Politik Kebaya

APA boleh buat, Kartini dan kebaya begitu lekat. Karena kebaya sedemikian rupa telah dimaknai oleh politik Orde Baru sebagai simbol perempuan peran tiga “dapur, kasur, sumur”, tak heran jika Ibu Saparinah Sadli merasa perlu untuk kembali menegaskan citra Kartini tak terletak pada kebayanya, melainkan intelektualitasnya. Dalam makna itu, niscaya kebaya dimaknai sebagai bentuk submisif atau subordinasi perempuan.

Kebaya, agaknya, tak sekadar pakaian nasional yang menjadi ciri khas perempuan Indonesia. Di dalamnya terkandung pemaknaan dan simbol yang dihubungkan dengan (gerakan) perempuan dan bagaimana negara mendefinisikan perempuan. Tulisan ini menafsir bagaimana gerakan perempuan terhubung dengan simbol-simbol pakaian mereka dengan titik berangkat dari kebaya Kartini.

Dari sejumlah foto yang menggambarkan sosok Kartini, semua menunjukkan Kartini atau Kartini dan kedua adiknya mengenakan kebaya sertajarit. Warnanya putih atau hitam. Materialnya berbahan dasar beludru atau mungkin sutra dengan kesan lumayan mewah dibandingkan pakaian perempuan Jawa pada zamannya—kebaya berbahan dasar benang pintal dengan tenunan lurik kasar. Dalam beberapa gambar, kebaya Kartini terlihat menjuntai ke bawah atau biasa disebut kebaya panjang.

Meski anak priyayi, Kartini tetaplah warga bumiputra. Pada saat itu terlarang baginya mengenakanbusana ala noni-noni Belanda. Itu juga berlaku bagi lelaki bangsawan seperti ayahanda dan kangmas-nya yang menggunakan surjan dan blangkon. Kartini tentunya harus tunduk pada aturan cara berpakaian yang membedakannya dengan perempuan bangsa Belanda. Namun, dalam waktu bersamaan, karena berasal dari keluarga bangsawan, busana Kartini tentu saja berbeda dibanding perempuan Jawa kaum cacah kendati sama-sama kebaya. Jenis bahan dan ornamen yang digunakannya menjadi simbol kelas sosial yang berlaku dalam internal bangsa jajahan, sekaligus juga menjadi simbol apartheid yang membedakan Kartini dan perempuan pribumi dari kaum penjajah.

Asal usul kebaya memang simpang-siur. Raffles mencatat di tahun 1817 bahwa kebaya digunakan perempuan Jawa dan Bali, Tionghoa peranakan, Minang/Melayu di Sumatera dengan corak baju kurung, perempuan Ambon dan Manado serta Timor.

Pada era perjuangan kemerdekaan, kaum perempuan mengenakan kebaya dalam pertemuan-pertemuan resmi. Banyak perempuan muda berbusana modern ala noni-noni Belanda. Namun, kain dan kebaya menjadi pakaian sehari-hari yang digunakan orang di segala kalangan di segala cuaca dan acara. Keluarga-keluarga muslim memakai kebaya dengan tambahan kerudung yang menjuntai, terutama bagi perempuan dewasa/menikah atau yang berasal dari keluarga santri.

Kemerdekaan membutuhkan simbol, termasuk dalam hal berpakaian. Kebaya dengan berbagai coraknya menjadi identitas politik bangsa merdeka. Ibu Fatmawati mengenakannya dalam setiap kunjungan kenegaraan sebagai baju nasional atau baju kebesaran bangsa Indonsia. Para lelaki memakai jas atau baju teluk belanga dengan ciri khas peci hitam. Sebagai perempuan yang telah menikah, Ibu Fatmawati menambahkan ornamen kerudung terawang yang dapat memperlihatkan tata rias rambutnya khas perempuan Asia berambut legam bersanggul.

Pada era Orde Lama, kebaya dikenakan para aktivis Gerwani, Aisyiyah, Muslimat NU, dan golongan nasionalis seperti PNI. Ragam kebaya beraneka rupa, juga corak dan potongannya. Pembeda lainnya adalah penggunaan kerudung menjuntai. Kerudung pada dasarnya tidak secara ketat digunakan sebagai identitas primordial (agama), melainkan usia. Dalam perkembangan kemudian, kerudung digunakan sebagai identitas kelompok sayap politik atau golongan muslimah. Namun, dalam hal tata busana, mereka tetap menggunakan model kebaya kutu baru yang membiarkan belahan dada bagian atas terbuka tempat hiasan gandulan leontin bertengger, dan kadang kala masih terlihat bayangan kutang yang dipakaiserta stagen.

Pada era Orde Baru, kebaya diambil alih dan direbut oleh politik Orde Baru sebagai simbol kelas menengah atau keluarga pegawai. Kebaya dengan warna tertentu digunakan sebagai seragam organisasi-organisasi perempuan mesin politik Orde Baru, seperti PKK dan Dharma Wanita. Saat itulah perjuangan Kartini dalam emansipasi perempuan Indonesia mengalami reduksi hingga tingkat paling rendah. Perjuangan dahsyat Kartini dalam melawan patriarki dan sistem feodal Jawa yang menindas kaum perempuan disederhanakan menjadi Kebaya Kartini. Perayaan Kartini dimeriahkan berbagai lomba yang menegaskan peran domestik perempuan tidak jauh dari masak macak manak. Kelompok-kelompok perempuan progresif atau dari kalangan feminis saat itu menolak kebaya dengan seluruh tafsir negara. Dengan sendirinya, kebaya pun ditolak dan dianggap sebagai bentuk pembodohan perempuan dan penindasan.

Pasca Revolusi Iran 1979, muncul kekuatan kelas menengah kampus yang mengenakan jilbab putih atau hitam sebagai identitas perlawanan terhadap Orde Baru. Gelombang pemakaian jilbab cepat menyebar dan menjadi identitas sangat kuat dengan makna ganda—muslimah yang tersadarkan sekaligus anti-Soeharto. Namun, perlawanan simbolik itu dengan cepat diambil alih negara, terutama setelah Siti Herdiyanti Rukmana atau akrab disapa Mbak Tutut berangkat naik haji dan pulang mengenakan jilbab. Jilbab seolah kehilangan peran politiknya dan bergeser menjadi identitas moral. Saat itu, kebaya dimusuhi sebagai bentuk jahiliah Jawa yang tidak Islami. Lengkap sudah penistaan terhadap kebaya; aktivis feminis sekuler menolaknya karena menilai kebaya merupakan identitas kelas menengah tak cerdas yang tunduk pada patriark ciptaan Orde Baru, sedangkan kalangan aktivis feminis berbasis keagamaan menolak kebaya karena menganggap pakaian ini simbol penistaan terhadap tubuh perempuan.

Politik tubuh dan seksualitas perempuan era pasca-reformasi pada kenyataanya kianmenempatkan perempuan sebagai obyek. Nilai baik-buruk diletakkan dan dipersempit pada busana tertutup atau terbuka. Pasar dan politik serta gagasan-gagasan fundamentalisme secara bersama-sama membentuk opini bahwa perempuan baik dan buruk semata-mata dilihat dari pakaian dan tutupan kepalanya. Namun, dalam masyarakat patriark seperti Indonesia, pakaian dengan identitas keagamaan juga kerap digunakan sebagai bentuk perlawanan simbolik terhadap cara-cara patriark membatasi ruang gerak perempuan. Aktivis perempuan menggunakan kebaya sebagai bentuk perlawanan kultural terhadap upaya penyeragaman tampilan perempuan atas nama penerapan syariah. Perlawanan tersebut terasa agak berat, karena dalam perang tanding itu unsur keyakinan muncul sebagai palu penentu; pakaian adalah kewajiban agama bukan lagi budaya yang mengusung gagasan kebangsaan.

Namun demikian, pasar dan kapitalisme selalu punya cara dalam meramu berbagai kepentingan demi akumulasi keuntungan. Para desainer berhasil memadukan kebaya “seksi” dengan jilbab. Itu menjadi tren dan tampaknya sebagai jalan kompromi. Dalam pesta perkawinan digelar tanpa hirau aturan syariah yang menjadi dasar masuknya busana muslimah sebagai identitas. Cara berbusana Islam yang diangankan sederhana dan tak menonjolkan lekuk tubuh perempuan dihajar dengan corak irisan kebaya yang jusrtu menonjolkan lekuk tubuh perempuan dengan tutupan kepala beraneka bentuk dan rupa yang pada ujungnya tetap menonjolkan ketubuhan perempuan.

Sejumlah aktivis perempuan kembali mengusung kebaya sebagai identitas politik mereka: tak hanya identitas kebangsaan,melainkan juga simbol perlawanan terhadap upaya penyeragaman perempuan melalui cara berpakaian yang didalamnya mengandung stigma moral. Kebaya, agaknya tetap menyimpan simbol yang relevan sesuai kehendak zamannya. Hal yang perlu dan patut digarisbawahi adalah bagaimana pakaian perempuan Indonesia, entah kebaya atau bukan, membawa cita-cita luhur Kartini–pembebasan perempuan! Selamat Hari Kartini!

3 replies

Trackbacks & Pingbacks

  1. […] Download Image More @ rumahkitab.com […]

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.