Pos

Hermeneutika Feminis atas Al-Qur’an: Dari Hegemoni Maskulinitas Menuju Egalitarian Islam

Salah satu isu terpanas dalam dinamika pemikiran Islam kontemporer adalah berkaitan dengan isu kesetaraan gender. Banyak pemikir Muslim mutakhir yang mencoba membongkar “otoritas” laki-laki atas perempuan dalam kaitannya dengan relasi gender dalam Islam. Produk-produk tafsir klasik yang terkesan hegemonik terhadap perempuan sudah dianggap tidak relevan dengan perkembangan zaman.

Misalnya, ada kesan kuat bahwa produk tafsir klasik atas Al-Qur’an lebih banyak memberikan keistimewaan kepada laki-laki ketimbang perempuan. Pendekatan tekstualis pada masa klasik boleh jadi cocok dengan konteks makro ketika itu, tetapi zaman telah berubah dan situasinya sekarang sudah berbeda dengan konteks era pra-modern dulu.

Hegemoni Maskulinitas dalam Tafsir Al-Qur’an
Salah satu alasan utama kenapa produk tafsir klasik dianggap kurang menguntungkan bagi posisi sosial perempuan adalah karena dominasi laki-laki dalam menafsirkan teks Al-Qur’an, ditambah pula konteks historis ketika itu yang memungkinkan adanya hegemoni maskulinitas di tengah situasi budaya yang sangat patriarkis.

Al-Qur’an sendiri, pada prinsipnya, ingin membongkar budaya patriarki yang telah mengakar kuat dalam kebudayaan Arab. Tetapi, apa yang dilakukan Al-Qur’an belum sepenuhnya berhasil mengingat kekuatan hegemoni maskulinitas yang sangat kuat – dalam menafsirkan teks agama – sehingga terkesan sangat sulit diubah.

Ulama-ulama yang cenderung misoginis dalam menafsirkan ayat-ayat gender merupakan anak kandung budaya patriarki. Sehingga jalinan relasi kuasa dalam menafsirkan teks-teks keagamaan sangat bercorak patriarkis.

Kendati demikian, Al-Qur’an telah merevolusi relasi gender melalui bingkai ketakwaan, di mana kualitas seorang individu di hadapan Allah bukan ditentukan oleh status gender, tetapi oleh kualitas ketakwaannya di hadapan Tuhan. Meskipun, harus diakui bahwa ini tidak banyak memberi peluang bagi lahirnya masyarakat yang setara, mengingat budaya patriarkis lebih banyak ditopang oleh budaya pra-Islam ketimbang dibentuk oleh Islam itu sendiri.

Pada titik ini, banyak mufasir klasik – dengan pendekatan tekstualitasnya – lebih banyak melahirkan produk pemikiran Islam yang terkesan abai terhadap kesetaraan. Hal ini juga disebabkan karena belum ada kesadaran gagasan kesetaraan secara sosiologis yang terbentuk dalam kebudayaan Islam klasik. Dan juga, salah satu dampak psikologis yang paling kuat terkait budaya patriarki adalah keyakinan bahwa secara esensial dan eksistensial, kualitas laki-laki memang di atas perempuan, di mana pandangan tersebut diyakini secara doktrinal.

Kuatnya budaya patriarki di atas, ditambah banyak penafsiran Al-Qur’an yang seolah membenarkannya, seperti penafsiran populer QS. 4:34, yang mengatakan bahwa “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi wanita.” Produk penafsiran tersebut populer ribuan tahun. Maka wajar bila hegemoni maskulinitas merajai produk tafsir sehingga kurang menempatkan posisi perempuan pada level yang komplementer.

Kondisi-kondisi historis dan sosiologis masyarakat sering kali menjadi acuan bagi para mufasir untuk membaca ayat-ayat gender sesuai dengan konteks zamannya. Di samping ada relasi kuasa di dalamnya, mereka juga tampak terjebak dalam iklim budaya patriarkis itu sendiri, sehingga upaya pembacaan yang logis dan kritis terhadap teks-teks agama menjadi kurang dimungkinkan.

Hemat saya, hegemoni maskulinitas dalam melahirkan produk tafsir yang bercorak patriarkis-misoginis tidak bisa dikatakan sepenuhnya salah, kendati juga tidak bisa dibenarkan, sebab mereka membawa semangat zaman di mana kekuatan budaya patriarki mengakar sangat kuat dan tak terelakkan.

