Pos

Lewat Lenong, Remaja Cilincing Stop Kawin Anak

Dulu, remaja Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara menganggap kawin anak adalah hal biasa. Kini, tidak lagi. Mereka bahkan berkampanye mencegah pernikahan anak lewat seni pertunjukan lenong.

Aye nggak mau kawin, aye mau sekolah dulu,” tangis seorang remaja yang diperankan oleh Febi (17), anggota Teater Itaci saat melakukan pementasan di acara Hari Perempuan Internasional yang diadakan Komisi Perlindungan Anak, beberapa waktu lalu.

Ia memerankan siswi SMP yang mau dinikahkan orangtuanya. Penonton yang sebagian merupakan aktivis dan para aparatur pemerintahan di bidang HAM dan perlindungan perempuan dan anak-anak itu pun larut dalam guliran cerita. Alkisah, ayah Febi berutang pada seorang juragan di daerahnya dan tak mampu membayar. Febi pun di paksa menikah dengan juragan itu agar utangnya lunas, padahal dia masih duduk di bangku SMP.

Ini bukan kali pertama Teater Itaci tampil di acara bertemakan perempuan dan anak. Sebelumnya, mereka pernah tampil di Festival Lenong pada bulan Juli 2018. Dalam festival itu, para remaja dari Kalibaru, Cilincing, itu juga membawakan tema stop perkawinan anak.

Dalam situasi nyata, tokoh Febi merupakan satu dari sekian anak di Cilincing yang terancam dinikahkan di saat usia mereka masih di bawah umur. Berdasarkan data Susenas 2013 yang diolah Statistik Kesejahteraan Rakyat, anak perempuan di DKI Jakarta yang menikah di bawah usia 15 tahun mencapai 5,6%, sementara usia 16-18 tahun sebanyak 20,13% dan usia 19-24 tahun sebanyak 50,08%[1].  Hasil asesmen Achmat Hilmi, Program Officer Program Berdaya di Yayasan Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB), pada tahun 2017, tercatat ada 20 persen perempuan melahirkan di Puskesmas Kalibaru ketika masih berusia anak-anak (di bawah 18 tahun).

Kumuh Miskin

Kalibaru merupakan salah satu pemukiman padat di Jakarta. Masyarakat sering menyebutnya daerah kumis, kumuh miskin. Rumah-rumah petak di wilayah itu umumnya berukuran 3×5 meter, dan dihuni 5-8 orang. Sejatinya, lokasi itu diperuntukkan untuk lokasi industri, maka tidak heran jika banyak dari rumah-rumah yang dibangun di daerah tersebut tidak memiliki izin alias ilegal. Rumah-rumah yang dibangun semi permanen itu berdempetan dengan batas selokan dan jalan setapak sempit antara bangunan satu dan yang lain.

Masyarakat Kalibaru terdiri dari beragam suku seperti Betawi, Bugis, Banten, Jawa, Sunda dan Madura. Mata pencaharian kaum lelaki umumnya buruh pabrik, kuli bangunan, pedagang keliling/gerobak makanan, supir, kuli kayu, kenek, serta beberapa guru dan PNS. Tak sedikit pula yang bekerja serabutan atau menganggur.

Sementara mata pencaharian perempuan umumnya adalah buruh upahan harian, pekerja lepas untuk pabrik mainan dan makanan jajanan, warungan, buruh jahit konveksi, dan pekerjaan keterampilan seperti salon dan pemulung di wilayah-wilayah bekas gusuran.

 

Suasana Pasar Kalibaru

Suasana lingkungan Kalibaru

Suasana lingkungan Kalibaru

Penelitian tersebut juga mencatat faktor penyebab perkawinan anak di sana antara lain karena kehamilan yang tidak dikehendaki. Misalnya saja kasus Wiwin (bukan nama sebenarnya). Dia hamil saat berusia 16 tahun karena pergaulan bebas. Sebenarnya dia tak masalah jika menikah karena umurnya sudah 16 tahun dan itu tak melanggar hukum. Namun, yang menjadi masalah pacarnya juga masih berusia 16 tahun. Upaya menikah di KUA kandas dan pak kyai setempat pun menyarankan agar mereka menikah setelah anaknya lahir karena menurut dia, agama tidak membolehkan menikahkan perempuan yang sedang hamil.

Faktor lainnya adalah maraknya anak-anak putus sekolah yang beralih profesi menjadi buruh kasar, serta banyaknya masyarakat dan para tokoh formal dan non formal yang belum menyadari bahaya perkawinan bagi anak-anak perempuan di bawah umur.

Berdaya

Faktor-faktor itulah yang mendorong Rumah KitaB menetapkan Kalibaru sebagai lokasi program penelitian. Sejak tahun 2017, Rumah KitaB mengembangkan Program Berdaya; pemberdayaan para pihak untuk cegah kawin anak. Kegiatan ini didukung Bappenas yang bekerja sama dengan Department of Foreign Affairs and Trade (DFAT)- Australia Indonesia Partnership For Justice 2 (AIPJ2). Upaya cegah kawin anak ini diselenggarakan di tiga wilayah urban, yaitu Cilincing- Jakarta Utara, Cirebon dan  Makassar.

Pelatihan Berdaya Rumah KitaB untuk penguatan remaja di Kalibaru dilaksanakan selama tiga hari, Jum’at, 29 Juni 2018 sampai Minggu, 1 Juli 2018. Kegiatan berlangsung di Pendopo Gudang Kayu milik H. Abdul Karim, ketua RW 06.

Para peserta merupakan remaja warga Kelurahan Kalibaru, terdiri dari remaja aktif bersekolah dan remaja putus sekolah yang berisiko mengalami perkawinan anak. Jumlah peserta sebanyak 31 orang, 21 perempuan dan 10 laki-laki. Usia mereka berkisar antara 13-18 tahun. Semua peserta merupakan hasil seleksi ketat agar pasca pelatihan para remaja dapat terlibat dalam kampanye pencegahan kawin anak di Kelurahan Kalibaru.

Dengan permainan dan diskusi kelompok, para peserta diajak memahami perkawinan anak, permasalahannya dan bahayanya bagi perkembangan remaja. Mereka juga diminta memetakan para aktor pendorong maraknya perkawinan anak di Kalibaru. Sesi ini juga membantu peserta memahami lingkaran kehidupan dalam ruang sosial, baik interpersonal, komunitas dan hubungan imajinatif terkait struktur atau kebijakan.

