Konsep Hudud (Hukum) Menurut Dr. Muhammad Syahrur

Oleh: Roland Gunawan

 

DI dalam salah satu karyanya, “al-Kitâb wa al-Qur’ân“, Dr. Muhammad Syahrur membagi hudûd (hukum), dalam penerapannya, menjadi enam kategori:

Pertama, batas minimal (al-hadd al-adnâ). Misalnya QS. al-Nisâ’: 23 yang menjelaskan tentang al-mahârim, atau orang-orang yang tidak boleh dinikahi. Sejumlah orang yang haram dinikahi pada ayat tersebut adalah batas minimal.

Kedua, batas maksimal (al-hadd al-a’lâ). Dalam al-Qur’an terdapat ayat yang menerangkan perihal hukuman potong tangan bagi pencuri, dan ini merupakan hukuman maksimalnya. Dengan kata lain, hukuman bagi pencuri tidak boleh lebih dari itu. Hanya saja para ulama mungkin dapat menentukan, berdasarkan kondisi yang melingkupinya, obyektivitas pencurian yang layak mendapatkan hukuman tersebut. Ini sangat terkait dengan masalah waktu dan tempat yang perlu dilihat oleh para ulama dalam menentukan pencurian yang pantas dikenakan hukuman potong tangan.

Ketiga, batas minimal dan batas maksimal secara bersamaan. Contohnya adalah ayat al-Qur’an yang berbunyi, “Yushîkumullâh fî awlâdikum mitslu hazhzh al-untsayayn.” Ayat ini menjelaskan tentang batas maksimal warisan untuk laki-laki serta menjelaskan batas minimal warisan untuk perempuan. Batas maksimal warisan untuk laki-laki adalah 66.6%, adapun batas minimal warisan untuk perempuan adalah 33.3%.

Keempat, batas minimal dan batas maksimal pada satu titik secara bersamaan. Misalnya QS. al-Nûr: 2 yang menjelaskan tentang hukuman bagi pelaku zina. Potongan dari ayat tersebut yang berbunyi, “Walâ ta’khudzû bihimâ ra’fah,” menunjuk pada batas minimal dan maksimal secara bersamaan.

Kelima, batas maksimal dengan garis lurus yang mendekati, artinya mendekati tapi tidak menyentuh. Ada ayat al-Qur’an yang berbunyi, “Lâ taqrabû al-zinâ.” Ayat ini berkaitan dengan kontak seksual antara laki-laki dan perempuan. Seorang laki-laki boleh saja berhubungan dengan seorang perempuan (atau pacaran dalam istilah gaulnya) tetapi harus berhenti pada “garis batas” yang mendekati zina. Artinya, jika seseorang mendekati zina tetapi tidak melakukannya, ia tidak mendapat hukuman. Seperti halnya ayat yang berbunyi, “Lâ taqrabû al-fawâhisya,” ayat ini melarang kita mendekati perbuatan keji, tetapi ketika kita mendekatinya dan tidak melakukannya, kita tidak berdosa.

Keenam, batas maksimal positif ekslusif (al-hadd al-a’lâ mûjab mughlaq) yang tidak boleh dilampaui, dan batas minimal negatif (al-hadd al-adnâ sâlib) yang boleh dilampaui. Ini menyangkut hubungan keuangan (al-‘alâqah al-mâliyah) antara manusia. Dalam hal ini, riba merupakan batas maksimal, sedangkan zakat merupakan batas minimal yang bisa dilampaui dengan melakukan sedekah.[]

 

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.