Namun, situasi ini berubah total sejak zaman modern, ketika gagasan-gagasan tentang kesetaraan, emansipasi, dan hak asasi tumbuh mengiringi tuntutan dan perubahan zaman. Dari sinilah, dibutuhkan penafsiran hermeneutis-feminis (hermeneutics feminis: pendekatan penafsiran teks agama yang menitikberatkan pada kesetaraan gender) yang kontekstual untuk membongkar otoritas laki-laki yang sangat hegemonik terhadap perempuan yang tertuang dalam produk pemikiran Islam secara keseluruhan.

Dari Otoritas Laki-laki Menuju Kesetaraan
Dalam buku Reading the Qur’an in the Twenty-First Century, Abdullah Saeed berpendapat bahwa pandangan klasik tentang “superioritas” laki-laki atas perempuan berasal dari keyakinan tentang sejumlah kualitas hakiki yang dimiliki laki-laki, yang tidak dimiliki perempuan. Kualitas-kualitas tersebut mencakup “kecerdasan, ketenangan, kesabaran, dan ketahanan.” Karena itu, di dalam sebuah pernikahan, peran suami adalah “menjaga hal yang Allah bebankan kepadanya.” Sementara peran istrinya adalah “menaati Tuhannya dan menaati suaminya.” Meski ruhnya tidak seperti apa adanya teks yang tampak, mengingat satu ayat di dalam Al-Qur’an tidak dapat berdiri sendiri dalam mencitrakan maknanya.

Beberapa pemikir Muslim kontemporer yang fokus pada tema gender banyak memberikan penekanan baru terhadap tafsir Al-Qur’an yang dianggap sangat merugikan posisi perempuan. Menurut mereka, beberapa produk tafsir yang mengarah pada superioritas laki-laki terbentuk karena banyak faktor, mulai dari dominasi laki-laki dalam menafsirkan Al-Qur’an, budaya patriarkis, dan keyakinan misoginis yang menganggap bahwa status dan peranan perempuan jauh di bawah laki-laki.

Pemikir Muslim seperti Amina Wadud, Asma Barlas, dan Azizah al-Hibri banyak memberikan penafsiran ulang terhadap Al-Qur’an. Sebagai contoh, kata qiwamah yang terdapat dalam QS. 4:34 tentang laki-laki adalah “pemimpin” bagi kaum perempuan, sebetulnya tidak menunjukkan secara mutlak bahwa laki-laki selalu menjadi pemimpin. Sebab, kata qiwamah bersifat fungsional, ia terkait secara sosial, dan tidak melekat secara alamiah.

Mereka berpendapat bahwa peran laki-laki sebagai “pelindung” dalam ayat di atas dihubungkan dengan peran ekonomi sang suami sebagai pencari nafkah dan dinamika gender Madinah abad ke-7 M secara keseluruhan. Karena itu, apabila situasi tidak lagi memiliki sumber material yang lebih besar, hilanglah qiwamah yang ada padanya.

Pendapat di atas diperkuat oleh pandangan Fazlur Rahman yang tertuang dalam bukunya Major Themes of the Qur’an, bahwa kecukupan ekonomi seorang istri dan kontribusinya bagi kehidupan rumah tangga mengurangi superioritas suami, “karena sebagai manusia, dia tidak punya kewenangan atas istrinya.”

Al-Hibri, dalam bukunya berjudul A Study of Islamic Herstory, juga menolak gagasan bahwa QS. 4:34 mendeskripsikan superioritas fisik dan intelektual laki-laki yang hakiki, sebagaimana terlihat dalam produk tafsir klasik. Sebab ini tidak disebutkan di dalam ayat. Namun, dia mengidentifikasi hal besar yang menggarisbawahi kata qawwamun sebagai “petunjuk moral dan penjagaan.”

Al-Hibri menolak gagasan bahwa semua laki-laki adalah qawwamun atas semua perempuan, dengan mengatakan bahwa ini hanyalah terjadi dalam masalah-masalah di mana Tuhan menganugerahkan “beberapa dari kaum laki-laki yang lebih dari beberapa kaum perempuan.”