Selain itu peserta diajak memahami peran laki-laki dan perempuan dalam sudut pandang biologis dan sosiologis, serta konsep dasar gender dan pengaruhnya dalam perkawinan anak beserta implikasinya yang berbeda di kalangan anak laki-laki dan anak perempuan.

Rupanya, pelatihan yang dilakukan Rumah KitaB tersebut cukup berdampak bagi para remaja. Andre (26), ketua Karang Taruna Kalibaru dan koordinator remaja mengungkapkan, dirinya terinspirasi dari pelatihan yang diadakan Rumah KitaB. Ia mengembangkan poin-poin yang didapat selama pelatihan menjadi sebuah naskah cerita dan kemudian dibuat pertunjukan lenong yang diperankan oleh komunitas Teater Itaci.

“Insya Allah kampanye stop kawin anak akan terus kita sosialisasikan lewat pertunjukan. Lenong kan sifatnya menghibur, jadi pesan pencegahan bisa sampai dengan gaya ringan,” kata Andre, yang juga Ketua Teater Itaci.

 

Dalam proses kreatifnya, Rumah KitaB berperan dalam mengembangkan komunitas Teater Itaci. Selain materi pelatihan, alat-alat pentas, dan perspektif pengetahuan, mereka juga mendapatkan wadah untuk mengekspresikan diri dengan diundang di acara-acara yang melibatkan Rumah KitaB dan AIPJ2. Bahkan Teater Itaci sekarang sedang mempersiapkan diri mengikuti Festival Teater Jakarta.

Andre (Tengah)

Agen Perubahan

Berubahnya pemahaman masyarakat, khususnya remaja, soal kawin anak terlihat dari hasil survei baseline dan endline, berupa pre test dan post test serta pelaksanaan-pelaksanaan inisiatif di tingkat komunitas.

Menurut hasil baseline,  responden di Kota Jakarta Utara adalah responden yang paling menerima praktik perkawinan anak dibandingkan Cirebon dan Makassar. Jika ditinjau dari status respondennya, di Kabupaten Cirebon dan Jakarta Utara, responden remaja  paling menerima perkawinan anak. Sedangkan di Kota Makassar,  orangtua lah yang paling menerima perkawinan anak.

Untuk tokoh formal dan non formal, sudah ada kesadaran yang cukup baik yang terlihat dari rendahnya skor indeks penerimaan perkawinan anak di ketiga kabupaten. Faktor pendidikan dan pendapatan juga terbukti cukup menentukan tingkat penerimaan responden terhadap perkawinan anak.[2]

Hasil endline belum bisa dimunculkan, karena masih ada kegiatan lanjutan berupa diskusi tentang rencana tindak lanjut kegiatan. Namun, dari situasi di lapangan bisa terlihat bahwa level pengetahuan remaja tentang indeks penerimaan kawin anak sudah berubah.

Jika pada awalnya mereka menerima perkawinan anak, sekarang mereka menolaknya, bahkan ikut mengampanyekan penolakan kawin anak lewat lenong. Para remaja itu kini telah menjadi agen perubahan. Dengan pengetahuan yang dimiliki, mereka berinisiatif menyebarkannya kepada sebayanya yang juga memiliki  kemungkinan terdampak praktik perkawinan anak.

Keberhasilan itu tampak dalam acara puncak Program Berdaya yang dilakukan Rumah KitaB pada tanggal 4 April 2019 yang bertajuk “RW 06 Kalibaru Menuju RW Layak Anak”. Acara yang dihadiri oleh perwakilan dari tingkat RT/RW, Kelurahan, Walikota, Dinas-Dinas, sampai Kementerian itu merupakan wujud kesepakatan warga dan remaja Kalibaru untuk menjadi RW layak anak, dan secara khusus menolak kawin anak.

Acara hari itu di selenggarakan persis di mulut gang yang dulu dikenal dengan nama “gang sempit”. Gang sempit  berada di dekat pelabuhan bongkar muat dan pelelangan ikan dan pernah dikenal sebagai daerah prostitusi kelas teri. Kini, berkat persuasi dari banyak pihak, wilayah itu telah menjadi hunian keluarga dan bukan lagi lokalisasi.

Sejak hari itu, “Gang Sempit” diubah Namanya menjadi “Gang Berkah”. Babak baru dalam kehidupan warga Kalibaru itu dimeriahkan oleh penampilan Teater Itaci yang membawakan tema stop kawin anak. Di bawah tenda merah putih, lebih dari 500 warga tumpah ruah ikut riuh menyaksikan penampilan lenong.

Dengan kemasan yang ringan dan menghibur, lenong berhasil menjembatani problema masyarakat. Memang, perubahan itu baru terjadi di sebuah kelurahan, di pesisir utara kota Jakarta. Namun, bukankah sebuah perubahan besar kerap dimulai dari perubahan kecil? [Seto]

[1] http://kajiangender.pps.ui.ac.id/wp-content/uploads/2016/04/Hari-1-sesi-1-Razali-Ritonga.pdf,

[2] Laporan Baseline AIPJ2 Rumah KitaB kuantitatif

Remaja Kalibaru saat pelatihan

Remaja Kalibaru saat main lenong

Gang Berkah

 

Merebut Tafsir: Meluaskan Ruang Jumpa

Oleh Lies Marcoes

Kamis, 4 April 2019,  Rumah KitaB menyelenggarakan acara RW Layak Anak di Kelurahan Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara. Ini menandai berakhirnya program pendampingan secara “formal” sesuai durasi program pencegahan kawin anak ” BERDAYA” di wilayah urban Jakarta. (Dua wilayah lain di Cirebon dan kota Makassar).
Program BERDAYA tak jatuh dari langit yang tanpa data. Program ini berangkat dari riset RK 2014-2015 bahwa kawin anak di perkotaan merupakan limpahan krisis ekonomi akibat perubahan ekologi dan hilangnya kuasa rakyat atas (kelola dan kepemilikan) tanah di perdesaan. Jadi, selain berdampak langsung di tempat/ di desa dan kepada warga desa, perubahan ruang hidup, politik agraria yang menyempitkan akses dan kuasa warga atas tanah di perdesaan, juga membuncah dan merembes ke kota. Banyak orang tua yang tak lagi sanggup bertahan di desa mencoba peruntungan nasib di kota. Mereka memboyong keluarga berikut anak-anak dan tinggal di wilayah pinggiran, tersembunyi di lipatan-lipatan gedung tinggi dan gemerlap kota. Salah satu wilayah lemparan kegagalan di desa itu adalah Jakarta Utara.

