Pos

Al-Qur`an, Sejarah, dan Budaya

MASIH jelas dalam ingatan kita pandangan kontroversial tentang historitas dan kebudayaan al-Qur`an yang dilontarkan oleh Nasr Hamid Abu Zaid dalam karyanya, “Mafhûm al-Nashsh”. Ia berpendapat bahwa al-Qur`an adalah produk budaya (muntaj tsaqâfîy). Banyak orang yang menilai pandangan itu menyesatkan. Namun, itu adalah kreativitas Nasr Hamid Abu Zaid sebagai seorang pemikir yang mempunyai wawasan keagamaan cukup dalam dan punya kemauan keras untuk mengkaji al-Qur`an berdasarkan kerangka sosio-historisnya.

Ada beberapa faktor yang membuat kita sependapat dengan pandangan Nasr Hamid Abu Zaid tentang historitas dan kebudayaan al-Qur`an. Pertama, penggunaan bahasa Arab. Allah berfirman dalam al-Qur`an, “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa al-Qur`an dengan bahasa Arab, agar kamu berpikir (memahami).” Memahami ayat ini, kita melihat bahwa maksud Allah menurunkan al-Qur`an dengan bahasa Arab adalah agar kita menggunakan potensi akal untuk berpikir. Setiap muslim tentu yakin dan beriman bahwa al-Qur`an adalah firman Allah yang diwahyukan kepada utusan-Nya, Muhammad Saw., melalui perantara malaikat Jibril dalam rentang waktu lebih dari dua puluh tahun. Namun yang menjadi masalah sekarang adalah bahwa al-Qur`an itu menggunakan bahasa manusia, yaitu bahasa Arab.

Sebagai bahasa manusia, tentunya bahasa Arab memiliki banyak keterbatasan karena sifatnya yang konvensional. Berbahasa Arab menandakan pula berbahasa menurut tradisi masyarakat Arab ketika itu yang tidak saja berkaitan dengan korelasi kata dan makna, lebih dari itu juga berkaitan dengan bahasa dan pola pikir mereka. Tidak mengherankan bila banyak dari materi atau kandungan ayat-ayat al-Qur`an yang dipengaruhi oleh unsur-unsur sosio-kultural, politis, mistis dan hal-hal lainnya yang memang menjadi khas masyarakat Arab.

Kedua, maskulinitas al-Qur`an. Siapapun orang yang membaca al-Qur`an sepintas akan berpandangan bahwa kitab suci tersebut cenderung memihak kepada kaum laki-laki. Namun ini tidak lantas menunjukkan bahwa Allah lebih mengutamakan kaum laki-laki dan mengesampingkan kaum perempuan (Mahasuci Allah dari sifat diskriminatif), melainkan salah satu dampak dari pemakaian bahasa Arab sebagai bahasa masyarakat yang menganut sistem patriarkhi kala itu.

Ketiga, respon al-Qur`an dalam menjawab prolematika yang ada. Ini sangat historis sekali. Dalam kaitannya dengan hal ini kita bisa mencontohkan asbâb al-nuzûl yang artinya sebab-sebab turunnya ayat-ayat al-Qur`an. Misalnya begini: dalam al-Qur`an ada sebuah ayat yang berbunyi “Yas`alûnaka ‘an al-khamr” (Mereka bertanya kepadamu tentang khamr). Kita harus tahu kenapa ayat ini turun. Dalam sebuah riwayat disebutkan, bahwa pada suatu hari ada seorang sahabat yang mengeluh kepada Nabi bahwa para sahabat mabuk, bagaimana mereka mau shalat? Sedangkan saat itu Islam sudah berjalan lebih dari sepuluh tahun di Madinah. Mereka bertanya, dan Nabi tidak bisa menjawab langsung hari itu juga. Karenanya beliau menyuruh para sahabat menunggu hingga esok hari. Ini artinya apa? Nabi menunggu wahyu. Ini membuktikan bahwa potongan ayat-ayat al-Qur`an itu dibangun dari konstruksi kesejarahan yang sangat kuat. Bisa dibayangkan kalau, misalnya, saat itu tidak ada orang yang bertanya tentang khamr kepada Nabi. Mungkin hingga sekarang kita tidak akan mempunyai ayat tentang khamr. Ini merupakan salah satu indikasi bahwa al-Qur`an tumbuh dan berkembang bersama sejarah. Dan menurut Nasr Hamid Abu Zaid, itu bisa diinterpretasikan secara historis. Bahasa al-Qur`an adalah bahasa sejarah, bahkan kontekstual, dan konteksnya adalah adalah konteks sejarah.

Keempat, masa-masa kodifikasi al-Qur`an. Pada masa Nabi, al-Qur`an hanyalah merupakan tulisan-tulisan pendek di atas kulit-kulit hewan, daun-daun, dan batu-batu atau juga dalam bentuk hafalan. Jadi, sejak semula sudah ada upaya-upaya serius dalam rangka pemeliharaan al-Qur`an, yang mencapai puncak kesempurnaannya pada masa Utsman ibn Affan. Disebutkan bahwa setelah al-Qur`an dikodifikasi dan menjadi sebuah kitab utuh, sejumlah salinan mushaf utsmani dikirim ke berbagai kota metropolitan Islam.