Jadi, kedudukan laki-laki di atas perempuan, baik sebagai pemimpin maupun dalam kondisi sosial lainnya, sangat bersifat temporal dan kondisional, bukan berlaku secara universal dalam setiap kondisi. Sehingga, beberapa konteks yang menunjukkan keadaan di mana perempuan memiliki kapasitas yang jauh lebih baik dari laki-laki akan membawa pada sikap egalitarian, yakni relasi antara laki-laki dan perempuan bukan berdasarkan relasi antara pemimpin dan yang dipimpin, tetapi lebih mengarah pada relasi kesetaraan dan egalitarian.

Egalitarian Islam
Bila melihat berbagai perubahan dan tuntutan zaman yang muncul sejak paruh kedua abad ke-20 hingga abad ke-21, maka jelas bahwa tafsir patriarkis dan misoginis yang menekankan superioritas laki-laki atas perempuan kiranya sudah tidak relevan dan harus ditinggalkan.

Adanya pergeseran-pergeseran pemikiran dan pengaruh budaya modern, seperti demokrasi, hak asasi manusia (HAM), dan perjuangan terhadap kesetaraan, menuntut adanya penafsiran ulang terhadap ajaran Islam secara keseluruhan yang harus diarahkan pada dimensi egalitarian.

Hal ini perlu dilakukan mengingat teks haruslah disesuaikan dengan konteks, bukan sebaliknya. Bila yang dilakukan adalah konteks harus mengikuti teks, maka itu sama saja bunuh diri intelektual dan makin menjauhkan Islam dari solusi masa depan, yang akhirnya Islam lambat laun akan ditinggalkan oleh penganutnya. Ini tentu saja bertentangan dengan semangat Al-Qur’an yang “selalu relevan dengan perubahan zaman.”

Model hermeneutika feminis sebagai upaya baru untuk menafsirkan Al-Qur’an secara kontekstual harus terus dilakukan agar umat dapat terbimbing pada jalan kebenaran yang realistis, bukan jalan kebenaran ilusif yang membelenggu relasi gender. Dengan demikian, gagasan egalitarian Islam harus menjadi pembimbing dan pendorong untuk mewujudkan cita-cita Islam yang menjunjung tinggi keadilan dan kesetaraan.

Di abad ke-21 ini, persoalan gender bukan lagi pada masalah sentralitas laki-laki dalam menafsirkan Al-Qur’an. Perempuan juga harus ikut andil dalam menafsirkan Al-Qur’an. Persoalan utamanya adalah bagaimana kampanye intelektual tentang egalitarian Islam harus terus dilakukan untuk membongkar relasi kuasa. Penafsir laki-laki pun harus memiliki pengetahuan yang cukup untuk dapat memproduksi pemikiran Islam yang lebih egaliter.

Sehingga, bila kesadaran akan egalitarian Islam ini telah terwujud secara masif, maka tidak ada kekhawatiran bagi siapa saja yang akan menafsirkan teks Al-Qur’an. Mereka semua – baik laki-laki maupun perempuan – akan saling memberi dan berbagi peran yang setara secara dinamis dan adil. Inilah hakikat Islam yang sesungguhnya, membawa misi kesetaraan untuk mewujudkan keadilan yang paripurna.

Kemandirian Perempuan: Akar Pernikahan yang Sehat


Tren Pernikahan dan Perceraian di Indonesia

Bulan ini ramai di media sosial data pernikahan 2024 yang sebenarnya pernah dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Maret tahun ini. Statistik tersebut mengungkap tren pernikahan yang turun 28,63% dalam 10 tahun terakhir. Ambil contoh pada 2024, angka pernikahan di Jakarta berkurang empat ribu, sedangkan Jawa Barat turun 29 ribu.

Berkurangnya angka pernikahan sejalan dengan bertambahnya angka perceraian. Meski baru hingga tahun lalu, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) membeberkan tren tersebut pada Juli 2024.

Angka perceraian 2023 tercatat 463.654, sedikit turun dari 516.334 kasus selama 2022. Data perceraian 2021 menyentuh 447.743, lebih tinggi dari 291.667 kasus pada 2020. Terhambatnya pelayanan publik turut mempengaruhi pencatatan data perceraian pada 2020.

Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda Kemenko PMK, Woro Srihastuti, mengatakan pertengkaran dan ekonomi menjadi dua penyebab utama perceraian pada 2023. Kasus terkait perselisihan dan pertengkaran yang dilaporkan mencapai 251.828, sementara terkait ekonomi 104.488 kasus selama tahun lalu.