Acara hari ini di selenggarakan persis di mulut gang yang dulu dikenal dengan nama “gang sempit” dekat “gang macan”. Gang sempit terletak sepelemparan batu dari pelabuhan bongkar muat dan pelelangan ikan. Gang sempit pernah dikenal sebagai daerah prostitusi kelas teri, tempat para lelaki pekerja dan anak buah kapal antar pulau membuang hajat birahinya.

Kini, dengan usaha persuasi dari banyak pihak, wilayah itu telah menjadi hunian keluarga daripada lokalisasi. Hari itu, Kamis, 4 April 2019, gang itu akan mengubah peta DKI dengan perubahan nama dari nama “Gang Sempit” menjadi “Gang Berkah”. Meskipun bernuansa agama, saya tak mencium aroma “Islamisasi” sebagai cara untuk menekan wilayah prostitusi itu melainkan adanya kehendak warga, tokoh masyarakat, orang tua terutama ibu, pemerintah dan lembaga-lembaga penghubung antara pemerintah dan warga termasuk RT RW untuk membuat wilayah itu aman bagi tumbuh kembang anak. Mereka telah menentukan pilihan bagi lingkungannya yaitu pilihan untuk membebaskan anak-anak mereka dari praktik-praktik yang mengancam masa depannya yaitu perkawinan “terpaksa” dan narkoba.

Pendampingan selama dua tahun intensif tiap minggu dengan melakukan pengorganisasian yang tidak datang dari ruang hampa melainkan berdasakan pemetaan potensi untuk berubah adalah kunci.
Secara sosiologis ini adalah wilayah yang benar-benar bineka menampakkan wajah Indonesia sejati. Segala suku bisa ditemukan di sini dengan gembolan budayanya masing-masing. Lapangan pekerjaan informal paling mendominasi mengingat latar belakang pendidikan bawaan dari kampung halaman. Demikian juga segala aliran dan organisasai keagamaan ada disini. Di sini pula segala lambang partai berbaris berjejer di tepi jalan sempit penguji kesabaran berlalu lintas agar tetap bisa melaju bersaing dengan meja-meja penjual panganan atau kandang burung dan macam-macam gerobak dorong. Beberapa gambar habib tertempel di rumah-rumah melebihi gambar simbol-simbol negara. Namun hal yang tak ditemukan cukup kuat adalah ruang bersama tanpa sekat. Sekat-sekat labirin yang gampang memunculkan gesekan akibat keragaman itu membutuhkan ruang jumpa.

Strategi Rumah KitaB adalah memperkuat “engagement”, menciptakan ruang perjumpaan yang lebih luas tempat di mana macam-macam orang bisa bertemu. Pertemuan-pertemuan informal dilakukan tanpa mengganggu ruang yang telah ada. Kami “menghindari” pemanfaatan ruang sosial komunitas yang secara nyata telah menciptakan sekat dengan sendirinya seperti majelis taklim. Meski itu juga di ‘masuki’ namun itu tak diutamakan. Hal yang dilakukan dalam kaitannya dengan ruang jumpa internal agama (Islam) adalah mempertemukan tokoh-tokohnya dengan latar belakang NU, Muhammadiyah dan ormas lain untuk berjumpa di isu pencegahan kawin anak.

Ruang jumpa lain ditemukan dalam kegiatan remaja berupa seni tradisional Lenong. Seni drama tradisional yang interaktif antara pemain dan penonton ini, secara simbolik membaurkan sekat-sekat warga. Upaya pencegahan perkawinan anak menemukan bentuk engagement itu di sana.

Siang itu, selain pertunjukan Lenong, disajikan tarian Ronggeng/Cokek Betawi yang syarat simbol percampuran budaya Cina, Betawi, Arab, Bali dan Sunda. Tari Cokek itu menjadi perekat yang kuat yang secara simbolis menggambarkan keragaman itu. Hal yang saya suka, tarian itu tak mereka ubah untuk “tunduk” pada ketentuan yang kini menjangkiti tiap ‘performance” yang berupaya memodifikasi pertunjukkan itu agar tampak lebih santun atau bermoral. Tarian cokek ya cokek, gerakannya bebas, lembut sekaligus bertenaga, sensual tapi tak vulgar.

Hari itu, di bawah tenda merah putih, lebih dari 500 warga tumpah ruah ikut tergelak-gelak menyaksikan drama lenong yang memvisualisasikan pengalaman setempat bagaimana perkawinan anak terjadi dan cara memutus rantai kawin anak itu. Pesannya adalah pelibatan dan kepedulian para pihak dengan menciptakan ruang jumpa. Sebuah ruang imajinasi yang dapat mendesak sekat- sekat pemisahnya yang mematikan sikap peduli dan membangun kepedulian dengan cara baca baru- kawin anak bukan hal yang wajar, karenanya perlu ditawar/dinegosiasikan.[]

 

 

Lenong ITACI (Insani Teater Cilincing) Meriahkan Seminar Hari Perempuan Internasional KPAI

Dengan koordinasi dari Ahmad Hilmi (Rumah KitaB) dan Andre (Ketua Teater Itaci), kelompok Lenong Itaci tampil dengan mengangkat tema kawin anak di acara Seminar Dalam Rangka Hari Perempuan Internasional yang diadakan KPAI. Seminar bertajuk “Memaknai Putusan Mahkamah Konstitusi dan Sinergitas dalam Pencegahan Perkawinan Anak” tersebut di selenggarakan di Hotel Aryaduta, Jakarta, 12 Maret 2019.

Kelompok Lenong Remaja amatir ITACI ini adalah kelompok  kesenian budaya Betawi  yang menyerap manfaat dari keterlibatan sejumlah remaja dalam pelatihan pencegahan kawin anak.

Sejak tahun 2017, Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB) mengembangkan Program BERDAYA; pemberdayaan para pihak untuk cegah kawin anak. Kegiatan ini didukung Bappenas atas kerjasama dengan DFAT- AIPJ2. Upaya cegah kawin anak ini diselenggarakan di tiga wilayah urban; Cilincing- Jakarta Utara, Cirebon dan  Makassar. Didasarkan pada tiga tahun kajian/penelitian sebelumnya, Rumah KitaB melakukan pendampingan dengan pendekatan berbeda-beda kepada Tokoh Formal dan Non-formal, Orang Tua dan Remaja.

