Pos

Alarm Darurat Tingginya Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan Penyandang Disabilitas

Dua tahun sejak pemberlakuan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), kasus kekerasan seksual terhadap perempuan penyandang disabilitas tetap tinggi. Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2023 melaporkan bahwa pihaknya telah menerima 105 kasus kekerasan terhadap perempuan penyandang disabilitas.

Dalam catatan tersebut, memang tidak secara spesifik disebutkan angka kasus kekerasan seksual terhadap perempuan penyandang disabilitas. Akan tetapi, antara 2017 dan 2019, data dari Komnas Perempuan menunjukkan tren peningkatan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan penyandang disabilitas.

Pada 2017, Komnas Perempuan mencatat 57 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dengan disabilitas. Angka tersebut tetap sama sepanjang 2018, kemudian bertambah menjadi 69 kasus setahun setelahnya.

Pada 9 Mei 2022, UU TPKS resmi diundangkan, sekitar sebulan setelah pengesahannya oleh DPR dan pemerintah pada 12 April 2022. UU tersebut, antara lain, bertujuan menegakkan hukum dan memulihkan kondisi korban. Merujuk pada angka 105 kasus, sayangnya, UU tersebut hingga sekarang belum cukup mampu mencegah kekerasan seksual terhadap perempuan dengan disabilitas.

Pertanyaannya Sekarang, Mengapa Demikian?

Statistik tersebut menyiratkan adanya sikap diskriminatif yang masih jamak di masyarakat. Dengan kata lain, kita belum sepenuhnya menganggap perempuan penyandang disabilitas sebagai setara dengan masyarakat umum. Sudah seharusnya mereka memperoleh kesempatan yang sama dalam mengakses pendidikan, kesehatan, dan tentunya perlindungan hukum.

Fakta tersebut merupakan alarm yang berbunyi nyaring. Kita masih mengotak-kotakkan sesama hanya berdasarkan kondisi fisik atau intelektualitas. Saudara kita yang menyandang disabilitas masih sering dipandang sebelah mata. Berbagai kekurangan yang mereka miliki membuat kita merasa perlu mengasihani mereka. Seolah-olah perasaan tersebut belum cukup, sebagian kecil masyarakat bahkan meremehkan keberadaan mereka sebagai manusia utuh. Ini terbukti dari anggapan bahwa “wajar” apabila melecehkan mereka, baik secara verbal maupun seksual, hanya lantaran mereka dianggap “kurang.”

Munculnya UU TPKS merupakan angin segar agar saudara kita, khususnya perempuan penyandang disabilitas, tidak lagi takut bersuara jika dilecehkan. UU tersebut membuka jalan normalisasi penyelesaian kasus kekerasan seksual terhadap perempuan penyandang disabilitas layaknya kasus hukum lainnya, tidak lagi secara kekeluargaan atau melalui jalur ganti rugi.

Tantangan Berlapis Menangani Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan Penyandang Disabilitas

Hidup di negara yang masih kuat dengan budaya patriarki, perempuan penyandang disabilitas harus menghadapi stigma berlapis di masyarakat. Perempuan masih dinilai sebagai “kelas kedua” di bawah pria. Akibatnya, perempuan dianggap inferior dan tidak mempunyai ruang gerak sebebas pria dalam ranah sosial dan politik.

Selain itu, hingga sekarang, masih sering terdengar penyelesaian kasus kekerasan seksual melalui jalur kekeluargaan. Rasa malu jika kasus terbongkar membuat korban rela mengubur kasus, asalkan dinikahi. Ini berarti hak asasi perempuan masih diabaikan. Rasa malu terhadap masyarakat lebih diutamakan dibanding memperjuangkan keadilan bagi diri sendiri. Mirisnya, terkadang keluarga korban malah mendukung solusi tersebut.

Untuk korban perempuan penyandang disabilitas, tantangan bertambah dengan adanya keterbatasan fisik atau intelektualitas. Keterbatasan wicara, misalnya, membuat mereka sulit untuk menjelaskan kejadian yang sebenarnya. Hal ini diperparah dengan belum semua aparat kepolisian menganggap serius penjelasan korban. Di sisi lain, bagi perempuan penyandang disabilitas intelektual, pemahaman mereka mengenai kekerasan seksual masih kurang. Alhasil, mereka tidak menyadari saat mendapat perlakuan tersebut.