Kompleksitas di Balik Motivasi Menikah di Indonesia

Mengapa menikah? Ditinjau dari kacamata Islam, menikah merupakan sunnah yang mendatangkan banyak manfaat. Setiap kali menerima undangan pernikahan, doa yang acapkali disampaikan kepada setiap mempelai yang tengah berbahagia adalah semoga mencapai sakinah, mawadah, warahmah (SAMAWA).

Secara konsep, pernikahan adalah sarana mulia untuk mencapai ketenangan dan kebahagiaan. Tujuan lainnya memenuhi fitrah diri yang ingin berpasangan, memperoleh keturunan, hingga menjalankan sunnah Rasulullah SAW.

Melihat dua data di atas, motivasi pernikahan di Indonesia ternyata tidak sesederhana anjuran dari agama. Aspek budaya, sosial, dan ekonomi ternyata turut mempengaruhi seseorang berumah tangga. Sebagai negara dengan budaya Timur yang kental, pernikahan masih menjadi suatu kewajiban bagi seseorang jika usia menginjak angka tertentu. Jika, katakanlah, seorang pria atau wanita telah berumur 30 tahun namun belum menikah, ia harus siap memperoleh cap aneh atau negatif.

Di lain pihak, menikah lebih karena ekonomi masih jamak terjadi. Masih ada anggapan anak perempuan sebagai beban ekonomi sehingga menikahkannya menjadi jalan keluar instan. Pernikahan seperti ini tetap dilakukan meski sang anak masih belum siap secara mental atau kesehatan.

Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, angka pernikahan anak masih mencapai 6,92 persen selama 2023. Walau turun dari 8,08 pada 2022, statistik tersebut menunjukkan masih banyak yang belum sadar bahaya pernikahan anak di bawah umur. Salah satu dampak buruknya adalah risiko melahirkan bayi stunting.

Undang-Undang untuk Mendukung Kesetaraan

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah menaikkan ambang batas usia menikah. Baik calon pengantin pria dan wanita harus sama-sama berusia minimal 19 tahun menurut aturan baru tersebut. Sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, batas umur minimal pria untuk menikah adalah 19 tahun, sedangkan perempuan minimal 16 tahun.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XV/2017 mempertimbangkan perbedaan batas usia minimal menikah sebelumnya telah menimbulkan diskriminasi dalam hal pelaksanaan hak membentuk keluarga dan perlindungan serta pemenuhan hak anak sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Karenanya, penyamarataan umur minimal menikah yang sama tanpa mengenal perbedaan jenis kelamin akan membuat kesejajaran persepsi mengenai hak dan kewajiban dalam berumah tangga baik pria dan wanita.

Kesetaraan Pemenuhan Ekonomi: Gerbang Terciptanya Pernikahan Ideal

Revisi umur minimal di atas bukan sekadar angka. Pemerintah sejak keluarnya UU tersebut menegaskan masyarakat harus mulai menyadari pentingnya melihat pria dan wanita setara dalam hal hak dan kewajiban berumah tangga.

Di budaya yang kental patriarki seperti di Indonesia, aturan tersebut begitu penting. Hingga sekarang masih dijumpai anggapan dalam rumah tangga pria lah yang lebih berkuasa sebab ia menafkahi keluarga. Perempuan masih diposisikan sekadar pendamping, bahkan kurang berdaya, sebab “hanya” mengerjakan tugas rumah tangga. Tidak mengherankan, ketergantungan yang terlampau besar pada suami membuat istri rentan menjadi korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

Hadirnya gerakan feminisme mengikis salah kaprah yang telah mendarah daging tersebut. Semakin gencar narasi kesetaraan gender membuat publik makin melek bahwa pendidikan tinggi penting bagi laki-laki dan perempuan. Bertambah banyaknya tokoh perempuan di posisi vital menandakan perempuan bisa secerdas dan sekuat kontribusinya dengan laki-laki di masyarakat.

Perempuan yang pintar dan mandiri akan melahirkan akar pernikahan yang sehat. Tidak hanya sehat secara ekonomi, melainkan juga dari segi mental. Perempuan yang mandiri akan lebih baik dalam memberdayakan logika dan emosi dalam mengarungi bahtera rumah tangganya.

