Islam dan Kehormatan Manusia

ISLAM tidak memberikan penghormatan kepada sesuatu seperti ia memberikan penghormatan kepada darah, harta, dan kehormatan manusia. Para ulama muslim menjadikan tiga hal ini sebagai bagian dari prinsip-prinsip universal maqâshid al-syarî’ah (tujuan-tujuan syariat), bahkan menjadikannya sebagai tujuan-tujuan terpenting dalam rumusan tingkatan al-dharûrîyyât (hal-hal prioritas), yang dalam tradisi ushul fikih dikenal dengan al-kullîyyât al-khams (lima prinsip universal syariat).

Tidak ada seorang pun di dunia ini yang punya hak untuk memusuhi atau menyakiti seorang manusia pun selama tidak ada perkataan maupun perbuatan yang mengharuskan untuk itu sebagaimana telah ditetapkan dalam undang-undang langit. Al-Qur`an dengan tegas mengancam siapa pun yang menganiaya sesamanya, “Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja kaka balasannya adalah Jahannam, ia kekal di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya,” [QS. al-Nisa`: 93].

Mengenai ayat tersebut, Imam Ibn Katsir berkata, “Itu merupakan peringatan keras dan ancaman tegas bagi orang yang melakukan dosa besar tersebut yang identik dengan kesyirikan kepada Allah sebagaimana ditegaskan juga pada ayat-ayat lain di dalam al-Qur`an. Allah Swt. berfirman, “Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah [membunuhnya] kecuali dengan [alasan] yang benar,” [QS. al-Furqan: 68]. Dia juga berfirman, “Katakanlah, ‘Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kalian oleh Tuhan kalian, yaitu: janganlah kalian mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kalian membunuh anak-anak kalian karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rizki kepada kalian dan kepada mereka, dan janganlah kalian mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah [membunuhnya] melainkan dengan sesuatu [sebab] yang benar. Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami[nya],” [QS. al-An’am: 151].[1]

Banyak sekali hadits dari Rasulullah Saw. mengenai larangan membunuh dan melanggar kehormatan muslim. Di antaranya adalah seperti yang termaktub di dalam kitab shahîh al-Bukhari dan Muslim dari Ibn Mas’ud, bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Sengketa pertama yang diputuskan di antara manusia pada hari kiamat adalah mengenai darah (jiwa),” [HR. al-Bukhari dan Muslim].

Rasulullah Saw. menjelaskan bahwa setiap dosa yang dilakukan manusia mungkin dapat dibebaskan (dihalalkan) darinya, dan dosa tersebut tidak akan menjauhkannya dari kehormatan Islam kecuali bila tangannya bernoda darah haram (membunuh jiwa yang diharamkan Allah). Dari Ubadah ibn al-Shamit, bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Seorang mukmin akan selalu dalam kondisi mudah melakukan ketaatan, jadi orang yang baik, selama tidak menumpahkan darah yang diharamkan. Jika ia menumpahkan darah yang diharamkan maka terputuslah kesempatan mudah melakukan kebaikan,” [HR. Abu Dawud].

Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Rasulullah Saw. menegaskan mengenai besarnya kehormatan darah (jiwa) orang muslim. Bahkan, jika ‘raibnya dunia seluruhnya’ tergenggam di satu telapak tangan dan ‘raibnya jiwa muslim tanpa hak’ tergenggam di telapak tangan yang lain, maka yang akan dipilih adalah telapak tangan yang padanya tergenggam jiwa orang muslim. Rasulullah Saw. bersabda, “Raibnya dunia itu lebih ringan bagi Allah daripada terbunuhnya seorang mukmin tanpa alasan yang benar,” [HR. Ibn Majah].

Di samping itu, Rasulullah Saw. juga mengancam pelaku pembunuhan tanpa alasan yang benar. Bahkan walau pun seluruh penduduk bumi sepakat membenarkannya, maka kehancuran mereka bagi Allah adalah sangat mudah. Beliau bersabda, “Seandainya penduduk langit dan bumi bersatu untuk membunuh seorang muslim, maka Allah benamkan mereka semua di neraka,” [HR. al-Thabrani].

Dalam hadits lain disebutkan bahwa Rasulullah Saw. memperluas ‘wilayah dosa’ yang mencakup setiap orang yang terlibat dalam tindakan kriminal tersebut (membunuh jiwa muslim tanpa alasan yang benar), bahkan walau pun hanya dengan satu kalimat, atau isyarat, atau yang lainnya. Beliau bersabda, “Barangsiapa yang membantu pembunuhan seorang mukmin dengan setengah kalimat saja, niscaya ia kelak berjumpa dengan Allah ‘Azza wa Jalla dalam keadaan tertulis di antara kedua matanya: ‘Orang yang putus asa dari rahmat Allah,’” [HR. Ibn Majah].

Ibn Abbas ra. memandang bahwa tidak ada pertaubatan bagi pelaku pembunuhan orang mukmin dengan sengaja. Tidak ada balasan baginya kecuali murka dan laknat Allah, neraka Jahanam dan keabadian di dalamnya, serta siksaan yang sangat pedih.

