Pos

Menerka Tujuan Syariat (2/2)*

Oleh: Buya Dr. K.H. Abdul Syakur Yasin, M.A.

 

KITA harus mengetahui kenapa diperintah dan dilarang melakukan sesuatu. Bagaimana kita melaksanakan perintah atau menjauhi larangan jika kita tidak mengetahui maksud Tuhan? Seorang Muslim yang jumud berpandangan bahwa dalam beragama tidak boleh berpikir. Orang yang sering bertanya dianggap sebagai Bani Israil. Islam dipandang relevan sepanjang zaman (al-Islâm shâlih fî kulli zamân), sebagaimana dikatakan oleh Sayyid Qutb pada Kongres Ikhwanul Muslimin II di Mesir. Kalimat ini menyebar ke mana-mana yang memunculkan pemahaman bahwa pendapat para ulama klasik mengenai hukum syariat sudah final dan harus diyakini kebenarannya.

Dulu saya pernah menyampaikan tentang ketidakadilan terhadap perempuan dalam hal waris (yang hanya mendapatkan separuh saja) dan dalil-dalilnya kepada Menteri Agama Munawir Sadzali. Kemudian ia menyampaikannya di majalah Mimbar dan diserang habis-habisan. Ini adalah hal yang sangat sensitif dan perlawanannya sangat berat. Itulah kenapa perbudakan, mengawinkan anak kecil, dan memukul istri dibolehkan karena dianggap masih relevan. Apakah mengawinkan anak kecil itu relevan?

Kita tidak berbicara teori, tetapi realitas sehari-hari. Seorang perempuan datang kepada saya dan mengatakan bahwa ia dicerai secara lisan oleh suaminya. Saya mengatakan, cerai lisan telah dicabut oleh negara dan harus diproses di pengadilan—cerai tiga kali secara lisan tidak sah. Namun sebagian tokoh agama lain menyatakan bahwa itu sah. Akhirnya ia bercerai dan ia dengan susah payah membesarkan anak-anaknya sendirian. Di sini ada dualisme hukum; menaati fikih atau UU negara. Tentu yang seharusnya ditaati adalah UU negara.

Saya mengajukan calon bupati perempuan. Para kiyai menentangnya dan menyatakan perempuan tidak boleh menjadi pemimpin dengan dalil “al-rijâlu qawwâmûna ‘alâ al-nisâ`”. Di sebagian negara Arab, ayat ini, dengan tafsir yang beredar saat ini, mungkin masih relevan. Tetapi di Indonesia tidak relevan, karena ada banyak perempuan yang menjadi rektor, menteri, pejabat, direktur, pimpinan perusahaan, pengasuh pesantren, dan seterusnya. Jika perempuan tidak boleh memimpin, semua kebijakan pada zaman Megawati akan tidak sah.

Secara linguistik, qiwâmah pada ayat “al-rijâlu qawwâmûna ‘alâ al-nisâ`” bukan sulthânah (kesultanan/kekuasaan), imârah (keamiran/kepemimpinan), wishâyah, atau haymanah (penguasaan/hegemoni). “Qawwâm” berasal dari kata “qâma-yaqûmu” yang bermakna berdiri. Ism fa’il-nya adalah qâ`im—asalnya qâwim—dan kemudian menjadi qawwâm yang bermakna pendamping, bukan pemimpin. Misalnya Jokowi sedang berada di luar negeri dan tidak bisa menandatangani suatu dokumen keputusan resmi negara. Ma’ruf Amin kemudian menandatanganinya dengan menyantumkan strip Presiden RI ad interim. Itu disebut dengan al-qâ`im bi al-a’mâl (mewakili).

Dalam budaya Arab perempuan berada di bawah perlindungan laki-laki, karenanya perempuan yang ingin menikah harus punya wali. Perempuan tidak bisa menikah jika walinya tidak menyetujui. Artinya, perempuan tidak punya hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Padahal di hari akhirat nanti laki-laki dan perempuan bertanggungjawab atas dosanya masing-masing. Bagaimana mungkin perempuan yang ingin shalat di masjid saja harus mendapatkan izin dari suaminya? Kita harus memperjuangkan hak-hak perempuan itu.

