Serial Kajian “Islam Ramah Perempuan” – Sebuah Pengantar (3)
Kesucian Teks Fikih
SELURUH pendapat yang tidak adil terhadap perempuan, yang beredar hingga saat ini, menurut banyak umat Muslim yang tercerahkan, yang memperlihatkan seolah-olah Islam memusuhi perempuan, berasal dari tafsir-tafsir dan teks-teks fikih yang diberi kekuatan oleh waktu melebihi kekuatan teks asli (al-Qur`an). Teks-teks ini, yang menjadi faktor-faktor politik dan keadaan mendesak, adalah faktor pertama dalam mensucikannya, sehingga kesuciannya menjadi lebih tinggi dari kesucian teks suci, dan telah menjauhkan rujukan lain selain rujukan para ahli fikih dan para da’i dari bidang pengaturan kehidupan manusia. Hanya merekalah satu-satunya yang boleh mengarahkan (mengatur) urusan ekonomi, politik, budaya, pemikiran dan seni”.[1]
Islam, sebagai agama, telah meninggikan status akal dan ilmu pengetahuan, dengan memberikan hak kepada setiap Muslim untuk berpikir dan berijtihad dalam masalah-masalah agamanya. Karenanya, pembatasan hak berpikir dan ijtihad hanya pada elit tertentu tidak lain merupakan inovasi duniawi yang dibuat oleh sekelompok pemikir yang ingin membatasi pemahaman agama hanya kepada diri mereka saja. “Perluasan wilayah [kewenangan penetapan] hukum bagi para ahli fikih telah mengakibatkan penyempitan pemahaman agama umat Muslim, yang menyebabkan umat ini berada dalam kebingungan besar, kebingungan yang membuat seorang muslim hampir tidak dapat menganggap dirinya sebagai muslim yang ‘selamat’ karena tidak mampu menerapkan seluruh ibadah dan urusan duniawinya sesuai dengan tuntutan para ahli fikih yang sangat keras dan ketat dalam menetapkan keputusan hukum.”[2]
Para ahli fikih awal tidak pernah membatasi hak berpikir dan berijtihad hanya kepada diri mereka sendiri. Kita lihat, Imam Abu Hanifah berkata, “Orang yang tidak mengetahui argumenku (dalil) tidak perlu mengambil (mengikuti) kata-kataku.” Imam Malik berkata, “Tidak ada seorang pun kecuali bahwa ia diambil kata-katanya dan dan ditolak (dibantah) kecuali Rasulullah Saw.” Imam al-Syafi’i berkata kepada salah seorang muridnya, “Jangan meniruku dalam apa yang aku katakan, dan lihatlah itu pada dirimu, karena itulah agama.” Ia juga berkata, “Pendapatku [bisa saja] benar [tetapi] berpotensi salah, sementara pendapat orang lain [bisa saja] salah [tetapi] berpotensi benar.” Imam Ahmad ibn Hanbal berkata kepada salah seorang muridnya, “Jangan meniruku, jangan meniru Malik, al- Awza’i, al-Hanafi, dan yang lainnya. Ambillah hukum dari sumber di mana mereka mengambilnya, yaitu kitab (al-Qur`an) dan sunnah.”
Kalau kita meninjau kembali studi hukum Islam dengan tinjauan yang berlandaskan pada kesesuaian semua teks dengan esensi agama Islam, yang dalam lebih dari enam puluh ayat al-Qur`an menyamakan laki-laki dan perempuan dengan kesetaraan penuh dalam hal kapasitas, tanggungjawab, kewajiban agama (al-taklîf), pahala (al-tsawâb) dan hukuman (al-‘iqâb), kita melihat bahwa segala sesuatu yang tidak adil bagi perempuan sesungguhnya tidak selaras dengan ajaran dasar agama Islam.
Banyak ahli fikih mengandalkan teks-teks yang menunjukkan hukum sementara (al-hukm al-waqtîy), atau menggambarkan situasi terkini di masa-masa awal dakwah Islam. Mereka juga menyembunyikan serangkaian teks lain yang berbeda, untuk mengabadikan sistem patriarkhi yang telah dan masih menindas kehadiran perempuan sepenuhnya dan mengurungnya di dalam rumah sepanjang waktu. Padahal Islam hadir memberinya, untuk bergerak bersama laki-laki, tanggungjawab penyebaran dakwah, di mana ia dan para budak yang tertindas menemukan kebebasan dan keselamatan.
Mengandalkan ijmâ’ (konsensus mayoritas ahli fikih) dan menganggapnya sebagai hukum definitif dan suci (al-hukm al-qath’îy wa al-muqaddas), serta mendirikan lembaga imamah yang mengatasnamakan ahli agama (rijâl al-dîn), sama sekali bukan ajaran Islam. Islam justru menolak keberadaan lembaga-lembaga agama yang mengeluarkan ketentuan-ketentuan terkait masalah-masalah manusia dan kehidupan mereka. Sebagaimana pelepasan ayat-ayat dari asbâb al-nuzûl, pencampuradukan antara syariat dan fikih, ketidaksesuaian antara teks dan logika di dalam hadits-hadits yang dikompilasi dua ratus tahun setelah wafatnya Nabi Saw., yang disampaikan secara lisan dari satu generasi ke generasi, pengabaian terhadap kesementaraan sejumlah hukum, keberpijakan kepada suatu hadits spekulatif yang berlawanan dengan teks al-Qur`an, serta penggunakan prinsip qiyâs yang menjadi sumber hukum suci lain setelah al-Qur`an, sunnah dan ijmâ’, yang tidak dapat diperdebatkan dan dibantah, semua ini memunculkan hukum-hukum yang tidak adil terhadap perempuan, yang seringkali memperlihatkan dominasi pemikiran patriarkhis, bukan esensi akidah.
Selama berabad-abad lembaga-lembaga agama tiranik berkuasa penuh atas kehidupan umat Muslim, di mana banyak ahli fikih mendedikasikan hidup mereka untuk melayani kepentingan para penguasa dengan mengeluarkan ketetapan-ketetapan hukum yang sesuai dengan keinginan mereka. Di sini, al-Kawakibi menyebutkan dampak penindasan dan kezhaliman dalam Islam, yaitu “keengganan para ulama bijak untuk menafsirkan bagian kebajikan dan moral al-Qur`an secara tepat, karena mereka takut bertentangan dengan pendapat sebagian pendahulu (al-sâlifîn) yang lalai atau sebagian orang-orang munafik yang dekat dengan masa itu, sehingga mereka dikafirkan dan bahkan dibunuh”, yang membuat situasi perempuan sangat memperihatinkan selama berabad-abad setelah masa-masa awal Islam. Agama digunakan sebagai sarana untuk menindas dan merendahkan perempuan, dan untuk mempraktikkan diskriminasi dan kekerasan terhadapnya. Setiap perubahan hari ini yang berpihak kepada perempuan dalam undang-undang al-ahwâl al-syakhshîyyah akan langsung dibenturkan dengan ‘kalimat suci’ yang tidak dapat dibantah: ‘Ini bertentangan dengan syariat Islam,’ tanpa ada yang berani bertanya, ‘Benarkah demikian’?”[3]
_______________________
[1]. Nasr Hamid Abu Zaid, Dawâ`ir al-Khawf: Qirâ`ah fî Khithâb al-Mar`ah, Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 2004, hal. 170
[2]. Abd al-Rahman al-Kawakibi, Umm al-Qurâ, Beirut: Dar al-Ra`id al-Arabi, Cet. 2, 1982, hal. 130
[3]. Ibid.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!