Belum Merdeka dari Kekerasan Seksual
Apakah kita sudah merdeka? Jika sehari-hari harus hidup berpindah dari satu tempat ke tempat lain agar tidak mendapat kekerasan. Apakah kita sudah benar-benar merdeka? Jika hidup tidak mempunyai akses sosial yang layak dan tidak bisa bebas berinteraksi dengan orang banyak. Apakah kita sudah benar-benar merdeka? Jika hidup dipenuhi dengan rasa ketakutan antara dibunuh atau bunuh diri karena depresi. Apakah kita sudah benar-benar merdeka?
Ini adalah sebuah refleksi kemerdekaan dari kisah nyata tentang kehidupan saya dan kawan-kawan yang remuk redam melawan kasus kekerasan seksual di pesantren Shiddiqiyyah. Kekerasan seksual yang terjadi di pesantren tersebut adalah kekerasan seksual yang sistemik dan terstruktur.
Putra kiai yang bernama Muhammad Subchi Azal Tsani (Bechi) ini telah memanipulasi dan membayar anak di bawah umur untuk menjadi budak seksual dalam kurun waktu bertahun-tahun. Bechi memiliki tempat “khusus” untuk melakukan kekerasan seksual, letaknya jauh dari pemukiman warga dan tak bisa dijangkau sembarang orang.
Bechi memiliki sejumlah bantuan untuk melancarkan berbagai aksi kekerasan serta membungkam para korban agar diam. Bechi memiliki para ajudan yang dibekali air gun (jenis pistol berbahaya) dan drone untuk mengamankan situasi. Bechi dilindungi oleh otoritas dan jamaah pesantren Shiddiqiyyah yang sangat fanatik. Selain itu, Bechi juga mempunyai banyak relasi dengan tokoh pembesar, seperti: presiden, menteri, pejabat pemerintah, para pengusaha, seniman dan berbagai tokoh populer lainnya.
Dengan berbagai keistimewaan yang dimiliki Bechi, meskipun kami berhasil memenangkan persidangan di pengadilan Negeri Surabaya, Pengadilan Tinggi Jawa Timur hingga Mahkamah Agung, kami sehari-hari tetap dihantui berbagai ancaman kekerasan dan bayang-bayang trauma kekerasan yang tak kunjung hilang. Karena itu, saya mencoba berbagi kisah dengan menuliskan kisah saya dan kawan-kawan untuk mempertanyakan sebuah hakikat kemerdekaan.
Kisah ini berawal pada tahun 2012, saya mendapat kesaksian dari teman sekelas saya yang telah dipaksa berhubungan seksual oleh Bechi pada usia anak. Teman saya menjelaskan dengan detil berbagai tindak asusila yang dilakukan Bechi. Jika ia menolak ajakan berhubungan seksual, ia akan dianiaya, dibanting dan disekap oleh Bechi. Saya yang juga masih usia anak pada waktu itu telah banyak menyaksikan tubuh kawan saya yang mengalami luka memar di punggung, kaki dan pelipis wajahnya akibat berbagai kekerasan itu.
Bertahun-tahun kawan saya menjadi korban. Namun kami hanya diam atau hanya bisa bercerita ala kadarnya kepada lingkaran terdekat yang bisa kami percaya. Kami mencoba melakukan pemberontakan-pemberontakan kecil di internal pesantren. Namun, upaya-upaya ini dengan cepat dipadamkan oleh Bechi dan otoritas pesantren, sehingga kasus ini tidak terbongkar ke publik luas.
Lima tahun kemudian, pada 2017 kawan saya tersebut mendapat kekerasan yang lebih parah, ia diculik, disekap beberapa hari tanpa diberi makan, ia mendapat berbagai kekerasan, ia dipaksa berhubungan seksual, hingga sempat ditahan di Polsek Ploso karena tuduhan menyebarkan konten telanjang.
