Pos

rumah kitab

Merebut Tafsir: Tahun Baru dan Survei Seksualitas (Edisi Revisi)

Jika tidak ada covid-19, saya berani bertaruh isu yang muncul di akhir tahun ini adalah seruan melarang pesta Tahun Baru. Bukan saja dianggap perbuatan sia-sia, atau meniru adat bejat “Barat”, Tahun Baru selalu dikaitkan dengan maksiat seks pra-nikah. Terlebih karena akhir tahun ini ditutup oleh berita hasil survei tentang praktik seksual aktif kaum remaja di Depok. (CNN 28/12/20)

Survei yang bersumber dari Komnas Perlindungan Anak ini menyebutkan 93% dari 4.700 siswi SMP/SMA di Depok mengaku pernah berhubungan seks. Sementara anggota Komisi VIII Fraksi PKS, Nur Azizah menyebut angka yang sedikit lebih rendah, 70%. Bagi Komnas Perempuan, survei ini membuktikan belaka bahwa pendidikan kesehatan reproduksi para remaja sudah tak bisa ditawar.

Telah berulang kali isu serupa muncul di negeri ini. Dan gonjang-ganjingnya tak pernah maju ke arah yang dapat menyelesaikan masalah. Anak remaja tetap menjadi sasaran stigma, tanpa solusi positif bagi mereka.

Sesungguhnya survei serupa itu bukan isu baru. Tahun 1983, sebuah kehebohan akibat hasil survei meledak di Yogyakarta. Sulistyo Eko secara kreatif melakukan survei di antara teman-temannya sendiri di lingkungan SMA di Yogyakarta. Hasilnya kemudian dimuat koran lokal pada 9 Januari 1983. Temuan survei ini – dibandingkan kasus Depok, tak ada apa-apanya. Hanya di bawah 10 % mengaku berpacaran dengan melakukan seks aktif. Angka yang sama menyatakan itu sebagai hal yang wajar, 31,6% mengaku berpacaraan sambil saling meraba wilayah sensitif dan pernah menonton film biru. 

Namun atas survei itu ributnya minta ampun. Ada yang menyoal kredibilitas survei atas 462 siswa itu, ada yang mempertanyakan teknik pengolahan datanya, ada yang menganggap Eko sedang cari sensasi karena tak lagi terpilih sebagai ketua OSIS. Lucu memang.  

Sayangnya, respon kepada Eko sangat tidak lucu. Pihak “berwajib” dari Dinas Pendidikan menganggap survei itu “tamparan yang memalukan Yogyakarta”. Untung sejumlah pegiat isu kesehatan reproduksi seperti Prof. Masri Singarimbun dari UGM  dan PKBI Jogja menganggap ini berita baik: lelaki muda peduli pada isu mereka sendiri dan berani melakukan penelitian mandiri. Eko menyusun pertanyaan berdasarkan bacaannya, lalu mengetik pertanyaan dan mencetaknya pakai stensil. Semuanya ia bayar pakai uang jajannya sendiri. 

Namun pihak lain yang lebih ketakutan atas hasil survei itu tak peduli. Kreativitas Eko dibrangus. Ia dipaksa pindah ke sekolah swasta. Karena telah kelas III, ia nyaris tak dapat ikut ujian akhir. Untung Pak Prof. Andi Hakim Nasition, Rektor IPB, yang memiliki ide-ide cemerlang dan inovatif dalam penjaringan siswa pintar, ikut turun tangan. Eko pun jadi mahasiswa terundang masuk ke IPB.

Isu seksualitas remaja, senantiasa membelah sikap orang dewasa. Ada yang menganggap sudah saatnya pendidikan kesehatan reproduksi diberikan kepada remaja, atau jika perlu membuka akses layanan kontrasepsi. Ini karena akses mereka untuk mendapatkan informasi dari jendela lain terbuka sudah. Sementara orang dewasa lain menganggap cara itu hanya akan menuntun remaja lebih aktif mencari tahu dan ingin coba-coba. Namun jika disilang dengan informasi lain seperti praktik perkawinan anak, penyebab utama perkawinan itu karena mereka telah aktif secara seksual, bahkan sebagiannya tak lagi dapat dilerai karena sudah terlanjur hamil. Mau apa? 

Pihak yang tak setuju soal pendidikan kesehatan reproduksi menawarkan pilihan lain. Ini mirip siput. Dapat tantang langsung mengkeret. Mereka memilih  cara yang lebih konservatif berbasis prasangka buruk kepada remaja. Tawarannya misalnya kampanye “Indonesia Tanpa Pacaran” atau “Siapa Takut Nikah Dini” atau bahkan dengan memisahkan ruang belajar siswa. 

Jadi alih-alih mencari jalan keluar cerdas, kelompok ini memilih jalan gampangan, kawinkan para remaja itu diusia yang jauh dari matang, atau batasi langkah anak perempuan. Apalagi untuk wilayah seperti Depok, yang siapapun tahu itu adalah wilayah partai yang getol mengusung isu moral. Padahal moral sih gampang, yang sulit bermoral secara subtantif dengan modal cerdas akal dan nurani. Untuk itu kasih mereka informasi, ajak mereka menganali tubuh dan hasratnya sebagai hal yang positif, karunia Allah yang sangat indah!

“Bergaul yes, seks aktif biarkan mereka yang memutuskan setelah diberi informasi yang benar dan lengkap, termasuk hubungan seks yang beresiko, dan cara negosiasi untuk mengatakan no!” SELAMAT TAHUN BARU 2021

# Lies Marcoes, 31 Desember 2020.

Hijriyah dan Kesadaran Waktu

Tahun Baru Hijriyyah, meski tak persis dimulai sejak Nabi Muhammad SAW hijrah, mengacu pada peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad SAW. Meskipun sebetulnya kurang tepat juga menetapkan satu Muharram sebagai awal Tahun Baru Hijriyyah mengingat Nabi Muhammad SAW hijrah di Bulan Rabiul Awwal, tepatnya 16 Juli 622 M.

