Pos

Merebut Tafsir : Agama dan Krisis

Mungkin di antara kita pernah atau kerap menempatkan agama bukan sebagai hal yang utama. Namun sebaliknya kerap juga agama dijadikan satu-satunya gantungan harapan. Biasanya itu hadir tatkala kita sedang menghadapi krisis. Krisis apa saja. Dan disitulah memang antara lain peran dan fungsi agama.

Berulang kali saya merasa saya membutuhkannya karena saya merasa sangat rapuh. Waktu berpisah dari keluarga untuk menempuh pendidikan lanjutan di Belanda, ketika menjalani operasi rahim, ketika melahirkan tiga anak dengan penyulitnya masing-masing, ketika orang tua sakit keras, ketika harus mencari jalan untuk melunasi cicilan rumah, ketika harus menjalani operasi mata dan akhirnya harus menerima sebelah mata buta, dan ketika suami, panduan hidup tetiba jatuh dan wafat tiga hari kemudian. Di saat-saat seperti itu agama, kehangatannya, ketentraman yang ditawarkannya, harapan yang ditimbulkannya, kepasrahan yang dihasilkannya, membuat saya mempercayai agama sebagai sebuah sistem sosial dan keyakinan yang dapat membantu saya menghadapi krisis.

Namun ada kalanya saya merasa agama tak boleh mencampuri akal saya. Sebagai peneliti saya harus “setia pada fakta “ yang setiap saat bisa gugur oleh temuan- temuan lain. Dalam situasi itu saya memperlakukan agama sebagai fenomena, sebagai gejala sosial yang berpengaruh kepada pilihan-pilihan dan perilaku orang.

Tapi saya juga sangat menikmati spiritualitas yang lahir dari keyakinan/agama. Spiritualitas saya pelajari dan saya dalami serta saya asah dari pengalaman beragama dan dari keyakinan apapun yang dapat memunculkan “rasa” di dalam batin. Karenanya saya sangat menikmati bulan Puasa dengan segenap “rasa” yag memancar darinya. Sejak masih mahasiswa di Perbandingan Agama saya sangat menyukai ragam ritual agama- agama. Jika ke Kelenteng saya akan ikut bakar dupa dan menikmati harum dupa yang menyimpan memori tentang ketentraman serta perasaan indah di dalam batin. Saya senang mengikuti seremoni Natalan dan mendengarkan kidung-kidung persembahan. Saya sangat terpesona oleh keheningan dunia kerahiban baik dalam tradisi Kristen maupun Budha. Dan saya juga sangat menikmati dunia tarikat serta hal-hal gaib yang karap menyertai amalan-amalan yang dijalankan.

Ilmu pengetahuan merupakan sebuah dunia yang wataknya bisa melucuti keyakinan agama. Kisah “dunia datar”vs “dunia bundar” merupakan cerita klasik yang memperlihatkan ketegangan antara “keyakinan” dan fakta. Di mana agama harus berdiri? Dalam situasi ini kita bisa melihat dan bahkan menghadapi ketegangan-ketegangan serta gesekan antara dunia pengetahuan dan agama.

Dalam perkembangannya, ilmu pengetahuan secara adigung kerap meninggalkan agama. Dan ini membuat dunia agama merasa disepelekan. Namun dalam isu tertentu Ilmu pengetahuan akan sulit meninggalkan agama. Itu terutama ilmu pengetahuan yang harus berhadapan dengan isu moral yang sumbernya dari agama. Ilmu pengetahuan yang terkait dengan dunia penyakit yang belum diketemukan obatnya menjadi rentan oleh campur tangan pandangan agama. Penyakit yang membuat manusia kehilangan keberdayaanya, seperti HIV/AIDS kerap digunakan oleh kalangan agama untuk membuktikan betapa dunia pengetahuan tak ada apa-apanya dibandingkan dengan tentara-tentara Tuhan berupa penyakit yang membuat manusia rentan. Agama dengan cepat dan digdaya dipegang sebagai bukti bahwa pengetahuan manusia ada batasnya sementara kekuatan agama tak terhingga.

