Natal, Kesederhanaan dan Panggilan Empati
Beberapa hari lalu, saya membaca sebuah tulisan dari seorang kawan pendeta di Facebook. Ia membagikan surat edaran pastoral dari Ephorus Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) yang berjudul “Merayakan Natal sebagai Wujud Empati bagi Korban Bencana”.
Pesan utama dari surat edaran tersebut menekankan pentingnya merayakan Natal secara sederhana, tanpa pesta dan kemeriahan berlebihan sebagaimana yang lazim dilakukan. Jika peringatan Paskah lebih kuat pada suasana duka mengenang Yesus yang wafat di kayu salib, maka Natal kerap dimaknai sebagai simbol sukacita umat Kristiani atas kelahiran Sang Juru Selamat.
Namun justru karena itulah edaran pastoral tersebut layak direnungkan bersama. Bagaimana mungkin kita bersuka cita di tengah nestapa masyarakat, khususnya di Sumatera, yang masih berhadapan dengan bencana dan kesulitan hidup? Dalam konteks yang lebih luas, imbauan semacam ini sejatinya relevan bukan hanya bagi umat Kristiani yang merayakan Natal, tetapi juga bagi kita semua yang menyambut pergantian tahun.
Sebagaimana Natal, Tahun Baru hampir selalu dirayakan dengan gegap gempita. Tak jarang, perayaan itu diwujudkan dalam bentuk pemborosan, termasuk pesta kembang api besar-besaran. Akan terasa ganjil jika di banyak langit Indonesia diterangi letupan cahaya, sementara di saat yang sama, banyak daerah di Pulau Sumatera masih diliputi kegelapan, kekurangan pangan, dan kecemasan akan masa depan. Bukankah Sumatera juga bagian dari Indonesia?
Pesan kesederhanaan ini sesungguhnya selaras dengan teladan kehidupan Yesus Kristus atau Isa Al-Masih. Setidaknya dalam dua tradisi iman terbesar di dunia: Kristiani dan Islam, Isa Al-Masih diakui sebagai sosok yang amat penting, meski keduanya memiliki perbedaan teologis mendasar. Umat Kristiani meyakini Yesus sebagai manifestasi Tuhan yang turun ke dunia untuk menyapa umat-Nya, sementara umat Islam mengimaninya sebagai salah satu nabi yang diutus Allah dan risalahnya disempurnakan dengan kehadiran Nabi Muhammad Saw.
Perdebatan teologis semacam ini tak akan pernah selesai. Namun ada satu titik temu yang dapat dirawat bersama, yakni dimensi kemanusiaan Yesus Kristus. Ia sebagai manusia juga merasakan lapar, sakit, sedih, bahkan marah. Karena itulah, keteladanan kemanusiaannya menjadi relevan untuk siapa pun, lintas iman dan keyakinan.
Salah satu teladan penting dari Yesus adalah kesederhanaan. Ia bukan pemuka agama yang hidup dalam kemewahan dan gelimang harta. Nilai kesederhanaan inilah yang kian memudar dalam kehidupan manusia modern, ketika banyak orang justru berlomba menjadi “yang paling kaya”, sering kali tanpa kepekaan terhadap penderitaan sesama.
Karena itu, Natal yang bermakna kelahiran seharusnya melahirkan pula keteladanan kolektif. Dalam Al-Qur’an, Allah Swt. memberikan ucapan salam dan kesejahteraan kepada Isa Al-Masih sejak ia dilahirkan:
وَالسَّلَامُ عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُّ وَيَوْمَ أَمُوتُ وَيَوْمَ أُبْعَثُ حَيًّا
“Kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku pada hari kelahiranku, hari wafatku, dan hari aku dibangkitkan hidup kembali.”
Ayat ini oleh sebagian ulama dijadikan dasar bolehnya mengucapkan selamat Natal secara Qur’ani. Namun, perdebatan mengenai boleh atau tidaknya seorang Muslim mengucapkan selamat Natal tampaknya juga tak akan pernah berakhir. Setiap pihak memiliki dalil dan tafsirnya masing-masing. Pada titik ini, sikap saling menghormati pilihan keagamaan sesama Muslim menjadi jauh lebih penting.
Silakan mengucapkan selamat bagi yang berkenan, dan tidak perlu mencela mereka yang memilih untuk tidak mengucapkannya. Ada satu pesan penting yang sering luput ketika membaca ayat tersebut, yakni penekanan Allah pada orientasi hidup manusia: al-salām, yang bermakna kesejahteraan dan kedamaian.
Damai adalah kata kunci sekaligus tujuan hidup manusia. Kita semua mendambakan kedamaian dan enggan terlibat dalam pertikaian. Namun kenyataannya, perang, kekerasan, dan kerusakan justru terus berulang, sebagaimana kegelisahan yang kerap disuarakan dalam lagu-lagu perdamaian.
Ayat tersebut juga mengajarkan tiga fase kehidupan manusia: lahir, wafat, dan dibangkitkan kembali. Idealnya, ketiga fase itu dilalui dalam suasana damai. Ketika seorang manusia lahir, orang-orang di sekitarnya merasakan harapan dan ketenteraman. Ada masa depan yang dititipkan pada kehidupan baru itu.
Inilah esensi perayaan kelahiran Isa Al-Masih: menghadirkan harapan akan masa depan yang lebih baik. Harapan itu kemudian diwujudkan dalam perjalanan hidup di dunia. Ketika hidup dijalani dengan orientasi kebaikan, maka akhir kehidupan pun diharapkan datang dalam kedamaian, sebab itu kita kerap menyebut orang yang wafat dengan ungkapan rest in peace.
Bagi orang beriman, kehidupan tidak berhenti pada kematian. Ada kebangkitan dan hari pertanggungjawaban. Dalam keyakinan agama, manusia akan dibangkitkan sesuai dengan tabiat hidupnya di dunia. Mereka yang gemar menebar teror, ketakutan, dan kerusakan, akan menuai keburukan. Sebaliknya, mereka yang menebar damai akan dipanggil dalam keadaan yang baik.
Karena itu, setiap kelahiran membawa harapan sekaligus tanggung jawab. Alih-alih terus bertengkar soal siapa dan bagaimana sosok Yesus Kristus, pertanyaan yang lebih mendesak adalah: mampukah kita meneladani sikapnya yang menghadirkan kedamaian bagi dunia?



Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!