Lebih dari itu, Islam menjaga manusia dari dirinya sendiri dengan melarang tindakan bunuh diri (al-intihâr) dan menggelamkan diri sendiri ke dalam kehancuran. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Dan janganlah kalian membunuh diri sendiri. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepada kalian,” [QS. al-Nisa`: 29]. Dia juga berfirman, “Dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri ke dalam kebinasaan,” [QS. al-Baqarah: 195].

Dalam hal ini kita perlu merenungkan perintah Allah ‘Azza wa Jalla kepada Nabi Ibrahim as. untuk menyembelih putra terkasihnya, Ismail as. guna memperlihatkan keimanannya yang teguh kepada-Nya. Pada saat Ismail as. menyerahkan diri untuk dikurbankan, ketika pedang Nabi Ibrahim as. menempel di lehernya, secara tiba-tiba Allah pun mencegah, padahal itu adalah perintah-Nya sendiri. Sebenarnya ini merupakan isyarat dari Allah kepada pelaku ‘bom bunuh diri’ yang terjadi baru-baru ini, yang bahkan menelan banyak korban tak berdosa demi suatu tujuan yang tidak jelas, bahwa perbuatan tersebut dilarang oleh agama. Tidak berarti bahwa ketika Ismail as. rela dikurbankan ia tidak punya tujuan yang jelas, sama sekali tidak. Tujuan Ismail as. sangat jelas, yaitu memenuhi perintah Allah, yang tentu saja ganjarannya adalah surga.

Berbeda dengan para pelaku ‘bom bunuh diri’, tujuan mereka tidak jelas. Apakah dengan melakukan itu mereka bertujuan memenuhi perintah Allah untuk kejayaan Islam? Siapa yang menjamin bahwa mereka akan masuk surga? Untuk menjawab ini, kita perlu menengok ke belakang melihat sejarah Islam pada masa Rasulullah Saw. masih hidup. Ketika terdapat beberapa orang dari pasukan Muslim meninggal di medan perang, beliau langsung memberikan pembenaran, “Mereka mati syahid, dan akan menjadi penghuni surga.” Ini beliau katakan karena pasukan Muslim pada waktu itu berangkat dari sebuah keyakinan, bahwa apa yang mereka lakukan demi kejayaan dan kemajuan Islam. Terbukti setelah itu, Islam berhasil menguasai, tidak hanya semenanjung Jazirah Arab, melainkan juga daerah-daerah luar yang kala itu merupakan pusat-pusat peradaban. Jadi, perjuangan dan pengorbanan mereka ada bukti signifikatifnya bagi Islam. Makanya, sebagai seorang yang mendapatkan mukjizat dari Allah ‘Azza wa Jalla, Rasulullah Saw. dengan mantap mengatakan, “Mereka mati syahid, dan akan menjadi penghuni surga.”

Adapun para pelaku ‘bom bunuh diri’ tidak bisa disamakan dengan pasukan Muslim di masa Rasulullah Saw. menjalani perang melawan kaum musyrik Quraisy. Mereka, para pelaku ‘bom bunuh diri’ itu, tidak berangkat dari sebuah keyakinan, tetapi berangkat dari keputus-asaan. Tentunya berbeda antara orang yakin dengan orang putus asa. Orang yakin memiliki modal kekuatan yang sudah pasti. Sebaliknya, orang putus asa adalah orang yang lemah, ia melihat seolah-olah di hadapannya sudah tidak ada jalan lain, kemudian ia memilih jalan pintas. Allah ‘Azza wa Jalla memberikan peringatan keras kepada orang yang putus asa, “Janganlah kamu sekali-kali berputus-asa akan nikmat Allah, karena sesungguhnya tiadalah orang yang berputus-asa melainkan hanya orang-orang kafir.”

Orang yang putus asa biasanya rela menjadi lilin, berkorban tetapi mencelakakan diri sendiri. Al-Qur`an menegaskan, “Janganlah sekali-kali kamu mencelakan diri sendiri.” Lilin, walaupun dirinya celaka, tetapi masih membawa manfaat bagi manusia, memberikan penerangan. Sementara pelaku ‘bom bunuh diri’, selain mencelakakan diri sendiri juga merugikan orang lain yang tak berdosa. Lebih parah lagi, bukan membuat Islam lebih berwibawa di mata dunia, tetapi malah menampilkannya sebagai agama yang menakutkan dan seram, bak raksasa yang haus darah. Kalau demikian, masihkah di antara kita ada yang mengatakan bahwa para pelaku ‘bom bunuh diri’ akan mendapat ganjaran surga dari Allah?!

Contoh lain yang dapat dijadikan bahan renungan adalah ketika seorang pemuda meledakkan dirinya di tengah-tengah segerombolan turis di daerah Al-Azhar, sehingga enam orang dari mereka dan sejumlah pedagang serta beberapa orang yang kebetulan lewat di tempat itu terbunuh. Setelah beberapa jam kemudian terjadilah peristiwa lain yang tidak kalah mengejutkan, beberapa perempuan berniqab melemparkan bom-bom dari atas jembatan Al-Azhar ke arah para turis dan kerumunan manusia. Dan ketika polisi tiba di tempat itu, setiap orang dari perempuan-perempuan berniqab itu mengeluarkan pistol lalu menembakkannya tepat di kepala temannya, sehingga matilah mereka. Kenapa mereka melakukan itu kepada teman sendiri, kenapa tidak bunuh diri saja? Karena menurut pemahaman mereka tindakan bunuh diri adalah haram, sedangkan membunuh di jalan Tuhan adalah halal.

Kenyataan seperti itu tidak jarang terjadi di dalam masyarakat Muslim kontemporer, juga bukan hal yang langka di tengah-tengah para pemuda Muslim yang sejatinya diharapkan menjadi generasi masa depan. Peristiwa-peristiwa pembunuhan terhadap para turis terjadi berulang-ulang setiap tahun sejak seperempat abad yang lalu, sejak munculnya fatwa-fatwa tentang pengharaman pariwisata. Ini menunjukkan betapa pemikiran menyimpang sudah menguasai generasi muda Muslim.

Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan orang muslim untuk menjaga badannya, bahwa badannya itu mempunyai hak atasnya untuk istirahat, makan, dan berpakaian. Setiap sesuatu yang punya harus dipenuhi haknya. Sebuah riwayat menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. mempersaudarakan antara Salman dan Abu al-Darda`. Suatu ketika Salman berkunjung ke rumah Abu al-Darda`. Ia melihat Ummu al-Darda` (istri Abu al-Darda’) memakai pakaian yag telah lusuh (usang). Salman berkata kepadanya, “Ada apa denganmu?” Ummu al-Darda` menjawab, “Saudaramu Abu al-Darda` sudah tidak punya hajat lagi kepada keduniaan.” Datanglah Abu al-Darda`, lalu dibuatkan makanan untuknya. Salman berkata kepada Abu al-Darda`, “Makanlah.” “Aku sedang puasa,” jawab Abu al-Darda`. “Aku tidak akan makan makanan ini sampai engkau mau makan,” sergah Salman. Akhirnya Abu al-Darda` membatalkan puasanya lalu menyantap hidangan yang telah disiapkan bersama Salman. Malam itu Salman menginap di rumah Abu al-Darda`. Ketika Abu al-Darda` hendak bangkit untuk shalat malam, Salman mencegahnya, “Tidurlah dulu,” katanya. Abu al-Darda` pun tidur namun tidak berapa lama ia bangkit lagi untuk mengerjakan shalat. Kembali Salman mencegahnya, “Tidurlah kembali,” ucapnya. Ketika datang akhir malam Salman berkata membangunkan Abu al-Darda`, “Bangunlah sekarang.” Keduanya lalu menunaikan shalat malam. Setelah itu Salman menasihati saudaranya, “Sesungguhnya Tuhanmu memiliki hak atasmu, jiwamu pun punya hak atasmu, sebagaimana istrimu juga memiliki hak atasmu, maka tunaikanlah hak bagi tiap-tiap yang memiliki hak.” Abu al-Darda` kemudian mendatangi Rasulullah Saw. dan menceritakan hal tersebut kepada beliau. Maka beliau menanggapi dengan berucap, “Apa yang dikatakan Salman itu adalah benar,” [HR. al-Bukhari].

Islam yang telah menjadikan qishâsh sebagai hukuman bagi pelaku pembunuhan secara sengaja, juga mensyariatkan hadd (hukuman) bagi pelaku pencurian disertai syarat-syaratnya, yaitu orang yang berani melanggar hukum Allah dengan mencuri harta saudaranya sesama manusia. Islam menjaga harta dari pemborosan dan perampasan secara batil. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Dan janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain di antara kalian dengan jalan yang batil dan [janganlah] kalian membawa [urusan] harta itu kepada hakim, supaya kalian dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan [jalan berbuat] dosa, padahal kalian mengetahui,” [QS. al-Baqarah: 188]. Dia juga berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kalian. Dan janganlah kalian membunuh diri kalian sendiri, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepada kalian. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah,” [QS. al-Nisa`: 29 – 30].

Islam menjaga kehormatan manusia dan sangat keras mengecam siapapun yang menodainya, sebagaimana ditegaskan di dalam ayat-ayat al-Qur`an. Cukuplah apa yang telah ditegaskan oleh Rasulullah Saw. di permulaan khutbah terakhir (Khutbatul Wada’) beliau, “Hai manusia! Sesungguhnya seluruh darah dan harta kalian adalah haram atas kalian sampai kalian datang menghadap Tuhan kalian, seperti haramnya hari kalian ini, seperti haramnya bulan kalian ini….”[]

 

[1]          Imam Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm (Jilid I), Beirut: Dar al-Fikr, Cet. I, 1401, hal. 536

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.