Perempuan, Ekstremisme, dan Terorisme

MENGAPA dan bagaimana menjelaskan keterlibatan perempuan dalam aksi-aksi serangan mematikan seperti yang terjadi di Indonesia beberapa waktu lalu? Pertanyaan ini akan selalu muncul, dan meskipun telah dijelaskan oleh sejumlah penelitian, tetap memerlukan penjelasan terus-menerus. Sebagian kita yang pernah membaca hasil-hasil penelitian itu tentu tidak akan terlalu terkejut. Di sejumlah negara—sebagaimana akan ditunjukkan tulisan ini—peran dan keterlibatan perempuan sebagai pelaku kekerasan telah terjadi di banyak situasi, mulai dari konflik bersenjata internal di sebuah negara hingga konflik bersenjata internasional berskala besar. Meskipun bukan hal baru, masalah ini harus terus menjadi perhatian semua kalangan, baik pembuat kebijakan pemerintah, swasta, maupun juga kalangan masyarakat sipil.

Di Indonesia sendiri, sejumlah studi perlu kita rujuk. Salah satunya adalah sebuah laporan yang dirilis pada Januari 2017 oleh Institute for Policy Analysis and Conflict (IPAC). Laporan mereka yang berjudul “Mothers to Bombers: The Evolution of Indonesian Women Extremists” itu menemukan bahwa memang banyak perempuan masuk dalam kelompok ekstremis dan aktif “mencari peran yang lebih operasional” dalam kelompok mereka. Sebagai contoh, laporan itu menyebutkan aksi pemboman yang terjadi di Surabaya pada tahun 2018 melibatkan perempuan dan anak-anak. Namun demikian, menurut laporan tersebut, hingga pertengahan tahun 2020, para pejabat BNPT masih menyangkal bahwa perempuan dapat memiliki atau menginginkan sebuah peranan dalam ekstremisme kekerasan. Penyangkalan ini dinilai tidak membantu upaya-upaya efektif untuk mencegah serta menanggulangi radikalisasi ekstrem di kalangan perempuan.

Studi terbaru IPAC yang dirilis pada Agusus 2020 mencatat setidaknya terdapat sebanyak 39 perempuan yang pernah ditangkap karena diduga terlibat tindak pidana terorisme. Sebagian dari mereka, yakni setidaknya sebanyak sepuluh perempuan, telah dilepaskan. Sisanya dipenjara di sejumlah lembaga pemasyarakatan di Indonesia. Mereka juga menyoroti kondisi penjara para perempuan tersebut. Mereka mencatat, keberadaan perempuan di penjara jumlahnya mengalami peningkatan tajam. Mereka menyoroti lemahnya protokol dari otoritas penjara dalam menangani situasi perempuan-perempuan tersebut, meskipun pengelolaan yang ad hoc sejauh ini masih bisa dikatakan cukup baik. Laporan menyebutkan situasi penjara masih belum bersih dari masalah: ”kepadatan berlebih, korupsi sistematis, akses yang buruk ke perawatan kesehatan, termasuk perawatan mental, dan trauma perpisahan dengan anak-anak.”

Sementara itu, Pusat Kajian Toleransi dan Demokrasi Public Virtue Research Institute (PVRI) juga mencatat bahwa jauh sebelum penembakan di Mabes Polri terjadi oleh seorang perempuan bernama Zakiyah Aini, terdapat sejumlah kasus yang menunjukkan kuatnya dugaan keterlibatan perempuan dalam aksi kekerasan ekstrem di Indonesia. Kasus Zakiyah ini—yang sayangnya lalu ditembak mati seketika oleh pihak kepolisian—menambah daftar perempuan yang terlibat aksi kejahatan terorisme. Berikut adalah daftar vonis pengadilan atas sejumlah perempuan yang dinyatakan bersalah dan terlibat dalam aksi kejahatan terorisme.

 

Perempuan Dalam Vonis Pengadilan Kasus-Kasus Terorisme

No.

Tahun

Putusan Pengadilan

1.

28 Agustus 2017

Pengadilan Negeri Jakarta Timur memvonis 7,5 tahun penjara Dian Yulia Novi karena terbukti bersalah dalam tindak pidana terorisme. Pada 2016, Densus 88 Antiteror Mabes Polri menangkap Dian karena diketahui telah mengirim paket berisi pakaian dan surat wasiat kepada orangtuanya di Cirebon bahwa ia akan melakukan aksi bom bunuh diri.