Kawan saya yang tidak berdaya pun dipaksa mengakui hal tersebut untuk bisa bebas dari tahanan. Setelah keluar dari tahanan, kawan saya dikeluarkan dari pesantren dan diisukan telah mengalami kehamilan di luar nikah. Untuk kesekian kalinya, saya bersedih, tetapi tidak bisa membantu apa-apa. Saya tidak berdaya.
Tak lama setelah kejadian buruk yang menimpa kawan saya, saya dan beberapa kawan yang lain diamanahi oleh Bechi untuk menjadi relawan klinik kesehatan yang dirintisnya yang bernama “Klinik Rumah Sehat Tentrem Medical Center (RSTMC)”. Dari sana saya menyaksikan berbagai hal janggal. Misalnya, Bechi sebagai anak kiai mengajak para santri minum wine hingga mabuk, mewajibkan menginap di wilayah yang terpencil di tengah hutan, wawancara empat mata di sebuah ruang khusus, hingga ritual mandi dengan hanya memakai kemben motif batik sidomukti.
Saya yang mengetahui berbagai hal buruk sejak tahun 2012 pun mendapat pesan dari teman yang mengalami kekerasan pada tahun itu untuk hati-hati dan waspada. Karena berbagai kejanggalan tersebut, saya memutuskan mengundurkan diri dari klinik tersebut. Meski Bechi melarang, saya tetap teguh pada pendirian.
Tak lama kemudian, saya mendapat pengakuan dari dua santri relawan yang bertahan dalam klinik tersebut. Mereka diperdaya oleh Bechi dengan memintanya untuk berhubungan seksual dengan dalih ajaran ilmu khusus yang bernama “Metafakta”. Tak hanya itu, Bechi mengaku mendapat keistimewaan mampu menikahkan dirinya sendiri, sehingga ia bisa halal berhubungan seksual dengan siapa saja, tanpa melanggar nilai-nilai kemanusiaan dan hal tersebut dianggapnya sah secara agama.
Setelah peristiwa nahas tersebut, saya dan kawan-kawan merasa bahwa apa yang dilakukan Bechi sudah keterlaluan dan harus dihentikan supaya tidak terjadi pada santri-santri yang lain. Saya dan teman-teman mencari keadilan dengan melaporkan Bechi kepada ayahnya, Kiai Moch. Muchtar Mu’thi (Muchtar) yang notabene adalah pimpinan pesantren Shiddiqiyyah. Namun kesaksian kami tidak dipercaya. Kami justru dipersekusi oleh pihak pesantren. Kiai Muchtar di setiap ceramahnya menuduh kami sebagai tukang fitnah yang akan menghancurkan pesantren dari dalam.
Saya secara personal pada waktu itu menulis di cerita WhatsApp yang berbunyi “Welcome to the jungle, hati-hati di hutan ada harimau galak..”, karena itu saya dituduh membuat fitnah. Saya dipersekusi, lalu dikeluarkan dari pesantren Shiddiqiyyah. Tidak hanya itu, foto saya disebar, disebut sebagai musuh dan provokator yang hendak menghancurkan pesantren Shiddiqiyyah. Semua santri Shiddiqiyyah percaya kepada pimpinan pesantren tersebut, semua tunduk dan patuh, tak ada yang membantah, apalagi meminta klarifikasi soal postingan saya. Pada saat itu saya diculik dibawa ke hutan dua kali, saya diancam akan dibunuh dan saya dipaksa berulang kali untuk mengakui bahwa saya sedang berbuat fitnah.
Tak putus asa, Maret 2018, saya merasa bahwa sebagai santri tidak bisa melakukan perlawanan sendirian, terlebih di pesantren. Saya tidak pernah mendapat materi soal hak asasi manusia dan bagaimana seorang santri bisa mengadvokasi diri ketika mendapatkan kekerasan. Saya merasa kezaliman semakin bertambah banyak bukan karena bertambahnya orang-orang jahat, tetapi diamnya orang-orang baik.
