Kesehatan Mental dan Krisis Iklim

“Perhatikanlah hal itu di negeri-negeri lain. Anda dapati pengaruh udara terhadap akhlak dan perilaku penduduknya. Allah Maha Pencipta dan Maha Mengetahui”.

Ibn Khaldun dalam Muqaddimah

~~~

Sejak delapan abad silam, Ibn Khaldun memberikan perhatian bagaimana karakter cuaca dan iklim dalam satu kawasan berpengaruh pada kepribadian seseorang. Ia mencontohkan masyarakat Sudan yang tinggal di daerah panas. Kondisi ini telah mendominasi emosi mereka dan membentuk tubuh mereka. Hal ini menyebabkan panas pada ruh mereka sesuai dengan kadar tubuh dan iklim mereka.

Begitu pula negeri Mesir yang juga mempunyai cuaca panas. Penduduk Mesir lebih didominasi oleh perasaan senang dan gembira. Mereka lalai dari akibat, hingga mereka tidak memiliki simpanan perbekalan untuk satu bulan atau satu tahun. Kebanyakan makanan mereka berasal dari pasar.

Berbeda dengan kondisi negara Fez yang termasuk wilayah Maghrib (Afrika Barat). Mereka berada di daerah perbukitan yang dingin. Karenanya, menurut Ibn Khaldun, mereka banyak yang bersedih dan berlebihan dalam memikirkan akibat, hingga sebagian mereka menyimpan biji-biji gandum untuk perbekalan dua tahun. Mereka pergi ke pasar pagi sekali untuk membeli bahan makanan harian karena khawatir simpanan mereka terkurangi atau kehabisan.

Situasi yang sama dapat dilihat dari dinamika yang terjadi di Nusantara. Nenek moyang kita yang hidup di daerah panas mempunyai karakter yang berbeda dengan yang tinggal di wilayah dingin. Bahkan juga mempengaruhi cara berbicara dan bersikap. Ada yang bersuara tinggi seperti di daerah pesisir yang memang panas. Ada pula yang bersuara rendah seperti di wilayah dataran tinggi yang dingin.

Karenanya, tesis Ibn Khaldun bahwa pengaruh udara berhubungan erat dengan akhlak dan perilaku seseorang dapat diterima. Namun, pernyataannya perlu dikembangkan sekaligus dikritisi dalam konteks hari ini. Terlebih ada perbedaan mendasar antara dahulu dan sekarang. Di era Ibn Khaldun, cuaca masih relatif stabil. Belum ada pemanasan global sehingga wilayah yang panas dan dingin masih bisa diklasifikasikan dengan mudah.

Saat ini, istilah yang digunakan bukan lagi perubahan iklim, tetapi sudah mengalami krisis iklim. Dalam konteks ini, berbagai daerah amat sulit untuk dikategorikan daerah panas atau dingin. Semua bisa berubah dalam secepat kilat. Anomali cuaca terjadi terus-menerus.

Karenanya, perubahan yang ekstrem terhadap kondisi iklim ini pada akhirnya juga menghasilkan anomali kepribadian manusia. Tulisan ini mencoba mengembangkan pandangan Ibn Khaldun tersebut dengan menegaskan bahwa pengaruh iklim sangat erat membentuk kepribadian dan kesehatan mental manusia.

Hubungan Mental dengan Lingkungan

Dalam banyak tradisi, sebagaimana diungkapkan Armstrong dalam buku “The Sacred Nature”, manusia itu terhubung dengan alam. Bagaimana kondisi alam akan membentuk kepribadian manusia. Hal ini bisa dilihat, bagaimana mental nenek moyang kita yang berjuang mengusir penjajah dengan alat yang terbatas.

Mereka bertaruh nyawa, berjuang hingga tetes darah penghabisan. Situasi geografis yang serba terbatas itu menghasilkan para pendiri bangsa yang mempunyai mental sekuat baja. Mereka tidak mudah gentar dengan ancaman, tidak takut dengan tembakan.