2.

4 Mei 2017

Pengadilan Negeri Jakarta Utara memvonis Jumiatun alias Umi Delima, istri dari Santoso alias Abu Wardah, salah satu pimpinan Mujahidin Indonesia Timur (MTI), yang dianggap terlibat aksi-aksi kejahatan terorisme. Pada Juli 2016, ia ditangkap di wilayah pegunungan Tambarana, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, tak jauh dari lokasi baku tembak yang menewaskan suaminya.

3.

28 Januari 2013

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis Nurul Azmi Tibyani dengan hukuman 4 tahun penjara dan denda Rp. 200 juta subsider 2 bulan penjara karena melakukan tindak pidana terorisme;

4.

4 Januari 2012

Pengadilan Negeri Jakarta Timur memvonis Ruqoyyah, istri dari orang yang diduga sebagai otak pelaku kejahatan terorisme Bom Natal dan Bom Bali I, Umar Patek, divonis hukuman 2 tahun dan 3 bulan penjara dalam kasus pemalsuan identitas akta otentik dalam persidangan

5.

29 Juli 2010

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis Putri Munawaroh, istri almarhum Agus Susilo Adib, divonis 3 tahun penjara karena dianggap membantu dan menyembunyikan otak pelaku kejahatan terorisme yang paling dicari di Indonesia, Noordin M Top

6.

9 Juni 2005

Pengadilan Negeri Bangil, Pasuruan, Jawa Timur memvonis Munfiatun 3 tahun penjara karena menyembunyikan suaminya yang disangka sebagai pelaku terorisme di Indonesia

 

Uraian di atas memperlihatkan bahwa fenomena keterlibatan perempuan dalam aksi-aksi kejahatan terorisme jelas bukan merupakan hal yang baru. Bahkan sebenarnya jika kita mengkajinya secara lebih luas, misalnya dalam kajian konflik bersenjata internal dan bukan hanya kajian tentang aksi terorisme, jelas terlihat bahwa perempuan juga terlibat dalam sebuah perang sebagaimana yang terjadi di sejumlah wilayah Indonesia yang pernah mengalami pemberontakan bersenjata. Lalu bagaimana dengan pengalaman di tingkat global soal keterlibatan perempuan dalam aksi-aksi kekerasan yang oleh sebagian besar media internasinal dianggap sebagai aksi-aksi kejahatan terorisme?

Secara global, kita tidak terlalu terkejut dengan berbagai berita mengenai bom bunuh diri yang terjadi di dunia Islam. Kita hanya dapat merasakan kesedihan dan kepedihan mendalam atas jatuhnya para korban, terutama anak-anak dan perempuan. Tetapi berita-berita tersebut mungkin akan lebih mendapatkan perhatian jika pelaku bom bunuh diri itu adalah perempuan. Meski serangan bom bunuh diri yang dilakukan perempuan mengalami peningkatan, kita tetap terkejut dan terusik ketika menyadari bahwa perempuan tidak lagi hanya sebagai korban ekstremisme dan terorisme, tetapi mereka juga telah terlibat dan aktif di dalamnya.

Di Mesir, tahun 2000, beberapa perempuan berniqab melemparkan bom-bom dari atas jembatan al-Azhar ke arah para touris dan kerumunan manusia. Ketika polisi tiba di tempat itu, setiap orang dari perempuan-perempuan berniqab itu mengeluarkan pistol lalu menembakkannya tepat di kepala temannya, sehingga matilah mereka semua. Mengapa mereka melakukan itu kepada orang yang bisa dikatakan sebagai teman sendiri, mengapa tidak bunuh diri saja? Karena menurut pemahaman mereka tindakan bunuh diri adalah haram, sedangkan membunuh adalah halal di jalan Tuhan.

Di Pakistan, tahun 2019, seorang perempuan pelaku bom bunuh diri meledakkan dirinya, menewaskan 8 orang dan melukai 26 lainnya dalam serangan di luar rumah sakit sipil. Gerakan “Taliban Pakistan” mengaku bertanggung jawab atas serangan itu. Menurut laporan media, perempuan yang melakukan serangan itu berusia 28 tahun dan mengenakan burqa. Pada 2018 di Tunisia, seorang perempuan berusia 30 tahun meledakkan dirinya di Jalan Bourguiba di pusat ibu kota, dan pihak berwenang Tunisia menuduh ISIS sebagai dalangnya.