Saya pun mencoba mengorganisir diri dan juga belajar untuk bisa melawan kekerasan seksual yang sistemik yang ada di pesantren Shiddiqiyyah dengan membangun sebuah organisasi yang bernama Front Santri Melawan Kekerasan Seksual (FORMUJERES). Melalui organisasi tersebut saya berharap bisa melakukan berbagai advokasi, melakukan pemberdayaan korban dan juga bisa bersuara lebih lantang meskipun dalam keterbatasan.
Pada Mei 2018, salah satu korban mencoba mencari keadilan dengan melapor ke Kepolisian Resort Jombang. Saya mendukung pelaporannya dengan menjadi saksi. Akibat dari pelaporan tersebut, kawan saya ini mendapat teror dan ancaman yang bertubi-tubi dari pihak Bechi, hingga ia terpaksa memilih untuk mencabut laporannya.
Tak patah arang, saya pun maju menjadi pelapor dan korban lainnya untuk menjadi saksi. Namun laporan tersebut tak kunjung ada kejelasan. Hingga akhir Oktober 2019, saya bersama korban lain mendatangi Kepolisian Resort Jombang untuk melakukan pelaporan ulang yang ke tiga kalinya. Kali ini saya berstatus sebagai saksi. Pada 12 November 2019 akhirnya Bechi ditetapkan sebagai tersangka. Sebuah harapan kecil dari upaya yang sudah kami perjuangkan.
Meskipun demikian, penetapan Bechi sebagai tersangka tak membuat banyak hidup Bechi berubah, Bechi tetap bisa bebas beraktivitas seperti biasanya, bahkan di beberapa kesempatan ia bisa kunjungan ke beberapa daerah dengan dikawal polisi. Bagi saya dan kawan-kawan, ini tidak bisa diterima. Karena itu berbagai upaya advokasi seperti membuat aliansi, melakukan demonstrasi, bersurat ke instansi dan pejabat, membuat petisi, hingga meramaikan pemberitaan di media kami upayakan. Tujuannya membuat sang tersangka segera ditangkap.
Di sisi lain, pihak Bechi dan jamaah Shiddiqiyyah semakin memperkuat barisan mereka. Mereka menuduh bahwa pelaporan korban adalah fitnah. Mereka juga membuat narasi bahwa pesantren dan ada ulama yang sedang dikriminalisasi dengan tuduhan melakukan kekerasan seksual.
Pada 9 Mei 2021, saya merasa lelah dengan kasus yang kunjung tak ada kemajuan. Secara personal mengunggah status di media sosial yang berisi kekesalan atas perkembangan hukum Bechi. Karena status tersebut, saya mendapat ancaman pembunuhan, saya menjadi korban penganiayaan, perampasan ponsel, diancam tindak pidana Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan dilaporkan melakukan perusakan mobil oleh jamaah Shiddiqiyyah.
Tidak hanya itu, jamaah Shiddiqiyyah juga mengepung rumah orang tua saya selama dua hari dua malam, sampai orang tua saya merasa terancam dan harus mendapat perlindungan pada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Tak hanya itu masyarakat di desa saya juga mengalamai ketakutan.
Berbagai kejadian buruk yang saya alami membuat saya harus pindah dan singgah di rumah aman dari satu kota ke kota lain. Namun, saya sedikit bahagia, karena atas kejadian yang saya alami memantik kasus Bechi ramai diberitakan oleh media. Saya pun mencoba turut menuliskan berbagai kejadian buruk yang saya alami di berbagai media, di antaranya di omong-omong.com, yang kemudian tulisan tersebut mendapat banyak respon publik yang bisa mendorong polisi untuk bergerak menyelesaikan kasus. Tak lama setelah itu, kasus kekerasan seksual ini dinyatakan oleh kejaksaan telah lengkap dalam pemberkasan, dan Bechi berstatus daftar pencarian orang (DPO) sejak awal Januari 2022.
Namun, rangkaian peristiwa ini tak juga memengaruhi keyakinan para jamaah bahwa Bechi tidak bersalah, sehingga mereka tetap tunduk patuh kepadanya. Sejak Bechi menjadi DPO para jamaah berjaga selama berbulan-bulan di pesantren Shiddiqiyyah bahkan para jamaah bertindak berlebihan dengan menghalangi aparat kepolisian, turut berdemonstrasi, memblokade jalan.