Hal ini jauh berbeda dengan kondisi mental generasi hari ini. Sehingga ada ungkapan generasi stroberi. Istilah ini pertama kali populer di Taiwan pada awal tahun 2000-an yang kemudian menyebar ke berbagai negara Asia, termasuk Indonesia. Sebagaimana dipahami, stroberi adalah buah yang tampak indah, segar, dan menarik dari luar, tetapi mudah memar atau rusak ketika ditekan. Begitu pula kondisi generasi stroberi. Mereka adalah generasi yang dianggap lembek, mudah rapuh, dan tidak tahan tekanan.

Tentu istilah tersebut berkonotasi peyoratif atau sindiran terhadap fenomena aktual. Meskipun pada saat yang sama, tidak semua generasi milenial dan Z berperilaku demikian. Ada pula yang terbentuk dengan lingkungan menjadi pribadi tangguh. Sehingga muncul istilah lain, generasi sandwich.

Istilah ini pertama kali dikenalkan oleh Dorothy Miller tahun 1981 dalam konteks sosiologi masyarakat Amerika. Sebagaimana namanya, sandwich adalah isian makanan yang diapit oleh dua roti, dari atas dan bawah. Istilah ini ditujukan kepada mereka yang masih berusia produktif dan menanggung beban finansial dua arah: orang tua jalur ke atas dan anak jalur ke bawah.

Fenomena generasi stroberi dan sandwich ini menjadi potret bahwa kondisi lingkungan sekitar amat memengaruhi suasana mental. Terlebih lagi, ketika kondisi alam menjadi kian rusak dan tercemar.

Kesehatan Mental di Tengah Krisis Iklim

Sejak 10 Oktober 1992, World Federation for Mental Health (WFMH) menggagas Hari Kesehatan Jiwa Sedunia. Lembaga tersebut adalah organisasi non-pemerintah internasional yang berfokus pada isu kesehatan mental dan berdiri sejak tahun 1948. Pendirian lembaga tersebut tidak dapat dipisahkan dari kondisi dunia yang sedang sekarat setelah perang dunia kedua yang berakhir 2 September 1945.

Banyak orang yang terluka, bukan hanya fisik, tetapi juga mental. Viktor E. Frankl, seorang psikiater dan neurolog asal Austria, menggambarkan dengan sangat mencekam bagaimana kondisi mereka yang dipenjara korban Nazi Jerman pada tahun 1942-1945. Dalam bukunya, Man’s Search for Meaning, Frankl menekankan pentingnya merangkul kesehatan mental. Terutama bagi mereka korban kekerasan perang dunia.

Peperangan yang terjadi saat itu bukan hanya menyisakan luka bagi kemanusiaan, tetapi juga perih bagi lingkungan. Banyak daerah yang hancur karena bom yang membumihanguskan. Kerusakan demi kerusakan itu menjadi akumulasi dari perubahan hingga hari ini menjadi krisis iklim.

Meski masih diperdebatkan, tetapi mayoritas ilmuwan sepakat bahwa krisis iklim itu nyata. Perbedaannya terletak pada seberapa urgen menanganinya saat ini. Kepentingan itu dapat dipertimbangkan melalui dampak krisis iklim bagi kesehatan mental manusia.

David Wallace Wells dalam buku “The Uninhabitable Earth”—sudah diterjemahkan “Bumi yang Tak Dapat Dihuni”, memaparkan satu data yang mengkhawatirkan. Katanya, perang memang tak disebabkan oleh perubahan iklim. Tetapi krisis iklim dapat memacu peperangan lebih besar. Kondisi Suriah yang mengalami kekeringan berkepanjangan, juga menjadi pemicu perang saudara yang tak kunjung usai.

Menurut David, perubahan iklim dapat meningkatkan peluang terjadinya peperangan dalam satu negara sebanyak 3 persen. Artinya, ada hampir dua ratus negara di dunia, dan kenaikan suhu global dapat menghasilkan tiga, empat bahkan enam perang tambahan.