Beberapa penelitian memperkirakan bahwa perempuan rata-rata mewakili antara 10 dan 15 persen kelompok teroris. Sejumlah laporan menunjukkan bahwa wilayah tempat perempuan bergabung dengan ISIS di Irak dan Suriah memiliki persentase yang berbeda-beda: negara-negara Asia Timur mencatat angka tertinggi 35% pejuang perempuan asing, diikuti oleh Eropa Timur (23%), kemudian Eropa Barat (17%), kemudian Amerika, Australia dan Selandia Baru (17%), Asia Tengah (12%), kemudian Timur Tengah dan Afrika Utara (6%), dan terakhir Sub-Sahara (kurang dari 1%).

Di Nigeria, di mana kelompok teroris Boko Haram aktif di timur laut negara itu dan negara-negara tetangganya seperti Kamerun, Chad dan Niger dengan tujuan mendirikan cabang ISIS di Nigeria utara, eksploitasi perempuan oleh kelompok tersebut terus meningkat setelah menculik dan merekrut banyak perempuan untuk melakukan operasi bom bunuh diri. Kendati penculikan 276 siswi sekolah dari desa Chibok pada tahun 2014 memicu keributan internasional, dan itu merupakan salah satu dari banyak operasi yang dikaitkan dengan Boko Haram, di mana dapat dipastikan bahwa kelompok teroris tersebut mengumpulkan perempuan dan mendorong mereka melakukan operasi teroris, statistik menunjukkan bahwa lebih dari 50% pelaku bom bunuh diri Boko Haram dalam operasi yang dilakukan antara April 2011 dan Juni 2017 adalah perempuan.

Dari para siswi Chibok itu, hanya sedikit yang berhasil melarikan diri, sementara yang lain tetap bersama Boko Haram. Seorang jurnalis Jerman Wolfgang Bauer, di dalam bukunya “The Kidnappers”, yang mendokumentasikan pengakuan anak-anak gadis dan perempuan yang melarikan diri, menyebutkan bahwa di antara anak-anak gadis yang diculik itu terdapat sebagian yang benar-benar yakin—setelah diyakinkan oleh anggota Boko Haram—bahwa tujuan mereka adalah untuk membela agama, dan sebagian lainnya bahkan telah terlibat dalam serangan-serangan terorisme dengan meledakkan diri. Kebanyakan dari mereka memang meledakkan diri, baik tanpa kemauan atau tanpa mengetahui apa yang mereka bawa di balik pakaian mereka.

Lebih dari 120 anak gadis, sebagian di antaranya bahkan berusia 9 tahun, melakukan operasi bunuh diri di pasar dan transportasi umum, di mana masing-masing dari mereka diawasi dua orang laki-laki anggota organisasi, sehingga gadis-gadis itu tidak akan bisa melarikan diri. Ketika seorang anak gadis mendekati target yang diinginkan, salah satu dari laki-laki pengawas itu meledakkan si gadis melalui ponsel. Sedangkan para pelarian dari Boko Haram, masyarakat cenderung memandang mereka sebagai pengkhianat dan mata-mata, dan mereka yang diperkosa atau dinikahi paksa oleh para anggota Boko Haram ditolak sepenuhnya dan dipandang sebagai pelacur. Mereka menjadi sasaran kecurigaan bahkan dari keluarga mereka sendiri, kemudian tentara membawa mereka ke kamp-kamp “Antiteror” untuk diinterogasi, diancam, disiksa, dan dipukuli, dan mereka tidak diizinkan untuk dikunjungi.

Para analis menunjukkan bahwa organisasi-organisasi jihadis menganggap perempuan sebagai taktik efektif dalam operasi mereka karena kelebihan yang dimilikinya yang tidak dimiliki oleh laki-laki pelaku bom bunuh diri. Perempuan mudah melewati pos-pos keamanan tanpa harus melalui banyak pemeriksaan, karena di dalam tradisi sosial dan budaya di beberapa negara Islam terdapat larangan melakukan penggeledahan/pemeriksaan terhadap perempuan secara teliti. Para perempuan sering menutupi wajah mereka, sehingga membuat mereka sulit diidentifikasi karena mengenakan jubah hitam longgar (bahkan mungkin laki-laki yang menyamar) yang dengan mudah bisa menyembunyikan bahan peledak di baliknya. Menurut para pengamat, banyak janda yang terlibat dalam aksi-aksi bom bunuh diri sebagai cara untuk melarikan diri dari kehidupan mereka yang menyedihkan, dan inilah yang dimanfaatkan oleh kelompok teroris untuk melakukan lebih banyak operasi kejahatan terorisme.