Sementara, Bechi sendiri masih bisa beraktivitas seperti biasa, mengisi acara pengajian, dan bahkan melakukan konser musik. Ia bahkan sempat mengajukan praperadilan meskipun kemudian ditolak hakim karena bukti-bukti dianggap sudah lengkap. Di sisi lainnya, aparat kepolisian juga tidak bisa segera menangkap Bechi, sehingga menebalkan keyakinan bebal kepada para jamaah Shiddiqiyyah bahwa Bechi hanyalah korban fitnah.
Saya dan kawan-kawan saya terus berjuang bagaimana caranya bisa memenjarakan Bechi. Saya berusaha untuk mencari tahu berbagai pergerakan yang dilakukan oleh jamaah Shiddiqiyyah dengan masuk ke berbagai grup media sosial jamaah Shiddiqiyah dan membaca berbagai terbitan majalah internal Shiddiqiyyah. Kemudian saya menulis berbagai tulisan.
Selain menulis di berbagai media, saya ketika aktif di lembaga pers mahasiswa dan juga saat menjadi koordinator badan pekerja advokasi Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) di tingkat nasional menggerakkan berbagai lembaga pers mahasiswa dan juga berbagai media untuk turut bersolidaritas dan turut memberitakan berbagai kasus yang kami alami. Hingga publik luas mengetahui kasus kekerasan seksual yang dilakukan Bechi. Karena ramainya pemberitaan kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh Bechi, hal tersebut membuat polisi mau tidak mau harus bertindak adil untuk menangkap pelaku kekerasan seksual.
Pada tanggal 7 Juli 2022, ratusan jemaah Shiddiqiyyah membentuk barisan manusia di depan gerbang pesantren untuk menghalangi polisi. Sebaliknya, ratusan polisi dari Polda Jawa Timur harus memecah blokade itu. Sebanyak 320 jemaah Shiddiqiyyah ditangkap polisi karena melawan aparat, sementara Kasat Reskrim Polres Jombang AKP Giadi Nugraha disiram kopi panas dan mengalami luka bakar di tubuhnya. Polisi dan perusahaan listrik negara sampai harus memutus aliran listrik pesantren.
Butuh 18 jam akhirnya polisi bisa mendapatkan Bechi. Itu pun tidak ditangkap, tapi Shofwatul Ummah dan Kiai Muchtar Mu’thi, orang tua Bechi, yang menyerahkan anak itu ke polisi setelah negosiasi saat tengah malam. Setelahnya Bechi dibawa ke Rumah Tahanan Kelas I Surabaya di Medaeng. Sidang perdananya digelar pada 18 Juli 2022. Sidang dengan nomor perkara 1361/Pid.B/2022/PN Sby ini sudah menggelar 28 agenda sidang. Sidang vonis pada 17 November 2022 dan dinyatakan bersalah serta mendapat hukuman 7 tahun penjara.
Kami memang memenangkan persidangan, namun hingga tulisan ini ditulis dan diterbitkan, hingga hari ini saya dan kawan-kawan saya masih mendapatkan berbagai hal buruk, masih diintimidasi, masih mendapatkan tuduhan bahwa saya dan kawan-kawan yang mengancurkan nama baik pesantren Shiddiqiyyah.
Hidup saya dan kawan-kawan saat ini masih dalam bayang-bayang kekerasan. Ada banyak kemungkinan kami bisa diculik dan disiram air keras ketika berjalan sendirian. Ada banyak kemungkinan saya dan kawan-kawan dibunuh dengan tragis dan diracun orang. Beberapa orang terdekat kami terus khawatir dengan kondisi kami. Hingga sampai saat ini masih dalam perlindungan Lembaga Saksi dan Korban (LPSK),
Pihak pesantren Shiddiqiyyah pun sampai hari ini masih terus berupaya untuk membuat pergerakan di antaranya, mereka terus melakukan sosialisasi kepada jamaah pesantren dan masyarakat Jombang bahwa Bechi tidak bersalah, mereka membuat banyak publikasi di media mereka bahwa Bechi adalah seorang pahlawan yang cinta tanah air, tokoh agama yang punya banyak kontribusi kepada masyarakat.