Herdiana Randut, anggota Woke Asia Feminist dan anggota Komunitas Puandemik Indonesia, kepada mediaindonesia.com pada 19 Maret 2024, mengatakan bahwa keterbatasan fisik dapat membuat korban cenderung menutupi kasus yang dialaminya sehingga takut melaporkannya ke pihak berwenang. Seolah itu belum cukup, perempuan penyandang disabilitas juga masih menghadapi kurangnya pendampingan saat kasus sedang berjalan.

Berlapisnya masalah yang dihadapi perempuan penyandang disabilitas sebagai korban kekerasan seksual pada gilirannya membutuhkan solusi berkelanjutan. Yang pertama, yakni melalui kegiatan advokasi dan penyuluhan yang dimulai dari level bawah. Hal ini diperlukan karena penyandang disabilitas adalah bagian dari masyarakat. Dengan frekuensi penyuluhan yang sering, stigma yang ada akan perlahan hilang sehingga tidak ada lagi yang menganggap penyandang disabilitas sebagai “kaum yang kurang.”

Penyuluhan kepada aparat hukum juga tidak kalah pentingnya. Pendekatan penanganan kasus kriminal dari sudut pandang penyandang disabilitas wajib diterapkan. Penegak hukum harus dipastikan mendapatkan materi yang sama, baik di kota besar maupun di daerah terpencil. Dengan konsistensi kegiatan ini, diharapkan tujuan UU TPKS dapat tercapai, yakni menekan angka kekerasan seksual terhadap perempuan penyandang disabilitas dan memenuhi semua hak mereka sebagai Warga Negara Indonesia yang sama di mata hukum.

Cegah Perkawinan Anak, Rumah Kitab Gandeng Ormas Islam

Jakarta, Gatra.com – Rumah Kita Bersama (Kitab) mengajak puluhan organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam, akademisi dan peneliti bersama-sama mencegah perkawinan anak yang masih marak terjadi di Indonesia.

Hasil penelitian dan advokasi Rumah Kitab, angka perkawinan anak di Indonesia masih tinggi dikarenakan beberapa alasan yang berkaitan keagamaan.

“Pertama, kawin anak dianggap sebagai solusi terbaik menghindari perzinaan. Ini dipakai orangtua untuk mengantisipasi pergaulan tidak sehat,” kata Direktur Rumah Kitab, Lies Marcoes Natsir di kawasan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Rabu (31/7).

Alasan lain adalah orangtua merasa memiliki kekuasaan untuk memaksa anaknya menikah atau hak ijbar. Pada kondisi ini, anak tidak bisa menolak paksaan dari orangtua.

Banyak umat Islam yang meyakini patokan usia menikah adalah usia baligh. Selain itu, sambung Lies, banyak yang mencontoh Nabi Muhammad yang menikahi Aisyah pada usia sembilan tahun tanpa melihat konteks masa itu.

“Kasus perkawinan anak karena kehamilan tidak diinginkan (KTD) dan orangtua melihat perkawinan sebagai solusi. Padahal perkawinan anak ini banyak ruginya daripada manfaatnya,” lanjut dia.

Lies mengatakan ormas Islam memiliki peran besar dalam pencegahan dan sosialisasi dampak perkawinan anak. Hal itu dapat dilakukan melalui bahasa agama yang dimiliki ormas.

“Ormas dengan basis agama Islam berperan penting dalam memastikan sosialisasi pesan-pesan pembangunan. Menjadi penyaring sekaligus agen dan menyuarakan misi pembangunan dengan menggunakan bahasa agama,” jelasnya.


Reporter: Novrizaldi
Editor: Abdul Rozak
Sumber: https://www.gatra.com/detail/news/433903/millennials/cegah-perkawinan-anak-rumah-kitab-gandeng-ormas-islam

PEMBERDAHSYATAN KUA JILID II

Oleh Adib Machrus

Sejak awal 2017 lalu, saya tidak lagi menggawangi Subdit Pemberdayaan KUA yang sering pula saya plesetkan sebagai Subdit Pemberdahsyatan KUA. Nama plesetan itu muncul dipicu oleh tiga hal. Pertama, terma pemberdayaan terkesan sangat melemahkan, membutuhkan belas kasihan, sehingga perlu dikuatkan. Kedua, secara sadar bertujuan memompa semangat para civitas KUA dari keterpurukan setelah dihajar secara brutally oleh isu negatif gratifikasi. Ketiga, membangun imej positif dengan sejumlah upaya perubahan. Pemberdahsyatan tersebut dimulai dari perbaikan sarana prasarana hingga sistemnya, dan dipungkasi dengan berdirinya Direktorat Bina KUA dan Keluarga Sakinah penjelmaan dari Subdit Pemberdayaan KUA yang sukses “naik kelas” akhir 2016.

Sebelum direktorat baru itu diresmikan beroperasinya, saya ditawari beberapa posisi sebagai pilihan. Dengan berbagai pertimbangan, saya kemudian memilih Subdit Bina Keluarga Sakinah menjadi tempat pengabdian. Mengapa? Sejauh yang saya tahu, subdit ini kurang diminati. Sekadar informasi, subdit keluarga sakinah pernah dihapus melalui PMA No. 10 Tahun 2010. Salah satu alasan utama penghapusannya adalah disebabkan minimnya beban kerja subdit sehingga dipandang tidak sepadan dengan anggaran yang harus dikeluarkan. Sebagai gantinya, jejak fungsinya cukup diwakili oleh seorang kepala seksi bina keluarga sakinah dan diletakkan pada Subdit Pemberdayaan KUA. Dengan berdirinya Direktorat Bina KUA dan KS, Subdit Pemberdayaan KUA jadi awarahum, namun, Subdit Bina Keluarga Sakinah hidup lagi. Terselip di dalam latar belakang inilah terdapat alasan utama saya memilih duduk menggawangi subdit “zombie” tersebut.

Zombie, mayat hidup yang menghantui orang2 yang masih hidup. Maka, sebagai orang yang turut mengusulkan dihidupkannya lagi subdit KS ini, saya merasa bertanggung jawab agar “kebangkitannya” tidak menghantui dan membuat khawatir banyak orang karena kurang kerjaan. Dimulai pada 2016, kami mengawali upaya revitalisasi Suscatin dengan evaluasi hingga penyusunan modul dan perbaikan penyelenggaraannya. Tahun 2017, ketika direktorat baru telah beroperasi, digenjotlah pelaksanaan piloting bimbingan perkawinan di 16 provinsi. Hal ini menjadi bukti bahwa keberadaan subdit baru tidak sia2. Dia memang pantas hidup. Bukan saja karena problem keluarga sangat banyak dan mengancam tercapainya bonus demografi, tetapi lebih karena subdit ini mampu mewakili pemerintah dan kehadiran negara untuk mengatasi permasalahan masyarakat. Intinya, dia tidak lagi kurang kerjaan seperti dulu. Sebaliknya, justru pekerjaannya sekarang sangat banyak dan nyata. Bukan zombie!

Lalu sekarang, ketika bimbingan perkawinan metode baru sudah mulai dikenal dan mendapat respon positif dari berbagai pihak termasuk catin. Bahkan, Bappenas juga melakukan “penyelidikan” di beberapa KUA, harapan baru mulai bermunculan. Yaitu, tentang peranan KUA untuk melakukan bimbingan masa nikah. Saya percaya, tentu karena bimbingan perkawinan telah mengubah imej KUA. Dia yang tadinya dikenal hanya mengelola urusan administratif pencatatan nikah, rujuk, dan wakaf serta berbagai layanan administrasi lainnya, kini wajah itu telah berubah. KUA mampu memberikan pelayanan yang lebih intensif dan menukik kepada akar persoalan masyarakat. Momentum ini tak layak disia2kan.

Ini momentum kedua saya mengelola KUA. jika dulu saya lebih banyak terjun di urusan fisik, kini akan lebih masuk ke dalam layanan KUA. Maka melalui ini, saya perkenalkan program baru demi mengisi dan memperkuat lembaga KUA agar semakin dirasa manfaatnya oleh masyarakat. Program tersebut bernama PUSAKA SAKINAH, akronim dari Pusat Layanan Keluarga Sakinah. Di dalam Pusaka Sakinah ini terdapat:
1. AMAN – yaitu layanan Administrasi dan Manajemen Nikah
2. BERKAH – Belajar Rahasia Nikah (bimbingan pranikah, membangun relasi sehat, kelola ekonomi keluarga)
3. KOMPAK – yaitu Konseling, Mediasi, Pendampingan, Advokasi, dan Konsultasi
4. LESTARI – yaitu Layanan Bersama Ketahanan Keluarga Indonesia (ini bentuk layanan terpadu lintas sektor untuk isu2 yg tidak bisa digarap sendiri seperti pencegahan kawin anak, kesehatan keluarga, stunting, sbg)

Banyak pekerjaan menunggu. Beberapa perubahan perlu. Menteri dan bappenas sudah setuju. Pusaka Sakinah akan menyusul menjadi prioritas nasional.

Dengan mengucap bismillahirrahmanirrahim….serta memohon rida Allah, mari kita sambut era pemberdahsyatan KUA jilid dua.