Kesenian Lenong ini merupakan media untuk sosialisasi cegah kawin anak. Kelompok Seni Lenong ini dipimpin Andriantono dan beranggotakan lebih dari 80 remaja dari Kecamatan Cilincing.

Kelompok seni Lenong ini juga media paling cocok untuk mengembangkan inklusivitas warga. Kelurahan Kalibaru Cilincing adalah wilayah urban yang multi kultur: hampir semuanya pendatang dengan latar belakang budaya yang mereka bawa dari kampungnya masing-masing. Seni drama Lenong menjadi wahana untuk membangun kebersamaan tanpa sekat perbedaan. Lebih dari itu, seni ini mempersatukan dua kecenderungan orang tua yang berbeda dalam menghadapi kaum remaja: membiarkan remaja tanpa pendamingan, atau mengekangnya terutama anak perempuan dan menyegerakan kawin. Seni  pertunjukkan Lenong telah membuka ruang bagi kedua pihak, bagi warga dengan latar belakang yang beragam untuk bertemu dan membahas isu yang mereka hadapi, termasuk kawin anak.

 

Sinopsis Lenong ITACI “Stop Kawin Anak”

Bokir berhutang untuk modal kepada seorang rentenir. Saat tiba waktunya untuk membayar, Bokir tidak punya uang karena modalnya habis untuk memperbaiki motor rusak yang ia pakai untuk usaha ngojek. Anak perempuannya diminta untuk berbakti kepada orang tua dengan memenuhi permintaan orang tuanya untuk menikah dengan sang rentenir yang telah beristri dua dan sudah tua. Padahal anak perempuannya pintar dan berprestasi.  Bagaimanakah mereka menghadapi persoalan ini?

Video lenong bisa di cek di link di bawah ini:

Sutradara            : Andre Bewok

Pemain                : Komar Jakun, Andre Bewok, Gilang Saputra, Ryan Meilinda, Muhammad Rizki, Adi Siswanto, Febiana, Lina, Jessy, Aditya, Dina, Septy, Dwi Ayu, dan Triana.

Penanggung jawab musik : Gilang Saputra

Properti : Muhammad Rizki

Kontak Lenong ITACI: 089696664186 (Komar Jakun), 081296544002 (Hilmi)

Kegiatan Kreasi Kerang Hijau untuk Kampanye Pencegahan Perkawinan Anak di Kalibaru

Rumah Kita Bersama memberikan pendampingan kepada TIM Remaja Cegah KANAK (Kelompok Remaja Alumni Pelatihan Berdaya Rumah KitaB dan AIPJ2 2018) di Kalibaru, melalui kegiatan kreasi Kerang Hijau untuk Kampanye Pencegahan Perkawinan Anak di Kalibaru, pada hari Minggu, 23 September 2018, berlokasi di Pendopo Pak Haji Abdul Karim-Ketua RW 06 Kelurahan Kalibaru. Kegiatan ini melibatkan 27 orang remaja yang belum ikut pelatihan BERDAYA Rumah Kita Bersama-AIPJ2, berasal dari 6 RW di kelurahan Kalibaru.

Panitia kegiatan ini di antaranya, Robby, Wahyu, Kadmi, Andri, dan Jumadi, mereka didampingi oleh Hilmi dari Rumah Kita Bersama didukung oleh Ketua RW 06 kelurahan Kalibaru. Robby, remaja yang sudah dua tahun putus sekolah, mengetuai kegiatan ini. Robby menuturkan bahwa dirinya sangat bangga mampu menyelenggarakan kegiatan ini melibatkan partisipasi banyak remaja di Kelurahan Kalibaru untuk membangun pengetahuan pentingnya pencegahan perkawinan anak yang saat ini marak di Kalibaru.

Tujuan dari kegiatan ini adalah berubahnya pengetahuan para remaja dari tidak tahu menjadi tahu tentang bahaya perkawinan anak. Bahkan, remaja bernama Nuni, sangat antusias dan berkomitmen untuk menyebarkan pengetahuan ini kepada lingkungan sekitarnya, terutama teman-teman sebaya.

Kegiatan ini menghasilkan 5 buah karya remaja Kalibaru, sebuah kreasi seni untuk kampanye pencegahan perkawinan anak di Kalibaru. Kelima hasil kerajinan ini akan dipamerkan di sekolah-sekolah saat momen kampanye pencegahan perkawinan anak berikutnya, dan juga akan dipamerkan di kelurahan Kalibaru untuk kegiatan sosialisasi pencegahan perkawinan anak yang akan dilaksanakan oleh gabungan para tokoh formal dan non formal, orang tua dan remaja.

Ketua TIM Cegah Kanak, Robby, sudah 2 tahun dia putus sekolah, berkat kegiatan yang diselenggarakannya ini dia berkomitmen untuk berusaha lanjut sekolah meski orang tuanya tidak mampu, dia sedang mencari peluang untuk mengejar paket C, agar dirinya bisa mendapat pekerjaan untuk mendapatkan biaya kuliah. [Hilmi]

 

ITACI SATUKAN REMAJA CILINCING CEGAH KAWIN ANAK

Andriantono atau biasa disapa Andre adalah salah satu penerima manfaat dari program BERDAYA untuk remaja di Cilincing yang berhasil mengangkat isu cegah kawin anak ke dalam seni pertunjukan lenong. Meminati lenong sejak muda, Andre melihat materi pelatihan pencegahan kawin anak sebagai materi yang cocok diceritakan kembali dalam bentuk sandiwara khas Betawi itu. 

Kali pertama Andre berakting di teater pada 2010. Ia mengenang, ketika itu  teman-temannya  di RW 06, Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara heran atas pilihannya yang dianggap sudah ketinggalan zaman.

Andre, yang saat itu masih duduk di Sekolah Teknik Menengah (STM), memang menggemari seni peran. Di luar sekolah, Andre sering ikut kegiatan yang diselenggarakan beberapa lembaga swadaya masyarakat untuk seni pertunjukkan dan teater, salah satunya dengan World Vision, beberapa tahun silam, dalam rangka Hari Anak dan Kampanye Hak Anak. Rupanya ia begitu terpikat pada dunia seni dan pertunjukkan, termasuk lenong.

Hobi menggeluti dunia seni peran itu tidak terhalang meski kini ia bekerja penuh waktu sebagai petugas keamanan di pelabuhan Tanjung Priok-Cilincing. Ia rutin melatih sepuluh anak muda yang tergabung dalam kelompok kecil yang menjadi bagian dari jaringan ITACI (Ikatan Teater Cilincing).  Ia ditemani Jumadi yang sehari-hari bekerja sebagai petugas bongkar pasang tenda acara. Sebagaimana Andre, Jumadi bergabung dalam seni peran karena kecintaannya pada musik.

Menarik minat anak muda dalam kegiatan seni di RW 06 bukan perkara gampang. “Kebanyakan mereka kehilangan minat pada kegiatan seni karena lebih suka nongkrong, main medsos, atau ikut dalam geng-geng sepakbola,”  demikian Andre menjelaskan betapa sulitnya mengajak remaja aktif dalam dunia seni.

Senada dengan Andre, Jumadi melihat bahwa sebetulnya remaja setempat membutuhkan kegiatan positif. “Waktu bulan puasa kemarin banyak remaja keliling dalam rombongan sahur. Tapi ujung-ujungnya, malah  hampir tawuran,” tambahnya.

Pergaulan remaja yang berujung pada kawin anak juga bukan hal yang asing bagi Andre, Jumadi, dan warga Kalibaru. Himpitan ekonomi dan rasa tidak nyaman berkomunikasi dengan orang tua, mendorong sebagian remaja menghabiskan waktu dengan kawan sebaya namun tanpa bimbingan. Hadirnya medsos juga mempengaruhi interaksi mereka. “Beberapa teman yang nikah muda tidak selalu dengan orang dari kampung sini. Ada juga yang kenalan dengan orang dari luar [Kalibaru] lewat Facebook atau chatting,” ujar Andre.

Berdasarkan data Susenas 2013 yang diolah Statistik Kesejahteraan Rakyat, anak perempuan di DKI Jakarta yang menikah di bawah usia 15 tahun sebanyak 5,6%, usia 16-18 tahun sebanyak 20,13% dan usia 19-24 tahun sebanyak 50,08%.[1]  Dengan jumlah penduduk yang padat jumlah pelaku kawin anak di DKI lumayan banyak.

Hasil asesmen Achmat Hilmi, Program Officer Berdaya Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB) di Kalibaru tercatat, tahun 2017, sebanyak 20 persen perempuan melahirkan di Puskesmas Kalibaru ketika berusia anak-anak (di bawah 18 tahun). Asesmen tersebut, juga mencatat faktor penyebab perkawinan anak di sana antara lain karena kehamilan tidak dikehendaki, orang tua khawatir anaknya hamil duluan, budaya/tradisi sebagian masyarakat dari kampung halamannya seperti Sulawesi Selatan, Riau, dan Jawa Barat, yang menikahkan anak di bawah umur, maraknya anak-anak putus sekolah yang beralih profesi menjadi buruh kasar, serta banyaknya masyarakat dan para tokoh formal dan non formal yang belum menyadari bahaya perkawinan anak terhadap anak-anak perempuan.

Kesempatan bagi Andre untuk memahami isu kawin anak berawal ketika Bapak Haji Karim, Ketua RW 06 Kelurahan Kalibaru memintanya untuk mengajak dan mendampingi beberapa remaja mengikuti pelatihan pencegahan kawin anak bagi remaja di Kalibaru yang diselenggarakan oleh Rumah KitaB pada 29 Juni – 1 Juli 2018. Pelatihan ini adalah rangkaian dari pelatihan pencegahan kawin anak di tiga wilayah – Cilincing, Makassar, dan Cirebon bagi remaja, orang tua, serta tokoh formal dan non-formal serta didukung oleh Australia Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2).

Tidak lama usai pelatihan, Komar, pembina Ikatan Teater Cilincing (ITACI), mengajaknya berpartisipasi dalam kompetisi Festival Lenong yang diselenggarakan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta. “Saya usulkan ke teman-teman, kenapa kita tidak coba menampilkan tema kawin anak? Festival ini juga untuk memperingati Hari Jadi Kota Jakarta yang diperingati setiap tahunnya sekaligus menyambut  datangnya hari anak nasional”. Acara  diselenggarakan pada 16-20 Juli 2018 atau tepat dua minggu setelah pelatihan pencegahan perkawinan anak khusus remaja di Kalibaru. Lenong kan sifatnya menghibur, jadi pesan pencegahan bisa sampai dengan gaya ringan”,  ucap Andre mengenai strateginya sosialisasi “Cegah Kawin Anak” melalui lenong.

Andre dan Komar kemudian menulis skenario serta melatih sekitar 10 remaja sebagai pemeran lenong. Mengangkat tema perjodohan seorang anak perempuan di sebuah keluarga di Cilincing, skenario itu banyak menyelipkan fragmen sehari-hari antar kawan, orang tua dan tokoh masyarakat. “Misalnya, ada karakter seorang anak perempuan yang baru lulus SMP dan menyampaikan keinginannya untuk buru-buru nikah. Karena memang seperti itu obrolan anak-anak Kalibaru,” tambahnya.

“Selain resiko kawin anak, kami juga menyampaikan pesan bahwa sebagai anak, kita bisa mengemukakan pandangan yang berbeda dari orang tua tanpa melakukan pemberontakan. Tentu saja alasan kita adalah untuk kebaikan, bukan sekedar tidak mau nurut dengan orang tua,” jelas Andre.  Meskipun tidak menang kompetisi, ITACI dan Festival Lenong telah menyatukan remaja-remaja Cilincing untuk terus berkreasi dan menyebarkan pesan cegah kawin anak.

