Pos

Menyoal Kegagapan Perspektif Aparat Penegak Hukum dalam Menyikapi Fenomena Femisida

Fenomena femisida bukanlah barang baru di tengah tatanan sosial kita. Namun, dapat dibilang, ini merupakan topik yang kerap termarjinalkan dalam diskursus politik dan hukum di parlemen maupun di antara percakapan para penegak hukum. Keberadaan kasus-kasus femisida seolah tak cukup mendapat ruang atensi serius dari aparat penegak hukum. Padahal, apa yang terjadi di ruang persidangan dan di depan meja interogasi adalah refleksi dari apa yang terjadi di masyarakat secara luas.

Media sosial belakangan ini penuh sesak dengan beragam publikasi soal kekerasan terhadap perempuan yang tak sedikit berujung pada hilangnya nyawa seseorang. Sejumlah berita itu hampir selalu mengangkat kasus pembunuhan perempuan yang dilakukan oleh pihak paling dekat: pacar, mantan kekasih, saudara, suami, bahkan orang tua mereka sendiri.

Menurut Sidang Umum Dewan HAM PBB, femisida adalah pembunuhan terhadap perempuan yang dipantik oleh kebencian, keinginan untuk menguasai, mendominasi, menikmati, dan pandangan bahwa perempuan adalah milik yang boleh diperlakukan semena-mena.

Femisida, dengan demikian, jauh lebih kompleks ketimbang pembunuhan biasa. Ia membawa muatan disparitas gender, dominasi, serta agresi atau penindasan. Ini bukan soal kematian semata; femisida pada dasarnya merupakan akumulasi dari budaya patriarkis dan misoginis yang berakar dalam kehidupan pribadi, komunitas, bahkan negara. Merujuk pada data yang dimuat PBB, hampir 80% dari pembunuhan perempuan yang direncanakan dilakukan oleh orang-orang terdekat dengan korban.

Membongkar Akar Femisida dalam Data

Di Indonesia, peristiwa tragis femisida mengemuka akibat beragam faktor pendorong. Di antaranya, ada soal maskulinitas yang tersinggung, misalnya kasus perempuan yang dibunuh karena meninggalkan pria. Selain itu, kemarahan pria terkait kehamilan perempuan di luar pernikahan, kekerasan dalam rumah tangga yang berakhir pada pembunuhan, pelecehan seksual yang berakhir tragis, hingga mengakarnya budaya patriarki yang menolak kehadiran anak perempuan, serta praktik perdagangan perempuan untuk kepuasan seksual semata. Semua itu adalah segelintir penyebab yang berkontribusi pada terjadinya femisida.

Dalam konteks ini, penegakan hukum di Indonesia seakan masih berjalan di tempat. Keterbatasan perlindungan hukum yang spesifik untuk menangani kasus femisida masih terjadi.

Semestinya, aparat penegak hukum memahami secara komprehensif kekerasan berbasis gender, di mana femisida berada di puncaknya; sedangkan di posisi tengah terdapat kekerasan fisik dan seksual, misalnya pemukulan dan pemerkosaan; sementara di bagian bawah mencakup mikroagresi dan pelecehan seperti penguntitan, catcalling, hingga perlakuan tidak pantas lainnya. Yang paling mendasar adalah sikap dan pola pikir yang mengobjektifikasi perempuan, candaan seksis, victim blaming, dan semacamnya.

Sampai saat ini, Komnas Perempuan belum mempunyai detail data mengenai kasus pembunuhan yang dikategorikan sebagai femisida. Bahkan, Laporan Kantor PBB untuk Narkoba dan Kejahatan (United Nations Office on Drugs and Crime) sempat mengklasifikasikan femisida pada tahun 2022. Kendati demikian, monitoring pemberitaan online antara rentang November 2022 – Oktober 2023 mencatatkan 388 laporan yang mengindikasikan femisida. Usai disaring, jumlahnya menjadi 159 kasus dengan indikasi femisida yang kuat. Angka ini sangat mencengangkan, dan jika tidak ada perubahan dalam mekanisme penanganan, angka tersebut akan terus memuncak.

Di lain data, Laporan Lintas Feminis Jakarta (2022) mengungkapkan antara tahun 2016 – 2017, tercatat sedikitnya 161 kasus pembunuhan perempuan. Sebagian besar pelaku didominasi laki-laki.