Kita tidak mengabaikan atau meninggalkan teks. Al-Qur`an tidak perlu direvisi dan biarkan itu sebagai sesuatu yang sudah selesai. Kita menghormati dan membacanya karena itu adalah ibadah. Tetapi, tentu saja, kita perlu melakukan reinterpretasi sesuai dengan kebutuhan zaman. Dan teks-teks agama (baik al-Qur`an maupun hadits) mengenai perbudakan tidak perlu diinterpretasi ulang karena Tuhan pasti tidak suka manusia diperjualbelikan.

Islam tidak sedang melegalisasi praktik perbudakan, perkawinan anak, memukul istri, poligami, menceraikan istri seenaknya, melainkan hanya mengakomodir tradisi dan budaya setempat saja di masanya. Islam tidak sedang melegalisasi praktik perbudakan, perkawinan anak, memukul istri, poligami, menceraikan istri seenaknya, melainkan hanya mengakomodir tradisi dan budaya setempat saja di masanya. Tradisi dan budaya ini oleh Islam justru diupayakan untuk diubah secara bertahap demi terwujudnya kesetaraan laki-laki dan perempuan serta kesetaraan antara sesama manusia di masa-masa mendatang.

Sekarang banyak orang yang mulai merasa ribet dan terbebani dalam beragama. Teman saya yang seorang santri bekerja sebagai supir dan tidak melaksanakan shalat selama 10 tahun karena ia merasa susah—jam kerjanya dari siang sampai tengah malam. Jika demikian, seorang Muslim tidak bisa menjadi supir, pilot, nahkoda, dan masinis. Sejak kapan kita menganggap agama memberatkan hidup kita? Bagaimana mungkin kita menjadi terbebani dalam beragama. Solusinya: ia bisa mengerjakan shalat Zhuhur dan Ashar dengan jamak taqdim sebelum mengambil mobil. Setelah mengantarkan barang ia bisa melaksanakan shalat Isya` dan Maghrib dengan jamak ta’khir.

Ada orang yang hidup di tahun 2022 sedangkan otaknya masih di abad ke-7. Kita diharuskan hidup dengan gaya orang abad ke-7 agar tidak dianggap sebagai pelaku bid’ah seperti cebok dengan batu dan tidak boleh dengan tisu, tidak boleh menonton televisi, tidak boleh pakai sendok saat makan, dan seterusnya. Segala hal yang tidak ada atau tidak dilakukan Nabi maka tidak boleh dilakukan karena dianggap bid’ah. Bahkan ada orang yang tidak mampu berinteraksi dengan teknologi sehingga muncul pertanyaan “bagaimana hukum mengantongi HP yang di dalamnya terdapat rekaman atau aplikasi al-Qur`an saat buang air besar?” Saya tanya balik, “Orang yang hafal al-Qur`an boleh tidak buang air besar?”[]

 

*) Disarikan dari presentasi Dr. K.H. Abdul Syakur Yasin, M.A. dalam Diskusi Pendalaman “Maqashid Syariah Lin Nisa’” yang diselenggaran Rumah KitaB di Pondok Pesantren Ma’had Al-Shighor Al-Islamy Al-Dualy, Gedongan, Cirebon, Sabtu, 17 Desember 2022

Sejarah Salafi dan Wahabi

Oleh Nur Hayati Aida

Perkawinan antara Wahabisme dan Salafisme melahirkan kelompok puritan. Ciri kelompok puritan adalah pada satu sisi merasa jumawa dan bangga dengan kelompoknya, dan pada satu sisi yang lain merasa sedang ditindas, diintimasi, dizhalimi oleh liyan. Liyan di sini bisa jadi pemerintah, Barat, atau kelompok-kelompok di luar mereka. Dan bahkan, bisa jadi liyan adalah sesuatu yang mereka khayalkan sendiri dan wujudnya tak pernah ada. Semacam ketakutan dan musuh bersama yang terus dibangun dan dipupuk untuk terus dimusuhi.

