Satu Abad Nahdlatul Ulama (NU)
Oleh: K.H. Jamaluddin Mohammad, Pengasuh Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon
ADA tiga peristiwa besar dunia yang melatari kelahiran Nahdlatul Ulama (NU). Pertama, runtuhnya Kekhalifahan Islam Turki Utsmani sebagai kiblat politik umat Muslim dunia selama 600 tahun. Kedua, kolonialisme-imperialisme yang menyapu besih negara-negara Islam. Dan ketiga, jatuhnya al-Haramain (Makkah-Madinah) sebagai pusat keilmuan dunia Islam ke tangan Wahabi.
Ketiganya menandai runtuhnya tatanan dunia lama menuju tatanan dunia baru. Peristiwa sejarah ini segera direspon para pendiri (muassis/founding father) NU dengan mendirikan Jamiyyah Diniyyah Ijtimaiyyah Nahdlatul Ulama. Jadi, sebagaimana yang sering disampaikan Kiai Yachya Cholil Staquf (Gus Yahya) ketua umum PBNU, visi NU adalah visi peradaban. Para masyayikh pendiri NU waskita terhadap tanda-tanda zaman: dunia telah berubah dan secepatnya membutuhkan respon. Salah satunya ijtihad ulama-ulama NU memilih “negara bangsa” dibanding menghidupkan kembali Khilafah Islamiyah yang sudah mati terkubur reruntuhan peradaban lama.
Di bawah kepemimpinan Gus Yahya, NU ingin melanjutkan kembali visi peradaban yang sudah dirintis oleh para muassis NU. Rangkaian Halaqah Fikih Peradaban yang diadakan di banyak pesantren salah satunya bertujuan menyerap, menggali, dan mendiskusikan pikiran-pikiran para ulama merespon perubahan tatanan dunia baru, khususnya berkaitan dengan fiqh al-siyâsah (fikih politik). Juga menjawab pertanyaan, bagaimana teks, khususnya khazanah peradaban kitab kuning yang dimiliki pesantren-pesantren, berhadapan dengan realitas kemanusiaan yang terus berubah?
Menyongsong tatanan dunia baru dibutuhkan kecakapan dalam membaca dan memahami realitas (fiqh al-wâqi’). Fiqh al-wâqi’ adalah fikih yang berangkat dan bertolak dari realitas. Memahami realitas harus sebaik memahami teks (fiqh al–wâjib li al–wâqi’). Ini akan membalik kebiasaan komunitas pesantren yang menjadikan teks sebagai basis bagi realitas. Dalam tradisi bahtsul masail di pesantren-pesantren, kitab kuning dijadikan sebagai reverensi utama menjawab realitas (wâqi’îyyah). Seolah-olah semua persoalan sudah ada jawabannya dalam kitab kuning. Kitab kuning semacam “primbon” yang bisa membaca masa depan. Akibatnya, teks yang terbatas oleh ruang waktu harus tertatih-tatih mengejar realitas yang selalu bergerak cepat melampaui dan meninggalkan teks. Bagaimanapun, al-Ghazali dalam “al-Munqidz min al-Dhalâl” sudah mengingatkan bahwa teks yang terbatas takkan dapat merengkuh realitas yang tak terbatas (anna al-nushûsh mutanâhiyah la tastaw’ibu al-waqâ`i’ al-ghayru al-mutanâhiyah).
Fiqh al-wâqi’ bukan berarti melepas, menghindari, atau bahkan membuang teks. Teks tetap dibutuhkan sebagai wasilah menuju maqâshid al-syarî’ah. Maqâshid al-syarî’ah adalah tujuan-tujuan universal syariat, sebagaimana dirumuskan oleh al-Ghazali ke dalam 5 hak dasar yang harus dilindungi dan dipenuhi setiap orang, yaitu hak hidup, hak berkeyakinan, hek berpikir, hak kepemilikan harta, hak berkeluarga. Tentu saja kita harus memaknai secara baru kelima hak dasar itu (al-dharûrîyyat al-khams) sesuai kebutuhan, tantangan dan tuntutan norma dan tata nilai saat ini.
Jika dulu menganggap hukuman mati (qishash) sebagai implementasi dari maqâshid al-syarî’ah, yaitu hak hidup (hifzh al-nafs), maka hari ini dianggap bertentangan dan tidak sesuai dengan prinsip hak hidup. Begitu juga dengan hukum riddah (murtad) yang dulu dianggap sebagai bagian hak berkeyakinan (hifzh al-dîn), saat ini sudah tidak relevan lagi dan harus dibalik (kebebasan berkeyakinan). Inilah contoh perubahan dalam memaknai teks seiring perubahan norma-norma pada realitas baru.
Begitu juga perubahan dalam realitas politik internasional saat ini. Konstruksi fiqh al-siyâsah lama hanya memandang dunia secara bipolar: Dar al-Harb dan Dar al-Islam. Jika merujuk kitab kuning, status non Muslim dalam “negara Islam” dibagi dalam beberapa kategori: “kafir musta’man, kafir mu’ahad, kafir dzimmiy dan kafir harbiy”. Keempat kategori ini, menurut para kiai dalam Munas NU di Banjar, sudah tidak relevan lagi dipakai dalam konteks negara bangsa seperti saat ini. NKRI didirikan oleh segenap elemen bangsa baik Muslim maupun non Muslim. Karena itu, status warga negara dalam naungan NKRI semua setara dan diakui secara hukum. Terma “kafir” untuk menyebut warga negara non-Muslim dalam konteks negara-bangsa (nation-state) sudah tidak up to date.
Tantangan Abad Kedua NU tentu lebih banyak dan lebih kompleks lagi ketimbang berurusan dengan teks. Namun, harus diakui, peradaban NU adalah peradaban teks (kitab kuning). NU kuat dan bisa bertahan hingga hari ini, salah satunya, karena bertumpu pada tradisi, yang ditopang oleh kekuatan intelektualisme NU (kitab kuning).[]
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!