Serial Kajian “Islam Ramah Perempuan” – Sebuah Pengantar (1)
Oleh: Roland Gunawan
ISLAM hadir membawa nilai-nilai keadilan, toleransi, dan cinta, serta memerangi kezhaliman, menyeru kepada kesetaraan antara sesama manusia. Orang-orang yang tertindas, teraniaya, dan termarjinalkanlah yang pertama kali membawa panji ajaran baru ini, berjuang di jalannya, menanggung banyak beban kezhaliman dan penindasan, baik materi maupun sosial, dari kelompok-kelompok penguasa saat itu.
Ajaran baru ini, tentu saja, sangat mengharapkan para tokoh dari kelompok-kelompok penguasa tersebut beriman kepada risalah yang dibawanya, yaitu risalah kebaikan, kebenaran, dan keadilan. Dukungan mereka sangat diperlukan karena dinilai akan membawa pengaruh besar dalam kesinambungan dakwah Islam dan penyebarannya.
Oleh sebab itu, di masa awal dakwah, kita mendengar Nabi berdoa, “Ya Allah, muliakanlah Islam dengan salah satu dari dua Umar, Umar ibn al-Khatthab atau Umar ibn Hasyim.” [1] Dan kita tahu bagaimana pengaruh sejumlah tokoh besar dari kelompok-kelompok tersebut dalam menjaga ajaran baru ini. Dengan kedudukan sosial-ekonomi yang tinggi, khususnya yang mempunyai kekuatan, mereka menggunakan harta dan kedudukan sosial mereka untuk mengabdi kepadanya, yang dengan itu mereka melindungi dan memberikan kekuatan kepada para pengikutnya dari kalangan orang-orang lemah.
Saat penyebaran dakwah tiba, Nabi Muhammad Saw. yang mulanya lebih banyak menyepi dan menyendiri di gua Hira untuk berpikir dan merenung, berubah menjadi seorang panglima yang memimpin banyak sekali peperangan, dengan keyakinan bahwa satu-satunya jalan menyebarkan dakwah baru adalah dengan membangun kekuatan dalam pengabdiannya untuk melawan penindasan, kezhaliman, dan segala bentuk ketidakadilan.
Perjuangan Nabi itu kemudian diteruskan oleh para al-Khulafâ` al-Râsyidûn (Abu Bakr, Umar, Usman, Ali). Mereka membangun dan mengukuhkan pilar-pilar negara untuk menopang ide pembaharuan yang dibawa Nabi semasa hidupnya. Namun, seiring berjalannya waktu, pada masa-masa setelah itu, saat kekuatan umat Muslim mulai menyebar ke luar jazirah Arab, kekuasaan mulai melepaskan diri dari ide tersebut dan mendapatkan kembali posisinya, sehingga ketidakadilan dan penyalahgunaan muncul kembali di dalam masyarakat baru, membawa kembali konflik antara yang menindas dan yang tertindas, dan yang menganiaya dan yang teraniaya.
Negara baru semakin kukuh berpijak di atas agama baru dan keimanan manusia terhadapnya. Dari sini para penguasa baru merasa harus menemukan tabir suci untuk membenarkan kontrol mereka atas masyarakat. Dan pada perkembangan berikutnya, sejarah seakan dipersiapkan untuk menampilkan para pemikir yang merekonstruksi ide-ide baru sesuai dengan kekuatan-kekuatan yang berkuasa, dan melayani para penguasa yang memperoleh legitimasi eksistensi mereka dari agama baru, bahkan meskipun mereka merebut kekuasaan dan membunuh ribuan orang yang percaya kepada agama baru untuk meraih kekuasaan. “Alih-alih pemikiran Islam menjalankan fungsinya dalam merumuskan dan merasionalisasikan realitas, ia justru menjadi ‘pembenaran’ atas realitas tersebut dengan memberinya kedok ideologis dan legitimasi agama.”[2]
Di sisi lain, ada sejumlah pemikir, yang berdiri tegak di hadapan orang yang mencoba ‘mengaburkan’ ide dasar demi suatu tujuan (untuk melayani orang atau kelompok tertentu), bersikeras berpegang pada esensi agama dan tujuan-tujuan keadilannya, berupaya mendakwahkan ide-ide dasar agama dengan semangat kebenaran serta menyebarkan ajaran-ajarannya. Mereka adalah suara paling lemah, sebab ‘pihak lain’ dilindungi oleh kekuasaan dan uang, sementara para pemikir yang jujur ini hanya memiliki iman. Kekuasaan dan pedang selalu lebih kuat, akibatnya mereka kemudian mengalami siksaan, penganiayaan, dan kesengsaraan yang kadang-kadang tidak dapat dipahami atau ditanggung oleh manusia, tetapi mereka selalu merupakan suara kebenaran.