Begitu kira-kira pembacaan Khaled Abou al-Fadl pada kelompok puritan yang lahir atas persilangan Wahabisme dan Salafisme. Meski buku ini kecil dan tipis, tapi saya rasa Khaled Abou Fadl berhasil dengan baik memaparkan dan menjelaskan siapa, apa, kapan, dan bagaimana Wahabi serta Salafi muncul dan kemudian berkembang sampai saat ini.

Wahabi, dalam pandangan Khaled Abou Fadl, kelahirannya didorong oleh rasa kekhawatiran yang besar Muhammad bin Abdul Wahab atas situasi yang menimpa umat Muslim. Umat Muslim pada saat Muhammad bin Abdul Wahab hidup di abad delapan belas sedang berhadapan dengan modernisme yang dibawa oleh Barat. Modernitas itu kemudian membawa dampak yang, menurut Muhammad bin Abdul Wahab, tak sepenuhnya baik. Ada residu yang membuat keimanan kaum Muslim makin lama makin terkikis. Selain juga semakin jauhnya masyarakat Muslim dari ajaran Islam yang murni dan asli disebabkan telah terjadi percampuran dengan tradisi dan hal-hal baru yang dibuat oleh masyakat belakangan. Dari sinilah, Muhammad bin Abdul Wahab terobsesi untuk mengembalikan ajaran Islam pada sesungguhnya ajaran tanpa sedikitpun ‘ternodai’ dengan kebaharuan yang tak perlu. Para pengikut Muhammad bin Abdul Wahab yang belakangan disebut dengan Wahabi –karena menisbahkan nama pada pencetus gerakannya– menyebutnya sebagai bid’ah. Bagi kelompok Wahabi tak ada bidah yang baik. Bidah seluruhanya adalah keburukan.

Para pelaku bidah, oleh Wahabi, dihukumi sebagai orang yang kafir. Dan sebagaimana kafir, maka darahnya halal untuk ditumpahkan. Pemahaman keras Wahabi semacam ini, menurut Khaled Abou Al-Fadl, dirujuk Muhammad bin Abdul Wahab pada kisah Abu Bakar (Khalifah pertama paska Nabi Wafat) yang membakar (membunuh) orang yang munafik, meski seseorang itu menjalankan keseluruhan rukun Islam. Preseden yang digunakan oleh Muhammad bin Abdul Wahab untuk menjustifikasi ajarannya ini telah dikritik oleh para sarjana Muslim lainnya, karena, menurut mereka, Islam tak pernah mengajarkan untuk membantai dan membunuh dengan cara yang kejam, meski dalam peperangan. Tapi, tentu saja kritik itu tak pernah dihiraukan oleh Muhammad bin Abdul Wahab.

Sulayman, sudara Muhammad bin Abdul Wahab, dalam risalahnya yang dikutip oleh Khaled Abou Al-Fald, mengkritik keras tindakan saudaranya itu dengan mengatakan bahwa Muhammad bin Abdul Wahab bukanlah orang yang berpendidikan dan merupakan seoarang yang fanatik. Menurut Sulayman, bagaimana mana mungkin selama berabad lamanya umat Muslim berada dalam kelapan dan baru tersadar ketika Muhammad bin Abdul Wahab mengajarkan gagasannya. Sesuatu, yang menurut Sulayman, agak musykil untuk diterima.

Muhammad bin Abdul Wahab bisa dengan mudah menuduh kafir bagi siapa saja yang tak sejalan dengan pemikirannya. Islam, bagi Muhammad bin Abdul Wahab, adalah Islam ala Badui yang kaku dan murni. Sembari terus mengkampanyekan untuk tidak melakukan taklid (pada hal yang mereka tidak suka), pada satu sisi lain Muhammad bin Abdul Wahab menganjurkan orang untuk mematuhi cara pandang yang ia bangun dan menurutnya paling benar.

Pandangan Muhammad bin Abdul Wahab ini, menurut Khaled Abou Al Fadl, menjadi berbahaya di masa sekarang jika agama digunakan untuk menjustifikasi kekerasan pada kelompok lain yang tak sepemahaman. Bukan saja pada kelompok Non Muslim, pun pada sesama Muslim yang tak sepandangan.