Untuk menciptakan perempuan mandiri, seluruh pihak harus terlebih dahulu membuang jauh pemikiran “untuk apa perempuan bersekolah tinggi jika ujungnya harus di rumah.” Entah memilih berkarier atau menjadi ibu rumah tangga, peran perempuan cerdas sangatlah krusial sebagai madrasah pertama anak. Sebab dari sini akan terlahir anak-anak yang sehat dan setara memandang lawan jenisnya sebagai kunci berkesinambungan untuk keluarga Indonesia matang dari segala aspek.

Feminisme Postmodern dan Kepemimpinan Feminis: Pesan dan Pelajaran di Balik Tren Marriage is Scary

Pernikahan, yang seharusnya menjadi momen bahagia bagi perempuan, kini sering dianggap sebagai “momok,” menumbuhkan skeptisisme di kalangan mereka. Sementara banyak yang mendambakan pernikahan sebagai simbol kebahagiaan, kenyataan menunjukkan ketakutan dan keraguan perempuan untuk berkomitmen. Hal ini melahirkan tren marriage is scary di media sosial, yang menyatakan bahwa pernikahan membawa lebih banyak masalah daripada manfaat.

Tren marriage is scary menjadi topik hangat, menentang anggapan bahwa pernikahan adalah ikatan kebahagiaan semata. Sebaliknya, pernikahan sering dinilai lebih penuh dengan masalah daripada keuntungan, hingga banyak netizen memperdebatkan pengaruh tren ini terhadap persepsi publik terhadap pernikahan. Munculnya tren ini bukan tanpa sebab; ia menandakan lebih dari sekadar fenomena sesaat.

Marriage is Scary: Lebih dari Sekadar Tren?

Psikolog Tabula Arnold Lukito menjelaskan bahwa marriage is scary mencerminkan perubahan nilai di masyarakat dan tidak selalu bernilai negatif. Fenomena ini menunjukkan kesadaran kalangan muda, khususnya perempuan, bahwa pernikahan bukanlah tolok ukur tunggal kebahagiaan.

Kasus opresi seperti femisida, KDRT, perceraian, dan berbagai bentuk ketidakadilan gender dalam kehidupan pasca-pernikahan menambah kecemasan perempuan akan pernikahan. Budaya patriarki yang menumbuhkan opresi turut memperkuat ketakutan ini, sehingga marriage is scary memiliki makna lebih dalam daripada sekadar tren. Premis dari tren ini adalah ketakutan akan konflik, perceraian, dan hambatan terhadap kebebasan perempuan dalam pernikahan.

Marriage is Scary dalam Pandangan Feminisme Postmodern

Fenomena marriage is scary sejalan dengan pandangan feminisme postmodern, yang berupaya membongkar “kebenaran” yang selama ini diyakini dalam masyarakat. Feminisme postmodern melihat kebenaran ini kerap terkait dengan nilai patriarki yang hierarkis dan memandang pernikahan tradisional sebagai narasi tunggal. Tren marriage is scary membuktikan bahwa pernikahan bisa menciptakan opresi, menandakan dominasi patriarki yang masih kuat.

Feminisme postmodern juga menolak hierarki dalam peran suami-istri. Struktur ini sering kali kaku dan menciptakan opresi. Bagi feminisme postmodern, kebahagiaan tidak harus diwujudkan dalam pernikahan, dan individu bebas memilih kebahagiaan tanpa tekanan sosial untuk menikah. Hal ini tercermin dalam penurunan angka pernikahan di Indonesia sebesar 28,63% dalam satu dekade terakhir.

Namun, pernikahan bukan sesuatu yang harus dihindari. Dengan prinsip kepemimpinan feminis, hubungan pernikahan yang setara tanpa bias gender dapat tercapai.

Kepemimpinan Feminis sebagai Antitesis dari Marriage is Scary

Meski marriage is scary mengkritik pernikahan sebagai institusi yang bias gender, hal ini tidak berlaku bagi pasangan yang menerapkan budaya feminis. Kepemimpinan feminis dapat diterapkan oleh perempuan maupun laki-laki, menekankan kebersamaan, transparansi, dan kepedulian.

Prinsip kepemimpinan feminis menolak pernikahan sebagai institusi tradisional yang kaku. Dalam keluarga, suami-istri duduk bersama untuk mengambil keputusan, mendukung karier satu sama lain, dan berbagi tanggung jawab dalam pengasuhan anak. Dengan mengadopsi kepemimpinan feminis, keluarga dapat menjadi ruang yang ramah gender dan harmonis, bertentangan dengan anggapan marriage is scary yang menyatakan bahwa keluarga adalah institusi penindasan.