Menyoroti Climate Crisis dalam Film “Sore”

“Climate change itu bukan hanya soal es di kutub yang mencair, tapi juga (kita) kehilangan keindahan (menikmati alam yang begitu menawan)”, tegas Jo kepada Sore dalam film “Sore: Istri dari Masa Depan”. Film tersebut membawa semangat baru bagi anak muda soal krisis iklim. Selama ini, banyak anggapan menyoroti bahwa isu perubahan iklim itu adalah pembahasan elitis dan politis.

Kehadiran film Sore justru membawa diskusi ini ke dalam layar lebar. Film bisa dinikmati oleh siapa saja. Persis perubahan iklim pun sebenarnya juga dirasakan oleh seluruh manusia. Alih-alih menegasikan krisis iklim dan menuduh itu hanyalah bualan dari para aktivis lingkungan, ada tiga hal yang patut menjadi renungan.

Pertama, krisis iklim itu nyata dan dirasakan bahkan hingga pelosok desa. Logikanya, kita hidup di bumi yang sama, iklim dan cuaca yang juga sama. Ketika satu daerah menebang pohon secara masif, yang merasakan dampak bukan hanya warga di sekitar tempat itu saja. Satu dunia pun akan merasakan dampaknya. Memang bertahap, tidak langsung terasa.

Justru karena krisis iklim itu terjadi dari akumulasi kerusakan membuat bahayanya lebih besar. Juga orang jadi tidak merasa bahwa hal itu benar-benar urgen. Mereka yang bersuara seputar krisis iklim selama ini adalah para akademisi dan aktivis lingkungan yang memang meneliti dan mengkaji fenomena tersebut. Bagi orang awam di pelosok, cukup dengan tidak membuang sampah sembarangan sudah menjaga lingkungan.

Deforestasi besar-besaran, mengalihkan lahan hutan natural menjadi kawasan sawit struktural di berbagai tempat juga berpengaruh pada perubahan iklim. Saat tulisan ini dibuat, tempat penulis berada di Kabupaten Berau sedang berada dalam cuaca ekstrem 36-39°C. Meski demikian, dalam catatan cuaca, suhu tersebut seperti terasa 43-46°C.

Daerah ini sudah rusak karena banyak lahan yang ditambang batu bara, diganti dengan perkebunan kelapa sawit, juga masih menerima cuaca ekstrem luar biasa. Ditambah lagi, karena panas menyengat beberapa hari ini, berdasarkan pantauan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), ada 19 titik panas yang berpotensi menyebabkan kebakaran hutan dan lahan (Karhutla).

Sebenarnya cuaca ekstrem itu juga berkaitan erat dengan aktivitas manusia Kalimantan yang mengotak-atik ekosistem alam. Data ini baru menggambarkan satu daerah kecil di peta dunia. Kalau diakumulasikan dengan apa yang terjadi di Pulau Kalimantan secara keseluruhan, Sumatera, Sulawesi, Papua, Jawa, dan negara lain, tentu datanya lebih memilukan.

Meski belum melakukan penelitian, perjalanan penulis mengendarai motor menembus jalan hutan Kalimantan memperlihatkan pemandangan yang memprihatinkan. Banyak pohon yang ditebang dan dibakar untuk perkebunan sawit maupun eksploitasi tambang. Mirisnya, banyak monyet dan orang utan yang akhirnya hidup di pinggir jalan poros Berau-Samarinda karena rumahnya sudah hancur.

Jadi, poin utama yang perlu digarisbawahi, krisis iklim bukanlah isu elitis apalagi politis. Krisis iklim itu nyata terjadi dan kalau tidak ada perubahan nyata, hanya menunggu waktu untuk kehancuran bumi.

Karenanya poin kedua adalah bahwa krisis iklim menjadi tanggung jawab bersama: dari pejabat hingga rakyat. Krisis iklim, lagi-lagi bukan hanya tanggung jawab perusahaan besar atau negara maju saja. Tapi tugas kolektif kemanusiaan, tentu terutama negara maju. Karena bagaimana pun juga, negara yang maju hari ini justru mempunyai catatan kelam eksploitasi alam di masa silam.

Tanggal 25 Juli yang lalu, Harian Kompas menaikkan Tajuk Rencana berjudul “Krisis Iklim dan Tanggung Jawab Kita” baca di sini. Dalam tulisan tersebut ditegaskan bahwa Mahkamah Internasional (ICJ), per 23 Juli 2025, menyampaikan pendapat hukum bahwa negara, terlebih negara maju, memiliki kewajiban hukum untuk mencegah krisis iklim. Kegagalan bertindak bisa dikategorikan sebagai pelanggaran hukum internasional. Sebab menurut ICJ, lingkungan yang bersih dan sehat merupakan bagian dari hak asasi manusia.

Pandangan ICJ tersebut memang tidak mengikat secara hukum. Mirip dengan fatwa dalam tradisi Islam. Tetapi pendapat hukum tersebut memberikan panduan moral bagi warga bangsa untuk menekan negara yang mempunyai kebijakan eksploitatif. Rakyat perlu menuntut negara agar memberikan ruang hidup yang sehat, aman dan nyaman sebagai bagian dari hak kewargaan.

Ketiga, krisis iklim juga berpengaruh pada dimensi estetika alam yang kian tercemar. Dimensi ini hemat penulis jarang didiskusikan dalam pembahasan krisis iklim. Refleksi tersebut didapatkan setelah menonton film “Sore: Istri dari Masa Depan”. Sebagaimana cuplikan dialog dari Jo yang sudah dilampirkan di awal tulisan ini. Bahwa krisis iklim itu bukan hanya soal es di kutub utara yang mencair atau cuaca yang kian tak menentu, tapi juga dampak dari krisis iklim akan merusak lingkungan. Ketika lingkungan telah rusak, tak ada lagi keindahan yang dapat dinikmati.

Padahal Tuhan menciptakan alam bukan hanya untuk dimanfaatkan untuk kehidupan, tetapi juga dinikmati keindahannya. Persis seperti lukisan atau gambar yang dihasilkan oleh seniman. Eksistensi lukisan itu justru hadir melalui keindahannya. Demikian juga alam raya. Keindahan alam inilah yang menjadi refleksi mendalam orang-orang terdahulu sehingga mereka dapat hidup berdampingan dengan alam. Mereka jaga dan rawat lingkungan dan hidup dari bumi yang dipijak tanpa sepeser pun merusak ekosistemnya.

Barulah di era modern ini, kata Karen Armstrong dalam buku “Sacred Nature”, kita merusak alam dengan semangat egosentris dan hedonis. Menganggap bahwa alam ada untuk manusia saja, tanpa mempertimbangkan keberlanjutannya. Hal ini diperparah dengan revolusi industri ketika manusia berhasil menciptakan berbagai penemuan mutakhir. Alat yang dapat membantu sekaligus menipu manusia untuk mengeruk kekayaan alam hingga ke dasar bumi.

Jika alam sudah rusak, tak ada lagi keindahan, berganti dengan kehancuran. Karenanya sebelum terlambat, meski kecil, mari memulihkan kerusakan. Boleh jadi kita tidak merasakan hasilnya. Tetapi apa yang kita lakukan untuk alam ini, akan dirasakan oleh generasi mendatang. Itulah spirit menjaga lingkungan. Bukan untuk diri, tetapi untuk generasi berikutnya dan bumi yang tetap lestari. Persis seperti pesan kenabian yang kian jarang dilakukan, “Jika esok kiamat dan di tanganmu ada benih tumbuhan, tanamlah”.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses