Kekuatan Organisasi Masyarakat Sipil dalam Mengatasi Krisis Iklim


Urgensi Krisis Iklim dan Peran Organisasi Masyarakat Sipil

Krisis iklim semakin membutuhkan aksi nyata dari seluruh komponen masyarakat. Organisasi masyarakat (ormas), sebagai representasi masyarakat sipil, memiliki tanggung jawab moral untuk mengambil peran strategis dalam mengatasi permasalahan ini. Berasal dari akar masyarakat, ormas memiliki jaringan kuat dan semangat gotong royong yang berpotensi menjadi katalisator perubahan perilaku masyarakat serta tuntutan kebijakan kepada pemerintah untuk memprioritaskan pembangunan berbasis lingkungan.

Laporan terkini dari IPCC (Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim) pada 2023 menyatakan bahwa emisi gas rumah kaca terus meningkat akibat aktivitas manusia, menyebabkan suhu global naik sebesar 1,1°C di atas level pra-Industri. Jika tren ini berlanjut, suhu diperkirakan akan mencapai 1,5°C pada awal dekade 2030-an.

Sebagai negara kepulauan yang terletak di garis khatulistiwa, Indonesia sangat merasakan dampak krisis iklim ini. Banjir, kekeringan, dan kebakaran hutan serta lahan menjadi tiga masalah yang selalu berulang. Situasi ini mengancam keanekaragaman hayati Indonesia, menegaskan urgensi bagi masyarakat dan pemerintah untuk menanggapi krisis iklim secara lebih serius.

Kesadaran Lingkungan yang Meningkat di Indonesia

Laporan Ipsos Global Trends pada 2023 menunjukkan bahwa Indonesia mencatatkan 92% kepedulian terhadap masalah lingkungan, menjadikannya negara dengan tingkat kepedulian tertinggi. Hal ini menunjukkan peningkatan kesadaran lingkungan di kalangan masyarakat Indonesia, yang membuka peluang bagi ormas untuk menjadi wadah kontribusi masyarakat dalam penanganan isu lingkungan.

Motor Penggerak Perubahan dalam Krisis Iklim

Dalam negara demokrasi, ormas merupakan bentuk partisipasi masyarakat. Peran ormas dalam melawan krisis iklim sangat penting karena mereka independen, tidak terpengaruh oleh kepentingan politik atau bisnis. Mereka dapat menjadi pengawas kebijakan lingkungan dan melaksanakan program pelestarian di tingkat akar rumput. Selain itu, kearifan lokal juga bisa menjadi solusi berkelanjutan untuk mengatasi krisis iklim.

Namun, beberapa ormas berbasis agama belakangan ini dikritik karena berafiliasi dengan industri pertambangan, yang bertentangan dengan tujuan pelestarian sumber daya alam sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU 17/2013 jo. Putusan MK 82/2013. Pasal ini mewajibkan semua ormas, meskipun tidak berfokus pada lingkungan, untuk mendukung pelestarian alam.

Tujuan utama ormas adalah mewujudkan keamanan manusia (human security), yang salah satu aspeknya adalah keamanan lingkungan. Jika ormas terlibat dalam kegiatan yang merusak lingkungan, seperti bersekutu dengan “alat perusak lingkungan,” mereka justru akan berlawanan dengan tujuan mereka sendiri.

Kontribusi Ormas dalam Mitigasi dan Adaptasi Krisis Iklim

Di tengah darurat krisis iklim, dua pendekatan utama yang bisa dilakukan adalah mitigasi dan adaptasi. Dalam mitigasi, ormas dapat melakukan kampanye pengurangan emisi dan menekan pemerintah untuk mengurangi penggunaan energi kotor, seperti batu bara dan minyak bumi. Sebagai contoh, pemerintah telah menonaktifkan 13 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara yang direncanakan pensiun sebelum tahun 2030. Pengawasan dan dorongan dari ormas dibutuhkan untuk memastikan PLTU lainnya juga digantikan oleh energi yang lebih bersih.

Dalam pendekatan adaptasi, ormas dapat mendorong pembentukan bank sampah di tingkat RW untuk mengurangi sampah yang berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Contohnya, Banksasuci (Bank Sampah Sungai Cisadane) di Kota Tangerang berhasil mendaur ulang sampah bernilai ekonomis dan memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar, seperti tabungan pendidikan dan pembangunan fasilitas umum.

Edukasi Masyarakat untuk Menghadapi Dampak Krisis Iklim

Selain itu, ormas juga perlu memberikan edukasi kepada masyarakat tentang penanganan bencana akibat krisis iklim. Indonesia, sebagai negara yang sering dilanda bencana hidrometeorologi, mencatat 624 bencana antara 1 Januari hingga 15 April 2024, dengan banjir sebagai yang paling dominan (405 kejadian). Edukasi ini harus disesuaikan dengan karakteristik wilayah, baik di pesisir, perkotaan, pedesaan, maupun pedalaman, untuk meminimalkan korban jiwa dan melindungi harta benda dari ancaman bencana.

Kolaborasi untuk Penanggulangan Krisis Iklim

Secara keseluruhan, mitigasi dan adaptasi terhadap krisis iklim memerlukan kerja sama erat antara ormas, pemerintah, LSM, dan sektor swasta. Kontribusi ini sejalan dengan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab sebagaimana tercantum dalam sila kedua Pancasila, yang mengharuskan kita untuk menjaga lingkungan sebagai bagian dari kehidupan manusia.


Referensi:
GoodStats.id. 2024. Riset Ipsos: Indonesia Jadi Negara Paling Peduli Masalah Lingkungan.
IPCC. 2023. Climate Change 2023 Synthesis Report.
Kencana, M.R.B. 2024. Suntik Mati 13 PLTU Batu Bara Milik PLN, Tarif Listrik Bakal Naik?
Sucipto, T.I. 2024. 624 Bencana di Indonesia Sepanjang 2024, Paling Banyak Banjir.
UNDP. 1994. Human Development Report 1994: New Dimensions of Human Security.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.