Menurut pandangan yang diterima secara luas, satu mushaf al-Qur`an disimpan di Madinah, dan tiga salinannya dikirim ke Kufah, Bashrah, Damarkus, dan satu mushaf lagi disimpan oleh Utsman sendiri. Mushaf di tangan Utsman inilah yang kemudian dikenal sebagai al-imâm (mushaf induk). Latar belakang kodifikasi Utsman dan penyebarannya pada saat itu sangatlah terkait dengan perbedaan bacaan di kalangan umat Muslim. Setelah penyebaran, berbagai mushaf atau fragmen al-Qur`an lainnya yang tidak sesuai dengan mushaf Utsmani dimusnahkan atas perintah Khalifah.[1] Inilah yang kemudian menimbulkan masalah, al-Qur`an yang selama ini diyakini sebagai firman Allah yang a-historis dan sangat transenden, pada akhirnya harus ‘terintervensi’ oleh upaya tangan-tangan manusia yang tidak bisa lepas dari bias-bias politik, sosial, dan budaya.

Kelima, adanya literatur tentang asbâb al-nuzûl, al-ãyãt al-makkîyyah dan al-ãyãt al-madanîyyah juga tentang ayat-ayat yang dihapus/diganti dan menggantikan (mansûkh wa nâsikh). Ini juga sudah cukup dijadikan sebagai justifikasi bahwa konteks sosio-politik dan historis sangat mempengaruhi turunnya ayat-ayat al-Qur`an.

Seperti yang disebutkan di atas bahwa al-Qur`an adalah wahyu dari Allah. Namun ketika ia hadir ke tengah-tengah manusia dan menggunakan bahasanya, maka ia tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh-pengaruh budaya masyarakat di mana ia turun. Apalagi ketika ia terlibat dalam merespon balik problematika kemanusian yang ada ketika itu. Inilah sebenarnya yang dimaksudkan oleh Nasr Hamid Abu Zaid ketika ia berpendapat bahwa al-Qur`an adalah produk budaya.

Al-Qur`an disampaikan, sebagaimana diriwayatkan, dalam proses kontinyu selama kira-kira 23 tahun. Ketika wahyu diturunkan pertama kali telah terjadi dialog antara Nabi Muhammad dan Jibril di gua Hira. Dialog itu tidak bisa dianggap sederhana, terputus, tetapi merupakan dialog ‘intim’ dan sehat antara manusia dan malaikat, antara bumi dan langit. Dialog tersebut memiliki dimensi-dimensi yang pengaruhnya luas dan menjadi karakter seluruh ajaran Islam. Ketika Malaikat Jibril meminta untuk membaca, Nabi tidak menjawab dengan penolakan. Jawaban beliau adalah “Mâ anâ bi qâri’”. Menurut Prof. Dr. George Tamer—dalam pengantarnya untuk buku “Târîkh al-Qur`ân” (Sejarah al-Qur`an) karya Noldeke—, pernyataan ini, kalau dianggap sebagai pemberitahuan, maka itu menunjukkan sikap sebenarnya dari suatu wujud yang riil. Dan kalau dianggap sebagai pertanyaan, maka itu merupakan tanya-jawab sesungguhnya, yang menggambarkan ‘kebingungan’ akan wahyu yang baginya, untuk pertama kali, nampak sangat aneh dan mengherankan.

Pada dua kondisi tersebut kita melihat sisi ‘kemanusiaan’ yang menerima firman yang turun dari atas. Dimensi kemanusiaan, dimensi realitas historis yang menerima wahyu Allah, tidak ‘mati’, baik dalam dialog tersebut dan juga dalam masa-masa setelahnya. Pengulangan perintah dan jawaban menunjukkan bahwa wahyu tidak datang secara otomatis (sekaligus), akan tetapi dalam proses berkelanjutan. Dalam proses ini Nabi ikut serta dengan segenap jiwa raganya. Di kala wahyu tidak turun, Nabi gelisah dan cemas. Bahkan tak jarang beliau ingin mengakhiri hidupnya. Tidak ada yang melarangnya melainkan malaikat datang memperingatkan. Hal ini perlu direnungkan secara cermat untuk menyingkap beragam makna. Jika dilihat dalam konteks sekarang, sikap Nabi tersebut adalah sikap seseorang yang penuh hasrat dan rindu akan firman Allah yang belum diturunkan, lalu muncullah dalam jiwanya yang penuh kerinduan itu rasa sakit yang mendalam. Dan dalam keadaan seperti itu tidak ada jalan lain untuk menggapai firman Allah kecuali kematian. Dimensi kemanusiaan, dalam posisi ini, berbicara dengan sangat kuatnya dan menampakkan dirinya secara tajam dan jujur.

Unsur kemanusiaan begitu jelas terpampang dalam dialog dengan Allah selama turunnya wahyu. Allah tidak hanya berbicara dengan Nabi, tetapi juga dengan kaum Mukmin, bahkan dengan para Ahlul Kitab dan non-Muslim. Mereka semua adalah ‘lawan bicara’ Allah, mereka juga berbicara satu sama lain, sebagaimana yang terjadi antara para nabi dan kaumnya. Jadi, bukan hanya Allah satu-satunya yang berbicara secara langsung dalam al-Qur`an. Di sana terdapat orang lain yang berbicara. Sebagian berbicara dengan firman Allah, dan sebagian yang lain tidak. Ini tidak berarti bahwa al-Qur`an bukan wahyu dari Allah, tetapi wahyu Allah yang memuat pembicaraan manusia.

Jadi, struktur al-Qur`an sangat dialogis, dinamis dan diskursif. Struktur ini sesuai dengan kondisi-kondisi di mana ia muncul, ketika nantinya ia merupakan wahyu yang diterima, dipindah dan dipindah-pindahkan. Studi ilmiah terhadap al-Qur`an merupakan upaya untuk menyentuh realitas historis ini, upaya mengingatnya kembali melalui studi terhadap surat-surat dan ayat-ayat, tidak terlepas dari ruang dan waktu ketika pertama kali ia diwahyukan. Studi ilmiah adalah upaya untuk kembali ke asal (al-ushûl), ke masa yang di dalamnya wahyu merupakan realitas dinamis, huruf-huruf yang berdenyut, kalimat-kalimat yang dibaca, yang ketika orang yang mendengarkannya pertama kali menjadi terheran-heran dengan keindahan dan keanehan isinya. Upaya untuk mencari jejak asalnya, menyingkap realitas historis yang di dalamnya al-Qur`an dikodifikasi, sekaligus juga muncul riwayat dan pembacaan yang variatif.

Upaya-upaya kritik terhadap kodifikasi al-Qur`an tidak berarti meragukan eksistensinya sebagai kitab suci. Para pemikir seperti Mohammed Arkoun, Muhammad Abid al-Jabiri, Hassan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zaid dan beberapa pemikir Muslim lainnya, tidak satupun dari mereka yang tidak percaya bahwa al-Qur`an berasal dari Allah. Justru, ketika membaca karya-karya mereka, keimanan kita terhadap al-Qur`an akan semakin bertambah. Dengan keimanan itu kita akan menjadi lebih terbuka untuk berdialog dengan orang lain.

Kritik terhadap kodifikasi al-Qur`an sebenarnya hendak menunjukkan bahwa al-Qur`an tidak lepas dari campur tangan manusia. Artinya, antara al-Qur`an dan manusia selalu terjadi dialektika; pergulatan yang terus-menerus, tidak turun dari Allah langsung berupa sebuah kitab seperti yang ada di tangan kita saat ini. Dari sini dapat dipahami bahwa sebenarnya Allah berkehendak agar manusia juga ikut berperan—walaupun hanya dalam proses kodifikasi; di samping itu tentu saja dalam penafsirannya—, sebab al-Qur`an diturunkan bukan untuk kepentingan Allah, tetapi demi kepentingan manusia.

Kritik terhadap kodifikasi al-Qur`an tidak dimaksudkan untuk merobohkan keimanan kita terhadapnya. Hal itu dilakukan semata-mata untuk menentukan metode penafsiran yang sesuai. Untuk saat ini, biarlah al-Qur`an kita lihat apa adanya; sudah menjadi sebuah kitab. Yang kita butuhkan adalah metode penafsiran, agar al-Qur`an tidak hanya menjadi sekumpulan teks yang mati, tetapi ia tetap hidup dan dinamis serta mampu berdialektika dengan zaman.

Sekali lagi, studi ilmiah terhadap al-Qur`an sama sekali bukan untuk merendahkannya. Semestinya, di setiap zaman, dalam diri kita harus senantiasa muncul kesadaran bahwa Allah menurunkan makna-makna baru al-Qur`an. Untuk mencari makna-makna baru itu tidak cukup hanya dengan mengandalkan model penafsiran ulama klasik, di samping itu diperlukan model-model lain yang tentu saja lebih cocok untuk konteks sekarang.

Banyak sekali cara yang bisa digunakan untuk menggali makna-makna baru dalam al-Qur`an. Misalnya dengan cara mengkritisinya dengan membaca ulang sejarah kodifikasinya. Apa yang selama ini digembar-gemborkan tentang kritik terhadap al-Qur`an, bukan terhadap teks al-Qur`an itu sendiri, tetapi lebih kepada hasil penafsiran para ulama terdahulu. Kesempurnaan al-Qur`an justru terletak pada “keterbukaannya” untuk ditafsirkan. Harus ada ijtihad baru sebagai upaya interpretatif terhadap teks-teks al-Qur`an. Ini sesuai dengan perkataan Imam Ali ra., bahwa al-Qur`an tidak bisa bicara, ia hanya bicara melalui manusia dalam menjawab tantangan zamannya.[]

_______________________

 

[1]          Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur`an, Yogyakarta: FkBA, 2001, Cet. 1, hal. 131