Tak hanya itu, saat Bechi di penjara, pihak pesantren lebih banyak lagi membuat program bakti sosial untuk menutupi berbagai hal buruk yang sudah dilakukan Bechi. Lebih parah lagi ada dugaan Bechi bisa keluar masuk penjara, karena bisa membayar para petugas lapas dengan nominal ratusan juta setiap bulannya.
Di dalam keterbatasan pengetahuan dan pengalaman, kami saat ini berusaha untuk mengorganisir diri dan saling menguatkan satu sama lain dalam sebuah organisasi yang bernama Front Santri Melawan Kekerasan Seksual (FORMUJERES). Para korban sadar bahwa dengan menguatkan satu sama lain di dalam sebuah trauma yang dirasakannya akan bisa membuatnya merasa pulih secara perlahan.
Hal itu juga membuatnya tidak merasa sendirian karena tidak hanya dirinya saja yang mengalami kasus kekerasan seksual di pesantren Shiddiqiyyah. Ada juga orang lain yang bernasib sama dengan dirinya. Hingga kami ada dalam kesadaran bahwa kekerasan seksual tidak hanya terjadi di pesantren Shiddiqiyyah saja, tapi juga terjadi di beberapa pesantren yang lain, yang mempunyai pola yang sama; pelaku adalah segelintir orang dan korban dalam satu kasus bisa berjumlah belasan bahkan puluhan korban.
Dalam organisasi ini kami turut membantu para peneliti, mahasiswa ataupun dosen untuk menjadi narasumber terkait kasus kekerasan seksual di pesantren Shiddiqiyyah maupun di pesantren lainnya. Kami juga membantu para korban kekerasan seksual lainnya di beberapa pesantren dengan turut bersolidaritas dan juga turut membantu advokasi.
Kami turut mendukung kampanye anti kekerasan seksual di media sosial, website, membuat diskusi, menerbitkan buku menyoal kasus kekerasan seksual di pesantren, membuat proyek film dokumenter untuk mencegah kasus kekerasan seksual di pesantren. Lebih dari itu, kami saat ini sedang menulis sastra perlawanan terhadap kasus kekerasan seksual yang dialaminya di pesantren, dalam penulisan sastra ini, kami yakin bahwa tidak ada yang bisa membungkam suara para korban dalam dunia fiksi.
Dalam hal pendidikan, para korban kasus kekerasan seksual di Shiddiqiyyah saat ini sedang berusaha untuk pulih dan mencoba untuk memperbaiki kondisi hidupnya dengan memulai sekolah lagi untuk bisa mendapat ijazah setara Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas di usianya yang menjelang 30 tahun. Besar harapan nantinya mereka bisa menempuh pendidikan tinggi dan menjadi ahli dalam bidang tertentu, supaya mereka tidak lagi menjadi korban dan hidup dalam pesakitan.
Dalam hal ekonomi, para korban sedang berusaha menata hidup di dalam banyak keterbatasannya, beberapa korban mulai berjualan es dan menjual makanan kering, mengajar baca tulis untuk anak-anak, turut serta dalam pemberdayaan masyarakat di desa, selain itu ada yang menjadi pekerja rumah tangga di Singapura untuk memperbaiki kondisi perekonomiannya.
Berdasarkan apa yang terjadi, para korban berfikir bahwa perjuangan yang sudah mereka lakukan adalah langkah awal. Langkah selanjutnya adalah bisa pulih seutuhnya dan bisa lebih berdaya dari yang sebelumnya, supaya nantinya bisa lebih lantang melawan berbagai penindasan yang dialaminya maupun dialami oleh orang lain.
*Tulisan ini pernah terbit dalam buku “JEDA” Kumpulan Tulisan Retreat Satupena 2024, diterbitkan oleh OM Institute.