Femisida dalam Kacamata Penegak Hukum

Menurut data yang dimuat oleh Komnas Perempuan, antara 2020 – 2023, terdapat 798 kasus femisida di Indonesia. Sayangnya, sikap aparat penegak hukum terhadap kasus femisida masih kurang memadai. Bahkan, istilah “femisida” masih terasa asing, sehingga praktik kekerasan terhadap perempuan ini terus bergulir tanpa ada sinyal pembenahan signifikan dalam mekanisme penegakan hukum.

Perempuan, dalam hal ini, selalu menjadi korban yang tak bisa bersaksi atas kejahatan yang menimpanya. Padahal, femisida adalah puncak dari segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Ironisnya, banyak yang menganggapnya sebagai kejahatan biasa, padahal kasus ini mempunyai dimensi yang jauh lebih fundamental.

Oleh karena itu, aparat penegak hukum dan masyarakat harus benar-benar mengenali femisida dan pluralitas modus yang dipergunakan oleh pelaku. Modus yang diaplikasikan dalam femisida tidak boleh diperlakukan sebagai tindak kriminal biasa. Ini merupakan kejahatan luar biasa yang memerlukan atensi spesial agar tak dipandang sebagai tindak pidana biasa. Hal itu semakin nampak ketika pasal yang diterapkan dalam kasus femisida masih merujuk pada pasal pembunuhan dalam KUHP, baik pembunuhan berencana maupun tidak.

Hal itu juga sangat relevan dengan laporan yang dimuat oleh Jakarta Feminist (2023) bahwa tak sedikit kasus femisida di Indonesia masih diperlakukan serupa pembunuhan konvensional. Padahal, serangkaian kekerasan yang terjadi perlu dipahami sebagai bagian dari fenomena yang jauh lebih kompleks: kekerasan berbasis gender yang bermuara pada sistem patriarkal.

Dalam hal ini, aparat penegak hukum, khususnya kepolisian, masih belum mampu memposisikan dirinya dalam perspektif korban dan cenderung mengabaikan ancaman yang dihadapi oleh perempuan. Pengalaman perempuan kerap tidak divalidasi, yang akhirnya berujung pada tragedi femisida.

Strategi Memutus Siklus Femisida

Tingginya angka femisida di Indonesia mendesak perhatian serius dari berbagai pihak, mulai dari pemerintah, aparat penegak hukum, hingga masyarakat. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan strategi serta langkah konkret dan sistemik yang dapat mencegah hingga menangani femisida di masa mendatang.

Polri, sebagai lembaga penegak hukum, harus memulai langkah dengan mencatat dan menganalisis setiap kasus pembunuhan perempuan secara komprehensif. Dengan melakukan pendokumentasian yang sistematis dan terpusat, kita bisa memperoleh gambaran yang jelas perihal penyebab, pola, dan pelaku di balik setiap kasus femisida. Data seperti ini akan sangat berguna sebagai dasar untuk merumuskan langkah-langkah penanganan dan pencegahan yang lebih efektif.

Selain itu, sangat penting bagi pihak kepolisian untuk menjamin perlindungan keamanan bagi perempuan yang terancam nyawanya, termasuk bagi pelapor kasus kekerasan. Perlindungan ini tidak hanya penting untuk mencegah femisida, tetapi juga untuk menjaga integritas serta keberanian perempuan dalam melaporkan kekerasan.

Di sisi lain, pembaruan hukum pidana juga merupakan langkah yang sangat penting. DPR RI dan pemerintah perlu mengkaji kembali dan memperbarui undang-undang yang mengatur femisida.

Salah satu langkah yang perlu dipertimbangkan adalah dengan menetapkan femisida sebagai kategori pembunuhan khusus terhadap perempuan dalam hukum pidana Indonesia. Dengan demikian, pembunuhan yang dilatarbelakangi oleh alasan gender akan mendapat perhatian lebih dalam proses hukum.

Selain itu, pemerintah dan DPR juga bisa mempertimbangkan menjadikan femisida sebagai alasan pemberat hukuman. Langkah ini diharapkan dapat memberikan efek jera kepada pelaku dan mengurangi kekerasan terhadap perempuan di masa depan.

Mengatasi femisida di Indonesia memerlukan kerja sama antara berbagai pihak, termasuk Polri, pemerintah, DPR RI, media, dan masyarakat. Semua pihak harus saling mendukung dan bekerja bersama untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi perempuan.

