Pos

Keadilan Gender di Balik Kuota Politik: Dari Simbol ke Substansi

Seorang caleg perempuan muda dari sebuah kabupaten bercerita tentang pengalamannya. Ia diminta partainya maju pada pemilu legislatif, tapi ditempatkan di nomor urut yang jelas-jelas sulit menang. Ketika bertanya alasannya, pengurus partai menjawab singkat: “Yang penting ada perempuan.”

Kalimat itu menunjukkan persoalan mendasar yang dihadapi perempuan dalam politik kita. Kehadiran mereka kerap dijadikan pemanis daftar, bukan aktor yang betul-betul diberi ruang. Padahal, secara formal, aturan sudah ada: partai politik diwajibkan mencalonkan sekurang-kurangnya 30 persen perempuan dalam daftar calon legislatif. Namun, realitas politik sering jauh berbeda dari semangat regulasi.

Kuota: Awal, Bukan Akhir

Kuota perempuan memang sebuah capaian. Tanpa aturan ini, jumlah perempuan di parlemen kemungkinan lebih kecil lagi. Kuota membuka pintu masuk agar perempuan punya kesempatan yang lebih setara. Tetapi, pintu masuk tidak sama dengan ruang berdaya.

Praktiknya, perempuan yang masuk ke arena politik sering menghadapi jalan terjal. Dari sisi finansial, mereka kalah modal dengan caleg laki-laki. Dari sisi jaringan, perempuan kerap dianggap “pendatang baru” yang tidak punya basis massa kuat. Belum lagi beban ganda: urusan domestik dan publik harus dijalankan bersamaan.

Di titik inilah terlihat bahwa kuota bukan solusi tunggal. Ia hanya instrumen awal. Keadilan gender baru tercapai jika keterlibatan perempuan tidak berhenti pada angka, melainkan hadir dalam kualitas pengambilan keputusan.

Politik yang Masih Maskulin

Masalah utama terletak pada kultur politik kita yang maskulin. Politik identik dengan pertarungan keras, penuh intrik, dan berbiaya tinggi. Budaya ini bukan hanya menyulitkan perempuan, tetapi juga banyak laki-laki yang jujur dan kritis.

Sementara itu, perempuan yang berhasil masuk ke lembaga politik masih sering dipandang sebelah mata. Suaranya dianggap pelengkap, bukan penentu. Bahkan tidak jarang, mereka ditekan agar mengikuti garis besar partai yang dikuasai elit laki-laki.

Padahal, bukankah demokrasi seharusnya berarti ruang yang terbuka bagi semua, tanpa memandang jenis kelamin?

Perspektif Islam: Musyawarah yang Adil

Dalam Islam, prinsip musyawarah (syura) menuntut keterlibatan semua pihak. Musyawarah yang sehat hanya mungkin bila setiap orang bisa berbicara setara. Jika perempuan hadir hanya sebagai simbol, tanpa ruang bicara, maka musyawarah kehilangan maknanya.

Sejarah Islam mencatat peran penting perempuan dalam ranah publik. Dalam peristiwa Bai’at Aqabah, misalnya, perempuan ikut berbaiat kepada Nabi Muhammad SAW. Banyak ulama perempuan di era klasik menjadi rujukan ilmu dan fatwa. Fakta ini menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan bukanlah hal asing dalam tradisi Islam, melainkan bagian integral darinya.

Oleh karena itu, politik inklusif sejatinya selaras dengan nilai-nilai Islam: menghargai martabat manusia, mendengar suara semua pihak, dan menegakkan keadilan.

Dari Simbol ke Substansi

Jika kuota hanya diperlakukan sebagai syarat administratif, maka yang terjadi hanyalah politik simbolik. Perempuan hadir di daftar caleg, tapi absen dalam pengambilan keputusan. Demokrasi menjadi pincang karena separuh penduduk tidak terwakili secara bermakna.

Perubahan yang dibutuhkan bukan sekadar menambah jumlah, melainkan membongkar struktur. Partai politik harus memberi ruang strategis bagi perempuan untuk memimpin, bukan sekadar mengisi slot. Media harus berhenti menilai perempuan dari penampilan fisiknya, dan mulai menyoroti gagasannya. Masyarakat harus belajar bahwa kepemimpinan bukan monopoli laki-laki.

Keadilan gender dalam politik pada akhirnya bukan hanya untuk perempuan. Demokrasi yang adil gender berarti demokrasi yang lebih sehat bagi semua. Politik yang memberi ruang bagi perempuan cenderung lebih memperhatikan isu-isu kesejahteraan, pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial—isu yang sering terabaikan dalam politik maskulin yang hanya bicara kekuasaan.

Kisah caleg perempuan muda tadi hanyalah satu dari sekian banyak cerita yang menggambarkan problem kuota di Indonesia. Aturan ada, tetapi praktik sering timpang. Kuota hanyalah awal perjalanan. Yang kita butuhkan adalah transformasi budaya politik: dari eksklusif menuju inklusif, dari simbol menuju substansi.

Perempuan bukan “pemanis daftar”. Mereka adalah pemegang amanah rakyat yang punya hak, kapasitas, dan gagasan untuk membangun bangsa. Selama suara mereka masih dikesampingkan, perjuangan keadilan gender belumlah selesai.