hayati Aida)
  • Penerbit: Yayasan Rumah Kita Bersama Indonesia
  • Tahun Terbit: Cetakan Pertama, Februari 2024
  • Jumlah Halaman: 140 + xxix
  • ISBN: 978-602-17557-8-5

Isu Kepemimpinan Perempuan dalam Islam

Apa yang terbayang di benak kebanyakan umat Muslim saat mendengar kalimat “perempuan menjadi pemimpin”? Sampai hari ini, meski telah banyak contoh perempuan memimpin dengan sangat baik, persoalan boleh tidaknya perempuan menjadi pemimpin masih sering menjadi isu kontroversial. Dalam pandangan masyarakat patriarki, perempuan sering dianggap lebih tepat sebagai pengikut atau makmum, sementara laki-laki diposisikan sebagai imam atau pemimpin.

Buku Fikih Kepemimpinan Politik Perempuan Sebagai Jawaban atas Perdebatan

Buku Fikih Kepemimpinan Politik Perempuan hadir sebagai jawaban atas banyak perdebatan mengenai peran perempuan dalam politik. Tim Kajian Rumah KitaB mencoba menyajikan eksplorasi komprehensif mengenai perjalanan panjang perempuan dalam ranah politik, baik dari sudut pandang Islam maupun sejarahnya.

Selain mengajak pembaca tenggelam dalam sejarah politik Islam dan peran perempuan di dalamnya, buku ini juga membahas tantangan kontemporer, khususnya di Indonesia, terkait keterwakilan perempuan dalam politik modern.

Pembagian Bab dalam Buku

Buku ini dibagi menjadi empat bab utama, yang masing-masing membahas aspek sejarah, teologi, hingga politik kontemporer. Buku ini dapat menjadi sumber penting untuk memahami bagaimana fikih memandang kepemimpinan perempuan, serta bagaimana perspektif mengenai kepemimpinan perempuan berubah seiring berjalannya waktu.

Bab 1: Sejarah Kepemimpinan Politik dalam Islam

Pada bab pertama, Tim Kajian Rumah KitaB mengajak pembaca untuk meninjau ulang sejarah kepemimpinan politik dalam Islam. Bab ini dimulai dengan mengulas masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin, pemerintahan Abbasiyah, hingga Kerajaan Bhopal, sebuah wilayah kecil di anak benua India.

Meskipun kerap terabaikan dalam catatan sejarah populer, buku ini berhasil membuka wawasan baru tentang bagaimana perempuan memiliki peran signifikan dalam sejarah politik Islam.

Bab 2: Fikih dan Kepemimpinan Perempuan

Bab kedua membahas secara mendalam konsep kepemimpinan perempuan dalam ruang keagamaan. Perempuan sering kali dianggap sebagai makmum, sementara laki-laki diposisikan sebagai imam. Konsep ini telah berlaku selama berabad-abad dan dianggap sakral, karena diyakini bersumber dari ajaran agama. Sebagai contoh, ayat yang mengandung makna qawwam serta hadis yang menyebutkan bahwa kepemimpinan akan hancur jika dipegang oleh perempuan dalam konteks Kerajaan Kisra.

Bab kedua ini juga menyajikan berbagai pandangan ulama mengenai peran perempuan di ruang publik, khususnya di ranah politik. Salah satu poin penting dalam bab ini adalah perlunya pembaruan pandangan dalam hukum fikih kontemporer terkait kepemimpinan perempuan. Pembaruan ini memerlukan integrasi antara dalil sejarah, dalil naqli (Al-Qur’an dan hadis), dalil aqli (rasional), serta dalil waqi’iy (realitas), yang dapat difasilitasi oleh maqashid syariah lin nisa. Tujuannya agar produk pemikiran yang dihasilkan relevan dengan kebutuhan zaman, tanpa merevisi hukum klasik yang bertentangan dengan realitas kontemporer.

Bab 3: Keterwakilan Perempuan dalam Politik Indonesia

Setelah membahas konsep kepemimpinan dalam ruang keagamaan, bab ketiga membahas keterwakilan perempuan dalam politik Indonesia. Bab ini mengulas sejarah gerakan politik perempuan di Indonesia, mulai dari perjuangan melawan ketertinggalan pendidikan, penghapusan poligami, kawin paksa, hingga perjuangan untuk mencapai keterwakilan perempuan sebesar 30% di lembaga-lembaga pemerintah.

Organisasi-organisasi perempuan mulai bermunculan membawa agenda emansipasi, di antaranya pembebasan nasional, kesetaraan, hingga perbaikan nasib perempuan melalui pendidikan. Organisasi seperti Putri Mardika, yang berdiri pada tahun 1921 sebagai bagian dari gerakan Budi Utomo, adalah salah satu contohnya. Organisasi lain seperti Jong Java, Aisyiyah, dan Jong Islamieten Bond juga ikut berperan. Pada era 90-an, gerakan feminisme Muslim diperkenalkan oleh tokoh seperti Afsaneh Najmabadi dan Ziba Mir-Hosseini.

Bab ini juga membahas partisipasi dan representasi perempuan dalam politik Indonesia, termasuk regulasi afirmatif. Salah satu penekanan dalam bab ini adalah pentingnya menciptakan atmosfer politik yang memberikan perlindungan bagi perempuan. KPU, Bawaslu, partai politik, pemerintah, DKPP, Komnas Perempuan, dan masyarakat sipil memiliki peran masing-masing. KPU, misalnya, perlu meningkatkan pendidikan politik bagi pemilih dan menyadarkan masyarakat akan pentingnya kepemimpinan perempuan, sehingga Pemilu 2024 dapat menghasilkan keterwakilan perempuan yang lebih baik.

Bab 4: Tantangan Keterwakilan Perempuan di Politik Indonesia

Bab keempat membahas tantangan yang dihadapi perempuan dalam partisipasi politik di Indonesia. Meskipun kuota 30% telah diterapkan selama lebih dari 20 tahun, target ini belum pernah terpenuhi. Keterwakilan perempuan di parlemen perlu mencapai angka “critical mass,” yaitu 30-40%, agar dapat meloloskan kebijakan dan membawa perubahan positif.

Meskipun ada peningkatan keterwakilan dalam legislatif dan jabatan politik, perempuan masih menghadapi tantangan besar. Ruang publik sebagai arena politik masih kerap bersikap sinis terhadap perempuan. Perempuan yang terjun ke dunia politik, baik sebagai legislator, eksekutif, maupun aktivis, sering kali dihadapkan pada tantangan berat, terutama terkait identitas gender mereka yang terus dipertanyakan.

Hal-hal pribadi seperti status perkawinan, agama, dan penampilan sering kali mendapatkan lebih banyak perhatian daripada gagasan atau pekerjaan yang telah mereka lakukan. Tantangan lain muncul dari budaya yang kerap kali berkelindan dengan tafsir agama. Di Indonesia, yang mayoritas penduduknya Muslim, tafsir agama masih memengaruhi pandangan mengenai perempuan sebagai pemimpin. Salah satu hadis yang sering dikutip berbicara mengenai larangan menyerahkan urusan kepada perempuan, dengan konteks yang merujuk pada Ratu Kisra yang memimpin pada usia muda. Bab ini juga menawarkan strategi untuk memenuhi kuota 30% keterwakilan perempuan dalam politik.

Kekuatan dan Kekurangan Buku

Secara keseluruhan, buku ini berhasil menyatukan kajian sejarah, hukum, dan politik dalam satu narasi yang utuh. Salah satu kekuatan utamanya adalah penyajian fakta-fakta sejarah yang jarang diungkap, seperti peran besar perempuan dalam pemerintahan pada masa Islam klasik.

Meski demikian, ada beberapa bagian dalam buku ini yang perlu diperhatikan lebih lanjut. Salah satu bagian yang kurang tepat adalah narasi pada halaman xiii, yang menyebutkan bahwa salah satu hambatan besar bagi perempuan dalam politik adalah suasana pemilu yang sering diwarnai kekerasan. Paragraf ini seolah menggambarkan perempuan sebagai makhluk yang lebih emosional dan sensitif dibandingkan laki-laki, yang justru bisa melemahkan argumen keseluruhan buku dalam memperkuat posisi perempuan sebagai pemimpin yang tangguh.

Selain itu, ada pengulangan mengenai tokoh Ummu Salamah pada halaman 70 yang seharusnya disajikan lebih koheren jika merujuk pada tokoh yang sama.

Terlepas dari beberapa kekurangan tersebut, buku ini sangat direkomendasikan bagi siapa pun yang tertarik dengan isu-isu agama, politik, maupun gender. Buku ini memberikan wawasan mendalam tentang bagaimana perempuan telah, sedang, dan akan terus berperan dalam dunia politik, baik dalam konteks dunia Islam maupun politik Indonesia modern.