Awal penanggalan Hijriyyah dicetuskan pertamakali oleh Sahabat Umar 17 tahun setelah hijrahnya Nabi Muhammad SAW. Umar sendiri sebetulnya hanya mengikuti sistem penanggalan yang berlaku pada Bangsa Arab. Umar mengganti permulaan tanggalnya sejak Nabi Muhammad SAW.

Berbeda dengan sistem penanggalan masehi yang mengikuti peredaran matahari, sistem penanggalan hijriyyah mengacu pada peredaran bulan. Perbedaan lain, dalam penentuan permulaan hari/tanggal, hijriyyah dimulai sejak matahari tenggelam, sedangkan masehi sejak pukul 00.00

Di Nusantara sendiri, sebelum kolonialisme, sistem penanggalannya menggunakan sistem penanggalan Jawa yang diciptakan Ajisaka. Pada zaman Mataram Islam, Sultan Agung menyesuaikan antara penanggalan Jawa dan Hijriyyah. Jadilah Tahun Baru Islam jatuh pada satu Suro/satu Muharram.

Pengintegrasian hijriyyah dalam Jawa (Saka) oleh Sultan Agung dimulai pada 1625 M/1547 Saka. Orang Jawa menyebut satu Muharram dengan satu Suro. Mereka memperingatinya bukan sebagai Tahun Baru Hijriyyah, melainkan Peringatan Satu Suro.

Dalam Islam, sistem penanggalan berkait erat dengan waktu ibadah (puasa, haji, zakat, haid, dll) (QS al-Baqarah 189). Terkecuali permulaan dan akhir waktu salat yang menggunakan patokan matahari. Sebelum Islam sistem penanggalan bulan ini sudah digunakan masyarakat Arab, Mesir Kuno dan Babilonia. Jadi, sistem penanggalan adalah produk budaya.

Selain waktu mekanik, fisik, berada di luar pengalam kita, waktu juga bersifat spiritual dan berada dalam diri kita. Waktu spiritual adalah waktu yang dihayati, dipahami, dan dimaknai. Waktu bagi orang yang menunggu dan orang yang ditunggu kualitasnya berbeda, meskipun secara kuantitas sama saja, misalnya 15 menit.

Bagaimana Memaknai Waktu?

Pemahaman dan cara pandang terhadap waktu ternyata berpengaruh besar terhadap cara dan bagaimana kita memperlakukan waktu.

Orang Barat menilai waktu sama berharganya dengan uang. Dalam masyarakat Barat yang materialistik, waktu dipersepsikan seperti uang. “Time is money”. Ini menunjukkan betapa berharga, bernilai tinggi, begitu mewah dan istimewanya waktu.

Roda kehidupan mereka digerakan oleh musim. Di masa lampau mereka harus mengejar musim semi, panas, dan gugur untuk bekerja keras mengumpulkan bekal/ uang sebelum masuk musim dingin yang membuat mereka tak berdaya. Meskipun sekarang mereka bekerja di segala cuaca dengan adanya teknologi, etos kerja untuk “mengumpulkan bahan pangan sebelum masuk musim dingin” tetap menjadi prinsip sehingga lahir istilah “waktu adalah uang”.

Berdasarkan cara pandang seperti itu, orang Barat dikenal efesien menggunakan waktu, displin, etos kerja dan produktifitas tinggi. Bagi mereka, waktu adalah kerja. Kerja untuk menghasilkan uang.

Dalam masyarakat agraris di Nusantara, waktu juga dikawal oleh musim, kemarau dan penghujan. Namun waktu dalam budaya kuno  berpusat pada perputaran waktu yang sirkuler yang pusat hitungannya pada perputaran bulan bukan matahari. Perhitunga waktu dalam tradisi Jawa misalnya dibagi 5 dan bersifat melingkar dari Legi, Paing, Pon, Wage Kliwon. Sementara bulan di bagi 12 dengan penggunaan istilah Mangsa (musim) untuk mengganti istilah bulan. Sangat boleh jadi tradisi itu berasal dari cara penghitungan waktu ibadat dalam budaya Hindu. Di Bali misalnya panggalan masih menggunakan waktu bulan muncul purnama dan tenggelam (tilem). Dan semuanya berpusat pada waktu-waktu untuk ibadah.

Berbeda dengan orang Barat, orang Arab mengimajinasikan waktu sebagai pedang. Jika kita tak bisa memperlakukan waktu dengan baik, mewaspadai dan menggunakannya sebaik mungkin, bersiap-siaplah waktu akan menebas batang lehermu. Waktu akan membunuhmu. “Al-waktu ka al-saef”.

Dalam budaya manapun, waktu selamanya tak bisa diajak kompromi dan selalu menolak bernegosiasi. Pada saat bersamaan, kita selalu dikejar-kejar waktu, mengejar waktu, dan hidup bersama waktu. Tinggal bagaimana kita mengimajinasikan, memahami, dan memperlakukan waktu dalam hidup kita.

Jika kita bisa mengakrabi waktu, waktu akan hadir dalam diri dan dalam hidup kita. Waktu tak lagi berada di luar sana: satu detik, lima menit, satu jam. 24 jam, satu minggu, satu bulan, satu tahun, sewindu, seabad, dan seterusnya.

Lantas, bagaimana Anda memahami dan memaknai waktu?