Terlepas dari munculnya pelaku bom bunuh diri perempuan di paruh kedua abad ke-20, ada sejumlah pengamat yang percaya bahwa sejak tahun 1990-an, sejumlah organisasi bersenjata memang memanfaatkan perempuan untuk melakukan bom bunuh diri selama perang Chechnya, dan mereka disebut sebagai “janda hitam”. Sebagai akibat perang, di mana orang-orang Chechnya menjadi sasaran pembersihan, pemerkosaan, pengusiran dan penyiksaan di tengah pengabaian masyarakat internasional, muncul generasi perempuan yang kehilangan suami, ayah, saudara, dan anak mereka. Dengan melampaui peran-peran tradisional mereka yang marjinal sebagai perempuan, mereka bergabung dengan organisasi teroris dan diberi peran memimpin operasi bunuh diri dan merekrut perempuan-perempuan lain. Al-Qaeda di Irak juga terinspirasi dari pengalaman perempuan Chechnya, mereka kemudian menjadikan perempuan sebagai pelaku bom bunuh diri.

Bagi kelompok-kelompok ekstremis dan teroris, perempuan merupakan target strategis dan penting bahkan sebagai komponen penting di dalam struktur organisasi. Selain perannya dalam pergerakan, penyediaan barang dan transfer informasi selama masa perencanaan, persiapan dan pelaksanaan, juga dianggap sebagai salah satu sarana propaganda dan mobilisasi kelompok dan ideologi ekstremis yang efektif, selain juga sebagai faktor untuk menarik para pemuda.

Bukan hanya kelompok ekstremis yang kerap dilabeli berasal dari kalangan “Islam” yang menempatkan perempuan sebagai pelaku bom bunuh diri. Gerakan revolusioner paling menonjol yang menggunakan perempuan dalam operasi bersenjata adalah sebuah kelompok yang dianggap sebagai “gerakan separatis Sri Lanka”, di mana seorang perempuan pelaku bom bunuh diri yang merupakan anggota militan dari gerakan tersebut ikut membunuh mantan Perdana Menteri India Rajiv Gandhi tahun 1991 setelah mengalungkan karangan bunga di lehernya dalam sebuah pertemuan besar.

Dari uraian di atas kita melihat ada beberapa alasan yang dapat mendorong perempuan bergabung dengan organisasi teroris. Pertama, alasan-alasan yang lebih disebabkan karena motif emosional dan psikologis, dan keyakinan ideologis. Kedua, lebih terkait faktor politik dan ekonomi, yakni menyangkut perasaan dan keadaan yang dibayangkan oleh mereka sebagai rasa ketidakadilan, penindasan, marginalisasi dan kekerasan. Meskipun demikian, terkadang, tujuan para perempuan untuk bergabung tersebut juga seperti halnya laki-laki, yakni berupa keinginan mencari kehidupan baru dalam kelompok di mana mereka merasa diperhatikan dan berbagi ide yang sama, keinginan untuk balas dendam, pemberdayaan dan realisasi diri, atau melarikan diri dari kenyataan sebelumnya yang dianggap menyakitkan.

Jika perempuan-perempuan pelarian dari Boko Haram menghadapi kesulitan penerimaan dan adaptasi, maka perempuan-perempuan yang kembali dari ISIS menghadapi tantangan integrasi dan kebebasan dari masa lalu mereka sebelumnya. Sebuah laporan di Amerika memperingatkan tentang bahaya istri dan janda anggota ISIS yang tinggal bersama anak-anak mereka di kamp-kamp di Suriah dan Irak, atau sebagian dari mereka yang kembali ke negara-negara mereka di Timur Tengah, Eropa dan Amerika Serikat; mereka digambarkan sebagai “bom berdetak”.

Laporan “Dewan Atlantik” pada Mei 2019 mengatakan bahwa pejabat keamanan di negara-negara tempat perempuan-perempuan militan ISIS kembali “menghadapi tantangan mereka sendiri, yaitu bagaimana cara menangani dan mengawasi perempuan-perempuan militan ISIS yang telah kembali itu”. Pemerintah-pemerintah di Barat merasa khawatir dengan kemungkinan para perempuan ini kembali lagi ke jaringan organisasi teroris ISIS, yang membuka pintu bagi operasi-operasi terorisme baru di Eropa dan Amerika Serikat.

Karena itu, sejumlah negara di Eropa dan Amerika menolak memulangkan perempuan-perempuan tersebut. Negara-negara ini berusaha memastikan kewarganegaraan asli mereka agar dapat meninggalkan keadaan sulit mereka itu. Para perempuan yang tergabung dalam wilayah-wilayah yang berada di bawah kendali ISIS di Suriah dan Irak, sebagian dari mereka dinikahi oleh tentara asing ISIS baik dengan persetujuan mereka atau dipaksa. Mereka kemudian dicerai sehingga menjadi janda dengan anak dari ayah yang tidak dikenal karena mereka tidak sempat mengetahui secara pasti nama asli suami-suami mereka dan juga belum mengetahui nasib suami-suami mereka setelah mereka ditinggalkan untuk melakukan apa yang dianggap sebagai jihad. Para perempuan ini menderita bersama anak-anak mereka karena dikucilkan oleh masyarakat dan dipandang rendah karena hilangnya garis keturunan dan dokumen identitas. Kasus ini dapat dikatakan mencapai ribuan jumlahnya.

Di sisi lain, Pusat “Perang Melawan Terorisme” di Universitas George Washington pada bulan Juni 2019 menerbitkan laporan tentang perempuan militan ISIS di kamp Al-Hol, timur laut Suriah, yang menyatakan bahwa mereka tidak puas hanya dengan serangan verbal, lebih dari itu mereka juga menggunakan senjata tajam seperti pisau, melempar batu, dan membakar tenda untuk mengancam perempuan-perempuan lainnya. Bahkan mereka mendirikan sel-sel di dalam kamp untuk menjatuhkan “hukuman” kepada “perempuan yang tidak patuh” dan dianggap “murtad” karena ketidakpatuhan mereka.

Semua kisah yang dituliskan di sini sesungguhnya merupakan seruan kepada kita untuk menyikapi ancaman tindak pidana terorisme yang melibatkan perempuan secara lebih serius. Pertama, kita harus terus-menerus menentang segala bentuk kekerasan yang berbasis pada kebencian, permusuhan, dan diskriminasi agama, ras, suku, atau ideologi. Kedua, kita harus mendorong adanya sejumlah penelitian ilmiah yang serius untuk mengetahui penyebab dan motifnya sampai ke akar-akar sosialnya, dan untuk menilai serta mendiagnosis konsekuensi perempuan bergabung dengan kelompok ekstremis, baik karena faktor-faktor internal dari dalam dirinya seperti keyakinan atau paksaan maupun karena faktor-faktor eksternal yang terkait politik dan ekonomi berupa penindasan politik maupun ketidakadilan sosial-ekonomi.

Ketiga, kita harus mendorong penelitian-penelitian yang juga diarahkan pada kepentingan perubahan kebijakan strategis di tingkat negara, dalam hal ini, terutama pemerintah Indonesia. Penelitian-penelitian ini juga perlu mempelajari akibat-akibat yang ditimbulkan, khususnya bagi anak-anak, baik psikologis, sosial, keamanan dan ekonomi maupun cara menghadapinya supaya berbagai lembaga publik, terutama di bidang pendidikan, agar ikut mengupayakan pencegahan-pencegahan yang efektif bagi tumbuhnya bibit-bibit radikalisme dan terorisme sejak dini.

Akhirnya, persoalan peran perempuan dalam pemberantasan kejahatan terorisme menjadi salah satu tema utama yang perlu terus dibahas dalam diskusi-diskusi kebijakan pemerintah serta swasta maupun diskusi-diskusi kalangan pegiat masyarakat sipil, selain para aktivis perempuan yang memang telah secara lebih dahulu memulainya beberapa tahun ini. Tak hanya di Indonesia, tetapi juga di dunia internasional, mereka membahas tentang pentingnya pencegahan maupun penanggulangan aksi-aksi kejahatan terorisme malalui pemberdayaan perempuan, dengan terus menerus memetakan peran-peran yang dapat dimainkan oleh organisasi-organisasi perempuan, dan diharapkan akan segara terwujud.[]

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.