Bersama Program BERDAYA, Andre dan kawan-kawan yang tergabung dalam teater kecil di RW 06 serta ITACI, akan mengisi berbagai kegiatan advokasi pencegahan kawin anak. Di antaranya melalui kegiatan lenong dan sanggar tari, penyuluhan remaja-remaja Kalibaru tentang pengenalan bahaya dan risiko kawin anak di sekolah-sekolah dan di pos-pos RW untuk remaja putus sekolah. Mereka tengah menggagas kampanye kreatif dengan memasang berbagai gambar kreatif bertema bahaya kawin anak di berbagai pusat kegiatan remaja termasuk di lokasi remaja berkumpul. [Hilmi/Mira]

Andre (tengah) saat acara festival lenong di Jakarta

[1] http://kajiangender.pps.ui.ac.id/wp-content/uploads/2016/04/Hari-1-sesi-1-Razali-Ritonga.pdf, diakses tanggal 27 Agustus 2018

GALERI FOTO BERDAYA: TRAINING PENGUATAN KAPASITAS ORANG TUA DALAM PENCEGAHAN KAWIN ANAK, CILINCING 10-12 AGUSTUS 2018

GALERI FOTO BERDAYA: TRAINING PENGUATAN KAPASITAS TOKOH FORMAL DAN NON FORMAL DALAM PENCEGAHAN KAWIN ANAK, CILINCING 7-9 AGUSTUS 2018

 

Remaja Program BERDAYA Cilincing, Jakarta Utara Kampanyekan Cegah Kawin Anak Lewat Lenong

Kabar baik dan menarik datang dari remaja Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara. Para remaja yang bulan lalu (Juni 2018) mendapatkan Training Penguatan Kapasitas Remaja dalam Pencegahan Kawin Anak oleh Program BERDAYA Rumah KitaB baru saja mengadakan pertunjukan lenong di Gedung Kesenian Jakarta. Acara tersebut merupakan acara kerjasama dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta yang bertajuk Festival Lenong: Oplet Robet ke 7 dan berlangsung tanggal 16 – 20 Juli 2018.

Dalam festival itu, remaja Kalibaru, Cilincing membawakan tema stop perkawinan anak. Momen tersebut pas karena juga untuk memperingati Hari Anak Nasional yang jatuh tanggal 23 Juli 2018. Andri, ketua karang taruna Kalibaru dan koordinator remaja tersebut mengungkapkan ia terinspirasi dari pelatihan yang diadakan Rumah KitaB atas dukungan AIPJ2 bulan lalu. Ia mengembangkan poin-poin yang didapat selama training menjadi sebuah naskah cerita dan dibuat pertunjukan. “Insya allah kampanye stop kawin anak akan terus kita sosialisasikan lewat pertunjukan”, tegasnya. Lebih lanjut, ia juga mengatakan bahwa akan ada pertunjukan lagi di bulan Agustus yang mana momen tersebut akan dimanfaatkan lagi untuk kampanye stop kawin anak. Andri juga mengungkapkan rasa terima kasihnya atas kegiatan training yang dilakukan Rumah kitaB karena dari hasil pelatihan itu ia mendapat inspirasi untuk membuat suatu cerita dan dapat dipertunjukkan.

Kegiatan sosialisasi tentang pencegahan perkawinan anak melalui seni teater yang dilakukan atas inisiatif Andri dan remaja di Kalibaru ini merupakan salah satu hasil nyata dari kegiatan penguatan kapasitas bagi remaja tentang kawin anak yang dilakukan Rumah KitaB melalui pelatihan. Ini menjadi salah satu kegiatan yang efektif untuk membantu meningkatkan kesadaran dan pengetahuan remaja tentang tema pencegahan perkawinan anak. Oleh karenanya, kegiatan pelatihan masih menjadi satu kegiatan penting yang dibutuhkan dalam kerja-kerja pencegahan kawin anak yang dilaksanakan Rumah KitaB ke depan. Untuk meningkatkan efektivitasnya, Rumah KitaB juga akan melengkapinya dengan kegiatan paska pelatihan berupa pendampingan lebih lanjut kepada kelompok remaja di dalam kegiatan-kegiatan mereka. Dengan pendampingan lanjutan ini, semoga lebih banyak lagi aksi-aksi dari Andri dan teman-temannya dalam sosialisasi dan penyadaran tentang pencegahan perkawinan anak di Kalibaru maupun di Jakarta dan sekitarnya.

Selamat dan sukses selalu untuk Andri dan teman-teman Kalibaru! [Seto/Yooke]

Andri (tengah) bersama remaja Kalibaru

 

 

 

Laporan Kegiatan Training BERDAYA: Penguatan Kapasitas Remaja dalam Pencegahan Kawin Anak di Cilincing, Jakarta Utara

Hari Pertama, Jumat, 29 Juni 2018

Pelatihan BERDAYA Rumah KitaB untuk penguatan remaja di Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara dilaksanakan selama tiga hari, Jum’at, 29 Juni 2018 sampai Minggu, 1 Juli 2018. Kegiatan berlangsung di Pendopo Gudang Kayu H. Abdul Karim, ketua RW 06, Jl Kalibaru Barat RT002/RW006, No. 81, Kelurahan Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara.

Para peserta adalah remaja warga Kelurahan Kalibaru, terdiri dari remaja aktif bersekolah dan remaja putus sekolah yang berisiko perkawinan anak. Jumlah peserta sebanyak 31 orang, 21 perempuan dan 10 laki-laki. Secara kategori pendidikan, 6 di antaranya adalah pelajar SMK dari berbagai sekolah, 17 remaja SMP, dan 8 remaja tidak bersekolah. Usia mereka berkisar antara 13-18 tahun. Semua peserta merupakan hasil seleksi ketat agar paska pelatihan para remaja dapat menjadi agen pencegahan kawin anak di Kelurahan Kalibaru.

Hari pertama pelatihan dimulai jam 10.00 WIB dan berakhir jam 16.00 WIB. Acara dibuka oleh PO program, Yooke Damopolii, dengan sambutan dukungan dari pihak kelurahan, LMK RW 006, Kelurahan Kalibaru, serta dari AIPJ2.
Kegiatan pelatihan ini sangat penting untuk remaja Kalibaru, terlebih karena kegiatan pelatihan yang memfokuskan pada pencegahan perkawinan anak baru pertama kali diadakan di Kalibaru. Ditegaskan bahwa jumlah peserta kawin anak terus tumbuh, seiring pertumbuhan angka perceraian yang menyertakan partisipasi pasangan berusia remaja antara 15-18 tahun.

