Pos

Insiden Armina dan Strategi Penyelenggaraan Haji Pemerintah Indonesia

Oleh: Nur Hayati Aida, Peneliti di Rumah KitaB dan Anggota Aliansi PTRG

 

“Puluhan tahun menunggu untuk beribadah haji, tetapi pas pelaksanaan tidak diberi fasilitas yang memadai.”

 

Begitu banyak komentar yang bertebaran di media sosial tentang haji. Insiden Musdalifah adalah puncaknya. Setidaknya 10 jam jemaah haji Indonesia tertahan di Musdalifah saat hendak ke Mina karena antrean panjang kendaraan yang menyebabkan macet. Cuaca ekstrem dan rasa lelah membuat sebagian jamaah jatuh sakit, tak sedikit yang harus dibawa ke rumah sakit.

Meski ibadah haji dilaksanakan setiap tahun, tetapi di tiap tahunnya pula ada berbagai masukan dan kritik bagi penyelenggaranya, baik dari Pemerintah Indonesia atau Pemerintah Arab Saudi. Sebab, pelaksanaan haji tidaklah sebagaimana ibadah-ibadah lainnya. Sepengetahuan saya, tak ada agama, kecuali Islam, yang bisa mempertemukan umatnya pada satu tempat di waktu yang sama, atau seperti event-event tahunan yang pesertanya mencapai jutaan orang. Oleh karenanya, penyelenggaraan ibadah haji membutuhkan SDM dan sistem yang profesional, tanpa itu mustahil rasanya bisa mengelola satu juta delapan ratus orang (970.000 laki-laki dan 875.000 perempuan), mulai dari transportasi, akomodasi, konsumsi, kesehatan, dan media informasi. Terlebih, 221.000 jemaah, usianya 50 tahun ke atas. Usia yang tak lagi muda, sehingga membutuhkan penanganan khusus.

 

Terobosan Kementerian Agama RI

Mengantisipasi hal itu, Kementerian Agama RI membuat satu terobosan pada musim haji kali ini. Pertama, layanan haji yang ramah terhadap jemaah lanjut usia (lansia) dan resiko tinggi (resti). Strategi ini ditempuh karena jemaah haji asal Indonesia rata-rata adalah lansia yang tak jarang juga resti. Dalam strategi ini, Kementerian Agama RI menerjunkan 4.200 petugas haji pada tahun ini yang terbagi dalam bagian pelayanan transportasi, pelayanan akomodasi, pelayanan konsumsi, pelayanan ibadah, pelayanan sistem komunikasi informasi, pelayanan kesehatan untuk tiap-tiap kloter. Jumlah petugas haji ini naik dua kali lipat dari tahun sebelumnya 1.901.

Petugas haji inilah yang menjadi “tongkat” bagi para jemaah haji, terutama yang lansia dan risti, dalam keseharian menjalani ibadah selama di tanah suci. Mulai dari memastikan akomodasi selama di Makkah dan Madinah, serta selama puncak ibadah haji di Arafah, Musdalifah, dan Mina; transisi dari satu kegiatan ibadah ke kegiatan lainnya—petugas-petugas haji juga di tempatkan di lokasi-lokasi strategis untuk mengantisipasi jemaah yang tersesat; memantau kesehatan jemaah hingga perawatan jemaah yang sakit dengan melakukan kunjungan secara teratur ke maktab-maktab.

Strategi ini bukanlah omong kosong belaka, beberapa orang yang saya kenal dengan baik menjadi petugas haji tahun ini. Meski tidak setiap saat, mereka meng-update perkembangan dari satu tempat ke tempat lain, dari satu peristiwa ke peristiwa lain terkait dengan pelaksanaan ibadah haji di tanah suci. Sungguh, pekerjaan itu tidak mudah karena harus bertemu dengan berbagai macam karakter. Taruhlah pengumuman ke Masjidil Haram akan dilaksanakan pukul sekian dengan menggunakan bus, tetapi karena tidak sabar, ada saja jemaah yang berjalan kaki ke Masjidil Haram. Akhirnya, tak sedikit kelelahan atau kesasar. Dan, cerita semacam ini banyak ragamnya.

Kedua, perempuan terlibat penuh dalam penyelenggaraan haji ini, baik sebagai Tim Amirul Hajj atau sebagai petugas haji. Langkah ini ditempuh karena dari 221.000 jemaah haji Indonesia 55,1%  adalah perempuan, sisanya 44,9% laki-laki. Dengan jumlah lebih dari 55% jemaah perempuan, strategi melibatkan lebih banyak perempuan dalam pelaksanaan haji tahun ini adalah jitu. Dalam beberapa kasus, jemaah perempuan lebih nyaman dilayani oleh petugas haji perempuan ketimbang petugas laki-laki, terutama jika berkenaan dengan hal-hal yang lebih privat. Dengan kepekaan dan sensitivitasnya, perempuan dapat lebih mudah beradaptasi dan membantu jemaah perempuan dalam menjalankan aktivitasnya.

Dalam sejarah Indonesia, baru kali ini kita melihat perempuan masuk dalam Tim Amirul Hajj. Catatan sejarah ini membantah semua prasangka bahwa perempuan tak memiliki kompetensi yang layak dalam penyelenggaraan haji.

 

Insiden Armina

Insiden Armina tidak boleh dibiarkan begitu saja. Rentetan insiden itu adalah antrian panjang di Musdalifah, tenda yang melebihi kapasitas dan makanan yang tak terdistribusi dengan baik, hingga jauhnya akses toilet dari tenda. Insiden ini harus diselesaikan dan ditindaklanjuti karena secara profesional Indonesia telah menyelesaikan kewajibannya kepada Pemerintah Arab Saudi, sehingga wajib bagi Indonesia untuk menuntut pelayanan yang layak. Di antara strategi yang bisa ditempuh adalah negosiasi bilateral yang menjelaskan kepentingan dan konsen Pemerintah Indonesia terhadap jemaahnya yang umumnya lansia. Jika ini bisa terkomunikasikan dengan baik, maka bisa menjadi pembelajaran di pelaksanaan haji tahun depan.

Di luar semua itu, apresiasi yang tinggi kepada semua petugas haji yang telah bekerja dengan hati untuk melayani jemaah.[]