Satwa Nusantara dan Etika Hewani Kita
Adalah komodo salah satu hewan purba nan langka yang hanya bisa ditemui di sebagian wilayah Indonesia semata. Dengan spesiesnya yang relatif langka, banyak dari para wisatawan rela menggelontorkan hartanya hanya untuk bisa bertemu dengan hewan langka tersebut secara langsung.
Tidak heran, Indonesia dengan Taman Nasional Komodo di dalamnya telah menjadi salah satu sorotan utama bagi para wisatawan dunia, di samping karena keindahan dan keanekaragaman hayati yang terdapat di beberapa pulau-pulau kecilnya, seperti pulau Padar dan Rinca, terdapat pula hewan langka komodo yang hanya bisa ditemui di Taman Nasional Komodo.
Itu semua hanya dapat bertahan dan lestari jika lingkungan hidup Taman Nasional Komodo masih tetap terjaga keindahan dan keunikannya. Hewan komodo yang termasuk kategori langka, hanya bisa dipertahankan kehidupannya, dengan cara menjaga pula lingkungan hidup di sekitarnya.
Menjaga lingkungan Taman Nasional Komodo bagaikan “sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui”, satu tindakan, banyak manfaat: melestarikan komodo, menjaga keanekaragaman hayati, dan memastikan keberlanjutan pariwisata.
Hasil survei di Australia dapat menjadi acuan kita dalam mengelola tata ruang yang kompromi dengan alam di Taman Nasional Komodo. Pasalnya, survei di Australia telah mengungkap bahwa hanya sekitar 18, 4% pengunjung saja yang ingin melihat kanguru dan koala yang menjadi hewan khas di Australia, sementara 67,5% lainnya ingin melihat kehidupan liar yag lain (Irman Firmansyah, 2023).
Artinya, tata kelola Taman Nasional Komodo, di samping berfokus dalam menjaga kehidupan hewan langka seperti komodo, ia juga harus memperhatikan hewan lain dan lingkungan hidup di sekitarnya.
Terlepas dari itu, bagaimana agar kelestarian lingkungan Taman Nasional Komodo dapat tetap bertahan di kemudian hari, di kehidupan yang sangat sarat menuntut pembangunan untuk pertumbuhan ekonomi, di kehidupan yang kaya akan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang denyut sinyalnya sudah terasa pada saat ini?
Sebut saja, isu terakhir terkait Taman Nasional Komodo yang menyoroti adanya pembangunan vila di pulau Padar yang hendak dilakukan oleh PT Komodo Wildlife Ecotourism (KWE), adalah salah satu bentuk pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semu. Di mana kawasan wisata dikomersialisasi demi jumlah peningkatan wisatawan yang berpotensi memicu degradasi lingkungan.
Di sisi lain, ia juga bukan hanya berpotensi menutup akses sumber daya alam bagi masyarakat adat, namun juga dapat mengubah wajah indah pulau Padar dan mengancam kehidupan berbagai satwa endemik, termasuk Komodo dan hewan lainnya.
Fikih sebagai Etika Hewani
Sebagai disiplin ilmu yang mengelaborasi ketentuan-ketentuan yang sudah dilegislasikan oleh syari’ (sang peletak syariat, Allah SWT. dan Nabi Muhammad SAW.), fikih dapat menjadi kompas manusia dalam menjalani kehidupannya di dunia dengan selamat hingga di kehidupan yang lebih kekal kelak, yaitu akhirat.
Aturan-aturan fikih, ditujukan pada tindakan manusia agar tidak melahirkan tindakan-tindakan yang dapat menyakitkan diri sendiri ataupun yang lain, yang tergolong sebagai makhluk hidup. Dengan kata lain, aturan fikih berfokus pada perlindungan hak hidup semua makhluk yang ada di dunia.
Keterangan dari beberapa ahli fikih, seperti Abu Bakar Syatha dalam karyanya, I’anatu al-Thalibin, sebuah karya yang mengelaborasi Kitab Fathu al-Mu’in, karya Zainuddin al-Malibari, dapat dijadikan tanda bukti bahwa fikih benar-benar melindungi hak hidup seluruh makhluk yang berada di muka bumi, sekalipun itu hewan.
Abu Bakar menyatakan di dalam kitabnya, ketika terdapat hewan yang dalam keadaan terancam nyawanya—baik terancam pembunuhan atau ia nyaris tenggelam, maka menjadi sebuah keharusan bagi siapa pun yang melihatnya untuk bisa membebaskan hewan tersebut, bahkan kewajiban shalat dapat ditunda pelaksanaannya atau dibatalkan demi menyelamatkan hewan yang sedang terancam hak hidupnya (Yafie, 2005).
Di sisi lain, Syamsudin al-Syirbini dalam kitabnya, Mughni al-Muhtaj, memberikan keterangan etika manusia dalam perihal memerah susu hewan peliharaan. Bahkan al-Syirbini, mengatakan dengan tegas atas larangan memerah susu hewan apabila dapat mengancam kehidupan atau membuat anak hewan tersebut menderita.
Tak hanya itu, di dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari, terdapat pelajaran yang dapat diambil untuk bisa menuntun kita dalam berelasi dengan hewan. Seperti hadis yang menceritakan “Ada seorang wanita pezina melihat seekor anjing di hari yang panasnya begitu terik. Anjing itu mengelilingi sumur tersebut sambil menjulurkan lidahnya karena kehausan. Lalu wanita itu melepas sepatunya (lalu menimba air dengannya). Ia pun diampuni karena amalannya tersebut” (HR. Muslim no. 2245).
Di dalam hadis yang lain, terdapat pula seorang perempuan yang terhukum di dalam neraka karena kucing peliharaannya yang tidak ia beri makan atau dilepaskannya untuk mencari makan sendiri. Dan hadis inilah yang menjadi sumber aturan fikih dalam memelihara hewan, yang mana kebutuhan pangannya harus tercukupi dengan cara memberinya makanan atau melepaskannya untuk mencari makan sendiri, bahkan jika masih belum tercukupi meskipun telah dilepaskan, maka sang pemilik hewan harus memberi tambahan pakan sampai peliharaannya merasa cukup (Yafie, 2006).
Walhasil, dengan merujuk pada fikih, peran kita tidak hanya menjaga komodo sebagai spesies langka saja, tetapi juga menjalankan amanah sebagai khalifah di bumi—yang bertugas merawat bumi dan makhluk yang terdapat di dalamnya. Maka, pembangunan yang mengabaikan keseimbangan ekologis bukan hanya ancaman bagi satwa, tapi juga pengkhianatan terhadap nilai agama dan kemanusiaan.