Sebetulnya, kecil kemungkin ajaran Wahabi ini bisa berkembang sebagaimana sekarang jika ia tak berkoalisi dengan klan Sa’ud dan Inggris untuk bersama-sama menaklukkan dominasi Turki Usmani pada masa itu. Koalisi di antara ketiganya ini tidak semata-semata terkait agama. Klan Saud ingin bertahta di Saudi, Inggris berambisi mengeksploitasi kekayaan alam, dan Wahabi berkepentingan untuk mendudukkan pandangannya sebagai pamahaman resmi yang tersebar seantero wilayah Arab. Namun, di sisi yang lain, ada semacam kecemburuan etnis, yaitu antara Arab dan Non Arab (Turki), di mana Turki Usmani dianggap bukan bagian dari Arab –dan tak layak untuk memimpin bangsa Arab.

Sedangkan Salafisme, oleh Khaled Abou Fadl, adalah sebuah keyakinan yang dilahirkan pada abad 19 di masa Muhammad Abduh. Tetapi, istilah Salafi juga ada yang merukuk pada Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim Al Jauziyah. Istilah Salafi sendiri merujuk pada salafus salih, yaitu generasi pertama dalam Islam. Salafi pada beberapa hal serupa dengan Wahabi, tetapi, menurut Khaled Abou Fadl, Salafi versi lebih ‘lunak’ dari Wahabi. Salafi tidak memusuhi tasawuf sebagaimana Wahabi –di mana diyakini oleh Wahabi tasawuf yang berasal dari Persia, praktik tawasul yang berasal dari Turki, dan filsafat Yunani sebagai biang keladi atas kemunduran Islam.

Cara pandang Salafi, menurut amatan Khaled Abou Fadl, dalam membaca teks mula-mula lentur. Hal ini dilakukan untuk memberikan respons pada permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Teks (agama) harus bisa berdialog dan setidaknya memberikan solusi jawaban pada permasalahan atau konteks yang terjadi. Dalam taraf ini, kita bisa melihat Muhammad Abduh dengan tafsir al-Manar-nya yang merupakan sebuah ikhtiar menawarkan pembacaan baru pada teks agama yang moderat. Tetapi, cara baca salafi ini pada kemudian hari jatuh pada tekstualias dan kehilangan elan-nya. Di mana penafsiran yang ada hanyalah pemaknaan literal pada teks belaka. Sebelum era itu tiba, Salafi pernah merespons setiap masalah dengan mendedahkan bahwa agama menyediakan setiap jawaban dalam permaslahan manusia dan tanpa terkecuali. Seolah-olah teks agama adalah stempel yang bisa dipakai di mana sana.

Nama yang cukup mendapatkan perhatian serius oleh Khaled Abou Fadl adalah Sayyid Qutb. Qutb sendiri mula-mula seorang terpelajar yang moderat. Ia bergabungan Ikhwanul Muslimin (IM), suatu organisasi bentukan Hasan al-Banna. Pada masa Gamal Abdul Nasser, Ikhwanul Muslimin hendak dibubarkan, pada saat itu banyak aktvis yang dipenjara. Di antara adalah Qutb. Dalam penjara itu, Qutb mendapatkan siksaan dari pihak berwenang. Menurut Khaled Abou Al-Fadl, siksaan di penjara itulah yang membuat Qutb menjadi militan dan menginspirasinya untuk membuat buku yang masyhur, Ma’alim fi al Thariq. Dalam buku itu Qutb menyerukan masyarakat Muslim untuk berhijrah ke tanah Islam yang sejati, dan apabila tidak melakukannya maka dipandang murtad atau kafir. Qutb boleh jadi adalah inspirasi jihad dengan jalan kekerasan.

Catatan ini sepertinya tidak mampu menggambarkan keseluruhan isi buku yang kecil namun sarat informasi ini. Bila Anda punya waktu dan kesempatan, saya sarankan untuk membacanya.