Ketidak-berdayaan ilmu pengetahuan atas penyakit mematikan yang belum ditemukan obatnya segera disambar oleh agama sebagai bukti bahwa itu merupakan balasan Tuhan atas kesombongan manusia karena meninggalkan agama. Krisis yang ditimbulkan oleh penyakit, menjadi senjata balasan dari agama kepada ilmu pengetahaun yang selama ini telah mengabaikannya. Dalam situasi krisis serupa itu agama seperti mendapakan bala bantuan berupa claim kebenaran bahwa Tuhan sedang mengirimkan azab dan penyakit mematikan itu menjadi bukti kebejatan moral manusia. Secara psikologis, penyakit itu seperti tentara Tuhan untuk membalaskan “sakit hati” yang diderita agama karena kerap ditinggalkan oleh science. Karenanya penyakit mematikan mereka claim sebagai azab agar manusia insyaf dan taubat.

Dalam dua domain yang berbeda, yang satu berbasis empirik yang lain keyakinan yang tak butuh bukti, memang terjadi persaingan. Sebetulnya itu biasa saja, keduanya bisa berjalan beriringan atau bahkan bertolak belakang. Namun ini menjadi masalah manakala negara yang mendapatkan mandat mengurus crisis, apapun krisis itu, termasuk penyakit, membiarkan agama masuk dan melepaskan fungsi utamanya sebagai pemberi ketentraman, ketenangan dan harapan menjadi penentu kebenaran berdasarkan nilai moralnya sendiri. Dan tatkala itu terjadi maka di saat itulah tampaknya agama telah menjadi sumber krisis itu sendiri.

 

Lies Marcoes, 20 Maret 2020

MELAWAN CORONA DENGAN UZLAH

Dunia mendadak mencekam. Bumi pada puncak lelahnya: terasa ingin sekali rehat sejenak. Manusia dituntut untuk istirahat sejenak dari hiruk pikuk, uzlah dari ruang publik. Korona yang baru saja membuat nyali umat manusia pucatpasih, bergidik, bergetar, gentar. Pasalnya, virus yang perkasa masih digdaya, belum ditemukan anti-virus sebagai lawan tanding yang dapat melumpuhkannya. Di tangan virus korona, banyak nyawa manusia melayang. Virus yang oleh WHO divonis sebagai pandemi, mudah menyebar, mudah menular, mudah menelan korban secara massal.

Di zaman dulu, tercatat dalam sejarah dan hadits Nabi, pandemi virus yang mematikan pernah ada. Nama virus boleh berbeda, dan kadar kedahsyatannya boleh tidak sama. Tapi substansinya sama, yaitu virus pandemi, mudah menular dan mematikan. Di abad ke-14, ada virus pandemi bernama ‘maut hitam’ yang menelan korban mencapai sekitar 75-200 juta jiwa. Ada juga virus berbentuk cacar. Di zaman Nabi Muhamad dan sahabat, terdapat virus pandemi bernama tha’un dan judzam (kusta, lepra).

Mari kita simak hadits ini;

عن أسامة بن زيد -رضي الله عنهما- مرفوعاً: «إذا سمعتم الطاعونَ بأرض فلا تدخلوها وإذا وقع بأرض وأنتم فيها فلا تخرجوا منها».
[صحيح.] – [متفق عليه.]
Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma–hadits marfu’: “Jika kalian mendengar ada wabah tha’un (wabah mematikan) dalam satu tempat, maka janganlah kalian masuk ke dalamnya. Dan jika kalian ada di dalamnya maka janganlah kalian keluar darinya.” Muttafaq alaih (Bukhari-Muslim)

Nabi memberikan solusi cara menyikapi tha’un; yaitu isolasi. Dalam sekala makro, wilayah yang terkena pandemi mengisolasi diri. Dalam sekala mikro, masing-masing mengisolasi diri diam di dalam rumah, keluar rumah jika sangat butuh saja, dan menghindari kerumunan. Dengan kata lain, melakukan uzlah nasional. Melawan korona dengan uzlah. Agar menghindari penularan, tak menelan korban, dan korona membunuh dirinya sendiri. Sirnah. Hidup kembali normal tanpa bayang-bayang korona.