Lurah Kalibaru sangat mendukung kegiatan pelatihan BERDAYA karena kegiatan ini membantu remaja Kalibaru memahami masalah dan bahaya perkawinan anak. Fenomena kawin anak sangat banyak di Kalibaru, anak-anak perempuan dalam berbagai kasus perkawinan anak selalu menerima dampak langsung dan lebih besar ketimbang korban kawin anak dari pihak remaja laki-laki. Berbagai kasus perceraian yang melibatkan remaja menjadi fenomena lumrah. Ia menekankan hal ini didorong oleh pemahaman tentang peluang dispensasi nikah dan pemahaman keagamaan yang membolehkan perkawinan anak melalui nikah sirri.

Hilmi lalu menjelaskan tentang Rumah KitaB dan program BERDAYA, pentingnya pelaksanaan pelatihan remaja di Kalibaru Cilincing, Jakarta Utara, serta menyampaikan ucapan terima kasih kepada berbagai pihak di Kalibaru yang telah mendukung terselenggaranya pelatihan BERDAYA khusus remaja.

 

Acara juga dihadiri oleh Sarah dan Georgia, perwakilan dari AIPJ2. Mereka mengungkapkan kegembiraannya atas dimulainya pelatihan BERDAYA khusus remaja di Kalibaru, dan mengucapkan terima kasih kepada para pengurus RW, Kelurahan atas dukungannya, dan para peserta atas kesediannya mengikuti pelatihan.

Untuk mencairkan suasana sebelum pelatihan, peserta diajak berkenalan dengan media permainan “Kapal Pecah”. Mereka melakukan perkenalan dengan anggota sekocinya masing-masing.

Acara dilanjutkan dengan kegiatan Pre test dan Baseline Survey yang dipandu oleh Yooke. Pemberian materi diawali dengan “Data dan Fakta Perkawinan Anak” dipandu oleh Yooke. Sesi ini merupakan pengenalan kepada definisi anak, hak-hak anak, dan fenomena perkawinan anak di Indonesia dan Jakarta Utara, khususnya Kalibaru. Sesi ini juga diselingi permainan dan diskusi kelompok, untuk mempermudah peserta dalam memahami perkawinan anak, masalahnya dan bahayanya bagi perkembangan remaja.

Kendala dalam sesi ini adalah peserta membutuhkan waktu yang lama untuk memahami pembahasan dan menyerap materi sesi ini sehingga hari pertama hanya memungkinkan untuk pencapaian satu materi saja.

 

Hari Kedua, Sabtu, 30 Juni 2018

Hari Sabtu dan Minggu merupakan hari libur para peserta pasca pengambilan raport. Semula tim BERDAYA Jakarta Utara cukup khawatir akan kehadirkan peserta. Namun ternyata kekhawatiran itu tak beralasan. Semua peserta kembali hadir dan hanya berkurang 2 peserta dengan alasan membantu orang tua berjualan. Karenanya di hari kedua jumlah peserta menjadi 29 anak.

Sesi pagi hari kedua diisi dengan review materi di hari pertama tentang data dan fakta perkawinan anak. Sesi yang dipandu oleh PO program, Yooke, ini bukan hanya membantu peserta mereview materi di hari pertama, namun juga mendalami pemahaman mereka tentang data dan fakta perkawinan anak di Kalibaru.
Sesuai alur kurikulum, dalam sesi berikutnya peserta diajak untuk memetakan aktor-aktor di wilayah mereka yang dapat mereka identifikasi sebagai pihak yang berpengaruh dalam perkawinan anak”. Sesi ini dipandu oleh PO program wilayah Cilincing, Achmat Hilmi.

 

Tujuan sesi ini adalah membantu peserta memetakan para aktor-aktor pendorong maraknya perkawinan anak di Kalibaru. Sesi ini juga membantu peserta memahami lingkaran kehidupan dalam ruang sosial, baik interpersonal, komunitas dan hubungan imajinatif terkait struktur atau kebijakan.

Sesi berikutnya adalah mengenalkan secara sederhana tentang “Analisis Sosial dan Gender dalam Perkawinan Anak” yang kembali dipandu oleh Yooke. Sesi ini membantu peserta memahami peran laki-laki dan perempuan dalam sudut pandang biologis dan sosiologis. Sesi ini mengajak peserta memahami konsep dasar gender dan konstruksi gender dan pengaruhnya dalam perkawinan anak dengan implikasinya yang berbeda di kalangan anak laki-laki dan anak perempuan.

Setelah istirahat, peserta diajak memahami sebab dan akibat perkawinan anak dipandu oleh Yooke. Mengingat stamina peserta yang menurun, fasilitator mengubah strategi dengan mengajak mereka bekerja dalam kelompok. Peserta di bagi ke dalam 5 kelompok, lalu setiap kelompok diberikan lembaran cerita kasus perkawinan anak dengan sebab dan akibat yang berbeda satu sama lain. Melalui cara itu setiap kelompok dapat mengidentifikasi penyebab dan akibat yang ditimbulkan oleh perkawinan anak. Setiap kelompok ditugaskan mendiskusikan cerita-kasus masing-masing, lalu mempresentasikan dan memberi tanggapan.

 

 

Sesi hari kedua diakhiri dengan materi pendalam soal “Dampak Perkawinan Anak”, yang dipandu oleh Achmat Hilmi. Para peserta diminta untuk mendalami studi kasus yang telah disediakan yaitu cerita Aminah yang meninggal akibat hukuman rajam. Sesi ini memperagakan permainan jaring laba-laba, untuk memperlihatkan jaringan-jaringan persoalan yang menjerat Aminah hingga ia menemui ajalnya. Dalam evaluasi hari kedua peserta mengungkapkan bahwa dengan permainan jaring laba-laba mereka sangat mudah memahami bagaimana besarnya dampak perkawinan anak terhadap anak-anak dan remaja, terutama anak perempuan.

 

Hari Ketiga, Minggu, 1 Juli 2018

Pelatihan hari ketiga dibuka oleh Yooke dengan mengapresiasi peserta karena dapat bertahan mengikuti training hingga hari terakhir. Setelah games untuk menghidupkan suasana, peserta diajak untuk mereview hari kedua yang dipandu Achmat Hilmi.

Review dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah review “Aktor Perkawinan Anak”. Gambar besar tiga lapisan lingkaran kehidupan; lingkaran interpersonal, lingkaran komunitas, dan lingkaran struktural ditempelkan di dinding bagian depan ruang pelatihan. Hilmi membagikan sticky notes warna warni dan spidol dan meminta para peserta menuliskan satu kata; orang, atau pihak, atau kelompok yang berprofesi/berposisi sebagai aktor perkawinan anak di Kalibaru. Para peserta pun menempelkan lembaran sticky notes warna warni itu di setiap lingkaran kehidupan, dan perwakilan peserta menjelaskan para aktor di dalam ketiga lingkaran tersebut.