Selain itu, pendidikan tentang kesetaraan gender dan hak-hak perempuan harus terus diperkuat agar masyarakat memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai pentingnya melindungi perempuan dari segala bentuk kekerasan. Hanya dengan kolaborasi yang kuat, Indonesia dapat mewujudkan perubahan signifikan dalam mengurangi angka femisida dan menciptakan dunia yang lebih aman dan setara bagi perempuan.

Feminisme Postmodern dan Kepemimpinan Feminis: Pesan dan Pelajaran di Balik Tren Marriage is Scary

Pernikahan, yang seharusnya menjadi momen bahagia bagi perempuan, kini sering dianggap sebagai “momok,” menumbuhkan skeptisisme di kalangan mereka. Sementara banyak yang mendambakan pernikahan sebagai simbol kebahagiaan, kenyataan menunjukkan ketakutan dan keraguan perempuan untuk berkomitmen. Hal ini melahirkan tren marriage is scary di media sosial, yang menyatakan bahwa pernikahan membawa lebih banyak masalah daripada manfaat.

Tren marriage is scary menjadi topik hangat, menentang anggapan bahwa pernikahan adalah ikatan kebahagiaan semata. Sebaliknya, pernikahan sering dinilai lebih penuh dengan masalah daripada keuntungan, hingga banyak netizen memperdebatkan pengaruh tren ini terhadap persepsi publik terhadap pernikahan. Munculnya tren ini bukan tanpa sebab; ia menandakan lebih dari sekadar fenomena sesaat.

Marriage is Scary: Lebih dari Sekadar Tren?

Psikolog Tabula Arnold Lukito menjelaskan bahwa marriage is scary mencerminkan perubahan nilai di masyarakat dan tidak selalu bernilai negatif. Fenomena ini menunjukkan kesadaran kalangan muda, khususnya perempuan, bahwa pernikahan bukanlah tolok ukur tunggal kebahagiaan.

Kasus opresi seperti femisida, KDRT, perceraian, dan berbagai bentuk ketidakadilan gender dalam kehidupan pasca-pernikahan menambah kecemasan perempuan akan pernikahan. Budaya patriarki yang menumbuhkan opresi turut memperkuat ketakutan ini, sehingga marriage is scary memiliki makna lebih dalam daripada sekadar tren. Premis dari tren ini adalah ketakutan akan konflik, perceraian, dan hambatan terhadap kebebasan perempuan dalam pernikahan.

Marriage is Scary dalam Pandangan Feminisme Postmodern

Fenomena marriage is scary sejalan dengan pandangan feminisme postmodern, yang berupaya membongkar “kebenaran” yang selama ini diyakini dalam masyarakat. Feminisme postmodern melihat kebenaran ini kerap terkait dengan nilai patriarki yang hierarkis dan memandang pernikahan tradisional sebagai narasi tunggal. Tren marriage is scary membuktikan bahwa pernikahan bisa menciptakan opresi, menandakan dominasi patriarki yang masih kuat.

Feminisme postmodern juga menolak hierarki dalam peran suami-istri. Struktur ini sering kali kaku dan menciptakan opresi. Bagi feminisme postmodern, kebahagiaan tidak harus diwujudkan dalam pernikahan, dan individu bebas memilih kebahagiaan tanpa tekanan sosial untuk menikah. Hal ini tercermin dalam penurunan angka pernikahan di Indonesia sebesar 28,63% dalam satu dekade terakhir.

Namun, pernikahan bukan sesuatu yang harus dihindari. Dengan prinsip kepemimpinan feminis, hubungan pernikahan yang setara tanpa bias gender dapat tercapai.

Kepemimpinan Feminis sebagai Antitesis dari Marriage is Scary

Meski marriage is scary mengkritik pernikahan sebagai institusi yang bias gender, hal ini tidak berlaku bagi pasangan yang menerapkan budaya feminis. Kepemimpinan feminis dapat diterapkan oleh perempuan maupun laki-laki, menekankan kebersamaan, transparansi, dan kepedulian.

Prinsip kepemimpinan feminis menolak pernikahan sebagai institusi tradisional yang kaku. Dalam keluarga, suami-istri duduk bersama untuk mengambil keputusan, mendukung karier satu sama lain, dan berbagi tanggung jawab dalam pengasuhan anak. Dengan mengadopsi kepemimpinan feminis, keluarga dapat menjadi ruang yang ramah gender dan harmonis, bertentangan dengan anggapan marriage is scary yang menyatakan bahwa keluarga adalah institusi penindasan.