rumah kitab

Merebut Tafsir: “Mendobrak Bias”, Tapi Apa yang Salah dengan Bias?

Break the Bias” atau “Mendobrak Bias” adalah tema Hari Perempuan Internasional tahun 2022. Secara sederhana, KBBI mengartikan bias sebagai “simpangan” atau belokan arah dari garis lurus yang semestinya. Rumus itu mengacu kepada ilmu fisika tentang bias dalam cahaya. Namun secara umum dalam ilmu-ilmu sosial bias juga dapat diartikan seperti itu; terjadinya “kelokan” pandangan dari yang sebenarnya karena ada penghalang yang membelokkannya. Penghalang itu adalah “ketidaktahuan” atau ignorant.

Karena setiap manusia memiliki ketidak tahuan maka tentu setiap orang punya bias: bias suku/ras/etnisitas, bias keyakinan, bias umur, bias jenis kelamin atau gender, bias kelas sosial dan seterusnya. Bisa juga bias jenis lainnya yang menempel secara permanen, atau sedang “menempel” kepada seseorang karena keadaannya seperti bias umur, tempat atau kelas sosialnya yang terus berubah. Bias, karenanya pasti “penyakit” yang diderita setiap manusia. Tapi apakah tak bisa dilawan? Bisa!

Sebagai orang Jawa, sadar atau “pingsan” saya punya bias Jawa. Karenanya saya bisa salah memahami suku atau etnis lain di luar Jawa. Bahkan terhadap sesama orang Jawa jika agamanya berbeda atau “kelompok sosialnya” berbeda saya bisa dihinggapi bias. Bias Jawa saya yang tidak dikikis oleh pengetahuan akan menyebabkan saya bloon, alias gagal paham atau ignorant. Karenanya untuk melawan bias yang pertama-tama adalah pengakuan akan ketidaktahuan.

Sebetulnya, jika hanya sampai di titik itu, bias menjadi wajar saja adanya. Wong tak semua hal dapat diketahui. Namun bias akan menjadi persoalan karena pada bias selalu menempel prejudice atau prasangka negatif. Bias dan prasangka itu seperti dua sisi dalam satu mata uang.

Prasangka jadi masalah karena bukan hanya membuat ukuran berdasarkan standar nilai-nilainya sendiri, tetapi menganggap dirinyalah yang paling benar. Di situlah letak bahaya dari sikap bias, yakni ketika bias berlanjut dengan prejudice. Padahal keduanya selalu seiring sejalan yang nyaris sulit dipisahkan.

Problem lain yang lebih mengerikan adalah tatkala bias terjadi pada seseorang yang memiliki power. Ini sungguh bencana. Sebab orang dapat menggunakan power-nya untuk tindakan berdasarkan prasangka yang dilandasi kebencian akibat biasnya.

Lihatlah apa yang terjadi para orang-orang Yahudi di Eropa di era Hitler, atau pada mereka yang disangkakan Komunis pada peristiwa G30S. Bahaya dari bias adalah karena kebencian yang dilahirkan tak hanya menjangkiti satu orang melainkan bisa mempengengaruhi satu kaum atau satu rezim. Bias tumbuh subur menjadi “kebenaran” manakala ada yang membenarkannya, mengamini, mereproduksi serta merumuskan kerangka berpikir guna untuk meyakinkan bahwa bias dan prasangka itu sebagai sistim berpikir dan bertindak.

Salah satu sikap bias yang melanda dunia, terjadi di mana-mana dan dialami oleh hampir separuh penduduk dunia adalah bias berdasarkan prasangka gender kepada perempuan. Ini disebabkan karena ideologi patriarki telah sedemikian rupa mempengaruhi “otak” dunia sehingga bias gender kepada perempuan menjadi pandemi di seluruh dunia. Untuk mengatasinya bias harus dilawan dengan kesadaran kritis bahwa bias berbasis gender merupakan kejahatan dan pengkhianatan kepada kemanusiaan. Pengetahuan, nurani dan akal sehatlah yang dapat memupus dan mengatasi bias.

Namun itu saja tidak cukup. Sebab salah satu yang mengkonstruksikan bias adalah pandangan keagamaan. Karenanya meskipun akal sehat bisa terheran-heran atas prilaku diskriminatif terhadap perempuan, orang sering berargumen  “ya itu kan maunya Tuhan”. Dalam praktik poligami misalnya, atau praktik perkawinan anak, atau kekerasan kepada perempuan termasuk di tempat kerja.

Lalu bagaimana mengatasinya? Selain pengakuan bahwa kita bisa bias dan karenanya sedapat mungkin untuk waspada akan sikap bias kita, dibutuhkan bukti-bukti empiris berbasis riset untuk melawan bias. Bias harus dilawan dengan kesadaran tentang kesetaraan manusia sebagai prinsip dasar penciptaan dan kekhalifahan manusia lelaki dan perempuan. Dan karenanya selain akal dan pengetahuan, bias dapat dipupus dengan suatu keyakinan bahwa ajaran agama telah menetapkan nilai kesederajatan antar manusia lelaki dan perempuan. Tidak bisa lain!

Lies Marcoes, 23 Maret 2022

Menyambut Webinar Rumah KitaB dalam Perayaan Hari Perempuan Interansional, 2022

1 reply

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.