 

Review tahap kedua adalah “Penyebab dan Dampak Perkawinan Anak”. Gambar pohon besar menggambarkan pohon masalah dengan akar sebagai sebab-sebab perkawinan anak, batangnya sebagai perkawinan anak dan buah-buahnya menggambarkan dampak perkawinan anak. Gambar pohon besar direkatkan di dinding bagian depan ruang pelatihan menindih gambar sebelumnya. Hilmi kembali membagikan sticky notes warna warni masing-masing peserta mendapatkan 2 sticky notes dan spidol dan meminta peserta menuliskan dua kata yang bisa diletakkan di bagian akar yang menggambarkan sebab-sebab perkawinan anak dan buah yang menggambarkan dampak perkawinan anak.

 

Acara dilanjutkan dengan materi tentang memahami kerentanan dalam perkawinan anak dan menggali solusi. Sesi ini mengajak peserta berdiskusi di dalam kelompok. Melalui visualisasi gambar dua buah bukit yang di tengahnya terdapat jurang yang menganga, peserta diajak untuk memikirkan jembatan yang dapat menghubungkan antara bukit satu dan dua. Di bukit yang satu terdapat gambar anak perempuan berusia 12 tahun, dan dibukit seberangnya terdapat remaja 18 tahun. Setiap kelompok mendiskusikan fenomena kerentanan kehidupan remaja berusia antara 12 hingga 18 tahun dan bahaya-bahaya yang mengintai remaja, dan mendiskusikan solusi yang digambarkan dalam bentuk jembatan untuk mendukung remaja agar terhindar dari perkawinan anak. Setelah itu setiap kelompok mmpresentasikan hasil diskusi kelompoknya.

Setelah istirahat siang peserta diajak untuk mendalami materi negosiasi yang dipandu oleh Yooke.
Sesi ini dimulai dengan permainan. Peserta dibagi menjadi dua kelompok, kedua kelompok dalam posisi berdiri berhadap-hadapan untuk mengikuti permainan “Strategi Tarik Menarik Anggota dari kelompok lain”. Setiap kelompok mendiskusikan strategi mereka masing-masing untuk menarik simpati anggota kelompok lain. Mekanisme permainan berubah sesuai usulan peserta. Perundingan dilakukan oleh tiap kelompok dan dilanjutkan dengan berunding antar kelompok. Bagi kelompok yang kalah maka salah satu anggotanya direbut oleh kelompok pemenang, begitu seterusnya, hingga 4 kali putaran negosiasi dan penentuan kelompok pemenang.

Setelah praktik negosiasi dalam permainan, Yooke lalu menjelaskan tentang definisi, model-model negosiasi, dan fungsi negosiasi dalam mencegah perkawinan anak. Setelah itu Yooke mengajak peserta praktik bermain peran memerankan contoh negosiasi dalam mencegah perkawinan anak, dibuatlah sebuah kelompok untuk memerankan simulasi negosiasi. Setelah itu penjelas negosiasi dari Yooke sebagai penutup sesi.

Acara berikutnya adalah merancang RTL peserta. Untuk kegiatan itu, peserta dibagi ke dalam beberapa kelompok sesuai dengan asal kelembagaan atau wilayahnya agar mudah bekerjasama.

Meskipun RTL umumnya bersifat normatif dengan jenis kegiatan yang standar seperti melakukan kegiatan keagamaan atau remaja, namun mereka telah memikirkan untuk mengambil materi materi ceramah agama yang terkait dengan isu perkawinan anak. Sementara usulan dari sekolah umumnya akan meminta guru BP mensosialisasikan di lingkungan sekolahnya dengan pendekatan-pendekatan kreatif seperti yang mereka terima dalam pelatihan ini.

Acara ditutup dengan pembacaan ikrar, mengisi post test dan penutupan acara oleh ketua RW 06.
Dalam penutupnya, mewakili Rumah KitaB, Hilmi menyampaikan pesan kepada para peserta untuk berkomitmen melakukan pencegahan perkawinan anak sesuai dengan RTL yang telah disusun oleh masing-masing kelompok remaja.

Ketua RW 06, H. Abdul Karim, menyampaikan ucapan terima kasihnya kepada Rumah KitaB dan tim BERDAYA yang telah memberikan bimbingan, dan pelatihan bagi perwakilan para remaja di Kalibaru. Ia juga memberi pesan kepada remaja agar tetap konsisten dengan RTL yang telah dirancang dan pihak aparat berjanji akan ikut mewujudkan kegiatan yang telah dicanangkan. Dalam penutupan ini Hilmi membagikan sertifikat kepada peserta. [A Hilmi]

GALERI FOTO TRAINING BERDAYA: PENGUATAN KAPASITAS REMAJA DALAM PENCEGAHAN KAWIN ANAK DI CILINCING JAKARTA UTARA

Registrasi peserta remaja Kalibaru, Cilincing

Registrasi peserta remaja Kalibaru, Cilincing

Peserta yang berjumlah sekitar 30 remaja yang berasal dari wilayah Kalibaru, Cilincing.

Yooke dari Rumah kitaB membuka kegiatan training.

Sambutan dari perwakilan kelurahan.

Sambutan dari perwakilan RW.

Sambutan dari Hilmi, fasilitator Rumah KitaB.

Sambutan dari perwakilan AIPJ2

Acara dimulai dengan perkenalan

Perkenalan dilakukan dengan games berhitung lalu berkumpul dalam satu kelompok

Peserta berkenalan satu sama lain

Peserta berkenalan satu sama lain

Pengisian kuesioner untuk mengetahui seberapa dalam pengetahuan peserta tentang materi perkawinan anak

Foto bersama peserta, pendamping, fasilitator, dan perwakilan dari AIPJ2

Games menjelaskan gambar

Games menjelaskan gambar

Yooke menjelaskan tentang batas umur perkawinan

Games memecahkan masalah bersama-sama

Presentasi hasil diskusi

Foto bersama fasilitator

Diskusi kelompok

Presentasi diskusi kelompok

Yooke menjelaskan materi tentang gender

Games jaring laba-laba

Presentasi hasil diskusi