Konflik antara kebenaran dan kekuasaan terus terjadi sampai hari ini. Kekuatan yang berkuasa secara politik, ekonomi, dan sosial memanfaatkan para sarjana yang memegang kendali atas agama untuk kepentingan kekuasaan, melawan suara-suara bebas dan jujur yang memilih untuk mengatakan kebenaran tanpa peduli seberapa tinggi harganya.
Dalam hal ini, Hadi al-Alawi, pemikir Muslim Irak, mengatakan, “Yang menggerakkan sejarah dan mensucikannya bukanlah akidah dan kesucian, melainkan konflik politik dan sosial. Demikianlah yang terjadi di dalam setiap sejarah suci atau ideologis, di mana warisan pendirinya bisa dilanggar di bawah tekanan konflik ini—kaidah umum di semua bangsa dan peradaban.”[3]
Mungkin salah satu contohnya adalah hadits Abu Bukrah yang dimuat di dalam Sunan al-Nasâ`îy dan seakan telah menjadi hukum tetap bagi perempuan sampai saat ini,
عصمني الله بشيء سمعته من رسول الله صلى الله عليه وسلم لما هلك كسرى، قال: من استخلفوا؟ قالوا بنته. قال: لن يفلح قوم ولّوا أمرهم امرأة
“Allah telah memeliharaku dengan apa yang pernah aku dengar dari Rasulullah Saw. ketika Kisra (Raja Persia) meninggal dunia. Rasulullah bertanya, ‘Siapa yang menggantikannya?’ Para sahabat menjawab, ‘Anak perempuannya.’ Kemudian Rasulullah bersabda, ‘Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan kekuasaan pemerintahnya kepada seorang perempuan,” [H.R. al-Nasa`i].[4]
Di dalam kitab “Sunan al-Nasâ`îy bi syarh al-Suyûthîy wa Hâsyiyah al-Sindîy” kita menemukan sebuah penjelasan mengenai hadits di atas sebagai berikut: “Perkataannya (Allah telah memeliharaku) maksudnya, ‘Ketika aku hendak memerangi Ali dari pihak Aisyah’. (Suatu kaum yang menyerahkan kekuasaan pemerintahnya kepada seorang perempuan) maksudnya, ‘Maka aku berkata dalam diriku saat ingat hadits ini bahwa Aisyah adalah seorang perempuan sehingga ia tidak layak menerima kekuasaan yang diserahkan kepadanya.’…”[5]
Jadi, kita perhatikan, hadits tersebut diriwayatkan tepat pada saat terjadi konflik politik untuk menunjukkan ketidaklayakan salah satu pihak yang terlibat di dalam konflik, yaitu Sayyidah Aisyah ra.
Pembahasan mengenai “perempuan di dalam Islam” merupakan pembahasan yang rumit dan kompleks. Seluruh praktik kekerasan terhadap perempuan telah diselubungi dengan ‘topeng kesucian’ oleh ribuan ulama dan ahli fikih, yang membuat sekedar berbicara mengenai “penghapusan diskriminasi terhadap perempuan” menjadi perbincangan penuh resiko, sehingga menggiring para pembicaranya masuk dalam tuduhan kesesatan, kekafiran, kemurtadan, dan bahkan darahnya halal untuk ditumpahkan.
_________
[1]. Abdul Hasan Ali al-Hasani al-Nadwi, Sîrah Nabawîyyah
[2]. Nasr Hamid Abu Zaid, Dawâ`ir al-Khawf: Qirâ`ah fî Khithâb al-Mar`ah, Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 2004, hal. 168
[3]. Hadi al-Alawi, Mahaththât fî al-Târîkh wa al-Turâts, Damaskus: Dar al-Thali’ah al-Jadidah, 1997, hal. 9
[4]. Sunan al-Nasâ`îy bi syarh al-Suyûthîy wa Hâsyiyah al-Sindîy, dalam bab “Kitâb Adab al-Qudhât” tentang “al-Nahy ‘an Istikhdâm al-Nisâ` fî al-Hukm”. (Naskah Elektronik dalam Situs al-islam.com)
[5]. Ibid.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!