Burung-Burung yang Tak Lagi Bertasbih di Langit Indonesia
Di Indonesia, burung masih menjadi masalah. Kita menganggap burung hanyalah peliharaan. Di pikiran manusia, burung adalah hiburan. Burung-burung ini diburu, dimasukkan ke sangkar, lalu disuruh berbunyi. Burung-burung itu dilatih berkicau untuk mengikuti perintah tuannya.
Dalam sejarah, kita mudah mengingat burung-burung yang diadu. Manusia berbondong-bondong mempertaruhkan burungnya untuk menjadi hewan nomor satu. Adu burung dimaksudkan sebagai “kompetisi” kicauan. Hari-hari terus mencipta penantian, berharap burung itu menjadi hewan “tersakti” di dunia. Dan manusia mendapat upah dari kemenangannya.
Burung yang Disangkar, Alam yang Dilupakan
Jadi, manusia menganggap burung hanyalah hewan. Bukan makhluk yang sama dengannya, apalagi sahabatnya. Manusia sering omong besar tentang kemanusiaan, tetapi ketika berhadapan dengan burung, ia lupa pada kehidupan baik hewan.
Karena burung dianggap bukan makhluk yang sejajar, maka ia hanya menjadi hiburan dan pelengkap hidup manusia. Bahkan beragam burung yang menawan kini terancam punah. Kekayaan Indonesia akan ragam hayati terus merosot karena keserakahan manusia: diburu, diperdagangkan secara ilegal, dan akhirnya kehilangan habitatnya.
Pemerintah juga lupa melindungi konservasi dan pengelolaan burung. Regulasi perlindungan spesies burung sekadar basa-basi. Tak ada program bermutu dalam konservasi, seperti pelepasliaran burung dan perlindungan habitat.
Perihal ini, kita bisa membaca berita tentang pencabutan status lima jenis burung dari daftar satwa dilindungi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK Nomor 92 Tahun 2018). Lima jenis burung yang dikeluarkan dari daftar dilindungi sesuai Permen LHK Nomor 92 Tahun 2018 antara lain: cucak rawa (Pycnonotus zeylanicus), jalak suren (Gracupica jalla), kucica hutan atau murai batu (Kittacincla malabarica), anis-bentet kecil (Colluricincla megarhyncha), dan anis-bentet sangihe (Coracornis sanghirensis).
Kajian Ilmiah yang Diabaikan
Kita melihat hal-hal aneh bin ajaib dari kebijakan Peraturan Menteri LHK No. 20 Tahun 2018 ini. Alasannya, satwa yang tidak dimasukkan dalam daftar dilindungi karena dianggap banyak ditangkarkan, dipelihara untuk kepentingan hobi, dan mendukung kehidupan masyarakat melalui lomba atau kontes.
Pemerintah menghimpun seribu alasan bombastis tapi cacat nalar. Alasan-alasan itu justru pantas disambut dengan debat, gugatan, dan cibiran. Namun, pihak pemerintah tetap menganggap kebijakan ini “niscaya” saat orang-orang menuduhnya “cacat logika” dan “sembrono.”
Untuk kebijakan ngawur ini, kita lekas melihat protes dari anggota Forum Konservasi Burung Indonesia (FKBI), Rosek Nursahid. Ia menuding pencabutan status dilindungi menjadi tidak dilindungi dilakukan untuk memenuhi desakan kelompok penggemar dan pebisnis burung berkicau, bukan melalui kajian ilmiah dan tanpa mengevaluasi populasinya yang sangat sedikit di alam.
Kita sulit melihat kebijakan yang baik, tapi sering mendengar kebijakan ngawur terus disetor pemerintah. Pemerintah terus menjadi sumber panen masalah dan cemooh atas kebijakan yang tak masuk akal.
Pemerintah dianggap menentukan nasib hewan di dunia. Tapi kita pantas menyesalkan dan menaruh curiga: “Ya, kami sangat menyesalkan hal tersebut, karena pencabutan (status dilindungi) itu kami nilai tanpa kajian ilmiah yang matang, dan hanya berdasarkan desakan dari kelompok kecil masyarakat yang bergelut di bidang bisnis jual-beli burung. Seharusnya pencabutan atau penurunan status itu melalui proses-proses ilmiah yang jelas, ada rekomendasi dari LIPI, kemudian dikaji. Tapi ini hanya dalam waktu singkat, dua bulan, LIPI pun tidak merekomendasikan—tiba-tiba dibatalkan,” kata Rosek Nursahid.
Kajian ilmiah itu kunci. Namun, kita perlahan tak lagi memikirkan kajian ilmiah, tapi lekas bertindak sesuai nafsu kepentingan. Padahal, di situ ada burung yang patut dijaga agar dunia tak merana. Burung cucak rawa, jalak suren, kucica hutan, bentet kecil, dan bentet sangihe jauh lebih indah ketimbang uang hasil bisnis haram-ilegal yang berakibat pada kepunahan.
Kekhawatiran aktivis lingkungan sangat masuk akal. Di tengah janji-janji indah soal satwa liar, kita melihat fakta bahwa Indonesia tidak berpihak pada hewan dan lingkungan. Untuk hewan, kebijakannya dilucuti; untuk lingkungan, tanahnya terus dikeruk sampai habitatnya mati.
Kini, kita berada di Indonesia untuk melihat burung berkicau, untuk menyaksikan sayap-sayap melepaskan diri dengan sempurna, untuk melihat mereka beterbangan tanpa takut diburu hina. Tapi pemerintah membatalkan itu semua dengan kebijakan-kebijakan yang munafik. Para penghobi burung dan pelaku perdagangan burung berkicau terus diladeni, sementara upaya mengembangbiakkan burung-burung itu justru dibatasi.
Tanggung Jawab Manusia atas Alam
Kepunahan spesies burung ada di depan mata. Di tengah upaya konservasi yang tak pasti, keindahan bulu dan ekor burung yang memukau—simbol kemegahan alam Indonesia—akan mati. Bulunya yang menawan bisa jadi hanya tersisa sebagai kisah suci. Segala anggapan itu sudah seharusnya kita perbaiki. Kita perlu bertobat agar kebaikan-kebaikan dunia terus terasa sambil menengok kitab suci.
Al-Qur’an menulis: “Tidakkah kamu tahu bahwa kepada Allah bertasbih siapa yang di langit dan di bumi, dan juga burung dengan mengembangkan sayapnya? Masing-masing telah mengetahui cara shalat dan tasbihnya…” (QS. An-Nur [24]: 41).
Ayat ini menunjukkan bahwa hewan memiliki kesadaran spiritual dalam bentuk yang hanya Allah yang memahaminya. Dengan demikian, mereka bukan makhluk tanpa ruh, tetapi bagian dari ibadah semesta kepada Sang Pencipta. Al-Qur’an menyebut hewan sebagai sumber rezeki dan manfaat bagi manusia, tetapi penggunaannya harus disertai tanggung jawab moral.
Hewan sama seperti manusia. Ia memiliki kesetaraan. Dalam (QS. Al-An‘ām [6]: 38), disebutkan bahwa manusia dan hewan setara secara eksistensial sebagai umat-umat Allah yang akan kembali kepada-Nya. Ia adalah makhluk hidup yang bertasbih kepada Allah.
Ia pantas memiliki hak hidup, ruang ekologis, dan fungsi spiritual. Dan manusia pantas untuk menjaga, bukan mengeksploitasi mereka. Sebagaimana surat (QS. Al-Anbiyā’ [21]: 107): “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam.”