Syahdan, Umar bin al-Khatthab beserta sahabat lain berjalan dari Madinah ke Syam–sekarang Suriah. Di tengah perjalanan, baru sampai wilayah Syargh, mendapat informasi bahwa penduduk Syam sedang dilanda pandemi, virus mematikan. Setelah bermusyawarah apakah lanjut perjalanan atau balik lagi. Umar memutuskan untuk kembali lagi ke Madina, artinya memilih menghindar dari wilayah yang sedang dilanda pandemi, dan berkata “kami menghindar dari satu takdir Allah ke takdir Allah yang lain”.

Islam pun adalah agama yang memiliki semangat mencegah kerusakan lebih diprioritaskan daripada mencari kemaslahatan, daru al-mafasid muqaddamun ‘ala jalbi al-mashalih.

Berbagai ikhtiar dalam menghadapi virus korona dengan isolasi dan uzlah nasional, menghidari kerumunan, hidup dan makan sehat, menjaga kebersihan khususnya cuci tangan, olahraga agar imunitas tubuh lebih prima dan kuat selaras dengan Maqashid al-Syari’ah (tujuan-tujuan syariat Islam) sebagaiaman yang dikatakan oleh kubbar al-‘ulama Al-Azhar al-Syarif Mesir. Yaitu hifdzhu al-nufus, menjaga, merawat jiwa-raga manusia dari segala sesuatu yang mengkhawatirkan dan membahayakan. Bahkan hifdzhu al-nufus adalah maqashid syariat Islam yang paling agung yang harus diprioritaskan. Dan saat ini ada pendemi virus korona yang menurut ahli kesehatan, kedokteran, dan ahli virus, sebagai virus yang mudah menyebar dan menular. Karena itu, berkerumun harus dihindari untuk mencegah potensi terjadinya penyebaran virus korona.

Sehingga, ulama Al-Azhar dan bahkan ulama Kuwait pun berfatwa agar shalat di rumah, tidak berjamaah di masjid, dan meniadakan Jumatan dan menggantinya dengan shalat dzuhur di rumah demi menghindari berkerumun yang nantinya akan dikhawatirkan terjadinya penyebaran virus korona. Video adzan seorang muadzin di Timur Tengah yang menyelipkan kata-kata “shalluu fi rihalikum” (shalatlah kalian di rumah masing-masing) di dalam adzannya menjadi viral. Tentu saja ini hanya pada masa dharurat saja. Sehingga, segala jenis acara berkerumun dihindari demi menjaga jiwa-raga kita dari penyebaran virus korona.

Allah mengingatkan agar umat manusia berikhtiar. Tak terkecuali dalam menyikapi virus korona. Dalam firmannya;

إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (QS. Ar-Ra’du: 11)

Semua negara melakukan uzlah nasional–tak terkecuali Indonesia, pun sembari ikhtiar hidup sehat, makan sehat, dan olahraga. Menghindari kontak fisik. Salaman tidak dengan berjabat tangan; ada yang bersalaman dengan tabik menempelkan telapak tangan ke dada, ada yang salaman dengan berjabat atau beradu siku, ada yang dengan cara membungkukkan kepala, dan ada yang bersalaman dengan berjabat atau beradu kaki. Intinya adalah simbol penghormatan.

Seiring dengan para pakar kedokteran, obat-obatan, dan ahli virus terus melakukan kajian, dan penelitian mencari anti virus koronan. Sebab, kata Nabi, setiap penyakit pasti ada obatnya, kecuali pikun.

Ikhtiar sambil berdoa. Bersandar pada Allah yang mahamenciptakan hidup dan mati, sehat dan sakit. Berbagai doa dipanjatkan. Menengadahkan tangan seraya mengibah kepada Allah, memohon agar korona dihilangkan dari peradaban manusia. Nabi memanjatkan doa;

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْبَرَصِ وَالْجُنُونِ وَالْجُذَامِ وَمِنْ سَيِّئِ الأَسْقَامِ

“Ya Allah, aku mencari perlindungan kepadamu dari kusta, kegilaan, kaki gajah, dan penyakit jahat. (HR Abu Daud)

Umat manusia pasti bisa menemukan anti virus korona dan bangsa kita yang besar ini pasti bisa melewatinya dan kembali pada hidup normal.[]

 

Mukti Ali Qusyairi, ketua LBM PWNU DKI Jakarta

 

Gambar: Getty Images