Serial Kajian

Serial Kajian “Islam Ramah Perempuan” – Mitos-mitos Seputar Perempuan dalam Agama

MITOS adalah kebenaran yang diimajinasikan, atau kebenaran yang bersifat khayali. Mitos adalah cerita-cerita rakyat yang umumnya muncul di masa lalu, masa di mana pengetahuan, sains dan teknologi tidak berkembang seperti sekarang. Dan mitos biasanya muncul karena:

Pertama, karena suatu peristiwa, yang kemudian diimajinasikan sebagai kebenaran yang akan terjadi terus-menerus. Misalnya, di masyarakat kita beredar cerita bahwa anak-anak tidak boleh berkeliaran di luar rumah pada waktu Maghrib karena takut diculik kuntilanak atau gendoruwo.

Dulu memang ada anak yang keluar rumah di waktu Maghrib. Karena di masa itu jumlah dan rumah penduduk masih sedikit, lebih banyak hutan dengan pohon-pohonnya yang besar dan rindang, ditambah lagi tidak ada listrik, sehingga ketika seorang anak keluar rumah di waktu gelap, maka ia akan mudah nyasar ke mana-mana dan hilang. Besoknya ia ketemu di bawah pohon besar, atau mungkin hilang tanpa jejak. Sejak itu kemudian menyebar mitos bahwa anak-anak tidak boleh keluar rumah di waktu Maghrib karena takut diculik kuntilanak dan gendoruwo.

Kedua, mitos dimunculkan untuk mencegah terjadinya hal-hal buruk. Misalnya, ada pernyataan yang menyatakan bahwa pacaran haram. Faktanya, pacaran tidak haram selama dilakukan secara benar dan sehat. Dikatakan haram itu tujuannya untuk mencegah hal-hal buruk yang mungkin terjadi selama masa pacaran, seperti hamil di luar nikah, atau kekerasan dalam pacaran, dan seterusnya.

Ketiga, mitos dimunculkan untuk menimbulkan kepatuhan pada diri seseorang. Misalnya, anak gadis kalau dilamar seorang laki-laki harus langsung menerima lamaran itu. Karena kalau tidak, ia nanti tidak laku. Akibatnya, banyak anak gadis yang dilamar langsung menerima lamaran itu, bahkan meskipun yang melamarnya adalah kakek-kakek. Faktanya, saat ini, banyak anak gadis yang menolak lamaran namun saat dewasa tetap bisa menikah dan hidup bahagia dengan laki-laki yang menjadi pilihannya.

Di masa awal-awal Islam banyak sekali mitos yang beredar di masyarakat saat itu, terutama yang berkaitan dengan perempuan, di antaranya:

– “Perempuan harus disunat. Kalau tidak, maka akan menjadi nakal, ganjen, dan gatal–menjadi perempuan tidak benar“. Padahal, faktanya, tidak ada hubungan antara sunat dengan kenakalan dan keganjenan perempuan. Perempuan menjadi nakal dan genjen bukan karena tidak disunat, tetapi pengaruh otak, pikiran, dan lingkungan. Di sinilah pentingnya pendidikan dan pengetahuan bagi perempuan, bukan disunat (dipotong klitorisnya).

Justru, karena disunat, maka syaraf yang menjadi pusat rangsang di klitoris perempuan akan banyak hilang. Klitoris adalah pusat berkumpulnya syaraf rangsang perempuan di dalam vaginanya. Kalau dipotong, itu bahaya, akan menghilangkan potensi rangsang perempuan di vaginanya. Akibatnya, ketika terjadi hubungan seksual suami-istri, perempuan kurang bisa menikmati, bahkan sebagian merasakan sakit.

Sunat perempuan adalah tradisi dan warisan Jahiliyah, yang kemudian masuk ke dalam budaya masyarakat Islam di masa Nabi Saw.. Nabi Saw. memang masih membolehkannya saat itu, tetapi beliau memberikan peringatan keras. Ketika ada seorang perempuan tukang sunat datang untuk menyunat bayi perempuan yang baru lahir, Nabi Saw. bilang, “لاتنهكي”, jangan berlebihan!. Jangan sampai merusak!

Nabi Saw. tidak bisa langsung melarang, “Tidak boleh, haram!“, karena itu akan menimbulkan guncangan dan kegaduhan di masyarakat Arab sehingga menghambat perkembangan dakwah Islam waktu itu. Makanya beliau melakukannya secara bertahap, “Jangan berlebihan“, yang sebenarnya bermaksud untuk melarang.

– “Perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki“. Pernyataan ini sebenarnya adalah bagian dari Isra’iliyyat atau cerita-cerita yang dipercaya oleh bangsa Israel pemeluk agama Yahudi. Ketika Islam datang, banyak orang Yahudi yang masuk Islam, dan mereka membawa sebagian dari tradisi mereka ke masyarakat Islam.

Memang ada hadits Nabi Saw. yang menyebut “خلقت المرأة من ضلع” (Perempuan diciptakan dari tulang rusuk). Tetapi di dalam hadits ini hanya disebut “ضلع” (tulang rusuk), tidak ada kata “ضلع رجل” (tulang rusuk laki-laki). Artinya, hadits ini hanyalah sebuah kiasan untuk menggambarkan kondisi dan situasi perempuan di masa itu. Tulang tusuk adalah tulang paling rapuh dan bengkok, sehingga harus hati-hati memperlakukannya.

Di masa Nabi Saw. kondisi perempuan sangat lemah, tidak terdidik, tidak boleh bekerja (sehingga tidak pegang uang sendiri dan hanya bergantung kepada suami), dijadikan budak yang diperjual-belikan, bahkan dijadikan warisan. Makanya, Nabi Saw. mengibaratkan perempuan seperti tulang rusuk yang bengkok dan rapuh, sehingga harus diperlakukan dengan baik. Allah Swt. menegaskan, “وعاشروهن بالمعروف” (Perlakukanlah/bergaullah dengan perempuan secara baik). Nabi Saw. bersabda, “استوصوا بالنساء خيرا” (Berilah nasihat kepada perempuan dengan cara yang baik).

– “Perempuan kurang akal dan agama“, “ناقصات عقل و دين”. Apakah benar demikian? Maksud Nabi Saw. mengatakan “perempuan kurang akal” sebenarnya merupakan kritik dan sindiran terhadap masyarakat Arab yang menjauhkan perempuan dari pendidikan dan pengetahuan. Perempuan hanya disuruh meringkuk dan rebahan di rumah, atau hanya menjadi ibu rumah tangga. Karena perempuan tidak berpendidikan dan tidak berpengetahuan, maka Nabi Saw. menyebut mereka “kurang akal“. Selama perempuan dijauhkan dari pendidikan dan pengetahuan, maka bukan hanya “akal” perempuan yang kurang, tetapi bahkan akal seluruh masyarakat yang kurang, sehingga setiap upaya perubahan, pembangunan dan kemajuan di masyarakat akan terkendala. Kenapa? Karena proses perubahan dan kemajuan juga harus melibatkan peran dan kontribusi perempuan. Bagaimana perempuan akan berperan kalau mereka tidak berpendidikan dan berpengetahuan?

Kemudian tentang “perempuan kurang agama“. Pernyataan ini seolah-olah menggambarkan perempuan itu tidak beriman dan tidak bertakwa dibandingkan laki-laki. Padahal maksudnya bukan begitu. Maksudnya adalah bahwa perempuan menghabiskan banyak waktu untuk tidak beribadah karena udzur syar’iy (alasan syariat) dibandingkan laki-laki. Perempuan mengalami haid, nifas, dan melahirkan. Pada waktu-waktu ini perempuan tidak boleh shalat, puasa, tawaf, dan sa’i.

Jadi, tidak ada hubungan antara pernyataan “perempuan kurang agama” dengan keimanan dan ketakwaan. Keimanan dan ketakwaan perempuan sangat terkait erat dengan ketaatannya menjalankan perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan agama. Perempuan yang tidak shalat dan puasa karena haid atau nifas, itu justru mentaati perintah agama. Karena taat, maka mereka beriman dan bertakwa. Sebaliknya, kalau mereka tetap maksa melakukan shalat dan puasa pada waktu haid atau nifas, berarti mereka melanggar larangan agama, sehingga mereka menjadi tidak beriman dan bertakwa.

Dijauhkannya perempuan dari pendidikan dan pengetahuan menimbulkan dampak buruk yang luar biasa memperihatinkan bagi diri mereka sendiri, membuat status dan kedudukan mereka di masyarakat sangat rendah. Betapa tidak, kesaksian perempuan yang harusnya sama dengan laki-laki malah menjadi lebih rendah. Kesaksian satu orang laki-laki disamakan dengan kesaksian dua orang perempuan! Karena pengetahuan perempuan tentang agama lebih rendah daripada laki-laki, mereka lalu dilarang menjadi imam shalat, dilarang menjadi penghulu, dilarang menjadi hakim, dan lain sebagainya.

Nabi Saw. bersabda,

 

طلب العلم فريضة على كل مسلم ومسلمة

Mencari/menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim laki-laki dan perempuan.”

 

Hadits ini menyiratkan pesan dari Nabi Saw. bahwa baik laki-laki dan perempuan harus sama-sama punya pengetahuan. Sehingga mereka bisa sama-sama berperan dan berkontribusi bukan hanya dalam masalah sosial, tetapi juga dalam masalah agama dan keyakinan.

Perempuan tidak hanya dijauhkan dari akses pendidikan dan pengetahuan, tetapi juga dari akses ekonomi. Mereka dilarang untuk bekerja, dan dipaksa untuk terus berada di rumah sehingga hanya bergantung kepada suami yang bertanggungjawab bekerja mencari nafkah. Akibatnya, dalam pembagian waris, mereka hanya mendapatkan separuh dari laki-laki. Karena hidup mereka bergantung kepada ayah, saudara laki-laki, dan juga suami ketika sudah menikah. Sehingga bagian waris mereka tidak usah banyak-banyak. Bahkan, dapat atau tidak warisan, perempuan dijamin akan tetap bisa makan di bawah tanggungan ayah, saudara laki-laki, dan juga suami.

Selain itu, karena perempuan tidak bekerja mencari nafkah, maka tidak boleh menjadi wali bagi anak-anaknya. Fikih menyaratkan untuk menjadi wali haruslah seorang laki-laki yang merupakan kepala keluarga dan bertanggungjawab mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya, berdasarkan firman Allah Swt., “وبما أنفقوا من أمولهم” (Dan karena mereka memberi nafkah [kepada keluarga]).

Alasan kenapa laki-laki di masa lalu lebih berhak menjadi kepala keluarga dan wali adalah karena mereka yang bekerja mencari nafkah. Di masa sekarang perempuan sudah bisa bekerja dan mandiri, bahkan banyak yang menduduki posisi lebih tinggi dan berpendapatan lebih besar daripada laki-laki. Karena alasan ini, seiring dengan semakin terbukanya akses pendidikan, pengetahuan dan ekonomi bagi perempuan, maka perempuan juga bisa menjadi kepala keluarga dan wali bagi anak-anaknya.[]

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses