Pelecehan Seksual

Oleh: K.H. Jamaluddin Mohammad, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Kamaliyah Babakan, Ciwaringin, Cirebon

 

SEWAKTU masih di pesantren ada banyak kebiasaan yang, setiap kali ada tamu perempuan, apalagi masih muda, memasuki komplek laki-laki, hampir seluruh santri keluar kamar, menyambut dengan teriakan menggoda, bersiul, bahkan kata-kata cabul. Bagi kebanyakan santri, termasuk saya waktu itu, tindakan atau prilaku seperti itu dianggap wajar-wajar saja, sama sekali tak merasa bersalah apalagi berdosa. Bahkan, saya memiliki anggapan khas cara pandang patriarki bahwa menggoda perempuan termasuk idhkâl al-surûr (membahagiakan) kepada perempuan.

Belakangan, setelah saya bergaul dengan banyak aktivis perempuan, saya baru menyadari bahwa anggapan saya keliru dan bisa masuk dalam kategori pelecehan seksual. Fenomena seperti itu disebut “catcalling”. Catcalling diartikan sebagai siulan, panggilan, atau komentar yang bersifat seksual. Catcalling tidak hanya membuat korbannya sakit hati melainkan bisa menyebabkan gangguan psikologis.[1]

Catcalling memiliki berbagai bentuk dan kategori, baik dalam bentuk ekspresi verbal maupun non verbal, seperti siulan, suara kecupan, ciuman, atau berupa komentar terhadap anggota tubuh perempuan. Juga berupa isyarat mata/tatapan mata berlebihan yang dapat mengganggu kenyamanan seorang perempuan.[2] Catcalling seringkali terjadi di ruang publik.

Catcalling termasuk dalam kategori pelecehan seksual. Sebagaimana disebutkan dalam buku “Labiri UU PKS”, pelecehan seksual merupakan tindakan seksual lewat sentuhan fisik maupun non fisik dengan sasaran organ seksual atau seksualitas korban. Ia termasuk menggunakan siulan, main mata, ucapan bernuansa seksual, mempertunjukkan materi pornografi dan keinginan seksual colekan atau sentuhan di bagian tubuh, gerakan atau isyarat yang bersifat seksual sehingga merasakan rasa tidak nyaman, tersinggung, merasa direndahkan martabatnya, dan mungkin sampai menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan.

Menurut penelitian yang dilakukan Soffana Zahra dkk., catcalling memilik dampak buruk dan berpengaruh terhadap psikologi perempuan, seperti trauma, ketakutan, sedih, risih, hingga parnoia. Catcalling membuat perempuan menderita dan merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan. Pelakunya bisa dipidana dan penjara.

Pelecehan seksual bisa terjadi di manapun, dalam ruang publik maupun ruang privat. Pelakunya bisa laki-laki maupun perempuan. Karena itu dibutuhkan pengetahuan dan edukasi di masyarakat. Jangan akibat ketidaktahuan dan menganggap catcalling sebagai sesuatu yang wajar sehingga marak terjadi di masyarakat, terlebih di dalam institusi pendidikan yang selama ini mengaku sebagai lembaga yang menjunjung tinggi nilai-nilai dan moralitas keagamaan.

Catcalling merupakan produk budaya patriarki. Dalam ruang publik yang masih didominasi budaya patriarki, relasi kuasa yang timpang membuat perempuan ditempatkan dalam posisi subordinan. Catcalling berangkat dari cara pandang laki-laki yang mereduksi kemanusiaan perempuan hanya sebagai makhluk dan objek seksual.  

 

Bagaimana Islam Memandang Catcalling?

Islam memandang manusia, tanpa membedakan jenis kelaminnya, sebagai makhluk paling mulia (al-karâmah al-insânîyyah) dan sempurna (Q.S. al-Isra`: 70 dan Q.S. al-Tin: 04). Bahkan secara eksplisit al-Qur`an menyebut ketakwaan sebagai parameter utama dalam menilai manusia di hadapan Allah Swt. (Q.S. al-Hujurat: 13). Karena itu, prasangka gender dan seksualitas yang memosisikan laki-laki lebih mulia/lebih utama dibanding perempuan bertentangan dengan deklarasi al-Qur`an tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan.

Al-Qur`an sendiri menyuruh laki-laki untuk memperlakukan perempuan dengan baik (al-mu’âsyarah bi al-ma’rûf), sebagaimana disebut dalam Q.S. al-Nisa`: 19. Secara eksplisit Nabi Muhammad Saw. juga memerintahkan kepada setiap muslim untuk menebarkan keselamatan, kedamaian, dan keamanan (afsyû al-salâm). Salam di sini tidak hanya dimaknai secara basa-basi untuk mengucapkan salam (al-salâmu alaykum) ketika bertemu dengan orang lain. Makna di balik itu sebetulnya tidak hanya berhenti di mulut (sekadar ucapan basa-basi), melainkan harus diaktualisasikan ke dalam prilaku dan tindakan.

Dalam hadits lain riwayat al-Bukhari-Muslim, Nabi Saw. mewanti-wanti bahwa seorang muslim yang baik adalah muslim yang menjaga mulut dan tangannya untuk tidak menyakiti orang lain. Inilah aktualisasi dari perintah mengabarkan, menyebarluaskan, menyosialisasikan, menebarkan “keselamatan” kepada setiap orang. Inilah esensi Islam sebagai agama perdamaian dan keselamatan (dîn al-salâm). Dengan demikian, catcalling bukan hanya merusak melainkan juga melanggar prinsip dasar dan esensi Islam sebagai agama keselamatan dan perdamaian. Wallâhu a’lam bi al-shawâb [JM]

 

Referensi

  • Saffana Zahro, dkk., Catcalling sebagai Bentuk Pelecehan Seksual Traumatis, Jurnal Cantrik, V 1, No. 2, 2021
  • Angeline Hidayat dan Yugih Setyanto, Fenomena Catcalling sebagai Bentuk Pelecehan Seksual secara Verbal terhadap Perempuan di Jakarta, Jurnal Koneksi, Vol. 1, No. 2, 2019
0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.