Keruwetan relasi antarnegara itu dapat diturunkan konstelasinya dalam relasi antarpersonal. Kajian ini banyak dibahas dalam rumpun keilmuan psikologi lingkungan (environmental psychology) dan psikiatri. Sebagai contoh, peluang kedua orang atau bahkan lebih berkonflik ketika mengantre di tempat yang panas akan lebih besar daripada menunggu di tempat yang nyaman. Ketika ada ‘korek api’ yang memantik, akan terjadi kebakaran hebat dalam kerumunan massa yang kepanasan.

Sebaliknya, hujan ekstrem yang membuat orang tak dapat keluar rumah berhari-hari menyebabkan murung dan sedih berlebihan. Gelisah karena tidak bisa kerja atau lemah karena asupan makanan terbatas. Jika peluang antar-individu saja sangat mungkin terjadi, apalagi antarnegara. Lantas, apa yang dapat dilakukan?

Teladan Bijak Generasi Lampau

Ketika perubahan atau bahkan krisis iklim sudah terjadi. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah menenangkan diri melalui ajaran bijak orang-orang terdahulu. Salah satunya stoikisme atau filsafat teras yang dikenalkan oleh filsuf Yunani, Marcus Aurelius. Pada akhirnya, manusia tidak bisa mengubah secara instan dunia yang sudah rusak ini. Tetapi yang bisa dilakukannya adalah menerima kondisi sekaligus mengubah cara pandangnya tentang hidup.

Kebahagiaan tidak ditentukan oleh faktor eksternal, tetapi datang dari pengaruh internal. Dimulai dari membangun kesadaran dan pemahaman bahwa dunia hari ini sedang sakit. Kita harus sadar bahwa cuaca yang berubah-ubah ini adalah tanda bahwa alam sedang sekarat. Terima itu sebagai realitas dan rangkul ia dalam keterbatasan manusia.

Itulah alasan dalam Islam, Nabi mengajarkan kita, ketika hujan turun dengan berdoa: “Allahumma shayyiban nafi’an, ya Allah jadikanlah air hujan ini membawa manfaat. Doa yang singkat ini mengajarkan arti penting stoik. Alih-alih mengutuk hujan dengan umpatan karena tidak bisa beraktivitas di luar, kita dituntun untuk berdoa supaya hujan ini membawa kesuburan bagi tanah. Jalan yang berdebu bisa dibilas dengan air hujan.

Stoikisme menjadi alat untuk menenangkan diri ke dalam. Sebab ada hal-hal yang tidak dapat diubah oleh satu individu. Ini adalah obat penenang dalam jangka pendek dan untuk merespons situasi yang sedang terjadi.

Namun, dalam konteks yang lebih luas, ajaran agama juga mengajak kita untuk berefleksi secara mendalam. Bahwa memang cuaca itu adalah takdir Tuhan. Tetapi pada saat yang sama, cuaca itu berkolerasi dengan hukum alam. Panas dan hujan itu punya sebab-akibat yang perlu dicari tahu jawabannya.

Ketika dahulu cuaca itu dapat diperkirakan dalam rentang waktu, mengapa hari ini sulit diprediksi. Refleksi ini akan menuntun kita untuk hidup lebih bijak dengan alam. Harmonisasi dengan alam melalui gerakan mengurangi sampah plastik, sisa makanan, berjalan kaki atau menggunakan mode transportasi umum jika memungkinkan, adalah cara terapi personal juga agar mental lebih sehat.

Dengan demikian, stoik dan refleksi menjadi cara yang dapat dilakukan terus-menerus untuk merawat kesehatan mental di tengah kondisi lingkungan yang kian memprihatinkan. Kita perlu mengelola emosi dan mengambil pelajaran dari setiap fenomena yang terjadi. Dengan itu, kita sudah terbangun dari tidur panjang yang membuat mental menjadi sakit.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses